Deondra tiba di rumahnya menjelang siang. Dia turun terburu-buru, meninggalkan Alrix yang baru mematikan mesin mobil.
Dia masih kaget dengan sikap Deondra yang berubah setelah keluar dari ruangan ayah Arinda. Wajahnya mengeras dengan mata memerah, lalu bicara padanya dengan dua kalimat.
"Ayo pulang! Arinda menjauhiku karena dia sedang hamil!"
Singkat, padat dan jelas pernyataan itu di dengarnya. Alrix bahkan sampai sampai berlari mengikutinya yang langsung memasuki lift. Pikirannya masih berkecamuk. Arinda hamil? Apa yang akan di lakukan Tuan Mudanya itu? Akankah dia menerimanya atau dia akan membuat Arinda tersiksa.
"Tuan Muda, sebentar!" Alrix berlari mendekatinya, menahan langkahnya yang tidak sabaran menuju dapur.
"Tuan Muda! Apa yang akan Anda lakukan padanya? Dia tidak bersalah," ujarnya sambil mencoba menahan langkah Deondra yang semakin cepat.
"Minggirlah, Alrix! Aku ingin mendengar pengakuannya!" Deondr
Deondra mengepalkan tangannya penuh dengan rasa bersalah. Menatap kepergian Arinda yang sudah hilang di balik tembok kamar mandi bawah tangga."Dia tengah menangis, dia sengaja pergi dariku untuk mengeluarkan semua rasa sakit hatinya," gumamnya sesak, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.Ucapan, tangisan dan juga penolakan gadis itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebegitu parahkah luka hatinya? Sebegitu bencikah Arinda padanya? Apa yang harus dia lakukan untuk membuatnya percaya bahwa dia menginginkan mereka? Menginginkan Arinda menjadi istrinya dan melahirkan anak itu dengannya.Menyugar rambutnya gusar, wajahnya memerah penuh penyesalan. Dia membiarkan tubuhnya merosot jatuh, lemah, tiada dayanya yang bisa di tunjukkan sebagai seseorang yang angkuh. Deondra, dia sudah menghancurkan hati wanita yang di cintainya itu.Namun, belum sempat dia terduduk, seseorang sudah menahan lengannya. Dia mendongak, menatap Alrix yang ten
Arinda menunduk, meraih sapu untuk membantu membersihkan rumah.Pagi ini suasana rumah sama seperti biasanya. Pada pelayan yang kembali bertugas, tak jauh berbeda dari apa yang di lakukannya. Walaupun sedikit menjauh dari perkumpulan teman-temannya, Arinda tetap melakukan pekerjaannya. Dia tidak ingin di anggap istimewa hanya karena hamil, dia tetap dirinya, yaitu seorang pelayan.Menatap sekeliling rumah, tidak ada yang kotor. Hingga dia memutuskan untuk ke dapur. Masih belum berani beradu tatap dengan para pelayan yang berselisih, gadis itu lebih memilih untuk menatap kakinya daripada arah depan."Ada yang bisa saya bantu, Kepala?"Yang di sebutnya menoleh, menatap Arinda yang tengah menunduk menatap kakinya yang dia ayun-ayunkan."Kamu sudah makan?" Kepala pelayan balik bertanya, mendekati Arinda yang langsung mendongak."Sudah, makan cake moca yang saya beli kemarin. Ini sudah setengah tujuh, sarapan sudah siap?"&
Sebenarnya Deondra hanya bercanda. Dia memang mengambil pemukul kasti dan menyembunyikannya di atas lemari. Mengingat kakaknya datang, sudah pasti Syillia ikut. Keponakan perempuannya itu terkadang sangat menyebalkan. Dia suka mengambil dan membawa pulang alat-alat olahraga milik Deondra, apalagi yang langka dan harganya mahal. Demi untuk membuatnya tak melakukan itu, Deondra harus bertindak lebih dulu.Deru mobil terdengar di luar, tapi Deondra acuh. Melangkah ke belakang, dia menghampiri Arinda yang tengah duduk di pinggiran kolam."Kak Devina datang," ucapnya membuat Arinda mendongak.Dilihatnya Deondra yang tengah menatapnya dalam posisi menunduk. Gadis itu diam di tempat, dia begitu malas untuk bangkit dan menundukkan kepalanya pada Deondra. Mengayukan kakinya menyibak air, Arinda hanya diam sampai Deondra berjongkok di sampingnya."Kau tidak mau menemuinya?" Deondra bertanya, menatap wajah Arinda yang justru menatap lurus kea
"Em, Tuan Muda." Arinda yang melihat Deondra tengah membuka lemari es memanggilnya, dia merasa tidak enak jika Deondra memasak.Ya, walaupun bukan untuknya saja, tapi ini tidak sopan."Apa?" Deondra berdiri tegak setelah mengambil sebungkus ayam dari dalam kulkas. Menatap wajah Arinda, ada raut tidak enak yang memancar dari sana.Saat ini mereka hanya berdua, Devina dan Syillia sedang keluar untuk membeli bumbu dan beberapa bahan makanan lain dengan di antar oleh Alrix. Sementara itu, para pelayan di mintanya pergi. Dia ingin menguasai dapur dengan Arinda yang ada di sisi kanannya."Em, itu .... Tidak perlu memasakkannya untuk saya. Saya akan memesannya saja, Tuan Muda."Deondra tersenyum, lalu meletakkan bungkusan itu di wastafel dan mulai menyalakan kran."Kapan kau akan mengubah panggilan itu?" Deondra bertanya, seraya mencuci daging ayam itu.Arinda tak menjawab, bukan itu inti pembicaraan merek
