Lili berjalan dengan langkah ringan menuju kelasnya sendiri , hari ini ada ujian dan Lili optimis bisa mendapat nilai sempurna, tentu saja begitu semalam dia begadang menghapalkan rumus matematika dan kimia, biarpun pelajaran berhitung bukan spesialisnya,tapi Lili merasa jika ujian kali ini paling tidak angka 9 akan di raihnya.
“kamu udah belajar semalam, Li?” Lagi-lagi Mia bertanya hal yang sama, Lili hanya santai menanggapi pertanyaan sahabatnya, karena memang persiapan Lili sudah sangat matang untuk ujian hari ini.
“Aku udah belajar semalam, paling nggak 8,5 dapat lah"
“Huuu… pd amat, yakin nanti soal yang kamu pelajari yang bakal keluar?" Mia kembali berseloroh.
“Yakin lah, kalau pun nggak ada yang keluar paling nggak ada sedikit yang mirip lah"
“Si guru killer kayaknya bakal bikin soal-soal baru deh" Diana melanjutkan, memang wali kelas mereka suka ber-eksperimen dengan hal-hal yang baru dan ini seperti jebakan bagi mereka yang lengah, jadi tak heran jika terjadi ujian ulang besar-besaran dikelas nantinya.
“Li, kayaknya kamu harus waspada deh" Lili mengerutkan keningnya, waspada dengan apa maksudnya?
“Waspada sama apa, nih?"
“Waspada kalau-kalau kamu juga kena jebakannya dan ikut ujian susulan kayak kita nanti”
Lili mulai tak percaya diri, harusnya dia mempelajari lebih banyak lagi soal dan rumus semalam, lagipula kenapa teman-temannya sangat optimis akan adanya ujian susulan? sebegitu putus asanya kah mereka? atau mereka sama sekali tak belajar?
Pak guru masuk dengan wajah yang sangar sama seperti biasanya, tapi kali ini lebih seram lagi, para murid pun di buat makin gugup, begitu pun dengan Lili. Lili tak pernah sepanik ini dalam menghadapi ujian harian, apalagi semua buku sudah di baca olehnya, semua rumus pun Lili hapal di luar kepala, tapi entah kenapa ujian kali lain dari biasanya, ataukah karena guru killer itu yang membuat suasana semakin tidak enak ?
Garin meletakkan kertas soal yang disiapkannya sendiri semalaman, rata-rata muridnya berwajah pucat hari ini, ini hanya ujian harian, kenapa mereka berlebihan sekali? pikir Garin, bahkan si gadis tomboy juga tampak gugup, tapi Garin menikmati membuat suasana kelas hening begini, dia jadi lebih tenang menulis kembali auto biografy nya, ya setiap mengajar Garin selalu menyempatkan diri memeriksa lamaran kerjanya yang dikirimkan secara online, menjadi guru bukanlah keinginannya, dan Garin sudah merencanakan untuk berhenti secepat mungkin setelah dia dapat pekerjaan yang sesuai keahliannya.
“Bagi kalian yang nilainya di bawah 6,5 akan menjalani remidial dan bagi yang nilainya diatas 8,5 saya akan memberi hadiah khusus”
Garin berbicara lantang di tengah para murid yang sedang serius mengerjakan soal, semua orang menetap kearahnya kecuali satu, Lili masih fokus dengan kertas ujiannya dan itu membuat Garin berniat sedikit menjahilinya.
“Nona rambut cepak yang ada disana, kalau nilai kamu bagus kali ini, saya akan kabulkan 1 permintaan kamu”
Dan benar saja semua mata di kelas tertuju pada Lili sekarang, Lili malu, bahkan sangat malu, untuk apa si guru killer memanggilnya dengan sebutan itu di depan banyak orang?
Seperti biasa, hati Garin terhibur, dia berusaha menahan tawa melihat wajah merah Lili yang mirip udang rebus.
2 jam berlalu dan ketegangan itupun berakhir sudah, Lili memijit pelan pundaknya yang menegang dari tadi, kawan-kawannya semua pesimis bisa lolos dari ujian ulang, terlebih soal yang di berikan wali kelas mereka sangat sulit dan di kertas juga di jelaskan untuk menulis cara serinci mungkin, bukan hanya jawaban tapi juga berserta pemecahannya.
“Gimana Li, tadi kamu bisa nggak?” Tanya Mia yang duduk disebelah Lili.
Lili menggaruk kepalanya pelan, membuat sahabatnya penasaran, “Ehmm, gimana yaa? soalnya agak berbeda sih, tapi lumayan gampang juga"
Lili nyengir dan hilanglah sudah ketegangan Mia, Lili memang jenius, hampir semua mata pelajaran di kuasainya, kecuali musik dan olahraga, karena Lili sangat tak berminat dengan dua hal tersebut.
“Hahh, kalau aku sih dapat 6 aja itu udah angka tertinggi” Mia lagi-lagi menghela napas panjang “Remidi sekali itu aja udah paling poll banget, si guru killer ngasih soal nggak nanggung-nanggung sih, udah gitu susah-susah lagi”
Keduanya tengah berada dikantin sekarang, Mia tampak lesu, pupus sudah harapannya untuk berlibur ke Bangkok jika nilai ujiannya anjlok kali ini, sedang Lili malah asyik menyantap 2 mangkuk bakso dan sepirig siomay, tenaganya telah terkuras saat mengerjakan soal tadi. bagi Lili makan adalah aktivitas favoritnya, Lili jarang makan di rumah, itu sebabnya dia seperti orang kalap ketika makan diluar, Mia tahu itu, Mia tahu jika Lili tak pernah makan dirumah karena ada Sarah disana.
“Li, gimana kalo nilai kamu ikutan turun juga?" Mia iseng bertanya, gadis itu terlanjur galau dengan nilainya sendiri.
“Ahh, nggak apa-apa juga sih, toh kalo pun nilai ku turun juga,kan nanti bisa di ulang lagi” Sahut Lili dengan nada santai.
Mia tersenyum, lalu mengusap rambut Lili dengan lembut, “Otak kamu memang jenius, boleh bagi aku sedikit?" Katanya setengah mengejek.
Lili nyengir, “Nih ambil, ambil sebanyak yang kamu mau” Keduanya lalu tertawa bersama, mencoba melupakan ujian yang melelahkan barusan.
***
Besok paginya …
Guru killer lagi-lagi memanggil Lili ke ruangannya, Lili masih tak paham kenapa wali kelasnya itu memanggilnya terus-terusan, terlebih yang membawa kabar tersebut adalah Diana sahabat sekaligus ketua kelasnya, sontak Diana memberi Lili tatapan ngeri, karena menurutnya guru killer itu mungkin akan menghukum Lili lagi, nah di satu sisi Lili bingung, apa lagi kesalahannya sampai dia di hukum lagi?
Tokk!! tokk!!
Garin mendapati salah satu muridnya memasuki ruangan tempatnya bekerja, kemarin ada ulangan harian dan Garin sangat kecewa dengan hasil yang di dapatnya dari separuh murid di kelasnya tersebut.
“Ada apa, pak?" Tanya gadis yang sudah berdiri didepan meja kerjanya
“Nama kamu, Lili Hariyadi?” Gadis di depannya hanya mengangguk, dengan menampakkan ekspresi wajah bingung yang sangat khas di depan Garin.
“Nilai kamu paling bagus di kelas” Katanya sambil menyodorkan selembar kertas bertuliskan nilai tersebut.
Wajah muridnya tersebut langsung sumringah dan Garin spontan juga tersenyum, untuk ukuran gadis tomboy yang terkesan bandel seperti gadis ini Steve tak menyangka bahwa nilainya rata-rata sangat bagus, Garin bahkan berasumsi jika gadis di depannya ini punya IQ yang tinggi, sama seperti dirinya.
“Kamu belajar dengan keras pastinya” Terka Garin
“Iya pak” Gadis tersebut terus saja tersenyum sambil menampakkan gigi putihnya, wajar jika dia sangat senang, karena Garin jarang memuji orang selama ini.
“Bapak nggak lupa kan sama janji bapak tadi pagi?" Gadis itu tersenyum lagi, kali ini senyuman yang sedikit nakal dimata Garin
“Tentu, lalu apa yang kamu inginkan?"
“Saya cuma pengen satu pak”
“Apa itu?"
“Berhentilah jadi guru yang di takuti murid, saya lebih suka kalau bapak bersikap bijaksana dan tegas, alih-alih galak dan kayak nggak mau tersentuh sama yang lain gitu”
Garin memandang gadis polos di depannya dengan tatapan serius, ternyata selama ini begitu dia di mata para murid-muridnya, Garin memang tak pernah menggangap muridnya sebagai sesuatu yang lebih, Garin mengajar karena di minta dan dia awalnya hanya setengah hati melakukan pekerjaan yang menurutnya sepele, karena rasa tak ikhlas itulah yang membuat Steve bersikap tegas dan terkesan sering marah-marah.
“Ok, akan saya coba” Jawab Garin singkat
“Cuma itu pak?” Protes Lili, tatkala Garin sudah kembali mulai mengacuhkannya.
“Kamu ingin apa lagi dari saya?"
Lili hanya bisa meringis, dia sudah menyampaikan semua uneg-unegnya selama ini, mewakili semua kawan-kawan sekelasnya yang juga merasakan hal yang sama sepertinya.
"Kok diam? saya tanya kamu mau apalagi?" Desak Garin lagi.
"Nggak pak, kalau begitu saya pamit kembali kekelas"
Garin mengangguk, sepeninggal Lili Garin kembali memikirkan ucapan gadis itu, mungkin selama ini dia memang terlalu menjaga jarak dengan orang lain, mungkin sikapnya juga terlalu angkuh.
Entahlah, yang Garin tahu bahwa dia tak akan lama berada disekolah ini, akhir tahun ini, atau ketika anak-anak dikelasnya selesai ujian dia sudah harus pergi, ada pekerjaan lain yang menantinya dan mengajar disekolah ini bukanlah rencana dalam hidupnya.
***
Hari ini Lili iseng ikut Omanya menghadiri acara arisan keluarga, tentu bukan tanpa alasan Lili ikut, karena hari ini hari minggu dan Lili hanya menghabiskan waktunya dengan menonton tv atau video di internet, hal itu sangat membosankan baginya, apalagi saat ingin keluar rumah ternyata Lili baru sadar jika dia tak punya teman untuk di ajak pergi bersama, Mia pergi liburan bersama keluarganya dan di rumah hanya ada Sarah, tentu saja Lili enggan keluar rumah dengan wanita cantik itu.
“Kamu habis ini harus panjangin rambut, oma malu setiap kali jalan sama kamu dan kamu selalu di kira anak laki-laki"
Lili hanya mengangguk menanggapi ocehan omanya, rambut cepak tentu bukan style Lili, tahun-tahun sebelumnya Lili memanjangkan rambutnya dan beberapa bulan yang lalu tragedi itu terjadi di saat Lili minta di pangkaskan sedikit rambutnya oleh sepupunya dan malah berakhir dengan insiden terbentuknya rambut cepak ala Lili, yang walau begitu masih cocok dengannya.
“Mas Rico yang awalnya potong oma, oma kan tahu kalau aku ini orangnya selalu mengikuti style, ya kalau rambut pendek gini ya nggak mungkin di curly atau di catok kan?"
Oma Gita hanya menghela napas mendengar celotehan cucunya yang memang tak mau mengalah, entah Lili ini menurun siapa, mamanya wanita yang lemah lembut dan papanya juga tak banyak bicara, tapi satu yang pasti Lili adalah cucu kesayangan omanya.
Keduanya tengah berada dalam ruang tamu yang luas saat ini, acara seperti inikah yang disebut acara arisan keluarga? mirip pesta nikahan menurut Lili, makanan dimana-mana, belum lagi tamu-tamunya yang jumlahnya puluhan, oma Gita berjalan didepan, ber- cipika-cipiki dengan teman-teman lamanya, sedang Lili hanya bisa kagum melihat makanan yang sepertinya semua terlihat enak.
“Pokoknya nanti oma bakal kenalin kamu sama beberapa cucu temen oma, jadi oma harap kamu nggak berbuat macem-macem”
Lili hanya menurut dan berjalan di belakang omanya, hari ini Lili bahkan mengenakan dress putih selutut dan juga bando kecil agar dia terlihat agak sedikit feminim, omanya terus berbisik agar menjaga sikap, padahal Lili sudah sangat ingin mengambil piring dan menumpuk makanan sampai segunung sekarang.
“Nenek Om Garin kemana sih?" Perhatian Lili teralihkan pada seorang anak kecil yang sedang merengek pada neneknya, anak itu terlihat ingin menangis dan entah kenapa Lili penasaran dengan alasan kenapa gadis kecil itu terus merengek.
“Nanti om nya datang ya Key, sekarang maem dulu yuk, dari tadi belum makan” Lili melihat lagi seorang wanita muda yang ditebaknya adalah ibu dari anak kecil itu.
“Iya, Keysa ikut mama dulu ya sayang, nenek mau telpon om Garin nya dulu?”
Lili sibuk mengamati keluarga besar yang sedang mengadakan acara ini, perempuan tua disana itu sepertinya warga negara asing, biarpun kulitnya sudah keriput, tapi penampilan fisiknya jelas berbeda, rambutnya pirang, kulitnya sangat putih dan hidungnya mancung, Lili menerka jika nenek itu sangat cantik dulunya ketika masih muda, bahkan sudah tua pun aura nya masih terpancar dengan jelas.
“Oma, oma-oma itu orang mana sih?" Tanya Lili penasaran.
“oh, dia orang amerika, dulu temen oma waktu SMA” Pendidikan oma Lili memang hanya sampai SMA saja, oma tidak sempat lagi kuliah karena keburu di nikahi almarhum opanya.
“Wajahnya kayaknya nggak asing,oma, mirip seseorang tapi siapa ya?"
“Mungkin kamu kenal sama anaknya?"
“Siapa emangnya? Tanya Lili balik, omanya hanya mengangkat bahu, karena sama-sama tak tahu.
Acara arisan keluarga itu lebih mirip acara menggosip bagi Lili, terkhusus bagi omanya, oma Gita tak berhenti membicarakan Sarah yang notabene tak begitu disukai oleh oma, berbeda dengan sang oma, Lili hanya diam dan memilih tak menanggapi percakapan tersebut, menjelek-jelekkan orang di belakang bukanlah sifatnya, Lili lebih suka jika berbicara secara langsung di depan orang tersebut.
“Kamu bosan, ya?" Lili yang duduk dipojok terkejut, seseorang menepuk bahunya dari samping, begitu menoleh Lili mendapati nenek bule tadi tersenyum padanya, yang entah kenapa membuat Lili tenang melihatnya.
Lili hanya mengangguk pelan dan tersenyum pada wanita itu, “Jujur saya memang agak bosan” Katanya terus terang.
“Kalau begitu kamu bisa ikut oma ke dapur, oma mau bikin sesuatu tapi nggak ada orang yang bisa bantu oma, cuma kamu saja yang oma lihat nggak ikut berbaur dengan yang lain”
Awalnya Lili sedikit ragu, karena pengalamannya di dapur sangatlah minim, Lili hanya ahli dalam satu bidang dan itu hanya belajar saja, sejak kecil mamanya tak pernah membiarkannya masuk dapur dan sekarang dapur di rumahnya juga sudah di kuasai oleh Sarah, ibu tirinya.
“Tapi saya nggak bisa bantu apa-apa, oma”
Wanita di depannya tersenyum lembut, “Nggak apa-apa, nanti kamu bantu oma iris-iris bahan-bahannya aja” Akhirnya Lili menurut lalu beranjak berdiri dan menutun wanita tua itu yang berjalan dengan tongkatnya menuju dapur.
Di dalam dapur Lili lebih merasa gembira daripada berkumpul dengan sekelompok ibu-ibu penggosip, dia membantu Oma Lisa, wanita tua tadi, memotong bahan-bahan seperti tomat dan yang lainnya .
“Kamu oma lihat mirip sekali dengan mamamu” Lili tertegun mendengar oma Lisa menyebut sang mama, Lili memang sangat dekat dengan mamanya, terlebih sang mama hanya berdua saja di rumah dengan Lili, papanya seperti biasa sibuk berkeliling dunia untuk mengurusi bisnisnya.
“Mama sering kesini kah,oma?"
“Tentu, oma kamu dulu suka membawa mamamu datang kesini, waktu itu mama kamu seumuran kamu dan oma kamu seperti sekarang memaksa dia untuk kemari, padahal mama kamu juga ogah-ogahan” Oma Lisa sedikit terkikik mengenang masa lalu saat mama Lili seumuran dengan Lili, karena itu mengingatkannya pada masa lalu.
“Apa mama dulu gadis yang bandel, oma?" Tanya Lili serius
“Memangnya oma kamu nggak pernah cerita?" Lili menggeleng pelan, Lili akan di marahi habis-habisan kalau dia menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan masa muda mamanya, entahlah Lili juga tak paham betul apa alasannya, tapi nyatanya omanya memang tak pernah menceritakan apapun tentang masa kecil mamanya.
“Audrey itu anaknya ceria dan banyak bicara sewaktu dia seusia kamu, pokoknya kalau oma lihat kamu, ya oma langsung ingat dia, baru setelah dia menikah sama papa kamu, sikapnya sedikit-sedikit mulai berubah”
Lili tersenyum dan membayangkan mamanya berambut pendek sepertinya, jika saja mamanya masih hidup, mungkin Lili bisa sedikit tahu dari mulut mamanya sendiri tentang masa mudanya.
“Oma, Garin itu anak oma, kah?" Lili mengalihkan pembicaraan, bukan karena tak mau membahas lagi tentang mamanya, tapi bagi Lili sedikit informasi itu pun sudah cukup untuk mengobati rasa penasarannya selama ini.
“Hmm, beberapa bulan yang lalu pendidikannya selesai dan oma memaksa dia bekerja di tempat kerabat oma, sepertinya dia masih kesal, makanya nggak datang di acara keluarga”
Ada semburat kesedihan di wajah tua oma Lisa ketika bercerita tentang putranya, kalau si Garin itu benar-benar sayang ibunya kenapa dia tidak pulang, pikir Lili.
“Dia pasti datang kok oma” Lili tersenyum lagi, kali ini senyuman yang lembut dan tulus, membuat wanita di depannya sampai tersentuh.
“Coba kamu agak sedikit lebih dewasa, mungkin kamu sama Garin akan cocok, masalahnya Garin nggak suka anak sekolahan”
“Ahh, oma mah, emang Garin itu om-om?" Sahut Lili mencoba bercanda untuk mencairkan suasana.
“Nggak juga, 7 tahun lagi usianya mungkin 32 tahun”
“7 tahun lagi berarti aku 24 tahun dong, ya?" Oma Lisa mengangguk, dia sangat berharap Lili mau menunggu anaknya, atau sebaliknya, mungkin rumah akan lebih ramai jika gadis ini kelak menjadi istri dari anak bungsunya itu.
Lili sampai di rumah tepat pukul 8 malam, perutnya penuh dengan segala makanan yang di sajikan di rumah megah itu dan lagi anehnya Lili merasa tenang berada di rumah itu, bukan karena kemewahannya, tapi karena penghuninya yang sangat humble, bahkan oma Lisa sudah di anggap bagian dari keluarga oleh Lili, wanita tua itu begitu menyenangkan, di tambah lagi dia mengenal sangat dekat almarhumah Audrey, mama Lili yang meninggal 2 tahun lalu.
“Tante pikir kamu nginap di rumah oma kamu, Li?" Sarah turun dari tangga lantai 2 rumah mereka.
“Kenapa? tante ngarepnya aku nggak pulang?” Entah kenapa suasana hati Lili langsung berubah, Lili kesal mendapatkan pertanyaan seperti itu.
Sarah hanya tersenyum, lalu duduk di kursi di dapur tempat Lili sekarang berada, “Gimana tadi acaranya? kamu senang?”
Lili menghela napas, “Disana semua orang ngomongin tante”
“Benarkah ?” Sarah seakan sudah biasa dengan gunjingan orang di belakang, karena di dalam keluarga besar Lili pun, Sarah di anggap tak lebih dari seorang perempuan yang gila harta.
“Tante tahu kenapa tante terus-terusan jadi bahan olok-olokan?" Ucap Lili penuh penekanan, “Karena tante tanpa sadar menggiring mereka untuk ber-opini seperti itu”
Sarah hanya diam, memang benar apa yang dikatakan putri tirinya, dimata orang lain Sarah tak lebih hanya wanita simpanan laki-laki kaya raya seperti Feri Hariyadi, papa Lili.
“Kamu mungkin benar,tante memang awalnya mengincar papa kamu karena uangnya, di tambah lagi masa lalu tante yang seorang mantan pramusaji di club malam, mana mungkin juga keluarga kamu mau menerima orang seperti tante? tapi kamu harus tahu, kalau tante tulus ingin menjadi ibu kamu. pastinya bukan untuk mengantikan ibu kandung kamu, tapi tante mau kamu menganggap tante sebagai teman, itu aja”
Mata Sarah mulai berkaca-kaca, Lili merasa bersalah telah berkata sedikit kasar, “Aku cuma malas mendengar orang-orang terus bergosip dan maaf aku nggak bermaksud membuat tante sedih dan aku harap tante nggak lagi terlalu tampil mencolok didepan orang lain, karena itu akan membuat tante makin jadi bahan omongan mereka”
Setelah mengatakan itu Lili berlalu, menuju kamarnya lalu menguncinya dari dalam, sedang Sarah tertunduk lesu sendirian di dapur, meratapi nasibnya yang selalu diacuhkan oleh ayah dan anak yang tinggal dirumah besar itu.
Suami Sarah yang juga ayah kandung Lili sangat jarang pulang kerumah, hari-hari Sarah dihabiskannya untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, tapi Lili selalu menolak makan dirumah, entah apa alasannya sampai Lili begitu benci padanya, tapi yang Sarah rasakan sekarang lebih mirip seperti ‘burung yang terkurung disangkar emas’, tak ada kasih sayang, tak ada canda tawa yang dulu sering di khayalkannya, faktanya Sarah hanya wanita yang bergelimang harta dari suaminya, tapi hati wanita itu hampa, tak ada cinta seperti yang diharapkannya dahulu.
***
Pagi hari di hari selasa semua murid-murid sibuk mempersiapkan ujian susulan, Lili menjadi satu-satunya siswa yang lolos dari hal tersebut, guru killer-nya sudah memberinya instruksi untuk meninggalkan kelas saat ujian susulan berlangsung dan itu di tanggapi Lili dengan biasa saja, walau tentu kawan sekelasnya termasuk Mia sangat iri dengannya.
Lili berjalan sendirian di tengah suasana sekolah yang sedang sepi, hari ini Lili kurang bersemangat karena semalam habis berdebat dengan Sarah, bahkan Lili sengaja berangkat sekolah pagi-pagi buta hanya untuk menghindari wanita tersebut, melihat Sarah membuatnya merasa tak enak hati, ada sedikit rasa menyesal karena telah berkata demikian pada Sarah semalam, entahlah Lili sendiri tak paham dengan apa yang dirasakannya saat ini.
“Kamu sedang apa duduk disana?" Lili yang sedang melamun kaget mendengar suara berat yang khas di belakangnya, itu suara wali kelasnya, Lili sedang duduk sendiri di depan lapangan dan guru tampan itu mendekatinya.
“Bapak juga ngapain di sini?"Tanya Lili balik.
“Saya mau ke kelas, mau membagikan soal “
“Bapak suruh saya keluar, ya pas banget saya lagi pengen sendirian”
“Kamu galau habis berantem sama pacar kamu?" Tanya Garin basa-basi.
Lili menolehkan kepalanya sambil melotot, siapa yang memikirkan pacar, di saat-saat seperti ini Lili bahkan tidak punya waktu dan pikiran untuk pacaran.
“Saya nggak pacaran pak, memangnya orang galau itu mesti karena pacar ?”
Laki-laki muda di depan Lili ini memang sangat iseng, entah kenapa Garin si guru killer selalu menikmati pemandangan saat membuat muridnya satu ini kesal, di balik sikap kejamnya Garin ternyata menyimpan rasa kagum pada sikap Lili yang terkesan cuek tapi bisa membawa diri, tidak seperti remaja putri seumuran dia kebanyakan, yang rata-rata semua keranjingan make up dan centil .
“Kamu unik, saya suka prinsip kamu, tapi saya harap itu bukan untuk gaya-gayaan saja”
Garin meninggalkan Lili setelah mengatakan hal tersebut, sedang Lili masih cemberut, tapi ekpresi itu berubah setelah Lili melihat punggung Garin yang berjalan membelakanginya, ada rasa nyaman saat Lili melihat guru killer-nya tersebut dari belakang.
“Pak guru kelihatan tenang dari belakang, biarpun mulutnya sangat kejam, tapi aku suka dengan sikapnya yang manly dan nggak gampangan” Kata Lili dalam hati.
Lili terus saja memperhatikan gurunya sedang mengajar, akhir-akhir ini pria itu memang bertambah tampan, apalagi sekarang dia tak lagi segalak dulu, teman-temannya pun sering memuji wali kelas mereka lebih ramah sekarang dan tentu saja barisan fans nya pun semakin banyak. tapi Lili tak keberatan dengan itu, semakin banyak orang yang menyukai pak guru semakin bagus, itu artinya permintaan Lili benar-benar dikabulkan dan hanya dengan membayangkan itu saja sudah membuat Lili senang dibuatnya.“Diana, tolong hasil rangkuman teman-teman kamu” Pak guru memanggil Diana, tapi tak ada sahutan, Lili menoleh Diana tak ada ditempat duduknya.“Diana seperti tidak masuk pak, Biar saya saja pak yang bawa” Tawar Lili sambil mengangkat sebelah tangannya.“Ok" Sahut Garin, lalu pergi meninggalkan kelas di ikuti Lili di belakangnya.Sungguh Lili sangat senang melihat pungung Garin dari belakang, Lili memang akhir-akhir ini menaruh perhatian leb
Lili berjalan dengan menenteng tas selempanganya di pinggir jalan, tengah menunggu taksi yang akan menjemputnya di depan sekolahnya, hari ini Lili kesal karena sama sekali tak di perhatikan oleh wali kelanya pasca kejadian di bioskop kemarin.Lili menghela napasnya panjang saat taksi langganan yang di tunggunya tak datang juga, di terik panas begini Lili ingin sekali pulang kerumah lalu meminum jus jeruk di dalam kulkas satu kotak sekaligus.Tin!! Tin!!Lili berjingkat saat sebuah klakson berbunyi nyaring tepat di belakangnya dan saat di buka ternyata Garin lah yang ada di dalamnya.“Kamu nggak pulang?” Tanya Garin dari balik kemudi mobilnya.Lili melongos lalu kembali melihat ke depan.“Kamu mau pulang bareng saya?” Lagi-lagi Lili tak menjawab.“Yasudah kalau begitu, saya hitung sampai tiga, Satu..Dua-”Tanpa pikir panjang Lili langsung membuka pintu mobil tersebut tepat sebelum hitungan ket
“Ngapain sih?” Garin penasaran melihat kakaknya seolah mencari sesuatu, mereka sedang ada di tempat parkir dan Danisha seperti tak mau beranjak dari sana.“Ayo pergi, tapi nanti berhenti di depan gerbang sekolah ya?”Garin menaikkan sebelah alisnya, “Ngapain berhenti di depan gerbang? ngehalangin jalan tau”“Ada seseorang yang ku tunggu”“Siapa?”“Muridmu”“Buat apa?”“Mau tahu saja urusan orang”Garin menghela napas dan melajukan mobilnya dan baru beberapa meter berjalan sang kakak buru-buru memintanya berhenti, Garin menginjak rem tiba-tiba dan itu membuat Garin marah.“Kamu gila ya!! kenapa suruh berhenti mendadak?!”“Sssttt…” Danisha tak peduli dan malah meminta adiknya untuk diam, “HEI!!” Teriak Danisha dari dalam mobil.Garin memperhatikan ada seorang gadis yang be
10 tahun kemudian … Pagi sudah menyongsong ketika Lili terbangun dari tidurnya, tidur yang di rasanya sangat panjang, saking panjangnya, Lili bahkan bermimpi berbagai hal yang sulit diterima oleh akalnya. Lili beranjak dari kasur empuknya menuju kamar mandi, lalu mencuci muka dan menggosok giginya, rambut panjangnya menutupi sebelah mata indahnya, ya sekarang usianya 27 tahun, tepatnya 10 tahun setelah kelulusannya dan tentu banyak yang berubah, tubuhnya meninggi dan langsing, kulitnya putih dengan sedikit aksen kecoklatan khas orang indonesia, bibirnya penuh, bukan hanya itu dadanya juga tumbuh tak terkendali, itu sebabnya Lili sering memakai kaos oblong saat masih kuliah. “Iya pa, aku tahu. bukan itu kan, pokoknya kemarin aku sudah susah payah mengosongkan jadwal” Lili tak berhenti mengoceh pagi-pagi, papanya lagi-lagi mengatur perjodohan sesuka hatinya, alasannya karena Lili sudah sangat cukup umur untuk men
"Nissa, bisa tolong bacakan jadwal saya saat di Jakarta nanti?"Seorang laki-laki tengah menunggu pesawatnya menuju Jakarta, ditemani dengan seorang asisten berada disampingnya setiap saat."Maaf pak?"Garin, laki-laki blasteran Amerika ini tersenyum lembut pada asisetn pribadinya, Anissa. mereka baru saja akan menuju Jakarta, setelah kurang lebih 10 tahun berada diluar negeri, Garin hanya sesekali pulang menjenguk ibunya, tadinya tak ada niat untuk kembali menetap dikota kelahirannya itu, tekad Garin sudah bulat, berkarir diluar negeri adalah impiannya sejak kecil."Memangnya saya nggak ada jadwal kerja disini?" Tanya Garin lagi, dia lupa jika tujuannya pulang adalah untuk berlibur sejenak sebelum kembali bekerja."Kita pulang ke Jakarta kan memang untuk liburan, pak. bapak lupa kalau sudah jauh-jauh hari meminta saya mengosongkan jadwal?"Garin tertawa, memang benar dia sendiri yang meminta Nissa untuk mengosongkan jadwalnya selama di Jaka
Lili berlari dari kantin sambil membawa banyak roti,mulutnya bahkan masih penuh dengan makanan, sialnya tadi Lili keasyikan mengobrol sehingga tak mendengar jika bel masuk sudah berbunyi, barulah setelah puas mengobrol Lili dan ke empat kawannya sadar bahwa kantin dan lapangan yang tadinya riuh telah sepi, itu artinya mereka terlambat masuk kekelas, dan matilah mereka berempat jika siguru killer sudah berada disana sekarang, pastilah keempatnya akan kena semprot lagi nantinya. Dari lorong Lili melihat pintu kelasnya setengah terbuka, masih dengan berlari kecil Lili mempimpin temannya yang setia mengekornya dari belakang. “Guys,kalian masuk duluan, lihat sikon, si guru Bule ada nggak didalam, nanti kalian kasih tanda ke aku, ya?” Lili meng-intruksikan ketiga sahabatnya yang terlihat takut dibelakangnya, walau begitu keti
Seperti biasa anak-anak SMA akan menghabiskan waktu istirahat siangnya dengan makan di kantin , ada pula yang memilih sekedar bercengkrama dengan teman sekelas atau bahkan berpacaran di lorong-lorong yang gelap di bawah tangga . Seorang gadis tomboy berambut pendek berjalan menyusuri lorong dengan gerombolan teman-teman satu gengnya , mereka tertawa bersama , dan sesekali saling mencubit , entah apa yang mereka bicarakan yang pasti semuanya terlihat senang , tanpa beban satu apapun. Berbeda lagi dengan seorang pria yang baru beberapa bulan mengisi posisi sebagai wali kelas , pria itu terkesan judes , tak mau tersenyum bahkan ketika muridnya sendiri menyapanya , hanya sedikit ujung bibirya saja yang bergerak dan itu membuatnya terkesan arogan , belum lagi gayanya mengajar yang lebih mirip seorang pawang sirkus yang menjinakkan seekor harimau , sangat kasar dan memaksa , banyak siswa yang terkena lemparan spidol atau penghapus , pokok
"Nissa, bisa tolong bacakan jadwal saya saat di Jakarta nanti?"Seorang laki-laki tengah menunggu pesawatnya menuju Jakarta, ditemani dengan seorang asisten berada disampingnya setiap saat."Maaf pak?"Garin, laki-laki blasteran Amerika ini tersenyum lembut pada asisetn pribadinya, Anissa. mereka baru saja akan menuju Jakarta, setelah kurang lebih 10 tahun berada diluar negeri, Garin hanya sesekali pulang menjenguk ibunya, tadinya tak ada niat untuk kembali menetap dikota kelahirannya itu, tekad Garin sudah bulat, berkarir diluar negeri adalah impiannya sejak kecil."Memangnya saya nggak ada jadwal kerja disini?" Tanya Garin lagi, dia lupa jika tujuannya pulang adalah untuk berlibur sejenak sebelum kembali bekerja."Kita pulang ke Jakarta kan memang untuk liburan, pak. bapak lupa kalau sudah jauh-jauh hari meminta saya mengosongkan jadwal?"Garin tertawa, memang benar dia sendiri yang meminta Nissa untuk mengosongkan jadwalnya selama di Jaka
10 tahun kemudian … Pagi sudah menyongsong ketika Lili terbangun dari tidurnya, tidur yang di rasanya sangat panjang, saking panjangnya, Lili bahkan bermimpi berbagai hal yang sulit diterima oleh akalnya. Lili beranjak dari kasur empuknya menuju kamar mandi, lalu mencuci muka dan menggosok giginya, rambut panjangnya menutupi sebelah mata indahnya, ya sekarang usianya 27 tahun, tepatnya 10 tahun setelah kelulusannya dan tentu banyak yang berubah, tubuhnya meninggi dan langsing, kulitnya putih dengan sedikit aksen kecoklatan khas orang indonesia, bibirnya penuh, bukan hanya itu dadanya juga tumbuh tak terkendali, itu sebabnya Lili sering memakai kaos oblong saat masih kuliah. “Iya pa, aku tahu. bukan itu kan, pokoknya kemarin aku sudah susah payah mengosongkan jadwal” Lili tak berhenti mengoceh pagi-pagi, papanya lagi-lagi mengatur perjodohan sesuka hatinya, alasannya karena Lili sudah sangat cukup umur untuk men
“Ngapain sih?” Garin penasaran melihat kakaknya seolah mencari sesuatu, mereka sedang ada di tempat parkir dan Danisha seperti tak mau beranjak dari sana.“Ayo pergi, tapi nanti berhenti di depan gerbang sekolah ya?”Garin menaikkan sebelah alisnya, “Ngapain berhenti di depan gerbang? ngehalangin jalan tau”“Ada seseorang yang ku tunggu”“Siapa?”“Muridmu”“Buat apa?”“Mau tahu saja urusan orang”Garin menghela napas dan melajukan mobilnya dan baru beberapa meter berjalan sang kakak buru-buru memintanya berhenti, Garin menginjak rem tiba-tiba dan itu membuat Garin marah.“Kamu gila ya!! kenapa suruh berhenti mendadak?!”“Sssttt…” Danisha tak peduli dan malah meminta adiknya untuk diam, “HEI!!” Teriak Danisha dari dalam mobil.Garin memperhatikan ada seorang gadis yang be
Lili berjalan dengan menenteng tas selempanganya di pinggir jalan, tengah menunggu taksi yang akan menjemputnya di depan sekolahnya, hari ini Lili kesal karena sama sekali tak di perhatikan oleh wali kelanya pasca kejadian di bioskop kemarin.Lili menghela napasnya panjang saat taksi langganan yang di tunggunya tak datang juga, di terik panas begini Lili ingin sekali pulang kerumah lalu meminum jus jeruk di dalam kulkas satu kotak sekaligus.Tin!! Tin!!Lili berjingkat saat sebuah klakson berbunyi nyaring tepat di belakangnya dan saat di buka ternyata Garin lah yang ada di dalamnya.“Kamu nggak pulang?” Tanya Garin dari balik kemudi mobilnya.Lili melongos lalu kembali melihat ke depan.“Kamu mau pulang bareng saya?” Lagi-lagi Lili tak menjawab.“Yasudah kalau begitu, saya hitung sampai tiga, Satu..Dua-”Tanpa pikir panjang Lili langsung membuka pintu mobil tersebut tepat sebelum hitungan ket
Lili terus saja memperhatikan gurunya sedang mengajar, akhir-akhir ini pria itu memang bertambah tampan, apalagi sekarang dia tak lagi segalak dulu, teman-temannya pun sering memuji wali kelas mereka lebih ramah sekarang dan tentu saja barisan fans nya pun semakin banyak. tapi Lili tak keberatan dengan itu, semakin banyak orang yang menyukai pak guru semakin bagus, itu artinya permintaan Lili benar-benar dikabulkan dan hanya dengan membayangkan itu saja sudah membuat Lili senang dibuatnya.“Diana, tolong hasil rangkuman teman-teman kamu” Pak guru memanggil Diana, tapi tak ada sahutan, Lili menoleh Diana tak ada ditempat duduknya.“Diana seperti tidak masuk pak, Biar saya saja pak yang bawa” Tawar Lili sambil mengangkat sebelah tangannya.“Ok" Sahut Garin, lalu pergi meninggalkan kelas di ikuti Lili di belakangnya.Sungguh Lili sangat senang melihat pungung Garin dari belakang, Lili memang akhir-akhir ini menaruh perhatian leb
Lili berjalan dengan langkah ringan menuju kelasnya sendiri , hari ini ada ujian dan Lili optimis bisa mendapat nilai sempurna, tentu saja begitu semalam dia begadang menghapalkan rumus matematika dan kimia, biarpun pelajaran berhitung bukan spesialisnya,tapi Lili merasa jika ujian kali ini paling tidak angka 9 akan di raihnya.“kamu udah belajar semalam, Li?” Lagi-lagi Mia bertanya hal yang sama, Lili hanya santai menanggapi pertanyaan sahabatnya, karena memang persiapan Lili sudah sangat matang untuk ujian hari ini.“Aku udah belajar semalam, paling nggak 8,5 dapat lah"“Huuu… pd amat, yakin nanti soal yang kamu pelajari yang bakal keluar?" Mia kembali berseloroh.“Yakin lah, kalau pun nggak ada yang keluar paling nggak ada sedikit yang mirip lah"“Si guru killer kayaknya bakal bikin soal-soal baru deh" Diana melanjutkan, memang wali kelas mereka suka ber-eksperimen dengan hal-hal yang
Seperti biasa anak-anak SMA akan menghabiskan waktu istirahat siangnya dengan makan di kantin , ada pula yang memilih sekedar bercengkrama dengan teman sekelas atau bahkan berpacaran di lorong-lorong yang gelap di bawah tangga . Seorang gadis tomboy berambut pendek berjalan menyusuri lorong dengan gerombolan teman-teman satu gengnya , mereka tertawa bersama , dan sesekali saling mencubit , entah apa yang mereka bicarakan yang pasti semuanya terlihat senang , tanpa beban satu apapun. Berbeda lagi dengan seorang pria yang baru beberapa bulan mengisi posisi sebagai wali kelas , pria itu terkesan judes , tak mau tersenyum bahkan ketika muridnya sendiri menyapanya , hanya sedikit ujung bibirya saja yang bergerak dan itu membuatnya terkesan arogan , belum lagi gayanya mengajar yang lebih mirip seorang pawang sirkus yang menjinakkan seekor harimau , sangat kasar dan memaksa , banyak siswa yang terkena lemparan spidol atau penghapus , pokok
Lili berlari dari kantin sambil membawa banyak roti,mulutnya bahkan masih penuh dengan makanan, sialnya tadi Lili keasyikan mengobrol sehingga tak mendengar jika bel masuk sudah berbunyi, barulah setelah puas mengobrol Lili dan ke empat kawannya sadar bahwa kantin dan lapangan yang tadinya riuh telah sepi, itu artinya mereka terlambat masuk kekelas, dan matilah mereka berempat jika siguru killer sudah berada disana sekarang, pastilah keempatnya akan kena semprot lagi nantinya. Dari lorong Lili melihat pintu kelasnya setengah terbuka, masih dengan berlari kecil Lili mempimpin temannya yang setia mengekornya dari belakang. “Guys,kalian masuk duluan, lihat sikon, si guru Bule ada nggak didalam, nanti kalian kasih tanda ke aku, ya?” Lili meng-intruksikan ketiga sahabatnya yang terlihat takut dibelakangnya, walau begitu keti