'Apakah aku sudah mulai tertarik padanya!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Senyum seujung bibir langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.
Ian menoleh dan mendapati Rusdi sedang menatapnya. Entah bagaimana reaksi Rusdi mengetahui dia mencari informasi tentang Fafa.
"Sudah?" tanya Ian singkat.
"Sudah, Mas Ian. Berkas yang kemarin, dan paket sudah datang. Semua sudah siap di lab," jelas Rusdi.
"Hhmm," dehem Ian sembari melajukan kursi roda secara otomatis mendekati pintu lab. Sebelum memutar handle pintu, Ian menoleh pada Rusdi.
"Paman, nanti siang tidak usah ke sini. Waktu makan malam saja!" perintah Ian.
"Siap Mas Ian. Paman undur diri." Rusdi langsung keluar dari kamar utama.
Seperti itulah Ian jika sudah mulai aktifitasnya di dalam lab. Dia bahkan pernah berhari-hari tidak keluar kamar untuk menyelesaikan eksperimennya.
Ian segera membuka pintu lab, matanya memandang penuh minat paket yang begitu diidamkan. Dia langsung membawa paket tersebut ke dalam ruangan khusus-ruang MiT.
Ruang MiT adalah sebuah ruang yang ada di dalam lab, lagi dan lagi berdinding kaca transparan. Ruangan steril dan hanya Ian sendiri yang bisa masuk, karena menggunakan sandi berupa pindai retina dan rangkaian DNA.
Setelah meletakkan paket diatas meja kaca yang ada di dalam ruang MiT. Ian membuka paket dari Kanada ini dengan hati-hati. Paket istimewa berisi Titanium kelas A untuk proyek persembahan.
Senyum lebar langsung terbit di wajah Ian. "Smart Mosquito (SM) siap dieksekusi!" gumam Ian.
Satu per satu peralatan disiapkan sendiri. Ian pun telah memakai Alat Pelindung Diri (APD), sesaat sebelum memasuki ruang MiT. Pintu otomatis terkunci. Ian menatap takjub tiap bagian SM.
Dengan hati-hati Ian merangkai satu persatu komponen SM menggunakan Helper-robot kecil setinggi 15 cm. Dia terus memantau melalui tab, kelopak matanya enggan berkedip seakan-akan tidak mau kehilangan moment penyatuan itu. Ian menahan napas, kala pemasangan terakhir antena SM. "Hahh, lega ...," desahnya sesaat setelah SM terbentuk sempurna. Inilah saat, menu utama yaitu menanam potongan super kecil titanium ke dalam tubuh SM. Perlahan Helper memasukkan Titanium ke dalam perut SM. Titanium inilah yang nanti yang akan dimasukkan oleh SM melalui gigitan ke dalam tubuh obyek.
"Done," ucap Ian.
Pekerjaan yang memakan waktu lumayan lama, hampir enam jam. Akan tetapi, jika menelisik kembali komponen yang sangat kecil ukurannya. Waktu hampir enam jam, menjadikan proses tersebut termasuk cepat. Ian merapikan beberapa peralatan hingga yang tersisa hanya ada SM dan tab di atas meja kaca ruang MiT.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB, saat melanjutkan ke proses penting yaitu aktifasi. Ian masih terus mengamati SM didepannya. Saat paling ditunggu sejak 15 tahun lalu, saat menggagas proyek ini.
"Luar biasa. Wow ... wow ...!" teriaknya. Ian takjub melihat proses aktifasi berjalan mulus. Ini proyek paling lama yang ditangani. Proyek yang berkali-kali memerlukan pengkajian ulang sebelum memutuskan melanjutkan. Proyek impian sejak remaja. Proyek yang semakin mengukuhkan dedikasi dan eksistensi Ian sebagai tehnokrat.
Ian tersenyum tipis kala mengingat siapa yang akan menjadi targetnya kali ini.
***
Kota Kediri
Selepas sholat ashar, Fafa segera duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang San. Memeriksa beberapa chat dan membalasnya. Rata-rata pelanggan loundry yang menanyakan kenapa dua hari ini toko loundry tutup. Terhitung sejak kemarin, hari Jumat dan Sabtu ini. Padahal kalau weekend begini toko loundry sedang rame-ramenya.
Namanya musibah, mau bagaimana lagi.
'Apa aku chat Bulik Tini saja ya,' batin Fafa. Segera saja mengirim chat, dan ternyata langsung dibaca. Tini tidak menjawab, akan tetapi langsung menghubungi.
"Assalamu'alaykum, Fa!" sapa Tini.
"Wa alaykumusalam, Bulik. Bagaimana kabarnya!"
"Alhamdulillah baik, Fa. Bagaimana kabarnya, Le?" tanya Tini.
"Alhamdulillah udah baikan Bulik, tinggal menunggu operasi lututnya yang mengalami dis-lokasi. In syaa Allah, nanti malam operasi, minta doanya Bulik," papar Fafa.
"Iya Nduk, semoga lancar dan berhasil operasinya. Lantas bagaimana denganmu! Paklikmu sudah memberitahu bukan!"
"Iya Bulik. Menurut Bulik, Fa harus bagaimana ya!" tanya Fafa.
Tini tersenyum mendengar pertanyaan keponakannya itu. Tini membayangkan, bagaimana jika Fafa mengetahui fakta siapa sebenarnya Ian. 'Apakah Fafa masih mau!' batin Tini.
"Nduk, kamu penasaran tidak sama Mas Ian!" ujar Tini.
"Hhmm ..., nggak tau Bulik. Memang kenapa?" tanya Fafa.
"Ahh ..., siapa tau penasaran."
"Sedikit Bulik, hiihii .... Kalau menurut Bulik, dia seperti apa?" tanya Fafa sembari tertawa ngikik.
"Aahh, kamu ni Nduk ditanya malah tanya balik. Menurut Bulik, Mas Ian itu baik, tapi penampilannya sedikit menyeramkan!" ujar Tini.
"Hahh ..., kok bisa. Apa seperti preman?! seru Fafa.
"Mirip!" jawab Tini singkat.
"Bulik! Fafa serius!" Fafa merajuk.
"Kamu itu Nduk, tanya sana sama paklikmu kalau tidak percaya! Kamu sendiri bagaimana pendapatmu mengenai bantuan Mas Ian itu?" tanya Tini.
"Fafa tidak masalah Bulik, terserah sama paklik saja. Jika paklik setuju ya Fafa mau!"
"Kok pasrah gitu! Bulik kira kamu akan menolaknya, Nduk. Siapa tahu kamu sudah punya pacar begitu," ujar Tini.
"Enggak punya pacar Bulik. Ayah kan sudah berpesan tidak boleh pacaran, jika ada yang cocok dan Fafa mau, langsung menikah saja."
Mendengar ucapan Fafa, Tini terharu. 'Apakah tega, dia dan Rusdi menyerahkan Fafa menjadi istri dari Ian? Apakah tidak ada jalan lain, selain kesepakatan itu!' batin Tini.
"Bulik sudah dulu ya, San sudah bangun tidur ini!" lanjut Fafa.
"Iya Nduk, kalau ada apa-apa, segera hubungi paklik atau Bulik ya!"
"Iya. Assalamu'alaykum."
"Wa alaykumusalam."
Panggilan terputus.
"Siapa Kak?" tanya San. Fafa langsung menoleh.
"Bulik Tini,"
"Lhoh, kok nggak dikasih San!" protes San.
"Kamu tadi masih tidur Dik! Bagaimana sekarang rasanya? Masih nyeri!"
"Iya," jawab San singkat.
"Ditahan dulu, nanti setelah dioperasi, in syaa Allah nyerinya berangsur hilang," San hanya mengangguk menganggapi ucapan Fafa.
"Kak, bagaimana dengan biaya rumah sakitnya!" tanya San dengan menatap lekat Fafa.
"Kemarin kakak sudah bicara dengan paklik, in syaa Allah sudah siap Dik!"
"Alhamdulillah," ucap San.
Fafa terdiam, melihat kelegaan di wajah San. 'Jika San mengetahui dari mana uang itu berasal dan syaratnya. Apakah San akan lega seperti itu!' batin Fafa.
Kecelakaan yang menimpa San adalah kasus tabrak lari. Jadi, otomatis semua biaya perawatan akan ditanggung sendiri. Beruntung masih ada yang membantu mengantarkan ke rumah sakit umum.
"Dik, nanti habis sholat magrib kakak pulang dulu ya!" San langsung menghentikan aktifitasnya main game di ponsel.
"Sekarang aja nggak papa, Kak. Bentar lagi Hisyam ke sini!"
"Yaelah Dik, kenapa nggak dari tadi ngomong begitu. Kakak kan habis dhuhur bisa pulang dulu!"
"Yee ..., kok San yang disalahkan. Kakak sendiri tuh yang dari tadi nggak ngasih tau kalo mau pulang dulu!" protes San.
"Ya sudah, kakak pulang dulu ya. Nanti mau dibawakan apa?"
"Roti bakar milo 2, Kak!" Fafa melotot, San nyengir melihat ekspresi kakaknya.
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa.
"Iya Kak, fii Amanillah,"
"Aamiin."
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa."Iya Kak, fii Amanillah,""Aamiin.""Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San."Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah.San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa."Assalamu'alaykum," lanjut Fafa."Wa alaykumusalam."Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diamb
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.***Kota KediriSekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam."Assalamu'alayku
Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali.Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.Tok tokPintu langsung terbuka lebar."Mas Ian!""Paman ...!"Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya."Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian."Mas Ian ...," suar
"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!""Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik."Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi."Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa."Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa."I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap."Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa."Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,""Wa alaykumusam, Paklik Di."Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,'
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny