Rusdi dan Tini tidak menyadari, jika percakapan malam ini turut didengar Ian. Saat ini Ian sedang tersenyum puas di atas ranjang. Ian sendiri tidak menyangka jika dia mengajukan syarat konyol itu. Tapi tidak apa-apalah. Ian tersenyum menyeringai.
***
Kota Kediri
Keesokan hari, selepas sholat subuh di masjid yang ada di komplek rumah sakit. Fafa berdiam diri sejenak, memperhatikan perawat yang mulai lalu lalang membagikan peralatan mandi pasien. Fafa bangkit dan bersegera melangkah kembali ke ruang inap San.
Drettt drettt
Ponsel Fafa bergetar. 'Paklik Di!' seru Fafa dalam hati. Fafa langsung berhenti, kemudian bersandar di tiang yang ada di lorong rumah sakit. Segera saja menggeser tombol gagang telpon warna hijau"Assalamu'alaykum, Paklik," sapa Fafa.
"Wa alaykumusalam, Fa," jawab Rusdi.
"Bagaimana Paklik?" tanya Fafa sedikit tidak tenang.
"Alhamdulillah, Fa. Untuk biaya San sudah ada tinggal kirim saja, tapi ...," kalimat Rusdi menggantung dan merasa tak nyaman melanjutkan.
"Tapi kenapa, Paklik!" tanya Fafa cepat.
"Paklik minta maaf, Fa. Saat ini tabungan Paklik juga belum bisa menutup semua biaya perawatan San. Mas Ian-bos paklik, menawarkan bantuan, tapi ada syaratnya."
Suara Rusdi tersendat-sendat antara tega tidak tega mengatakan pada Fafa.
"Syarat apa Paklik!" tanya Fafa.
"Fafa harus menikah dengan Mas Ian!" ucap Rusdi pelan.
"Apa?!" pekik Fafa. Seketika Fafa lemas.
Menikah! Terbersit sedikit saja tidak pernah di usianya sekarang ini. Ingatlah usia juga baru 20 tahun. Banyak keinginan yang hendak diwujudkan, bekerja, membiayai sekolah Ikhsan. Jika menikah, bagaimana dengan kuliahnya. Bagaimana nasib sekolah San? Jika tidak, kemana lagi harus mencari bantuan, dalam keadaan darurat seperti sekarang ini. Fafa terus sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Fa. Fafa ...!" panggil Rusdi membuyarkan lamunan Fafa.
"Ta-tapi bagaimana bisa begitu Paklik!" tanya Fafa.
Paklik juga tidak tahu alasan Mas Ian, Nduk. Beliau hanya bilang syaratnya itu," ujar Rusdi.
"Kamu bisa menolak, Fa. Kita akan pikirkan jalan keluar bersama. Paklik dan bulikmu, akan mencari cara lain!" ucap Rusdi mantap.
"Atau kamu juga bisa mempertimbangkan dulu tawaran Mas Ian ini!" lanjut Rusdi.
"Fafa masih binggung, Paklik. Fafa harus bagaimana?" jawab Fafa.
"Sudah Fa. Tidak perlu terburu-buru. Apapun keputusanmu nanti, Paklik mendukungmu!" sahut Rusdi berusaha menenangkan Fafa.
"Iya, in syaa Allah. Fafa akan mempertimbangkan Paklik. Terima kasih Paklik Di, dan tolong sampaikan salam ke Bulik Ni," jawab Fafa pelan.
"Ya sudah kalau begitu, Paklik tutup dulu ya," ucap Rusdi.
"Iya, Paklik Di. Terima kasih," jawab Fafa.
"Assalamu'alaykum, Fa."
"Wa alaykumusalam, Paklik Di."
Panggilan terputus.
Fafa menghela napas dalam. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Jika tidak menerima bantuan itu, kemana lagi mencari bantuan. Jika menerima, bukankah sama dengan menjual diri. Sebenarnya ada jalan lain, menggadaikan sertifikat rumah ke bank. Tapi Fafa juga takut pinjam ke bank. Dengan penghasilan yang tak menentu dari Toko Loundry dan memberi les pelajaran, bagaimana bisa dirinya berani menjaminkan peninggalan kedua orang tuanya ini.
'Tapi kenapa dia mau menikahiku, sedangkan dia maupun aku tidak saling kenal. Bagaimana bisa seperti itu. Apakah dia akan menyiksaku seperti yang kulihat di film. Ya Allah, bagaimana ini. Arni, apa sebaiknya aku bicara pada dia ya! Tapi .... Apa aku bicara saja sama Bulik Tini. Nanti siang akan coba menghubungi bulik saja,' tekad Fafa dalam hati.
***
Kediaman Andrian, JakartaWaktu sudah menunjukkan pukul 05:30 WIB, Rusdi segera menuju ke rumah utama.
Tok tok
"Assalamu'alaykum," sapa Rusdi.Beberapa saat kemudian memutar handle pintu. Rusdi kaget kala melihat Ian sudah bangun tidur dan termenung menatap taman yang ada di samping kamar utama melalui jendela kaca. Baru kali ini Rusdi menyaksikan Ian sudah bangun tidur, karena biasanya butuh waktu dua jam menunggunya bangun.
"Mas Ian, ap-."
Suara Rusdi langsung terhenti, tercekat di tenggorokan kala melihat Ian sudah mengangkat telapak tangan, mengisyaratkan untuk berhenti bicara. Rusdi paham, langsung mengangguk walaupun Ian sama sekali tidak mau melihatnya.
"Bagaimana!" tanya Ian singkat.
"Paman sudah memberitahu Fafa, Mas Ian."
"Kapan!"
"Dua hari lagi, Paman akan menanyakan kembali," jawab Rusdi.
"Besok! Waktumu tinggal besok, Paman!" ujar Ian.
"Tapi Ma-."
Rusdi terhenti berbicara karena mendapati Ian menoleh dan menatap tajam. Akhirnya, Rusdi menghembuskan napas pelan-pelan untuk menghela kegugupannya. 'Selalu dan selalu seperti ini,' keluh Rusdi dalam hati.
Rusdi terus memperhatikan Ian. Dia melihat Ian menutup mata, entah apa yang mengganggu dan membuat Ian gelisah. Segera Ian mengambil ponsel dari saku kursi roda, lalu menghubungi David.
"Assalamu'alaykum, Boss!"
Sapa David di tengah suara bising dentuman musik. Ian sudah menduganya, kebiasaan David setiap pagi-memutar musik cadas.
"Hhmm! Cari informasi Fathimah, usia 20 tahun, Kota Kediri. Sebelum makan siang!" perintah Ian tanpa basa basi.
"Siap Boss."
Jawab David yang sudah sangat paham tabiat Ian. Begitulah Ian, sepertinya sifat bossy tidak akan pernah hilang.
'Ck, bukannya dia juga bisa melacak sendiri? Dasar Boss aneh. Eh, tunggu. Fathimah umur 20 tahun? What's! Buat apa si Boss mau tau perempuan itu. Perempuan muda dan sangat menggiurkan. Wah ... wah ..., kasian dia,' batinnya.
David begidik ngeri membayangkan bagaimana kelakuan Ian. Hanya orang terdekat saja, yang paham bagaimana seorang Ian, pribadi yang hangat, itu dulu. Jauh sebelum kecelakaan yang menimpanya dan menewaskan kedua orang tuanya. Musibah yang bertubi-tubi, menjadikan Ian pribadi yang dingin dan semena-mena seperti sekarang ini.
Ya, Ian dan David sudah bersahabat sejak kecil, selain itu orang tua mereka juga bersahabat. Dengan tangan dingin Ian, memoles kemampuan David hingga bisa seperti sekarang ini. Menjadi salah satu kepercayaan Ian di AA Corp sebagai Kepala Divisi Riset.
David bergegas ke ruang kerja. Bersegera melaksanakan perintah Ian. Sebenarnya aneh juga, Ian tidak pernah dekat perempuan, tiba-tiba memerintahkan mencari informasi. Perempuan mana juga yang mau dekat dengannya, liat tampangnya saja pasti sudah lari. David terkekeh mengingat sahabat karibnya itu.
Tak perlu menunggu lama, David sudah menemukan informasi tentang Fafa. David penasaran, bagaimana bisa Ian? Kapan dia kenal perempuan! David benar-benar tidak percaya. Apakah Ian sudah normal? Entahlah, Coba nanti kutanya bagaimana dia kenal perempuan ini.
"Ck, luar biasa si Boss, tahu aja bening begini!" decak David setelah mendapatkan semua informasi tentang Fafa.
Suit suit
David bersiul, setelah sukses mengirimkan e***l ke Ian.
"Done!" seru David.
Hari ini, Ian lebih diam dari sebelumnya. Entah apa yang saat ini dia rasakan hingga membuat begitu gelisah. Rusdi terus memperhatikan Ian yang masih tetap di tempat semula, meskipun hari sudah beranjak siang. Rusdi berinisiatif menawarkan sarapan lagi. Jawaban yang diperoleh masih tetap sama, nanti saja.
Ting
Bunyi notifikasi e***l masuk di ponsel Ian. Secepatnya Ian membuka dan segera menelusuri setiap informasi yang dikirimkan oleh David. Ian sedikit terkejut, Fafa bukan gadis sembarangan. Selain otaknya encer, secara fisik juga menarik walaupun tertutup baju dan kerudung yang besar.'Gadis ini, tinggi 170 cm dan berat 55 kg. Luar biasa keponakan Rusdi ini. Aku harus mendapatkanmu!' seru Ian dalam batin. Jauh dalam hati Ian tidak percaya jika Rusdi memiliki keponakan seperti Fafa. Jarinya pelan mengusap foto Fafa yang terpampang di layar ponsel.
Apakah aku sudah mulai tertarik pada dia!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Seulas senyum langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.
'Apakah aku sudah mulai tertarik padanya!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Senyum seujung bibir langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.Ian menoleh dan mendapati Rusdi sedang menatapnya. Entah bagaimana reaksi Rusdi mengetahui dia mencari informasi tentang Fafa."Sudah?" tanya Ian singkat."Sudah, Mas Ian. Berkas yang kemarin, dan paket sudah datang. Semua sudah siap di lab," jelas Rusdi."Hhmm," dehem Ian sembari melajukan kursi roda secara otomatis mendekati pintu lab. Sebelum memutar handle pintu, Ian menoleh pada Rusdi."Paman, nanti siang tidak usah ke sini. Waktu makan malam saja!" perintah Ian."Siap Mas Ian. Paman undur diri." Rusdi langsung keluar dari kamar utama.Seperti itulah Ian jika sudah mulai aktifitasnya di dalam lab. Dia bahkan pernah berhari-hari tidak keluar kamar untuk menyelesaikan eksperimennya.
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa."Iya Kak, fii Amanillah,""Aamiin.""Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San."Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah.San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa."Assalamu'alaykum," lanjut Fafa."Wa alaykumusalam."Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diamb
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.***Kota KediriSekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam."Assalamu'alayku
Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali.Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.Tok tokPintu langsung terbuka lebar."Mas Ian!""Paman ...!"Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya."Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian."Mas Ian ...," suar
"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!""Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik."Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi."Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa."Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa."I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap."Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa."Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,""Wa alaykumusam, Paklik Di."Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,'
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny