"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!"
"Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik.
"Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi.
"Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa.
"Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa.
"I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap.
"Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa.
"Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,"
"Wa alaykumusam, Paklik Di."
Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,' batin Tini.
"Bang Bang Rusdi," panggil Tini. Rusdi tetap asyik dengan lamunannya dan menghiraukan panggilan Tini.
"Bang!" panggil Tini menyentak lengan Rusdi.
"Eh iya, Dik! Ada apa?" Rusdi langsung menoleh ke arah Tini.
"Ada apa Bang? Habis bicara dengan Fafa, malah benggong begitu!" tegur Tini. Rusdi menghela napas dalam.
"Dik, tadi Mas Ian menyuruh abang buat cerita soal kondisinya ke Fafa,"
"Lalu!"
"Dia bilang tidak mempermasalahkannya,"
"Lalu masalahnya apa, Bang," tanya Tini gemas.
"Fafa tidak mempermasalahkan kondisi fisik Mas Ian. Bahkan sebelum abang memberinya penjelasan."
"Ya sudahlah Bang. Fafa tidak masalah, ya berarti memang tidak masalah bukan?" ujar Tini sembari mengelus lengan suaminya itu.
"Oiya, Dik. Apakah semua sudah siap?"
"Sudah Bang. Jangan lupa ya Bang, bawain Tini oleh-oleh biasanya itu!" ujar Tini dengan manja.
"Iya, Dik." jawab Rusdi singkat.
Semua pekerjaan Rusdi dan Tini telah usai. Seperti biasa, jika tidak ada tugas dari Ian, keduanya ngobrol di dapur hingga menjelang waktu makan siang. Menu makan siang Ian tidaklah terlalu ribet untuk mempersiapkannya. Apalagi beberapa hari terakhir, hanya minta soup kacang merah atau capcay. Menu yang sangat mudah dan cepat untuk membuatnya.
Sebenarnya, Rusdi dan Tini agak mencemaskan kondisi Ian yang menurun akhir-akhir ini. Apalagi melihat wajah Iaan yang sedikit pucat dan mengalami diare. Rusdi was-was, jika Iaan mengalami komplikasi lagi seperti dahulu. Apalagi sekarang mulai terapi FES lagi.
Sepertinya Rusdi harus bergegas. Waktu sudah semakin siang, harus segera ke kamar Ian untuk menanyakan menu makan siangnya sekaligus berpamitan berangkat menjemput Fafa.
Tok tok
Rusdi langsung masuk setelah mendengar jawaban dari dalam. Dilihat olehnya Ian sedang olah raga mengangkat barbel. Rusdi bernapas lega.
"Mas Ian, makan siangnya ada perubahan tidak?"
"Nggak, soup kacang merah saja!"
"Siap,"
"Kapan berangkat!"
"Setelah makan siang, Mas Ian,"
"Hhmm, jadi benar ke sini naik kereta api?"
"Iya, Mas Ian."
Ian langsung menyudahi olah raganya. Menyeka pelan keringat yang bercucuran. Entah kenapa Rusdi merasa keringat Ian sekarang berlebihan. Memperhatikan Ian nyaman dengan itu, Rusdi urung bertanya.
Akhir-akhir ini terlalu banyak perubahan pada Ian. Mulai dari mood yang naik turun, sering sekali batuk, keringat berlebihan, diare, kulitnya juga lebih pucat.
"Mas Ian bagaimana kondisinya sekarang?"
"Aku nggak papa. Akhir-akhir ini mudah lelah, lemas. Mungkin karena diare itu."
"Apa tidak sebaiknya ke rumah sakit?" tanya Rusdi hati-hati.
"Tidak. Nanti saja, setelah menikah. Buatkan janji sekalian, Paman!"
Rusdi mengangguk, mendengar ucapan Ian.
Senang, itulah yang dirasakan sekarang. Biasanya Ian menolak bila diajak ke rumah sakit untuk check up dan harus dipaksa dahulu. Sia-sia dan muak, kata kunci Ian menolaknya. Tapi lihatlah sekarang, dengan senang hati ke rumah sakit. Rusdi tersenyum lebar dan langsung keluar kamar Ian. Sungguh Rusdi belum mengetahui apa yang telah direncanakan oleh Ian.
Kurang lebih 30 menit kemudian, Rusdi membawa nampan makan siang dan langsung meletakkan di atas meja.
***
Kediaman Fafa di Kediri
Hari sudah mulai petang, Fafa bersiap menutup toko. Ikhsan yang duduk di teras bersama teman-temannya juga mulai bubar.
"Mbak Fa, pulang dulu, Assalamu'alaykum," pamit Hisyam.
"Iya, fii Amanillah."
Wa alaykumusalam," jawab Fafa.
"Kak, Paklik jadi datang?" tanya Ikhsan sembari bangkit dari duduknya.
"Iya, Dik. Mungkin nanti malam baru nyampe."
"San masuk dulu," pamitnya.
"Iya," jawab Fafa singkat.
Fafa langsung mengunci pintu toko dan beranjak masuk ke dalam rumah. Toko Loundry Amanah adalah toko peninggalan mendiang ayahnya. Penghasilan toko ini salah satu penopang kehidupan sehari-hari Fafa dan Ikhsan. Di rumah Fafa juga mengajar mengaji kitab dan pelajaran sekolah anak SD selepas pulang kuliah sampai sebelum mahgrib. Sedangkan Ikhsan menjadi salah satu marbot di Masjid Besar Kota Kediri. Selama kakinya masih sakit, aktifitas Ikhsan hanya ke sekolah. Untuk satu minggu ke depan Fafa sudah ijin tidak mengikuti perkuliahan. Begitu pula Ikhsan, Fafa sudah mengajukan ijin untuk tidak masuk sekolah.
Setelah menyelesaikan sholat mahgrib, barulah keduanya makan malam. Hari ini sengaja toko tidak buka malam hari karena pakliknya akan datang.
Tok Tok
"Assalamu'alaykum,"
"Wa alaykumusalam," jawab Fafa dan Ikhsan bersamaan.
Fafa langsung beranjak menuju pintu dan langsung membukanya.
"Paklik Di!" seru Fafa langsung meraih telapak tangan Rusdi dan mengecupnya.
"Masuk Paklik," ajak Fafa.
Rusdi langsung masuk menyeret kopernya. Ikhsan dengan tertatih berjalan mendekati Rusdi yang baru saja duduk di kursi yabg ada di ruang tamu. Memandang Rusdi dengan senyum lebar dan mata berbinar.
"Paklik!"
"San," ujar Rusdi langsung berdiri dan merangkul keponakannya itu.
"Gimana kabarnya, Le?"
"Alhamdulillah, baik, Paklik. Ayo duduk dulu Paklik," ajak Ikhsan.
Keduanya langsung duduk, sedangkan Fafa langsung ke dapur untuk membuatkan minuman hangat. Tak berapa lama, Fafa kembali dengan nampan yang di atasnya ada tiga gelas teh hangat dan kue bolu bikinannya tadi sore. Rusdi mengangguk.
"Paklik, mandi ya? Fa rebuskan air buat mandi dulu,"
"Iya, Nduk."
Fafa segera beranjak ke dapur. Tak lama kemudian bergabung lagi melanjutkan obrolan dengan Paklik dan Ikhsan.
Drett drett
Ponsel Rusdi berdering.
'Mas Ian?' batinnya, segera saja Rusdi menggeser tombol gagang telpon warna hijau.
"Assalamu'alaykum Mas Ian," sapa Rusdi.
"Hhmm,"
"Iya, ini paman sudah sampai," seru Rusdi.
"Hhmm, bagaimana dia?" tanya Ian. Rusdi tersenyum geli, mendengar pertanyaan Ian. Pura-puranya cuek ternyata perhatian juga.
"Fafa di dapur, ini paman dan adiknya ada di ruang tamu," jelas Rusdi.
"Hhmm," dehem Ian, setelah itu langsung memutuskan panggilannya. Rusdi menggeleng sembari terus tersenyum kecil.
"Kenapa Paklik!" selidik Ikhsan penasaran.
"Calon kakak iparmu!" jawab Rusdi dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya.
"Oh, orangnya memang seperti itu ya?" tanya Ikhsan.
"Maksudnya, Le!"
"Menyeramkan begitu," jawab singkat Ikhsan.
"Apaan sih Dik," sahut Fafa.
"Lhoh benar Paklik, Kak Fa aja pertama kali liat fotonya langsung shock," jawab Ikhsan dengan cekikikan.
"Ya, begitulah. Tapi kalau kamu sudah mengenalnya, Mas Ian itu baik. Buktinya Paklikmu ini sampai sekarang tetap kerja di sana."
"Iya juga sih, Paklik." Ikhsan menjawabnya dengan cengiran.
***
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajah, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,
Dai langsung berdiri mengajak Fafa masuk ke rumah utama. Saat Fafa akan masuk ke dalam rumah, langkahnya langsung terhenti.Fafa gugup, seolah kakinya enggan diperintah melangkah. Masih terpaku di depan pintu. Dilihatnya Ian juga menuju ke meja makan. Merasa diperhatikan Ian lantas menghentikan laju otomatis kursi rodanya. Sedangkan yang lain langsung menuju meja makan. Fafa tetap terpaku di tempatnya. Perlahan Ian mendekati Fafa."Masuk!" perintah Ian.Tanpa menjawabnya, Fafa langsung berjalan dibelakang Ian.HuffFafa menghembuskan napas lega. Berada di dekat Ian, seakan mencekiknya. Bagaimana jika sudah menikah?BruggFafa menabrak kursi roda Ian yang berhenti mendadak."Maaf," cicit Fafa."Hhmm," Ian hanya berdehem.Keduanya telah sampai di meja makan. Ian tersenyum tipis, hatinya menghangat. Setelah 20 tahun, baru terjadi sekali ini. Rumah besar yang biasanya selalu sepi dan hari ini b
Aagghh"Apa-apaan ini! Fafa adalah milikku!" gumam Ian sembari terus menatap tab-nya, aktifitas berakhir saat Tini dan Rusdi membereskan meja makan.Ian langsung menutup aplikasi CCTV, kemudian membuka aplikasi privat miliknya. Sungguh, melihat pemandangan itu, dirinya langsung terdiam membeku.Dia melihat Fafa tidur meringkuk. Sebenarnya bukan itu yang membuat Ian membeku. Rambut panjang sepinggang Fafa yang terurailah penyebabnya. "Cantik," gumam Ian pelan.Dia seolah lupa jika tadi siang sudah membuat gadis itu terluka. Ian terus memperhatikan Fafa dalam diam. Ternyata gadis itu sama dengannya, memiliki rambut lurus dan panjang sepinggang. Tanpa sadar Ian tersenyum dan mengusap layar tab-nya. "Gadis itu, pulas sekali tidurnya," gumamnya pelan.Ian langsung menutup aplikasi privat miliknya. Sebelum pikirannya melayang kemana-mana. Bagaimanapun tampilan Fafa yang sedang tidur sangat menggoda untuk dilewatkan. Ian l
Tamu undangan tidak banyak, hanya 12 orang. Ian hanya mengundang adik dari mending ayahnya, keluarga sahabat, dan dokter Thomas. Ian langsung menuju meja-dimana akad akan dilangsungkan. Setelah pengecekan kembali beberapa dokumen, akhirnya acara segera dimulai.Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 WIB. Inilah saatnya prosesi akad nikah. Terdengar suara dari pembawa acara, untuk segera bersiap karena acara segera dimulai. Adapun urutan prosesinya adalah1. Sambutan2. Pembacaan ayat Alquran3. Khutbah pernikahan4. Akad nikah5. DoaRasanya waktu lambat berjalan. Ian begitu tegang, berdebar, dan sedikit panas dingin. Walaupun pernikahan ini bukan pernikahan karena cinta, tetap saja aura syahdu dan khidmat sekaligus.Tak berbeda jauh dari Ian, Fafa yang berada di kamar tamu juga merasakan demikian. Dia hanya bisa melantunkan doa di dalam hati, untuk mengurai kegugupannya. Meminta pada-Nya agar diberi kekuatan dan kesabar
Ian memperlakukan Fafa demikian bukanlah tanpa alasan.Fafa tidak menyadari, jika interaksi dirinya dan Ian sejak tadi terus diawasi oleh sepasang mata. Beda dengan Ian, dia sudah mengetahuinya sejak semua tamu undangan menuju ruang tengah.Ian tersenyum menanggapinya. Tatapan sepasang mata terluka. Katakanlah dia kejam, tapi memang itulah yang harus lakukan. Dia tidak suka jika Frans semakin menginginkan istrinya.Awalnya, semua pasti sudah memperkirakan bagaimana sikap Ian memperlakukan Fafa setelah menikah. Hal itu adalah wajar, seumur hidup Ian tidak pernah berdekatan dengan perempuan manapun, kecuali mami sahabatnya.Anggapan itu tidaklah benar. Ian sudah banyak merenung semalam. Mulai detik akad nikah dia ucapkan, sejak itulah dia berjanji akan memperlakukan Fafa seutuhnya sebagai istri. Secara materi, Fafa pasti mendapatkannya.Rumah tangga tidah hanya soal materi, tapi juga kesenangan. Ian sadar, janjinya tidaklah mudah u
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny