Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.
Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.
***
Keesokan harinya
Aktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca Alquran, Fafa mulai berkutat di dapur. Menyiapkan minuman hangat dan menu sarapan.
Sepulangnya dari masjid, Rusdi segera menuju ke dapur. Tidak ada yang berubah dengan rumah ini, rumah warisan orang tuanya dan sudah diserahkan kepada Fafa dan Ikhsan. Rusdi tersenyum melihat kedekatan Ikhsan dan Fafa. Fafa dengan masakannya di depan kompor. Sedangkan Ikhsan belajar di meja makan yang tak jauh dari Fafa. Ikhsan sesekali menikmati singkong rebus dan kopi. Persis seperti mending mas Ruslan dan dirinya dahulu. Rusdi tersenyum mengingat kenangan dengan mendiang kakaknya.
Ehhem Ehhem
Dehem Rusdi, membuat Fafa dan Ikhsan menoleh.
"Assalamu'alaykum," sapa Rusdi.
"Wa alaykumusalam," jawab Fafa dan Ikhsan bersamaan.
"Silahkan duduk dulu, Paklik. Fafa sudah bikinkan teh hangat!"
"Iya, Nduk." Rusdi langsung duduk di dekat Ikhsan. Lalu mengambil secangkir teh hangat dan menyesap isinya perlahan. Dirinya mengamati Ikhsan yang asyik mengerjakan tugas sekolahnya.
"Masih banyak Le tugasnya?"
"Iya, Paklik. Sebagai ganti tugas selama satu minggu tidak masuk sekolah. Paklik, kalau misalnya nanti siang, San bawa buku pelajaran nggak papa?"
"Ya nggak papa Le, tugasnya bisa dikerjakan di sana juga. Kalau ada yang nggak bisa, bisa tanya suami kakakmu!"
"He ..., he ..., malu."
"Kenapa malu,
Le! Calon suami kakakmu itu pintar. Dia ahli buat peralatan canggih," ujar Rusdi. Ikhsan langsung tertarik mendengar perkataan Rusdi.
"Benarkah? Wah asyik! Nanti San mau minta tolong menyelesaikan tugas robotik!" seru Ikhsan. Fafa melihat adiknya antusias geleng-geleng. 'Apa dia lupa, kalau kemarin malam bilang orangnya menyeramkan,' batin Fafa.
Jadwal Fafa hari ini hanya mengantar Ikhsan ke rumah sakit. Sedangkan Rusdi belanja oleh-oleh. Ketiganya berharap sebelum pukul 14:00 WIB sudah berkumpul di rumah. Untuk sekedar bisa istirahat sejenak dan membersihkan diri sebelum berangkat ke Jakarta naik kereta api-sesuai permintaan Ikhsan. Untuk itu Fafa berniat berangkat ke rumah sakit sepagi mungkin, karena loket pendaftaran sudah buka sejak pukul 07:00 WIB.
"Dik, sudah pukul 06:00 WIB, mandi dulu sana gih! Air hangatnya sudah kakak siapkan," perintah Fafa. Ikhsan langsung membereskan buku-bukunya, kemudian membawanya masuk ke kamarnya.
Setelah sarapan, Fafa dan Ikhsan langsung meluncur ke rumah sakit dengan naik motor. Sedangkan Rusdi masih ada di rumah, karena toko langganan oleh-oleh baru buka pukul 07:30 WIB. Rencananya setelah dari rumah sakit, Fafa dan Ikhsan akan berkunjung ke makam kedua orang tuanya.
Setelah membersihkan diri, Rusdi ke halaman depan. Ternyata tetangga sekaligus kawan Rusdi mengobrol di pos, yang tidak jauh dengan rumah Fafa. Langsung saja, Rusdi bergabung sekaligus bernostalgia dengan tetangga kanan kiri. Tetangga sebelah rumah Fafa: Pak Budi, Pak Eko, dan Pak Junaedi. Melihat kedatangan Rusdi ketiganya tersenyum lebar. Ya, mereka memang sepantaran, ketiganya kawan Rusdi sekolah maupun bermain. Setelah ayah dan ibu Fafa meninggal dunia, Rusdi sengaja meminta bantuan mereka untuk ikut mengawasi kedua keponakannya itu. Bagaimanapun, Fafa dan Ikhsan adalah tanggungjawabnya walaupun mereka sudah remaja. Pengawasan tetaplah sangat penting.
Menjelang dhuhur, Rusdi sudah sampai di rumah kembali. Istirahat sejenak, kemudian packing oleh-oleh yang dipesan istrinya. Rusdi lantas berselonjor di sofa ruang tengah. Memejamkan matanya dan membatin, 'Mas Ruslan maafkan Di, yang belum bisa membantu saat Ikhsan mendapat musibah. Pada akhirnya ini yang terjadi, Fafa menikah diusia muda. Semoga Fafa sabar menghadapi Ian. Mas Ruslan, Andrian itu sebenarnya laki-laki baik. Akan tetapi karena musibah yang bertubi-tubi disaat usianya masih anak-anak, menjadikan orang seperti sekarang ini. Mas Ruslan dan Mbak Siti tenang saja, Di tetap mengawasi Fafa, walaupun dia sudah menikah. Sekali lagi, maafkan Di.'
Ikhsan dan Fafa sudah tiba di rumah sekitar pukul 13:00 WIB. Setelah membersihkan diri dan sholat dhuhur. Fafa segera membangunkan Rusdi.
"Paklik bangun!" ucap Fafa pelan sambil menggoyang lengan Rusdi.
Rusdi mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu mengusap wajah dengan telapak tangannya. Menoleh melihat Fafa yang sedang duduk di single sofa.
"Nduk, sudah pulang?" tanya Rusdi sembari duduk menegakkan badannya menghadap Fafa.
"Iya, Paklik." Rusdi melihat jam di dinding, sudah pukul 13:45 WIB. Ternyata lama tidurnya tadi.
"Paklik mau mandi dulu terus sholat dhuhur," ujar Rusdi langsung bangkit dari duduknya.
Rusdi, Fafa, dan Ikhsan bergegas berangkat ke Stasiun Kediri, begitu waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB. Ikhsan paling antusias karena keinginannya terwujud, ke Jakarta naik kereta api eksekutif. Setelah menunggu tak kurang dari 30 menit, Kereta Gajayana jurusan Malang-Jakarta datang. Dengan langkah tertatih dan wajah berbinar Ikhsan naik ke atas kereta.
"Dik, hati-hati," tegur Fafa.
"Iya Kak," jawab Ikhsan riang.
"Sudah, biarkan saja Nduk," Rusdi menengahinya.
Fafa langsung membantu Rusdi, membawakan tas kecil yang isinya oleh-oleh. Sedangkan Rusdi menyeret kopernya sendiri dan koper Ikhsan.
Setelah mendapat tempat duduknya. Ikhsan masih saja berdecak kagum, sembari menunjukkan pada teman satu gengnya. Tak berapa lama kereta berangkat.
***
Di Kediaman Andrian, Jakarta
Menjelang maghrib, Rusdi mengirim chat pada Ian, jika kereta sudah berangkat dan kemungkinan besok selepas subuh baru sampai Jakarta. Ian langsung mengambil ponselnya yang ada di saku kursi rodanya. Setelah membaca dan membalas chat tersebut, Ian bergegas masuk ke dalam lab-nya.
Jika Rusdi ada tugas luar seperti sekarang ini, maka tugas yang biasa dikerjakannya diambil alih oleh Anto. Dua orang inilah yang selalu melayani Ian, selain Tini. Anto sendiri merupakan sopir mengantikan tugas Rusdi. Anto direkrut oleh Ian sepuluh tahun lalu, saat Rusdi mengalami kecelakaan yang mengharuskannya bedrest selama 20 hari.
Semalam, setelah makan malam Ian terus berada di lab menyelesaikan proyeknya. Dia mendongakkan kepala, "sudah pukul 03:30 WIB," gumamnya pelan. Ini berarti calon pengantinnya sudah tiba di Jakarta. Ian segera keluar dari lab. Mengayuh kursi roda perlahan. Lagi dan lagi, tempat favorit-nya. Berdiam diri di sebelah jendela kaca. Tampak taman buatan mendiang ibu. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,
Dai langsung berdiri mengajak Fafa masuk ke rumah utama. Saat Fafa akan masuk ke dalam rumah, langkahnya langsung terhenti.Fafa gugup, seolah kakinya enggan diperintah melangkah. Masih terpaku di depan pintu. Dilihatnya Ian juga menuju ke meja makan. Merasa diperhatikan Ian lantas menghentikan laju otomatis kursi rodanya. Sedangkan yang lain langsung menuju meja makan. Fafa tetap terpaku di tempatnya. Perlahan Ian mendekati Fafa."Masuk!" perintah Ian.Tanpa menjawabnya, Fafa langsung berjalan dibelakang Ian.HuffFafa menghembuskan napas lega. Berada di dekat Ian, seakan mencekiknya. Bagaimana jika sudah menikah?BruggFafa menabrak kursi roda Ian yang berhenti mendadak."Maaf," cicit Fafa."Hhmm," Ian hanya berdehem.Keduanya telah sampai di meja makan. Ian tersenyum tipis, hatinya menghangat. Setelah 20 tahun, baru terjadi sekali ini. Rumah besar yang biasanya selalu sepi dan hari ini b
Aagghh"Apa-apaan ini! Fafa adalah milikku!" gumam Ian sembari terus menatap tab-nya, aktifitas berakhir saat Tini dan Rusdi membereskan meja makan.Ian langsung menutup aplikasi CCTV, kemudian membuka aplikasi privat miliknya. Sungguh, melihat pemandangan itu, dirinya langsung terdiam membeku.Dia melihat Fafa tidur meringkuk. Sebenarnya bukan itu yang membuat Ian membeku. Rambut panjang sepinggang Fafa yang terurailah penyebabnya. "Cantik," gumam Ian pelan.Dia seolah lupa jika tadi siang sudah membuat gadis itu terluka. Ian terus memperhatikan Fafa dalam diam. Ternyata gadis itu sama dengannya, memiliki rambut lurus dan panjang sepinggang. Tanpa sadar Ian tersenyum dan mengusap layar tab-nya. "Gadis itu, pulas sekali tidurnya," gumamnya pelan.Ian langsung menutup aplikasi privat miliknya. Sebelum pikirannya melayang kemana-mana. Bagaimanapun tampilan Fafa yang sedang tidur sangat menggoda untuk dilewatkan. Ian l
Tamu undangan tidak banyak, hanya 12 orang. Ian hanya mengundang adik dari mending ayahnya, keluarga sahabat, dan dokter Thomas. Ian langsung menuju meja-dimana akad akan dilangsungkan. Setelah pengecekan kembali beberapa dokumen, akhirnya acara segera dimulai.Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 WIB. Inilah saatnya prosesi akad nikah. Terdengar suara dari pembawa acara, untuk segera bersiap karena acara segera dimulai. Adapun urutan prosesinya adalah1. Sambutan2. Pembacaan ayat Alquran3. Khutbah pernikahan4. Akad nikah5. DoaRasanya waktu lambat berjalan. Ian begitu tegang, berdebar, dan sedikit panas dingin. Walaupun pernikahan ini bukan pernikahan karena cinta, tetap saja aura syahdu dan khidmat sekaligus.Tak berbeda jauh dari Ian, Fafa yang berada di kamar tamu juga merasakan demikian. Dia hanya bisa melantunkan doa di dalam hati, untuk mengurai kegugupannya. Meminta pada-Nya agar diberi kekuatan dan kesabar
Ian memperlakukan Fafa demikian bukanlah tanpa alasan.Fafa tidak menyadari, jika interaksi dirinya dan Ian sejak tadi terus diawasi oleh sepasang mata. Beda dengan Ian, dia sudah mengetahuinya sejak semua tamu undangan menuju ruang tengah.Ian tersenyum menanggapinya. Tatapan sepasang mata terluka. Katakanlah dia kejam, tapi memang itulah yang harus lakukan. Dia tidak suka jika Frans semakin menginginkan istrinya.Awalnya, semua pasti sudah memperkirakan bagaimana sikap Ian memperlakukan Fafa setelah menikah. Hal itu adalah wajar, seumur hidup Ian tidak pernah berdekatan dengan perempuan manapun, kecuali mami sahabatnya.Anggapan itu tidaklah benar. Ian sudah banyak merenung semalam. Mulai detik akad nikah dia ucapkan, sejak itulah dia berjanji akan memperlakukan Fafa seutuhnya sebagai istri. Secara materi, Fafa pasti mendapatkannya.Rumah tangga tidah hanya soal materi, tapi juga kesenangan. Ian sadar, janjinya tidaklah mudah u
"Tidur denganku!" perintah Ian.Fafa langsung membeku ditempat. Dia gugup."A-aku ...," Fafa tidak sanggup berkata-kata lagi. Suaranya tercekat di tenggorokan."Aku apa!" sahut Ian."Aku hanya mau duduk di sini, bukan mau tidur," jawab Fafa sembari menunjuk ke arah ranjang dengan ekspresi sedikit ngeri melihat wajah Ian.Demi apapun, Ian sekarang malu. Bagaimana dia bisa berfikir kalau Fafa akan tidur. Sekarang ini masih siang, tengah hari saja belum! 'Ian otakmu jeniusmu di mana sekarang ini! Memalukan!' batin Ian.Diam-diam Fafa tersenyum tipis melihat Ian meringis. 'Kenapa dia! Ada-ada saja, mau tidur katanya! Apa memang dia ingin segera meniduriku!' batin Fafa, lalu mengusap-usap lengannya yang tiba-tiba merinding."Huh, kenapa merinding begini. Bukankah sekarang dia sudah sah menjadi suamiku! Wajar jika tidur bersama, tapi juga tidak siang-siang begini!" gumam Fafa pelan
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny