"Pihak pertama, suami. Pihak kedua, istri. Dan, suami selalu benar?" Moana membulatkan matanya, aturan macam apa yang tertera di sini!
"Sepertinya ini peraturan yang sangat aneh!" Ia melemparkan map itu ke meja. Menatap Heros kesal.
"Aneh? Jadi, kau tidak setuju?" Mengangkat kedus alisnya, "baik. Kalau begitu, kembalikan uang yang sudah ibumu pakai."
Sontak Moana diam seperti patung, uang ratusan juta yang sudah ibunya pakai? Dari mana ia bisa mendapatkannya.
Astaga! Moana kalut sekali. Ia benar-benar di tempatkan pada situasi yang hampir membuatnya gila. Jangankan memutuskan sesuatu yang dia mau, Moana bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri.
"Bagaimana, Moana?" Tanya Heros dengan kedua tangan tertaut di depan dada, bersikap angkuh dan percaya diri bahwa ia akan menang telak.
"Tidak ada pilihan lain."
Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Moana. Memang benar, bukan? Tidak ada pilihan yang harus ia pilih. Moana tidak bisa membatalkan pernikahan ini meski ia sangat ingin, Moana juga tidak bisa merubah peraturan ini karena sepertinya itu sudah sangat jelas.
Heros memainkan bibirnya, merasa puas. Ia memang sengaja terlihat menekan Moana, Ia juga sengaja membuat aturan yang memberatkan Moana.
Mau bagaimana lagi, wanita itu sendiri yang menghampirinya. Menimbulkan permainan di antara mereka. Padahal, Heros sudah memberikan kesempatan untuk Moana. Namun sayang sekali disia-siakan, dan tidak ada yang namanya kesempatan kedua.
"Tanda tangan di sini." Perintah Heros sambil menunjukkan di mana Moana harus men-tandatangani aturan di sana, sebagai bukti bahwa Moana sudah sepakat.
Dengan berat hati Moana mengambil pena yang sudah disediakan, bertanda tangan di sana.
Ketika semua sudah selesai, Heros segera menutup rapat map, menjulurkan telapak tangannya ke arah pintu.
"Silahkan, kau boleh pergi."
Namun tanpa mereka sadari, dari tadi hujan sudah turun sangat deras. Mendengar suara hujan keduanya menoleh ke arah jendela.
Moana mencebik, memainkan jemarinya. Bagaimana caranya ia bisa pulang dengan keadaan hujan dan guntur di luar?
"Boleh aku tunggu dulu di sini sampai hujannya reda?" anjur Moana, ia menunggu jawaban Heros yang masih berdiam diri.
Heros berpikir sejenak, ia juga tidak bisa membiarkan Moana pergi begitu saja dalam keadaan seperti ini. Bukan apa-apa, hanya saja Heros tidak mau bertanggung jawab jika sesuatu yang buruk terjadi pada wanita itu.
"Baiklah."
Setelah mendengar jawaban, Moana melihat Heros berdiri dan melangkah meninggalkannya. Memasuki kamar miliknya dan menyisakan ia sendiri di sana.
Moana tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan Heros di ruangan yang berbeda. Hanya saja, keadaan seperti ini jauh lebih baik. Ia jadi lebih leluasa untuk bergerak dan bersikap.
Karena entah kenapa jantungnya berdetak kencang jika ia berada di samping Heros. Belum lagi wajahnya yang sangat digilai kaum wanita karena sangat tampan, terkadang mengganggu fokus Moana.
"Ah, tidak. Jangan sampai itu terjadi." Moana menggeleng-gelengkan kepalanya, mengenyahkan sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Moana baru ingat bahwa saat ini sedang hujan, ia menolehkan kepala ke belakang, melihat apakah hujannya sudah reda dan hilang. Namun kaca jendela di sana masih memperlihatkan air hujan yang turun sangat deras. Sepertinya, hujan seperti ini memang tidak akan reda dengan cepat.
Moana menghampiri kaca besar yang terbentang itu, meraba kacanya dan memperhatikan air hujan yang membuat kaca jendela itu dipenuhi air, menghalangi pandangan untuk melihat ke bawah gedung.
"Mengapa hujan di luar tidak reda-reda?" Tanya Moana pada dirinya sendiri. "Ya Tuhan ..., bagaimana aku bisa pulang."
Decakan sebal keluar dari bibir Moana, mau sampai kapan dirinya berada di sini? Tadinya dia sudah sangat lega karena dilepaskan oleh Heros. Tapi dengan cepat ia merasa tidak tenang lagi karena masih di kediaman pria itu.
Suara pintu yang dibuka terdengar mengagetkan Moana. Ia menoleh, ternyata itu bukan pintu kamar Heros, melainkan pintu depan. Memunculkan seorang pria yang Moana tebak seumuran dengan Heros, memakai jas hitam rapi dan berjalan masuk ke dalam seraya membawa dua botol berisi minuman beralkohol yang sedang digenggamnya.
Terlihat ada keterkejutan di mata pria itu saat melihat Moana yang sedang berdiri dekat jendela dan menatapnya. Moana tersenyum canggung, tetapi hanya dibalas muka datar oleh pria itu.
"Permisi, Nona. Di mana Tuan Heros?"
"Ah, Heros. Heros ada di dalam kamarnya." Telunjuk Moana bergerak ke arah pintu ruangan yang berada di sana.
"Terima kasih, Nona." Ujar pria itu dan melanjutkan langkahnya lagi, mengetuk pintu kamar heros tiga kali dan memasukinya setelah suara Heros terdengar menyuruhnya masuk.
Tidak begitu lama setelah masuk, pria itu keluar lagi dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan keberadaan Moana.
Moana memiringkan kepalanya tampak heran dengan prilaku pria yang datang dan pergi tadi. Terlihat sangat datar, cuek dan dingin. Tidak jauh beda dengan Heros.
Ia bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya, apakah orang-orang di sini begitu semua? Sangat datar dan dingin? Membosankan.
Mata Moana tiba-tiba terpusat ke sebuah figura di ruangan itu. Di mana di dalamnya terdapat foto Heros, Rhodes dan dua orang yang belum Moana kenali. Mereka tersenyum lebar kecuali Heros yang tetap datar. Foto itu memperlihatkan lengan Rhodes yang sadang dirangkul seorang wanita yang Moana rasa itu adalah istrinya, serta Heros yang merangkul seorang gadis kecil si sampingnya.
Meskipun Rhodes dan Heros selalu berlalu-lalang di Televisi, tapi mereka sangat menutup-nutupi anggota keluarganya, terutama istri dan anaknya yang lain. Itulah kenapa Moana tidak mengenal dua orang yang berada di foto itu, karena mereka tidak pernah dikenalkan atau di tampilkan di Televisi. Ia hanya tahu Heros karena pria itu beberapa kali muncul sebagai salah satu pengusaha sukses, Brand Ambasador, Sponsor, bahkan Investor.
Karena itulah sangat banyak yang menginginkan kerja sama dengan Heros, karena mereka yakin bahwa mereka tidak akan menyesali keputusannya. Sebab, jika berhasil mengikat kerja sama, mereka akan mendapatkan keuntungan di luar harapan mereka. Namun sayangnya, hanya ada beberapa dari ribuan orang yang berhasil dekat dan mengait kontrak dengan Heros.
"Sedang apa kau?"
Hampir saja jantung Moana terlepas dari tempatnya, mengapa Pria yang terkenal seantero negerinya itu sangat suka membuatnya terkejut.
"Aku sedang melihat ini, maaf jika aku lancang." Jawab Moana sambil membalikan tubuhnya, melihat Heros.
Namun, tiba-tiba Moana menjerit kencang serta menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bagaimana bisa Heros berdiri di depannya dengan hanya memakai celana saja? Ke mana bajunya yang masih bertengger di dadanya tadi?
Kaki Heros melangkah cepat, berniat membungkam teriakan Moana yang masih menggelegar dan memekakkan telinganya.
"Sstt!"
Heros panik dan menarik lengan Moana yang masih menutupi wajahnya. Meski sedikit susah, Heros tetap berhasil menariknya. Seketika Moana membuka matanya melihat wajah Heros yang sangat dekat, bahkan hampir tidak ada jarak.
Moana mundur perlahan, tetapi punggungnya terkena kepala sofa, ia sudah tidak bisa bergerak lagi. Sedangkan Heros sudah mengurung Moana di kedua sisi, menatap Moana dengan tatapan lapar.
Tangan Moana berusaha mendorong dada bidang Heros. Meski ia takut, ia tetap harus melakukannya. Karena jika tidak begitu, sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Lagi dan lagi Moana selalu kalah dengan tenaga Heros, kedua tangannya yang memberontak bahkan sudah digenggam hanya dengan satu telapak tangan pria itu.Sial! Moana benar-benar sudah tidak bisa berkutik selain menunggu apa yang akan Heros lakukan selanjutnya. Matanya perlahan menutup, tidak berani menatap wajah Heros yang semakin mendekat.Sebuah kecupan terasa di bibirnya, pria itu menciumnya lembut. Melumatnya di sana. Hampir saja tubuh Moana lunglai karena ketakutan menguasai dirinya, tetapi tiba-tiba tubuhnnya terhuyung ke belakang. Heros mendorongnya hingga ia terbaring di sofa dengan tubuh Heros di atasnya. "Brengsek! Heros, kau sudah mabuk!" Moana mendorong tubuh Heros sekuat tenaga, tetapi Heros semakin memeluknya erat dan memejamkan matanya hampir tak sadarkan diri."Tidak, Heros! Bangun!" Posisi mereka sudah
Manhattan, NYC - USA "Lelah sekali," Moana bergumam sambil berjalan keluar Restoran tempatnya bekerja. Sesekali ia melihat kendaraan yang berlalu-lalang.Tepatnya hari ini ia sudah menjadi pekerja tetap di Xyan's, --Restoran khas Italia.-- Dalam langkah kakinya, ia tidak berniat pulang sama sekali. Membayangkan isi rumah yang kosong dan tidak ada suara apa pun membuatnya nyaris hampir bersedih. "Tidak Moana, kau kuat. Demi ibu dan Elysa."Senyum tersungging kecil di bibirnya, saat membayangkan keluarga mereka, Moana mulai semangat lagi. Mau bagaimana pun, alasan terbesar Moana bekerja adalah keluarganya.Sekali lagi, Moana mengangguk. Meyakinkan dirinya. Tiba-tiba ponsel yang sedang digenggamnya berdering, menampilkan nama Floria --sahabatnya--.Baru saja akan mengangkat teleponnya, mata Moana melihat sebuah mobil berhenti di depannya. Keningnya mengerut, melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari sana. Keheranan Moana semakin meningkat saat mereka menghampirinya, menarik pergel
Setelah keluar dari kediaman Heros, Moana segera pergi ke rumah sakit. Tempat di mana adiknya sedang di rawat. Langkahnya kian cepat, dengan kekesalan yang semakin bertambah seiring waktu. Matanya sudah tertuju ke nomor ruangan yang tertempel di salah satu pintu yang berjejer di lorong rumah sakit. Ia mendorong gagang pintu bernomor 110, ruangan di mana ibu dan adiknya --yang sedang terbaring koma-- berada. "Ibu!" Suara pintu yang di dorong dan suara seseorang membuat Marcelline--ibu Moana-- terkejut. Melihat kedatangan Moana, Marcelline mendengus kasar, "Pelan-pelan, Moana!" Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Moana melemparkan pertanyaan yang sudah ia tahan dari tadi. "Apa ibu menjodohkanku dengan Heros?" Cecar Moana dengan dada naik turun. Ia benar-benar buruk dalam mengontrol emosi.Marcelline yang sedang mengelus lengan Elysa, langsung menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari anaknya. Bagaimana mungkin secepat ini Moana tahu?"Kau sudah tahu?"
"T-tuan! Maafkan aku. Aku tidak ada waktu," elaknya pelan. Moana sangat takut melihat tatapan Heros di depannya, matanya terlihat merah memancarkan kemarahan. Bahkan bukan hanya itu, Heros meninju dinding di samping kepala Moana, menimbulkan suara yang cukup keras. Untungnya, hanya ada mereka berdua di dalam. "Tidak ada waktu, kau bilang?!" Bibir Heros sudah membentuk garis, "seorang pelayan restoran sepertimu tidak ada waktu?" Geramnya tajam. Moana tidak bisa apa-apa selain menunduk, menghindari kemarahan dan bentakan dari Heros. Benar, dia hanya seorang pelayan di sebuah Restoran. Tapi apakah itu sebuah kesalahan? Di sela-sela sedih dan kesal yang Moana rasakan, Heros memegang dagu dan pipinya dengan sebelah telapak tangan, memaksa Moana untuk mendongak dan menatapnya."Sialan! Apa yang sedang kau lihat di bawah sana?!" Heros mencengkram rahang Moana keras, membuat Moana kesakitan. Kedua tangan Moana tidak tinggal diam, ia berusaha melepaskan tangan Heros di rahangnya, "Sudah
Tangan Moana berusaha mendorong dada bidang Heros. Meski ia takut, ia tetap harus melakukannya. Karena jika tidak begitu, sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Lagi dan lagi Moana selalu kalah dengan tenaga Heros, kedua tangannya yang memberontak bahkan sudah digenggam hanya dengan satu telapak tangan pria itu.Sial! Moana benar-benar sudah tidak bisa berkutik selain menunggu apa yang akan Heros lakukan selanjutnya. Matanya perlahan menutup, tidak berani menatap wajah Heros yang semakin mendekat.Sebuah kecupan terasa di bibirnya, pria itu menciumnya lembut. Melumatnya di sana. Hampir saja tubuh Moana lunglai karena ketakutan menguasai dirinya, tetapi tiba-tiba tubuhnnya terhuyung ke belakang. Heros mendorongnya hingga ia terbaring di sofa dengan tubuh Heros di atasnya. "Brengsek! Heros, kau sudah mabuk!" Moana mendorong tubuh Heros sekuat tenaga, tetapi Heros semakin memeluknya erat dan memejamkan matanya hampir tak sadarkan diri."Tidak, Heros! Bangun!" Posisi mereka sudah
"Pihak pertama, suami. Pihak kedua, istri. Dan, suami selalu benar?" Moana membulatkan matanya, aturan macam apa yang tertera di sini! "Sepertinya ini peraturan yang sangat aneh!" Ia melemparkan map itu ke meja. Menatap Heros kesal. "Aneh? Jadi, kau tidak setuju?" Mengangkat kedus alisnya, "baik. Kalau begitu, kembalikan uang yang sudah ibumu pakai." Sontak Moana diam seperti patung, uang ratusan juta yang sudah ibunya pakai? Dari mana ia bisa mendapatkannya. Astaga! Moana kalut sekali. Ia benar-benar di tempatkan pada situasi yang hampir membuatnya gila. Jangankan memutuskan sesuatu yang dia mau, Moana bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri. "Bagaimana, Moana?" Tanya Heros dengan kedua tangan tertaut di depan dada, bersikap angkuh dan percaya diri bahwa ia akan menang telak. "Tidak ada pilihan lain."Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Moana. Memang benar, bukan? Tidak ada pilihan yang harus ia pilih. Moana tidak bisa membatalkan pernikahan ini meski ia sangat ingin, Mo
"T-tuan! Maafkan aku. Aku tidak ada waktu," elaknya pelan. Moana sangat takut melihat tatapan Heros di depannya, matanya terlihat merah memancarkan kemarahan. Bahkan bukan hanya itu, Heros meninju dinding di samping kepala Moana, menimbulkan suara yang cukup keras. Untungnya, hanya ada mereka berdua di dalam. "Tidak ada waktu, kau bilang?!" Bibir Heros sudah membentuk garis, "seorang pelayan restoran sepertimu tidak ada waktu?" Geramnya tajam. Moana tidak bisa apa-apa selain menunduk, menghindari kemarahan dan bentakan dari Heros. Benar, dia hanya seorang pelayan di sebuah Restoran. Tapi apakah itu sebuah kesalahan? Di sela-sela sedih dan kesal yang Moana rasakan, Heros memegang dagu dan pipinya dengan sebelah telapak tangan, memaksa Moana untuk mendongak dan menatapnya."Sialan! Apa yang sedang kau lihat di bawah sana?!" Heros mencengkram rahang Moana keras, membuat Moana kesakitan. Kedua tangan Moana tidak tinggal diam, ia berusaha melepaskan tangan Heros di rahangnya, "Sudah
Setelah keluar dari kediaman Heros, Moana segera pergi ke rumah sakit. Tempat di mana adiknya sedang di rawat. Langkahnya kian cepat, dengan kekesalan yang semakin bertambah seiring waktu. Matanya sudah tertuju ke nomor ruangan yang tertempel di salah satu pintu yang berjejer di lorong rumah sakit. Ia mendorong gagang pintu bernomor 110, ruangan di mana ibu dan adiknya --yang sedang terbaring koma-- berada. "Ibu!" Suara pintu yang di dorong dan suara seseorang membuat Marcelline--ibu Moana-- terkejut. Melihat kedatangan Moana, Marcelline mendengus kasar, "Pelan-pelan, Moana!" Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Moana melemparkan pertanyaan yang sudah ia tahan dari tadi. "Apa ibu menjodohkanku dengan Heros?" Cecar Moana dengan dada naik turun. Ia benar-benar buruk dalam mengontrol emosi.Marcelline yang sedang mengelus lengan Elysa, langsung menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari anaknya. Bagaimana mungkin secepat ini Moana tahu?"Kau sudah tahu?"
Manhattan, NYC - USA "Lelah sekali," Moana bergumam sambil berjalan keluar Restoran tempatnya bekerja. Sesekali ia melihat kendaraan yang berlalu-lalang.Tepatnya hari ini ia sudah menjadi pekerja tetap di Xyan's, --Restoran khas Italia.-- Dalam langkah kakinya, ia tidak berniat pulang sama sekali. Membayangkan isi rumah yang kosong dan tidak ada suara apa pun membuatnya nyaris hampir bersedih. "Tidak Moana, kau kuat. Demi ibu dan Elysa."Senyum tersungging kecil di bibirnya, saat membayangkan keluarga mereka, Moana mulai semangat lagi. Mau bagaimana pun, alasan terbesar Moana bekerja adalah keluarganya.Sekali lagi, Moana mengangguk. Meyakinkan dirinya. Tiba-tiba ponsel yang sedang digenggamnya berdering, menampilkan nama Floria --sahabatnya--.Baru saja akan mengangkat teleponnya, mata Moana melihat sebuah mobil berhenti di depannya. Keningnya mengerut, melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari sana. Keheranan Moana semakin meningkat saat mereka menghampirinya, menarik pergel