Arinda mengikat tali sepatunya sambil berdiri, menyanggakan sebelah kakinya di sofa ruangan ayahnya yang sedang tertidur. Setelah ziarah, Deondra mengantarkannya ke mari. Susah payah dia meminta Tuan Mudanya itu pergi, tapi tetap saja dia tidak mengindahkan permintaannya. Sekarang si penuh kuasa dan mulai berubah menjadi aneh itu sedang ada di luar bersama dengan dokter Sudash.Menatap wajah Ayahnya, pria yang paling berharga dalam hidupnya itu sedang tertidur lelap. Wajar saja, ini memang sudah menjelang malam. Biasanya, setelah makan obat dan di bersihkan perawat, ayahnya akan beristirahat sembari menunggu kedatangannya."Kenapa Ayah harus mengatakannya?" Arinda berkata pelan, meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya erat."Arin kecewa, tapi tidak ada yang bisa di lakukan lagi. Tuan Muda begitu posesif, sudah seperti mengawal seorang wanita yang hamil tua saja," ujarnya kesal, teringat saat mereka menemani Syillia jalan-jalan.De
"Mobil?" Arinda berkata datar. "Bagaimana caranya? Memanjat?" Arinda bangkit dari duduknya, entah mengapa dia merasa kegerahan.Deondra tersenyum melihat kekesalan Arinda. "Saya permisi sebentar Dokter."Menarik Arinda sedikit jauh, dia menatapnya lekat. "Kamu kenapa? Pergi begitu saja. Kukira tadi kau kembali keruangan Ayahmu," ujarnya sambil menatap Arinda yang tengah menarik napas malas."Sudahlah, Tuan-""Kamu tidak bisa memanggilku begitu jika di luar. Memang hubungan kita belum jelas di antara kita, tapi tunjukkanlah pada orang-orang." Deondra memotong ucapan Arinda, membuat gadis itu mengernyit."Jadi, apa yang harus saya panggil?"Malas, rasanya Arinda kesal karena dia di acuhkan. Bukankah Deondra ingin membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh? Atau, apakah semua laki-laki, akan mengabaikan wanita yang di sukainya jika sudah melihat yang lebih cantik?"Sayang.""Hah? Sudah gila, ya?" Arinda memekik
Deondra memperhatikan gadis yang tengah sarapan bersama dengan Kakak dan keponakannya yang akan pulang hari ini. Gadis itu, cantik sekali. Wajahnya yang oval sedikit bulat, rambut bergelombang dan memiliki kulit putih langsat, berhasil membuatnya jatuh cinta setelah sekian lama memendam luka.Entah apa yang menjadi daya tariknya, yang gadis ini berhasil membuatnya melupakan keangkuhan dan harga diri. Seperti tadi malam, dia yang tertidur di dalam mobil, membuatnya langsung menggendongnya ke dalam kamar dan menatap wajahnya berlama-lama.Caranya menarik napas saat tidur juga menggemaskan, Arinda sudah dewasa tapi masih memiliki sifat kekanakan yang cukup terasa.Memperhatikan wajahnya yang masih tidur, Deondra mengusap perutnya yang masih rata. Sudah dua kali, namun tetap saja menyenangkan. Tubuhnya yang meremang saat mengusapnya, membuat tangannya gemetar antara bahagia dan juga haru. Sedikit menyesal juga menghampirinya, karena sudah menghadir
"Kalian, pacaran terus!"Devina mendekati kedua orang yang tengah bicara itu dengan tatapan menyipit. Tangan Arinda yang masih menyentuh bahu Deondra dia lepaskan, membuat sang empunya bahu merengut kecil saat kedatangan sang Kakak mengganggu kebahagiaannya."Sedang apa Kakak di sini?" tanya Deondra, menatapnya malas.Devina berhenti di depan Arinda, menatap gadis itu, dia menghela napas pelan. "Kata Syillia Arinda muntah, ya? Kamu kenapa?"Arinda menatap wajahnya yang tampak khawatir, lalu menggeleng kecil."Arin tadi tidak sengaja makan lengkuas, Kak. Makanya muntah," ucapnya dengan tubuh meremang karena teringat rasanya."Serius? Ya ampun, kok bisa? Kakak saja kalau terkunyah lengkuas langsung di telan," jawabnya membuat kedua orang itu bergidik."Kakak 'kan memang ada kelainannya, seharusnya aku tidak perlu heran.""Kamu!" Devina menatap adiknya horor. "Jangan dengarkan dia, Arin. M
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi