"T-tuan! Maafkan aku. Aku tidak ada waktu," elaknya pelan.
Moana sangat takut melihat tatapan Heros di depannya, matanya terlihat merah memancarkan kemarahan.
Bahkan bukan hanya itu, Heros meninju dinding di samping kepala Moana, menimbulkan suara yang cukup keras. Untungnya, hanya ada mereka berdua di dalam.
"Tidak ada waktu, kau bilang?!" Bibir Heros sudah membentuk garis, "seorang pelayan restoran sepertimu tidak ada waktu?" Geramnya tajam.
Moana tidak bisa apa-apa selain menunduk, menghindari kemarahan dan bentakan dari Heros. Benar, dia hanya seorang pelayan di sebuah Restoran. Tapi apakah itu sebuah kesalahan?
Di sela-sela sedih dan kesal yang Moana rasakan, Heros memegang dagu dan pipinya dengan sebelah telapak tangan, memaksa Moana untuk mendongak dan menatapnya.
"Sialan! Apa yang sedang kau lihat di bawah sana?!" Heros mencengkram rahang Moana keras, membuat Moana kesakitan.
Kedua tangan Moana tidak tinggal diam, ia berusaha melepaskan tangan Heros di rahangnya, "Sudah Tuan. Lepaskan aku!"
Sayangnya tindakan Moana tidak menimbulkan apa-apa, bahkan tidak bisa membuat tangan Heros lepas karena tenaganya yang jelas jauh kalah.
Namun tindakan yang baru saja Moana lakukan semakin menyulut emosi Heros, pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir Moana. Hampir menciumnya.
PLAK!
"Jangan keterlaluan!"
Nafas Moana terengah-engah, pipinya seketika merah. Air matanya meluncur begitu saja, ini mengingatkannya pada sesuatu yang ia takuti.
Perlahan sekelebat bayangan yang sudah berusaha ia hilangkan selama bertahun-tahun datang kembali. Membuat dadanya sesak dan tubuhnya bergetar.
Heros masih sibuk dengan keterkejutannya karena tamparan Moana, tapi melihat wanita itu yang tiba-tiba aneh di depannya membuat dia kalang kabut.
Heros menempelkan punggung tangannya di kening Moana. Sangat panas. Tubuh Moana yang akan limbung segera dengan cepat Heros peluk.
"Ck! Merepotkan," cetusnya pelan.
Namun Heros tidak urung untuk memapah Moana saat pintu Lift terbuka, membawanya ke penthouse miliknya.
Heros mendudukkan Moana di sebuah sofa besar, menyandarkan punggungnya ke kepala sofa. Setelah melakukan itu Heros berjalan ke arah Pantry, mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air hangat. Ia juga berjalan untuk mengambil kotak obat di lemari kecil bagian atas di sana.
"Minum ini."
Setelah kembali Heros langsung menyodorkan obat demam yang sudah ia buka. Dengan pelan Moana memperbaiki duduknya, mengambil obat yang diberikan Heros dan meminumnya.
"Terima kasih."
"Aku lapar, buatkan aku makanan." Setelah mengatakan itu, Heros menyandarkan punggungnya ke sofa. Menutup matanya dengan sebelah lengannya.
Moana bergeming di tempatnya, apakah Heros baru saja memerintahkan dirinya? Tapi melihat tidak ada lagi orang di ruangan itu dan Heros yang berdiam diri membuat Moana yakin bahwa perintah Heros untuknya.
Perlahan Moana berdiri, melihat sekeliling. Berjalan ke arah Pantry, menghampiri lemari es dan membukannya. Sangat banyak bahan makanan, tapi Moana tidak mahir memasak. Ia hanya bisa membuat mie atau omelete. Mana yang harus ia buat dari kedua itu?
'Lebih baik dua-duanya saja,' batinnya.
Moana mengambil dua buah mie instan dan tiga buah telur. Serta beberapa sayuran segar yang ada.
Ia mulai memasaknya satu persatu, membawa dua mangkuk dan satu piring. Meletakan wajan dan panci di atas kompor. Moana memecahkan telur dan memasukannya ke salah satu mangkuk, memberinya bumbu dan mengocoknya. Ketika selesai ia segera menyalakan api kompor. Menuangkan telur itu di atas wajan.
Seraya menunggu matang telurnya, Moana mulai menunggu air mendidih dan memasukan mie-nya. Setelah setengah matang, ia memasukan bahan masakan yang lain.
Dengan cekatan Moana mematikan sebelah kompor di mana telurnya sudah mulai matang, mengangkat wajannya dan menuangkan telurnya ke atas piring. Di samping itu mie-nya juga sudah matang, dan langsung di masukan ke mangkuk lalu di tata sangat rapih. Mulai dari mie, sayuran, dan potongan-potongan telur di atasnya.
Moana tersenyum, pekerjaannya selesai. Ia mendongak menatap tempat di mana Heros berada. Tak di sangka ternyata Heros sedang melihatnya, memperhatikannya dari jauh. Moana gugup, dengan salah tingkah ia membawa semangkuk mie itu ke meja di depan Heros.
Sebelah alis Heros teangkat, "Hanya satu?" Tanyanya.
"Em, iya."
"Kau sendiri tidak lapar?"
Dengan ragu Moana menggeleng, tapi ternyata sikapnya tidak bekerja sama dengan perutnya. Secara tidak tahu malu perutnya mengeluarkan bunyi tanda lapar.
Heros tertawa kecil seraya melihat Moana yang masih berdiri, ia menepuk sofa si sampingnya. Menyuruhnya duduk.
Moana hanya bisa mengelus tengkuknya malu, dan duduk di samping Heros.
"Ini terlalu banyak," ujar Heros setelah menyuapkan satu sendok masakan Moana.
"Huh?" Moana bingung, jika terlalu banyak, lantas kenapa?
"Bantu aku habiskan ini." Heros menggerakan dagunya ke arah makanan.
Mata Moana silih berganti menatap Heros dan makanan buatannya. Heros mendengus kasar melihat keterlambatan berpikir Moana. Ia segera menggulung mie dengan garpu. Menyodorkannya kepada Moana.
Moana bergeming, bagaimana mungkin ia memakan mie itu dengan garpu yang sudah dipakai Heros? Ia tidak jijik, hanya saja ... apakah Heros tidak masalah?
Melihat Moana yang masih diam, Heros memasukan mie itu ke dalam mulut Moana dengan paksa.
"Aku tidak punya penyakit menular," dengus Heros kesal.
Wajah Moana barusan yang memperlihatkan kebingungan dan rasa jijik sedikit membuat Heros tersinggung.
"Tidak, bukan begitu." Moana serba salah, Heros jadi salah menyimpulkan sikapnya barusan.
Heros tidak menggubris, ia melanjutkan makannya yang memang terasa enak. Sesekali juga menyuapi Moana dengan terpaksa. Ia hanya tidak mau melihat wanita itu lemas dan limbung lagi di hadapannya.
Hingga hanya tersisa airnya, Heros mengangkat mangkuk itu. Meneguk sedikit air mie di dalamnya.
"Kau mau juga?" Tawarnya.
Moana tidak menjawab, tapi Heros memberikannya. Dengan pelan Moana mengambilnya dan meneguknya hingga tandas.
Baru kali ini, Moana makan satu piring berdua. Bahkan dengan sahabatnya pun, --Floria-- tidak pernah. Begitu pun Heros, ia tidak pernah melakukannya juga. Namun entah kenapa ia baru saja sudah suka rela satu sendok dengan seorang wanita yang jelas hampir ia benci.
"Kau boleh pulang."
Mendengar itu membuat Moana senang, apakah dirinya tidak akan diinterogasi lagi atau di paksa untuk menemui tuan Rodhes? Ah, akhirnya. Namun, kesenangan Moana hanya sesaat ketika Heros mengatakan kalimat yang membuatnya menahan nafas.
"Tapi ada sesuatu yang harus kau lakukan."
Heros berdiri setelah mengatakan itu, memasuki sebuah ruangan yang Moana kira adalah kamar Pria itu. Dengan cepat Heros kembali dengan sebuah map di tangannya.
"Apa itu?" Tanya Moana ingin tahu.
Tidak ada jawaban yang keluar, tetapi Heros meletakan benda itu begitu saja di meja. Menggerakan dagunya, "buka saja."
"Peraturan pernikahan?!" Suara Moana menggelegar di seluruh ruangan, membuat mata Heros menyipit bahkan terpejam menahan kesal mendengarnya.
"Pihak pertama, suami. Pihak kedua, istri. Dan, suami selalu benar?" Moana membulatkan matanya, aturan macam apa yang tertera di sini! "Sepertinya ini peraturan yang sangat aneh!" Ia melemparkan map itu ke meja. Menatap Heros kesal. "Aneh? Jadi, kau tidak setuju?" Mengangkat kedus alisnya, "baik. Kalau begitu, kembalikan uang yang sudah ibumu pakai." Sontak Moana diam seperti patung, uang ratusan juta yang sudah ibunya pakai? Dari mana ia bisa mendapatkannya. Astaga! Moana kalut sekali. Ia benar-benar di tempatkan pada situasi yang hampir membuatnya gila. Jangankan memutuskan sesuatu yang dia mau, Moana bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri. "Bagaimana, Moana?" Tanya Heros dengan kedua tangan tertaut di depan dada, bersikap angkuh dan percaya diri bahwa ia akan menang telak. "Tidak ada pilihan lain."Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Moana. Memang benar, bukan? Tidak ada pilihan yang harus ia pilih. Moana tidak bisa membatalkan pernikahan ini meski ia sangat ingin, Mo
Tangan Moana berusaha mendorong dada bidang Heros. Meski ia takut, ia tetap harus melakukannya. Karena jika tidak begitu, sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Lagi dan lagi Moana selalu kalah dengan tenaga Heros, kedua tangannya yang memberontak bahkan sudah digenggam hanya dengan satu telapak tangan pria itu.Sial! Moana benar-benar sudah tidak bisa berkutik selain menunggu apa yang akan Heros lakukan selanjutnya. Matanya perlahan menutup, tidak berani menatap wajah Heros yang semakin mendekat.Sebuah kecupan terasa di bibirnya, pria itu menciumnya lembut. Melumatnya di sana. Hampir saja tubuh Moana lunglai karena ketakutan menguasai dirinya, tetapi tiba-tiba tubuhnnya terhuyung ke belakang. Heros mendorongnya hingga ia terbaring di sofa dengan tubuh Heros di atasnya. "Brengsek! Heros, kau sudah mabuk!" Moana mendorong tubuh Heros sekuat tenaga, tetapi Heros semakin memeluknya erat dan memejamkan matanya hampir tak sadarkan diri."Tidak, Heros! Bangun!" Posisi mereka sudah
Manhattan, NYC - USA "Lelah sekali," Moana bergumam sambil berjalan keluar Restoran tempatnya bekerja. Sesekali ia melihat kendaraan yang berlalu-lalang.Tepatnya hari ini ia sudah menjadi pekerja tetap di Xyan's, --Restoran khas Italia.-- Dalam langkah kakinya, ia tidak berniat pulang sama sekali. Membayangkan isi rumah yang kosong dan tidak ada suara apa pun membuatnya nyaris hampir bersedih. "Tidak Moana, kau kuat. Demi ibu dan Elysa."Senyum tersungging kecil di bibirnya, saat membayangkan keluarga mereka, Moana mulai semangat lagi. Mau bagaimana pun, alasan terbesar Moana bekerja adalah keluarganya.Sekali lagi, Moana mengangguk. Meyakinkan dirinya. Tiba-tiba ponsel yang sedang digenggamnya berdering, menampilkan nama Floria --sahabatnya--.Baru saja akan mengangkat teleponnya, mata Moana melihat sebuah mobil berhenti di depannya. Keningnya mengerut, melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari sana. Keheranan Moana semakin meningkat saat mereka menghampirinya, menarik pergel
Setelah keluar dari kediaman Heros, Moana segera pergi ke rumah sakit. Tempat di mana adiknya sedang di rawat. Langkahnya kian cepat, dengan kekesalan yang semakin bertambah seiring waktu. Matanya sudah tertuju ke nomor ruangan yang tertempel di salah satu pintu yang berjejer di lorong rumah sakit. Ia mendorong gagang pintu bernomor 110, ruangan di mana ibu dan adiknya --yang sedang terbaring koma-- berada. "Ibu!" Suara pintu yang di dorong dan suara seseorang membuat Marcelline--ibu Moana-- terkejut. Melihat kedatangan Moana, Marcelline mendengus kasar, "Pelan-pelan, Moana!" Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Moana melemparkan pertanyaan yang sudah ia tahan dari tadi. "Apa ibu menjodohkanku dengan Heros?" Cecar Moana dengan dada naik turun. Ia benar-benar buruk dalam mengontrol emosi.Marcelline yang sedang mengelus lengan Elysa, langsung menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari anaknya. Bagaimana mungkin secepat ini Moana tahu?"Kau sudah tahu?"
Tangan Moana berusaha mendorong dada bidang Heros. Meski ia takut, ia tetap harus melakukannya. Karena jika tidak begitu, sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Lagi dan lagi Moana selalu kalah dengan tenaga Heros, kedua tangannya yang memberontak bahkan sudah digenggam hanya dengan satu telapak tangan pria itu.Sial! Moana benar-benar sudah tidak bisa berkutik selain menunggu apa yang akan Heros lakukan selanjutnya. Matanya perlahan menutup, tidak berani menatap wajah Heros yang semakin mendekat.Sebuah kecupan terasa di bibirnya, pria itu menciumnya lembut. Melumatnya di sana. Hampir saja tubuh Moana lunglai karena ketakutan menguasai dirinya, tetapi tiba-tiba tubuhnnya terhuyung ke belakang. Heros mendorongnya hingga ia terbaring di sofa dengan tubuh Heros di atasnya. "Brengsek! Heros, kau sudah mabuk!" Moana mendorong tubuh Heros sekuat tenaga, tetapi Heros semakin memeluknya erat dan memejamkan matanya hampir tak sadarkan diri."Tidak, Heros! Bangun!" Posisi mereka sudah
"Pihak pertama, suami. Pihak kedua, istri. Dan, suami selalu benar?" Moana membulatkan matanya, aturan macam apa yang tertera di sini! "Sepertinya ini peraturan yang sangat aneh!" Ia melemparkan map itu ke meja. Menatap Heros kesal. "Aneh? Jadi, kau tidak setuju?" Mengangkat kedus alisnya, "baik. Kalau begitu, kembalikan uang yang sudah ibumu pakai." Sontak Moana diam seperti patung, uang ratusan juta yang sudah ibunya pakai? Dari mana ia bisa mendapatkannya. Astaga! Moana kalut sekali. Ia benar-benar di tempatkan pada situasi yang hampir membuatnya gila. Jangankan memutuskan sesuatu yang dia mau, Moana bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri. "Bagaimana, Moana?" Tanya Heros dengan kedua tangan tertaut di depan dada, bersikap angkuh dan percaya diri bahwa ia akan menang telak. "Tidak ada pilihan lain."Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Moana. Memang benar, bukan? Tidak ada pilihan yang harus ia pilih. Moana tidak bisa membatalkan pernikahan ini meski ia sangat ingin, Mo
"T-tuan! Maafkan aku. Aku tidak ada waktu," elaknya pelan. Moana sangat takut melihat tatapan Heros di depannya, matanya terlihat merah memancarkan kemarahan. Bahkan bukan hanya itu, Heros meninju dinding di samping kepala Moana, menimbulkan suara yang cukup keras. Untungnya, hanya ada mereka berdua di dalam. "Tidak ada waktu, kau bilang?!" Bibir Heros sudah membentuk garis, "seorang pelayan restoran sepertimu tidak ada waktu?" Geramnya tajam. Moana tidak bisa apa-apa selain menunduk, menghindari kemarahan dan bentakan dari Heros. Benar, dia hanya seorang pelayan di sebuah Restoran. Tapi apakah itu sebuah kesalahan? Di sela-sela sedih dan kesal yang Moana rasakan, Heros memegang dagu dan pipinya dengan sebelah telapak tangan, memaksa Moana untuk mendongak dan menatapnya."Sialan! Apa yang sedang kau lihat di bawah sana?!" Heros mencengkram rahang Moana keras, membuat Moana kesakitan. Kedua tangan Moana tidak tinggal diam, ia berusaha melepaskan tangan Heros di rahangnya, "Sudah
Setelah keluar dari kediaman Heros, Moana segera pergi ke rumah sakit. Tempat di mana adiknya sedang di rawat. Langkahnya kian cepat, dengan kekesalan yang semakin bertambah seiring waktu. Matanya sudah tertuju ke nomor ruangan yang tertempel di salah satu pintu yang berjejer di lorong rumah sakit. Ia mendorong gagang pintu bernomor 110, ruangan di mana ibu dan adiknya --yang sedang terbaring koma-- berada. "Ibu!" Suara pintu yang di dorong dan suara seseorang membuat Marcelline--ibu Moana-- terkejut. Melihat kedatangan Moana, Marcelline mendengus kasar, "Pelan-pelan, Moana!" Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Moana melemparkan pertanyaan yang sudah ia tahan dari tadi. "Apa ibu menjodohkanku dengan Heros?" Cecar Moana dengan dada naik turun. Ia benar-benar buruk dalam mengontrol emosi.Marcelline yang sedang mengelus lengan Elysa, langsung menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari anaknya. Bagaimana mungkin secepat ini Moana tahu?"Kau sudah tahu?"
Manhattan, NYC - USA "Lelah sekali," Moana bergumam sambil berjalan keluar Restoran tempatnya bekerja. Sesekali ia melihat kendaraan yang berlalu-lalang.Tepatnya hari ini ia sudah menjadi pekerja tetap di Xyan's, --Restoran khas Italia.-- Dalam langkah kakinya, ia tidak berniat pulang sama sekali. Membayangkan isi rumah yang kosong dan tidak ada suara apa pun membuatnya nyaris hampir bersedih. "Tidak Moana, kau kuat. Demi ibu dan Elysa."Senyum tersungging kecil di bibirnya, saat membayangkan keluarga mereka, Moana mulai semangat lagi. Mau bagaimana pun, alasan terbesar Moana bekerja adalah keluarganya.Sekali lagi, Moana mengangguk. Meyakinkan dirinya. Tiba-tiba ponsel yang sedang digenggamnya berdering, menampilkan nama Floria --sahabatnya--.Baru saja akan mengangkat teleponnya, mata Moana melihat sebuah mobil berhenti di depannya. Keningnya mengerut, melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari sana. Keheranan Moana semakin meningkat saat mereka menghampirinya, menarik pergel