Sebuah bangunan megah dengan high safety di ibu kota, yang setingkat dengan Istana Presiden. Adakah yang seperti itu? Tentu ada. Seperti itulah gambaran kediaman Andrian, yang luas dan asri dengan arsitektur bergaya Victory. Arsitektur yang sarat makna: tangguh, angkuh, dan berkelas sekaligus. Kediaman yang lebih tepat disebut sebagai mansion. Seperti itulah penampakan dari luar, mansion Andrian.
Hal itu, tidak berlaku untuk bagian dalam mansion. Setiap ruangan luas dan hanya diisi beberapa perabotan, itu pun terletak di sudut ruangan. Terlihat sangat minimalis dan modern. Mansion selalu lenggang, seolah-olah tidak berpenghuni. Mansion sebesar ini, hanya di tempati oleh seorang Andrian saja. Sedangkan sehari-hari Andrian lebih banyak menghabiskan waktu di kamar utama.
Kamar utama sangat luas, bahkan bisa disebut rumah dalam rumah. Bagaimana tidak! luasnya saja 20mx25m. Kamar ini berfungsi sebagai tempat istirahat sekaligus laboratorium Andrian. Kamar yang disekat menjadi tiga bagian dan hanya dipisahkan dengan dinding kaca transparan. Untuk safety, tidak perlu diragukan lagi bagi seorang tehnokrat seperti Andrian.
Malam ini, seperti malam yang telah lalu. Aktifitas masih tampak di kamar utama. Sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul 23:50 WIB. Tampak sangat jelas raut wajah Andrian yang sedikit kelelahan.
"Paman istirahat saja, sudah hampir tengah malam!" perintah Andrian sembari mengusap kasar wajahnya. Setelah itu, dia memejamkan mata.
"Iya Mas Ian, ini masih kurang sedikit lagi," tolak Rusdi sembari terus merapikan beberapa pekerjaan Ian yang berserakan di atas meja yang ada di dalam laboratorium.
Kring kring
Suara ponsel Rusdi. 'Fafa!' batin Rusdi. Saat akan melangkah keluar, dia ditegur oleh Andrian. "Angkat saja, tidak usah keluar!" ujar Ian. Rusdi mengangguk dan langsung menggeser tombol gagang telpon warna hijau."Assalamualaikum, Paklik Di," salam Fafa dengan suara tertahan.
"Wa alaikumusalam. Nduk! Ada apa, ini sudah hampir tengah malam telpon paklik? Kamu dan Ikhsan baik-baik saja'kan?" tanya Rusdi beruntun. Fafa masih tetap terdiam untuk beberapa saat.
"I-iya, Fafa baik-baik saja, Paklik. Tetapi ... Dik San tidak, dia tadi sore kecelakaan. Sekarang, kami ada di rumah sakit," jelas Fafa. Rusdi refleks berucap innalillahi wa innaillahi rojiun dengan pelan.
"Lalu, bagaimana kondisi San sekarang, Nduk?"
"Alhamdulillah sudah ditangani, Paklik. Hanya saja ...." Fafa berhenti tidak jadi melanjutkan kalimatnya.
"Alhamdulillah. Hanya kenapa?" tanya Rusdi penasaran.
"In-ini kaki Ikhsan mengalami dis-lokasi, dan sekarang menunggu operasi. Fafa binggung harus bagaimana, Paklik! Tadi Fa tanya bagian administrasi, biayanya hampir 50 juta, sedangkan tabungan Fafa masih sedikit," jelas Fafa. Rusdi langsung paham maksud Fafa.
"Sebentar lagi Paklik pulang ke paviliun. Paklik bicarakan dulu sama bulikmu. In syaa Allah, nanti Paklik usahakan, kamu jaga adikmu saja, tenang ya!" hibur Rusdi dengan suara lembut.
"Iya, Paklik Di. Maafkan Fafa dan San yang selalu merepotkan Paklik dan bulik," ujar Fafa pelan.
"Nggak papa, Nduk. Adiknya dijaga, salam buat San, semoga lekas sembuh. Ya sudah, Paklik tutup telponnya. Assalamualaikum," ujar Rusdi.
"Wa alaikumusalam," jawab Fafa. Sambungan terputus.
"Siapa Paman?" tanya Ian. Rusdi menoleh.
"Fafa, keponakan saya, Mas Ian," jawab Rusdi dengan pandangan menerawang.
"Oh, kenapa!" Ian memperhatikan Rusdi dengan seksama.
"San, adik Fafa kecelakaan," jawab Rusdi singkat.
Rusdi termangu. Uang 50 juta tidaklah sedikit, sedangkan saat ini tabungannya hanya 20 juta. Rusdi dilema, apakah sebaiknya dia langsung membicarakan dengan Ian atau memberitahu Tini dahulu.
Andrian terus memperhatikan Rusdi. Melihat ekspresi Rusdi yang demikian, Andrian paham pasti ada yang tidak beres dengan keponakannya. Beberapa saat kemudian, Rusdi menghela napas dalam. Dia bertekad sekarang juga akan meminta bantuan Andrian agar memberi pinjaman.
"Mas Ian, apakah saya bisa minta bantuan?" ucap Rusdi.
"Bantuan!" respon Ian penasaran.
"Iya, saya ingin meminjam uang dan pembayarannya melalui potong gaji langsung," pinta Rusdi.
"Untuk apa!" tanya Ian tertarik.
"Biaya operasi dan perawatan keponakan saya sekitar 50 juta, Sedangkan saat ini, tabungan saya belum cukup."
Ian mengangguk. Sepertinya anggukan Andrian adalah pertanda baik, Rusdi tersenyum kecil.
"Kirim nomor rekening, nanti kutransfer!" Rusdi langsung mengembuskan napas lega.
"Mas Ian, terima ka-," Rusdi belum menyelesaikan kalimatnya sudah dipotong Ian.
"Ya. Tetapi ada syaratnya!" ucap Ian sengaja dijeda dan memperlihatkan wajah menyeringai.
Rusdi langsung menelan ludah susah payah, menyaksikan hal itu. 'Ada syaratnya? Bolehkan mencabut perkataan yang tadi?' batinnya. Rusdi mendadak sangat menyesal telah meminta bantuan Ian. Siapa yang tidak kenal Tuan Muda Andrian--yang lebih dikenal dengan panggilan Ian--dengan semua sepak terjangnya.
***
Adric Andrian, usia 30 tahun. Dia adalah Pendiri AA Corp. Perusahaan yang bergerak di bidang IT. Sebagai konsultan IT beberapa instansi pemerintah, swasta, perusahaan besar dalam dan luar negeri. Perusahaan yang dikelola oleh teman-teman kuliah Ian. Sedangkan Ian sendiri, selalu berada di laboratorium dan berkutat dengan kegemarannya. Yaitu menciptakan berbagai peralatan berteknologi tinggi.
Soal penampilan? Jangan ditanyakan lagi. Keluarga besar saja enggan bertemu apalagi berdekatan dengan dia. Bahkan dengan tega menjulukinya orang gila. Bagaimana tidak! Ian dengan tubuh kurus tinggi menjulang, rambut sepinggang, berewok, belum lagi sebatang rokok selalu terselip di kedua jarinya. Penampilan yang sangat berantakan untuk ukuran seorang Big Boss. Ian, seorang asosial dan lumpuh. Hidupnya bergantung pada kursi roda. Ya, Ian menderita paraplegia sejak usia 10 tahun karena kecelakaan yang melibatkan seluruh anggota keluarganya.
Saat kecelakaan mobil, ayah dan ibu Ian menderita luka paling parah. Setelah mendapatkan perawatan beberapa hari di rumah sakit, akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia. Ian adalah satu-satunya korban yang masih selamat, walaupun dengan keadaan seperti sekarang ini. Sejak saat itu, Ian kecil menjadi sosok yang dingin dan tidak tersentuh, sulit berteman dengan siapapun, kecuali tiga orang sahabatnya.
Di rumah, dia hanya mau berdekatan dengan Rusdi dan Tini sebagai pelayan. Rusdi sendiri sudah menjadi pelayan di keluarga Andrian sejak lama. Andrian kecil dititipkan pada mereka oleh mendiang orangtua Andrian kala menjelang ajal.
"Ceritakan keponakanmu, Paman!" perintah Ian sesaat setelah meletakkan ponselnya di atas meja.
"Fathimah, dipanggil Fafa. Saat ini kuliah di Universitas Islam jurusan Pendidikan Agama Islam. Adiknya bernama Ikhsan. Mereka yatim piatu. Da-," perkataan Rusdi belum selesai dan sudah dipotong oleh Ian.
"Umurnya berapa?" tanya Ian
"20 tahun. Mas Ian," jawab Rusdi.
"Fix. Aku akan menikahinya!" ujar Ian dengan ekspresi datar.
"Ap-apa?!" seru Rusdi terkejut dan melongo.
"Suruh dia menghubungiku. Sekarang!" perintah Ian.
"Ba-baik Mas Ian." Rusdi langsung mengambil ponsel dari sakunya. Dengan sedikit gemetar men-dial nomor ponsel Fafa. Hanya butuh dua kali nada dering, sudah terdengar suara Fafa.
"Assalamualaikum, Paklik!"
"Wa alaikumusalam, Nduk. Bisakah Paklik bicara sedikit?"
"Iya, Paklik. Bisa."
"Nduk, sebelumnya Paklik minta maaf--Rusdi diam sesaat--tadi Paklik inisiatif meminta bantuan Boss. Beliau bersedia membantu, tapi ada syaratnya," ujar Rusdi hati-hati.
"Syaratnya apa Paklik? Fafa bersedia memenuhinya," ujar Fafa.
"Ha! Kamu tidak bertanya apa syaratnya, Nduk?" tanya Rusdi.
"Tidak Paklik, Fa percaya." Rusdi langsung benggong. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa keponakannya itu percaya begitu saja.
"Nduk, kamu hubungi Beliau langsung ya! Paklik kirimi nomor ponselnya," saran Rusdi.
"Iya, Paklik."
"Ya sudah, Paklik tutup dulu. Assalamualaikum."
"Wa alaikumusalam."
Rusdi segera mengirimkan no ponsel Andrian kepada Fafa. Beberapa saat kemudian, ponsel Ian berbunyi. Ian secepatnya menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum."
"Hhmm."
"Apakah benar ini nomor ponsel Mas Ian?"
"Hhmm."
"Alhamdulillah. Saya ingin mengucapkan terima kasih karenaas Ian berkenan membantu biaya pengobatan adik saya."
"Hhmm. Apa kamu tidak ingin tau apa syaratnya?"
"Saya sudah mengatakan pada Paklik Di, jika saya menyetujui semua persyaratannya."
"Hhmm. Baiklah. Nanti, biar diurus Paman."
"Maaf, kalau boleh tahu. Apa persyaratannya?"
"Aku akan menikahimu, persiapkan dirimu. Masalah biaya pengobatan, anggap saja sudah lunas."
"Apa?!" seru Fafa. Dia sangat terkejut dengan syarat yang diajukan Ian. Ponsel di genggaman tangan Fafa langsung terlepas dan jatuh. Fafa linglung, tak percaya dengan syarat yang sudah dia iyakan.
***
Ian tersenyum miring kala mendengar suara terkejut Fafa. Dengan santai, Ian meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Aldric Andrian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Bayangan bagaimana Fafa-gadis yang sederhana dan ceria. Bertemu dengan Ian-yang dingin dan semena-mena. Hal ini membuat Rusdi geleng-geleng tak percaya.
"Ada apa!" tanya Ian.
Ian terus memperhatikan Rusdi. Dia tersenyum tipis dan hampir tidak terlihat.
"Urus semuanya. Aku mau istirahat!"
Rusdi langsung mendorong kursi roda Ian keluar dari laboratorium, menuju ke ranjang. Dia segera membantu Ian pindah ke atas ranjang.
"Mas Ian. Paman undur diri," pamit Rusdi beringsut keluar kamar. Ian hanya menggangguk.
Sepeninggal Rusdi, Ian meraih tab yang ada di atas nakas. Segera saja dia mengaktifkan Privat Aplication.
Rusdi langsung menuju ke paviliun yang ada di sebelah kanan Rumah utama.
Tok tok
"Assalamualaikum,""Wa alaykumusalam," sahut Tini.
Pintu paviliun terbuka lebar. Tini langsung mengecup punggung telapak tangan Rusdi.
"Masuk, Bang!"
"Iya, Alhamdulillah."
Rusdi langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu.
"Dik, tolong duduk sini sebentar, ambil minumnya nanti saja!" lanjut Rusdi. Tini langsung duduk di sebelah Rusdi.
"Ada apa, Bang. Tumben sekali!" ujar Tini penasaran.
"Ini, barusan Fafa telpon. San kecelakaan, dia butuh biaya untuk perawatan San di rumah sakit."
"Innalillahi wa innaillahi rojiun. Terus sekarang bagaimana keadaan San, Bang!"
"Alhamdulillah sudah ditangani. Hanya saja dia harus dioperasi bagian lututnya."
Rusdi diam sejenak, memberi waktu pada Tini untuk mencerna kabar itu.
"Terus!"
"Dik. Fafa butuh dana un-,"
"Langsung dikirimi aja, Bang. Kasihan anak itu, mereka hanya punya kita sebagai orang tua."
"Masalahnya, Dik. Tabungan kita nggak cukup!" ujar Rusdi sambil menghela napas dalam.
"Apa kita pinjam Mas Ian!" usul Tini.
"Maaf Dik, tadi Abang sudah bicara dengan Mas Ian. Abang tidak memberitahumu terlebih dahulu."
"Tidak apa-apa Bang, yang penting anak-anak. Lalu apa Mas Ian menolak atau bagaimana?"
Rusdi menghela napas dalam. Entahlah, sekarang dia bimbang dan sedikit menyesal dengan tindakannya tadi.
"Nah di situ letak masalahnya, Dik. Mas Ian mau membantu tapi ada syaratnya!" papar Rusdi.
"Alhamdulillah, syaratnya apa Bang!"
"Fafa menikah dengan Mas Ian!"
"Apa?!" seru Tini langsung menutup mulut dengan telapak tangan.
"Bang, apa tidak salah? Ma-Mas Ian ingin menikahi Fafa? Memang Abang mengijinkan Fafa menikah dengan Mas Ian!" lanjut Tini. Rusdi mendesah resah.
"Dik, Fafa sudah menyetujuinya!"
"Apa?!"
"Tadi, Mas Ian bicara langsung dengan Fafa dan dia langsung meyetujui tanpa bertanya apa syaratnya." Tini berusaha menormalkan keterkejutannya. 'Anak itu, bagaimana bisa dia melempar diri dengan sukarela pada Singa!' batin Tini.
"Ya sudah. Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang, Abang segera ganti baju gih, mau mandi?" tawar Tini. Rusdi mengangguk.
"Nggak usah, Dik. Cuci muka sama ganti baju aja."
Rusdi dan Tini tidak menyadari, jika percakapan tengah malam mereka turut didengar Ian. Saat ini, Ian sedang tersenyum puas di atas ranjang. Ian sendiri tidak menyangka jika dia mengajukan syarat konyol itu. Tapi tidak apa-apalah. Ian tersenyum menyeringai.
note:
Nduk adalah kata ganti untuk panggilan nama anak perempuan.
02 April 2021
Kediri-Indonesia
Rusdi dan Tini tidak menyadari, jika percakapan malam ini turut didengar Ian. Saat ini Ian sedang tersenyum puas di atas ranjang. Ian sendiri tidak menyangka jika dia mengajukan syarat konyol itu. Tapi tidak apa-apalah. Ian tersenyum menyeringai.***Kota KediriKeesokan hari, selepas sholat subuh di masjid yang ada di komplek rumah sakit. Fafa berdiam diri sejenak, memperhatikan perawat yang mulai lalu lalang membagikan peralatan mandi pasien. Fafa bangkit dan bersegera melangkah kembali ke ruang inap San.Drettt dretttPonsel Fafa bergetar.'Paklik Di!' seru Fafa dalam hati. Fafa langsung berhenti, kemudian bersandar di tiang yang ada di lorong rumah sakit. Segera saja menggeser tombol gagang telpon warna hijau"Assalamu'alaykum, Paklik," sapa Fafa."Wa alaykumusalam, Fa," jawab Rusdi."Bagaimana Paklik?" tanya Fafa sedikit tidak tenang."Alhamdulillah, Fa. Untuk biaya San sudah ada tinggal kirim saja
'Apakah aku sudah mulai tertarik padanya!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Senyum seujung bibir langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.Ian menoleh dan mendapati Rusdi sedang menatapnya. Entah bagaimana reaksi Rusdi mengetahui dia mencari informasi tentang Fafa."Sudah?" tanya Ian singkat."Sudah, Mas Ian. Berkas yang kemarin, dan paket sudah datang. Semua sudah siap di lab," jelas Rusdi."Hhmm," dehem Ian sembari melajukan kursi roda secara otomatis mendekati pintu lab. Sebelum memutar handle pintu, Ian menoleh pada Rusdi."Paman, nanti siang tidak usah ke sini. Waktu makan malam saja!" perintah Ian."Siap Mas Ian. Paman undur diri." Rusdi langsung keluar dari kamar utama.Seperti itulah Ian jika sudah mulai aktifitasnya di dalam lab. Dia bahkan pernah berhari-hari tidak keluar kamar untuk menyelesaikan eksperimennya.
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa."Iya Kak, fii Amanillah,""Aamiin.""Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San."Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah.San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa."Assalamu'alaykum," lanjut Fafa."Wa alaykumusalam."Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diamb
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.***Kota KediriSekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam."Assalamu'alayku
Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali.Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.Tok tokPintu langsung terbuka lebar."Mas Ian!""Paman ...!"Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya."Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian."Mas Ian ...," suar
"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!""Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik."Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi."Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa."Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa."I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap."Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa."Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,""Wa alaykumusam, Paklik Di."Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,'
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny