"Kau baru mengetahuinya?""Jadi_""Baiklah, selamat kalau begitu. Kau akan jadi seorang ayah, akan ada yang memanggilmu Daddy," ujar Ryan dengan nada gembira berbanding terbalik dengan ekspresi Arthur, ia terkejut bahkan cenderung tidak percaya. Ia bahagia sekarang namun kilasan mengenai istrinya dan Clark membuat kebahagiaannya sirna begitu saja."Berapa usia kandungannya?""Dua minggu Arthur.""Baiklah," ucap Arthur tertahan bahkan tangannya sudah mengepal sempurna."Usia kandungannya masih sangat rentan, kau harus menjaganya," ucap Ryan dibalas anggukkan oleh Arthur."Baiklah aku pergi dulu.""Terimakasih.""Jaga dia baik-baik.""Tentu," ujar Arthur tersenyum manis walau tersembunyi sesuatu yang besar dalam dirinya yang akan keluar sebentar lagi.Setelah Ryan keluar dari mansion, Arthur dengan cepat memasuki kamar tamu yang sudah ada Tabitha disana. Ia membuka pintunya dan terlihatlah istrinya yang sedang membelai lembut perutnya dan juga Brian yang berdiri di hadapannya."Keluarla
Arthur mengemudikan mobilnya menuju kantor namun ditengah perjalanan ia memikirkan keadaan Tabitha, tak bisa dibohongi ia khawatir dengan keadaan istrinya saat ini, bergegas pria itu memutar arah dan menuju mansion.Setelah sampai di mansion, ia ragu untuk bertemu Tabitha. Akhirnya ia mendudukkan tubuhnya di meja makan untuk sarapan, ia tak pergi ke kantor hari ini, pikirannya terlalu kalut jika ditambah dengan persoalan kantor."Nak, kau sudah pulang?" Tanya Madam Rose."Ya.""Kau bertengkar dengan istrimu?""Sedikit.""Tidak, kau berbohong. Jika sedikit, Tabitha tidak mungkin meninggikan suaranya.""Ya kau benar.""Apa yang terjadi?""Aku tak bisa mengatakannya madam.""Baiklah tak apa.""Maaf.""Ya, kau ingin sarapan?""Tidak."Lalu di tengah perbincangan mereka Karin datang membawa makanan, Arthur kira makanan itu untuknya tapi Karin malah berjalan melewatinya. "Karin tunggu!""Ya tuan?""Untuk siapa kau membawa makanan itu?""Ini untuk nyonya.""Tabitha?""Istrimu tidak keluar da
Brian menatap kearah Arthur yang sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen di mejanya, Brian tau Arthur selama dua hari ini menyibukkan dirinya dengan urusan kantor, terlihat sekali Arthur membohongi dirinya, ia terlihat acuh dengan kepergian Tabitha, tapi di dalam hatinya Arthur tersakiti karena kepergian istrinya itu."Arthur.""Ya?""Aku mendapat undangan dari Mr. Xavier.""Lalu?""Kau bisa pergi kan?""Ya.""Baiklah, akan ku siapkan."Brian duduk di sofa ruangan Arthur dan tak lama seorang staf datang menemui Arthur dan menyerahkan beberapa dokumen. Brian tak menanggapi ia hanya fokus pada ponselnya namun sentakkan Arthur membuat Brian mendongakkan kepalanya."Bagaimana data tidak valid! Apa yang terjadi?!""M-maaf boss, tapi aku sudah memperbaikinya dua kali.""Tetap salah! Kau bodoh!""Saya akan perbaiki lagi boss.""Lima belas menit, jika kau belum datang dengan laporan yang benar kau ku pecat!""B-baik boss."Staf itu pun keluar, Brian menghentikannya sedangkan Arthur beridiri di
"Arthur," lirih Tabitha, wanita itu masih tidak percaya bahwa suaminya ada di hadapannya sekarang."Ya?""Pergi!" ucap Tabitha dingin."Aku ingin bicara padamu Ta.""Pergi!""Ku mohon.""Kubilang pergi Arthur!" ucap Tabitha berusaha menutup pintu namun kaki kanan Arthur menghalangi pintu itu untuk tertutup rapat."Aku ingin bicara berdua denganmu.""Aku tak ingin! Pergilah atau kakimu akan terluka!" ancam Tabitha namun tak ada rasa takut sedikitpun yang tergambar dari wajah tampan Arthur."Silahkan jika kau tega.""Tentu." Tabitha mulai menggerakkan pintunya namun ia urungkan, sial sekali lagi Arthur menang."Kubilang pergi Arthur kalau tidak_""Kalau tidak apa?""Aku akan berteriak kalau kau akan melecehkanku!""Kau istriku apa salah jika aku melecehkanmu?""DIAM!""Biarkan aku masuk, kita akan bicara baik-baik.""Tidak!""Tabitha.""PERGI ARTHUR!""Dengar aku tidak akan pergi.""Baiklah aku akan menelepon polisi.""Kau melupakan kalau suami mu ini adalah orang berpengaruh Tabitha."
Tabitha membuka matanya perlahan dan pemandangan yang dia lihat adalah wajah Arthur yang berjarak hanya beberapa senti bahkan napas Arthur pun bisa dirasakanya."Pagi!"“Kau mau apa?" tanya Tabitha."Aku hanya ingin menjadi yang pertama saat kau membuka matamu."“Bodoh!""Terserah.""Menyingkir dari hadapanku!""Kau bisakah berkata lembut seperti semalam?""Tidak," jawab Tabitha ketus lalu wanita itu memasuki kamar mandi dan berusaha menormalkan degub jantungnya."Kau ingin makan apa?""Terserah!""Tidak ada makanan yang namanya terserah honey.""Dasar bodoh!"Setelah beberapa menit ia membersihkan diri, Tabitha pun keluar dan ia menemukan Arthur tengah menyajikan berbagai makanan di atas meja mini dalam kamar hotelnya."Kau sudah selesai?""Hm.""Baiklah ayo kita makan.""Aku tidak lapar.""Kau harus makan.""Baiklah, tapi kau keluar.""Ha?""Kau keluar Arthur!""Baiklah."Arthur melirik kearah istrinya berharap wanita itu mau menerimanya namun Tabitha malah memberikan tatapan dingin
Tabitha dan Arthur sampai di mansion mereka setelah perjalanan panjang dari Macau, mereka memasuki mansion dengan Tabitha yang berjalan dibelakang tubuh tegap Arthur.Saat seorang bodyguard membuka pintu mansion untuk tuannya Madam Rose langsung menyambutnya, wanita yang sudah tak lagi muda itu langsung menghampiri Tabitha dan memeluk tubuh wanita itu."Kau sudah pulang, Madam sangat bahagia nak," ucap Madam Rose melepaskan pelukannya."Aku pulang karena mu Madam.""Tentu saja, abaikan ucapan pedas pria tua ini," ujar Madam Rose melirik Arthur."Ayo masuk, aku sudah menyiapkan banyak makanan untukmu saat Brian memberitahu kau akan pulang.""Terimakasih," ujar Tabitha sambil melangkah beriringan bersama Madam Rose meninggalkan Arthur di depan pintu mansion."Madam, aku mau ganti baju dulu.""Baiklah, aku akan menunggumu cepatlah.""Baik."Saat Tabitha ingin melangkahkan kakinya menaiki tangga suara bariton menghentikan pergerakannya. "Mau kemana kau?""Ke kamar," ucap Tabitha melirik k
Arthur dengan gagahnya mempresentasikan gagasannya mengenai resort mewah dihadapan klien pentingnya dari tiga negara. Ya, pria itu berencana untuk membangun resort mewah di tiga negara, itu adalah salah satu keinginannya.Para klien menatap Arthur dengan tatapan takjub, mereka kagum dengan gagasan yang Arthur berikan, mereka tertarik dengan proyek yang Arthur ajukan."Kita bisa membantu orang lain, dengan memberikan setengah keuntungan kita untuk Unicef dan daerah-daerah tertinggal di dunia," ujar Arthur sembari memasukkan tangan kanannya ke saku celananya."Mr. De Lavega bukanya itu malah mengurangi keuntungan kita?""Tentu, tapi itu hanya awalan saja, karena setelah kita memberikan donasi kita akan dpandang oleh banyak orang di dunia. Dan mereka pasti tertarik dengan resort kita.""Maksudmu kita gunakan jalur donasi untuk mendobrak kesuksesan resort ini?""Ya kau benar.""Ku rasa itu bagus Mr. De Lavega.""Terimakasih.""Jadi bagaimana apa kalian bersedia menerima ajakanku?" tanya A
Tabitha terbangun setelah aktifitasnya semalam dengan Arthur, bahkan wanita itu masih bergelung dengan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Ia melirik kearah Arthur yang masih tertidur dengan lengan dibawah kepalanya.Tabitha sedikit tidak nyaman dengan perutnya, ia merasa perutnya keram. Wanita itu sedikit meringis saat keram diperutnya semakin menjadi-jadi, ia ingin membangunkan Arthur tapi ia urungkan karena takut merepotkan suaminya lagi. Alhasil wanita itu menahanya, ia bahkan sempat meneteskan air matanya karena keram diperutnya yang menyiksa.Tak lama sebelah ranjang yang Arthur tempati bergerak, Tabitha yang merasakan pergerakan Arthur langsung menutup matanya ia tak ingin Arthur tau rasa sakit yang mendera perutnya.Arthur terbangun ia melirik kearah Tabitha dengan dahi yang membentuk lipatan, ia yakin terjadi sesuatu dengan istrinya. Arthur menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang dan membalikkan tubuh sang istri agar menghadapnya.Tabitha masih enggan membuka kelopak ma