Setelah keluar dari kediaman Heros, Moana segera pergi ke rumah sakit. Tempat di mana adiknya sedang di rawat.
Langkahnya kian cepat, dengan kekesalan yang semakin bertambah seiring waktu. Matanya sudah tertuju ke nomor ruangan yang tertempel di salah satu pintu yang berjejer di lorong rumah sakit. Ia mendorong gagang pintu bernomor 110, ruangan di mana ibu dan adiknya --yang sedang terbaring koma-- berada.
"Ibu!"
Suara pintu yang di dorong dan suara seseorang membuat Marcelline--ibu Moana-- terkejut.
Melihat kedatangan Moana, Marcelline mendengus kasar, "Pelan-pelan, Moana!"
Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Moana melemparkan pertanyaan yang sudah ia tahan dari tadi.
"Apa ibu menjodohkanku dengan Heros?" Cecar Moana dengan dada naik turun. Ia benar-benar buruk dalam mengontrol emosi.
Marcelline yang sedang mengelus lengan Elysa, langsung menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari anaknya. Bagaimana mungkin secepat ini Moana tahu?
"Kau sudah tahu?"
"Jangan balik bertanya padaku, Ibu. Apa maksud Ibu dengan semua ini? Aku belum mau menikah! Bagaimana dengan biaya rumah sakit Elysa, ibu? Aku harus selalu bekerja."
Moana benar-benar kehabisan kata-kata, ia duduk di sofa yang berada di sana, memegang kepalanya pelan. Berusaha untuk meredam kekesalannya.
"Justru itu, Moana," Marcelline berujar pelan. "Demi Elysa, kau harus menikah dengan Tuan Heros."
Dengan cepat Moana mendongak, melihat Marcelline dengan tatapan tidak menyangka. Kenapa Marcelline sangat memaksanya?
Melihat tingkah Moana yang kalut, Marcelline segera berdiri, menghampiri Moana dan duduk di sampingnya.
"Jika kau menikah dengan Tuan Heros, kau tidak perlu lagi bekerja, Moana. Kau akan hidup enak. Ibu, dan Elysa juga."
Bagaimana mungkin ibunya bisa berpikir seperti ini? Moana lebih baik terus bekerja tanpa henti dari pada harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
"Tapi, ibu ...," belum sempat ucapannya selesai, Marcelline memotongnya.
"Aku sudah lelah hidup miskin, Moana! Aku muak. Semuanya sudah tidak bisa dibatalkan lagi. Tuan Rhodes sudah memberikan persyaratan pernikahannya padaku, sebagian besar berupa uang. Dan aku sudah memakainya setengah. Bagaimana kau bisa mengembalikannya semua tanpa kurang?"
Marcelline mengatakan semua itu secara bergebu-gebu dengan air mata yang meluncur di pipinya. Melihat anaknya yang keras kepala ia terpaksa harus melakukan ini.
Seketika mulut Moana ternganga, kesal dan marah sudah menyatu. Ibunya benar-benar keterlaluan.
Bukan hanya sekedar tidak memberitahunya perihal perjodohan ini, ibunya bahkan sudah menghabiskan setengah pemberian dari Tuan Rhodes yang ia tahu itu bukan jumlah sedikit. Jumlah yang tidak bisa Moana cicil dengan gajinya sendiri. Astaga, Moana sudah hampir kehilangan akal sehatnya.
Tidak mau sampai emosinya semakin menggila, Moana segera bangkit dan pergi dari ruangan itu. Menuju sebuah Cafe yang berada di sebrang rumah sakit.
Ia masuk ke dalamnya dan duduk di salah satu meja yang kosong, dengan tangan bergetar Moana mengambil sesuatu di dalam tas kecilnya. Sebuah foto yang memperlihatkan dirinya yang masih remaja dan ayahnya yang sedang merangkul bahunya.
"I miss you, Dad."
Air mata yang ia tahan akhirnya sudah tidak terbendung lagi. Dengan pelan ibu jarinya mengusap secarik foto itu, membayangkan kenangan ia dan ayahnya.
Kalau saja ayahnya tidak meninggalkan mereka semua, apakah hidupnya akan terus baik-baik saja dan tidak semenyusahkan sekarang?
***
Restoran Xyan's, 15.31 PM.
Restoran khas Italia tempat Moana bekerja tidak hanya Indoor, tapi juga Outdoor. Moana sedang menjalankan pekerjaannya di bagian Outdoor. Me-lap meja kosong, dan sesekali mengantarkan makanan jika ada pelanggan baru datang.
Restoran tempatnya bekerja selalu banyak dikunjungi setiap harinya. Selain karena bagus dengan desain yang mengenakan pandangan mata, makanannya juga sangat digemari.
Itulah kenapa Moana selalu kelelahan, selain itu, beberapa pekerja di sana selalu melemparkan tugasnya kepada Moana. Mungkin dikarenakan ia adalah anak baru, jadi diperlakukan dengan berbeda.
Meski lelah dan penat, Moana tidak pernah melunturkan senyumannya pada setiap pengunjung. Ia juga baru saja tersenyum ke salah satu pasangan yang baru saja diantari pesanannya.
"Moana!" Panggil rekannya, Lusyta. Moana menolah dan segera menghampirinya.
"Antarkan ke meja nomor A7, sekarang." Perintahnya dengan nada yang sangat mengganggu Moana membuat Moana bertanya-tanya. Status mereka sama, tapi mengapa Lusyta selalu besikap seperti atasannya?
"Bukan 'kah ini tugasmu, Lusy?" Moana memiringkan kepalanya, bertanya.
"Ck! Sudahlah, antarkan saja! Anak baru harus banyak berlatih." Ujarnya terkekeh sambil berlalu pergi, meremehkan Moana.
Tidak mau menimbulkan masalah atau keributan, Moana segera mengambil nampan berisi makanan di depannya dengan nafas pasrah.
Ia melangkahkan kakinya menghampiri meja yang sedang ditempati seorang pria di bagian ujung dekat jendela. Moana tidak melihatnya karena pria itu membelakanginya.
"Permisi Mr. Ini pesanan and ..," wajah Moana terkejut saat melihat orang yang ia kenali dan ia hindari berada di depannya. "Kau!?"
"Tidak usah terkejut," Heros berdiri. Merapikan jasnya dan langsung meraih pergelangan tangan Moana.
Belum sempat Moana menarik tangannya kembali, Heros sudah menyeretnya keluar Restoran. Sebagian orang di sana dan Lusyta memperhatikan mereka berdua.
Heros membawa Moana ke samping mobil Lamborghini berwarna biru miliknya, mendorongnya untuk masuk dan duduk di atas kursi samping kemudi.
"Tuan!"
Moana tidak tahu akan di bawa ke mana dirinya, ia hanya bisa melihat pergerakan Heros yang sedang berjalan memutari mobilnya, dan uduk di belakang kemudi, di samping dirinya.
"Aku masih bekerja, Tuan!"
Semua perkataan Moana tidak dijawab, Heros masih tetap fokus pada setirnya dan jalanan di depannya.
Moana melihat ada emosi yang sedang bertengger di dalam diri Heros, dan ia sama sekali tidak mau mengusiknya.
Ia ikut diam dan memperhatikan jalanan di sampingnya, Moana tiba-tiba sangat mengkawatirkan pekerjaannya. Takut jika besok saat Moana kembali bekerja, statusnya bukan pekerja di sana lagi.
Sibuk dengan semua pemikirannya, membuat Moana tidak sadar bahwa mobil yang sedang ia tumpangi sudah berhenti.
"Keluar," suara Heros menyadarkan Moana dari lamunan.
Segera Moana membuka pintu mobil, berdiri dan menatap gedung yang menjulang tinggi. Sebuah gedung yang di dalamnya terdapat banyak apartemen dan penthouse. Dengan sebuah nama Huxley dengan ukuran besar tertempel di bagian atas.
Lagi, tangan Moana digenggam dan ditarik. Genggamannya cukup keras dan membuat Moana meringis di sepanjang perjalanan.
Moana sudah tidak banyak bertanya lagi, ia hanya mengikuti Heros yang menaiki Lift, memperhatikan jari Heros yang menekan angka 12.
Tiba-tiba, Heros menatapnya, mendekatkan wajahnya dan mendorong bahu Moana keras ke dinding Lift.
Dengan tatapan marah Heros membentaknya, "sudah kubilang temui ayahku!"
Mendengar itu Moana sangat ketakutan, sampai saat ini ia masih tidak menemukan cara bagiamana menemui Rodhes dan memintanya untuk membatalkan pernikahan dengan muka yang tidak tahu malu karena ibunya sudah memakai uang mereka.
"T-tuan! Maafkan aku. Aku tidak ada waktu," elaknya pelan. Moana sangat takut melihat tatapan Heros di depannya, matanya terlihat merah memancarkan kemarahan. Bahkan bukan hanya itu, Heros meninju dinding di samping kepala Moana, menimbulkan suara yang cukup keras. Untungnya, hanya ada mereka berdua di dalam. "Tidak ada waktu, kau bilang?!" Bibir Heros sudah membentuk garis, "seorang pelayan restoran sepertimu tidak ada waktu?" Geramnya tajam. Moana tidak bisa apa-apa selain menunduk, menghindari kemarahan dan bentakan dari Heros. Benar, dia hanya seorang pelayan di sebuah Restoran. Tapi apakah itu sebuah kesalahan? Di sela-sela sedih dan kesal yang Moana rasakan, Heros memegang dagu dan pipinya dengan sebelah telapak tangan, memaksa Moana untuk mendongak dan menatapnya."Sialan! Apa yang sedang kau lihat di bawah sana?!" Heros mencengkram rahang Moana keras, membuat Moana kesakitan. Kedua tangan Moana tidak tinggal diam, ia berusaha melepaskan tangan Heros di rahangnya, "Sudah
"Pihak pertama, suami. Pihak kedua, istri. Dan, suami selalu benar?" Moana membulatkan matanya, aturan macam apa yang tertera di sini! "Sepertinya ini peraturan yang sangat aneh!" Ia melemparkan map itu ke meja. Menatap Heros kesal. "Aneh? Jadi, kau tidak setuju?" Mengangkat kedus alisnya, "baik. Kalau begitu, kembalikan uang yang sudah ibumu pakai." Sontak Moana diam seperti patung, uang ratusan juta yang sudah ibunya pakai? Dari mana ia bisa mendapatkannya. Astaga! Moana kalut sekali. Ia benar-benar di tempatkan pada situasi yang hampir membuatnya gila. Jangankan memutuskan sesuatu yang dia mau, Moana bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri. "Bagaimana, Moana?" Tanya Heros dengan kedua tangan tertaut di depan dada, bersikap angkuh dan percaya diri bahwa ia akan menang telak. "Tidak ada pilihan lain."Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Moana. Memang benar, bukan? Tidak ada pilihan yang harus ia pilih. Moana tidak bisa membatalkan pernikahan ini meski ia sangat ingin, Mo
Tangan Moana berusaha mendorong dada bidang Heros. Meski ia takut, ia tetap harus melakukannya. Karena jika tidak begitu, sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Lagi dan lagi Moana selalu kalah dengan tenaga Heros, kedua tangannya yang memberontak bahkan sudah digenggam hanya dengan satu telapak tangan pria itu.Sial! Moana benar-benar sudah tidak bisa berkutik selain menunggu apa yang akan Heros lakukan selanjutnya. Matanya perlahan menutup, tidak berani menatap wajah Heros yang semakin mendekat.Sebuah kecupan terasa di bibirnya, pria itu menciumnya lembut. Melumatnya di sana. Hampir saja tubuh Moana lunglai karena ketakutan menguasai dirinya, tetapi tiba-tiba tubuhnnya terhuyung ke belakang. Heros mendorongnya hingga ia terbaring di sofa dengan tubuh Heros di atasnya. "Brengsek! Heros, kau sudah mabuk!" Moana mendorong tubuh Heros sekuat tenaga, tetapi Heros semakin memeluknya erat dan memejamkan matanya hampir tak sadarkan diri."Tidak, Heros! Bangun!" Posisi mereka sudah
Manhattan, NYC - USA "Lelah sekali," Moana bergumam sambil berjalan keluar Restoran tempatnya bekerja. Sesekali ia melihat kendaraan yang berlalu-lalang.Tepatnya hari ini ia sudah menjadi pekerja tetap di Xyan's, --Restoran khas Italia.-- Dalam langkah kakinya, ia tidak berniat pulang sama sekali. Membayangkan isi rumah yang kosong dan tidak ada suara apa pun membuatnya nyaris hampir bersedih. "Tidak Moana, kau kuat. Demi ibu dan Elysa."Senyum tersungging kecil di bibirnya, saat membayangkan keluarga mereka, Moana mulai semangat lagi. Mau bagaimana pun, alasan terbesar Moana bekerja adalah keluarganya.Sekali lagi, Moana mengangguk. Meyakinkan dirinya. Tiba-tiba ponsel yang sedang digenggamnya berdering, menampilkan nama Floria --sahabatnya--.Baru saja akan mengangkat teleponnya, mata Moana melihat sebuah mobil berhenti di depannya. Keningnya mengerut, melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari sana. Keheranan Moana semakin meningkat saat mereka menghampirinya, menarik pergel
Tangan Moana berusaha mendorong dada bidang Heros. Meski ia takut, ia tetap harus melakukannya. Karena jika tidak begitu, sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Lagi dan lagi Moana selalu kalah dengan tenaga Heros, kedua tangannya yang memberontak bahkan sudah digenggam hanya dengan satu telapak tangan pria itu.Sial! Moana benar-benar sudah tidak bisa berkutik selain menunggu apa yang akan Heros lakukan selanjutnya. Matanya perlahan menutup, tidak berani menatap wajah Heros yang semakin mendekat.Sebuah kecupan terasa di bibirnya, pria itu menciumnya lembut. Melumatnya di sana. Hampir saja tubuh Moana lunglai karena ketakutan menguasai dirinya, tetapi tiba-tiba tubuhnnya terhuyung ke belakang. Heros mendorongnya hingga ia terbaring di sofa dengan tubuh Heros di atasnya. "Brengsek! Heros, kau sudah mabuk!" Moana mendorong tubuh Heros sekuat tenaga, tetapi Heros semakin memeluknya erat dan memejamkan matanya hampir tak sadarkan diri."Tidak, Heros! Bangun!" Posisi mereka sudah
"Pihak pertama, suami. Pihak kedua, istri. Dan, suami selalu benar?" Moana membulatkan matanya, aturan macam apa yang tertera di sini! "Sepertinya ini peraturan yang sangat aneh!" Ia melemparkan map itu ke meja. Menatap Heros kesal. "Aneh? Jadi, kau tidak setuju?" Mengangkat kedus alisnya, "baik. Kalau begitu, kembalikan uang yang sudah ibumu pakai." Sontak Moana diam seperti patung, uang ratusan juta yang sudah ibunya pakai? Dari mana ia bisa mendapatkannya. Astaga! Moana kalut sekali. Ia benar-benar di tempatkan pada situasi yang hampir membuatnya gila. Jangankan memutuskan sesuatu yang dia mau, Moana bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri. "Bagaimana, Moana?" Tanya Heros dengan kedua tangan tertaut di depan dada, bersikap angkuh dan percaya diri bahwa ia akan menang telak. "Tidak ada pilihan lain."Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Moana. Memang benar, bukan? Tidak ada pilihan yang harus ia pilih. Moana tidak bisa membatalkan pernikahan ini meski ia sangat ingin, Mo
"T-tuan! Maafkan aku. Aku tidak ada waktu," elaknya pelan. Moana sangat takut melihat tatapan Heros di depannya, matanya terlihat merah memancarkan kemarahan. Bahkan bukan hanya itu, Heros meninju dinding di samping kepala Moana, menimbulkan suara yang cukup keras. Untungnya, hanya ada mereka berdua di dalam. "Tidak ada waktu, kau bilang?!" Bibir Heros sudah membentuk garis, "seorang pelayan restoran sepertimu tidak ada waktu?" Geramnya tajam. Moana tidak bisa apa-apa selain menunduk, menghindari kemarahan dan bentakan dari Heros. Benar, dia hanya seorang pelayan di sebuah Restoran. Tapi apakah itu sebuah kesalahan? Di sela-sela sedih dan kesal yang Moana rasakan, Heros memegang dagu dan pipinya dengan sebelah telapak tangan, memaksa Moana untuk mendongak dan menatapnya."Sialan! Apa yang sedang kau lihat di bawah sana?!" Heros mencengkram rahang Moana keras, membuat Moana kesakitan. Kedua tangan Moana tidak tinggal diam, ia berusaha melepaskan tangan Heros di rahangnya, "Sudah
Setelah keluar dari kediaman Heros, Moana segera pergi ke rumah sakit. Tempat di mana adiknya sedang di rawat. Langkahnya kian cepat, dengan kekesalan yang semakin bertambah seiring waktu. Matanya sudah tertuju ke nomor ruangan yang tertempel di salah satu pintu yang berjejer di lorong rumah sakit. Ia mendorong gagang pintu bernomor 110, ruangan di mana ibu dan adiknya --yang sedang terbaring koma-- berada. "Ibu!" Suara pintu yang di dorong dan suara seseorang membuat Marcelline--ibu Moana-- terkejut. Melihat kedatangan Moana, Marcelline mendengus kasar, "Pelan-pelan, Moana!" Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Moana melemparkan pertanyaan yang sudah ia tahan dari tadi. "Apa ibu menjodohkanku dengan Heros?" Cecar Moana dengan dada naik turun. Ia benar-benar buruk dalam mengontrol emosi.Marcelline yang sedang mengelus lengan Elysa, langsung menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari anaknya. Bagaimana mungkin secepat ini Moana tahu?"Kau sudah tahu?"
Manhattan, NYC - USA "Lelah sekali," Moana bergumam sambil berjalan keluar Restoran tempatnya bekerja. Sesekali ia melihat kendaraan yang berlalu-lalang.Tepatnya hari ini ia sudah menjadi pekerja tetap di Xyan's, --Restoran khas Italia.-- Dalam langkah kakinya, ia tidak berniat pulang sama sekali. Membayangkan isi rumah yang kosong dan tidak ada suara apa pun membuatnya nyaris hampir bersedih. "Tidak Moana, kau kuat. Demi ibu dan Elysa."Senyum tersungging kecil di bibirnya, saat membayangkan keluarga mereka, Moana mulai semangat lagi. Mau bagaimana pun, alasan terbesar Moana bekerja adalah keluarganya.Sekali lagi, Moana mengangguk. Meyakinkan dirinya. Tiba-tiba ponsel yang sedang digenggamnya berdering, menampilkan nama Floria --sahabatnya--.Baru saja akan mengangkat teleponnya, mata Moana melihat sebuah mobil berhenti di depannya. Keningnya mengerut, melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari sana. Keheranan Moana semakin meningkat saat mereka menghampirinya, menarik pergel