Deondra mengepalkan tangannya penuh dengan rasa bersalah. Menatap kepergian Arinda yang sudah hilang di balik tembok kamar mandi bawah tangga.
"Dia tengah menangis, dia sengaja pergi dariku untuk mengeluarkan semua rasa sakit hatinya," gumamnya sesak, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.
Ucapan, tangisan dan juga penolakan gadis itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebegitu parahkah luka hatinya? Sebegitu bencikah Arinda padanya? Apa yang harus dia lakukan untuk membuatnya percaya bahwa dia menginginkan mereka? Menginginkan Arinda menjadi istrinya dan melahirkan anak itu dengannya.
Menyugar rambutnya gusar, wajahnya memerah penuh penyesalan. Dia membiarkan tubuhnya merosot jatuh, lemah, tiada dayanya yang bisa di tunjukkan sebagai seseorang yang angkuh. Deondra, dia sudah menghancurkan hati wanita yang di cintainya itu.
Namun, belum sempat dia terduduk, seseorang sudah menahan lengannya. Dia mendongak, menatap Alrix yang ten
Arinda menunduk, meraih sapu untuk membantu membersihkan rumah.Pagi ini suasana rumah sama seperti biasanya. Pada pelayan yang kembali bertugas, tak jauh berbeda dari apa yang di lakukannya. Walaupun sedikit menjauh dari perkumpulan teman-temannya, Arinda tetap melakukan pekerjaannya. Dia tidak ingin di anggap istimewa hanya karena hamil, dia tetap dirinya, yaitu seorang pelayan.Menatap sekeliling rumah, tidak ada yang kotor. Hingga dia memutuskan untuk ke dapur. Masih belum berani beradu tatap dengan para pelayan yang berselisih, gadis itu lebih memilih untuk menatap kakinya daripada arah depan."Ada yang bisa saya bantu, Kepala?"Yang di sebutnya menoleh, menatap Arinda yang tengah menunduk menatap kakinya yang dia ayun-ayunkan."Kamu sudah makan?" Kepala pelayan balik bertanya, mendekati Arinda yang langsung mendongak."Sudah, makan cake moca yang saya beli kemarin. Ini sudah setengah tujuh, sarapan sudah siap?"&
Sebenarnya Deondra hanya bercanda. Dia memang mengambil pemukul kasti dan menyembunyikannya di atas lemari. Mengingat kakaknya datang, sudah pasti Syillia ikut. Keponakan perempuannya itu terkadang sangat menyebalkan. Dia suka mengambil dan membawa pulang alat-alat olahraga milik Deondra, apalagi yang langka dan harganya mahal. Demi untuk membuatnya tak melakukan itu, Deondra harus bertindak lebih dulu.Deru mobil terdengar di luar, tapi Deondra acuh. Melangkah ke belakang, dia menghampiri Arinda yang tengah duduk di pinggiran kolam."Kak Devina datang," ucapnya membuat Arinda mendongak.Dilihatnya Deondra yang tengah menatapnya dalam posisi menunduk. Gadis itu diam di tempat, dia begitu malas untuk bangkit dan menundukkan kepalanya pada Deondra. Mengayukan kakinya menyibak air, Arinda hanya diam sampai Deondra berjongkok di sampingnya."Kau tidak mau menemuinya?" Deondra bertanya, menatap wajah Arinda yang justru menatap lurus kea
"Em, Tuan Muda." Arinda yang melihat Deondra tengah membuka lemari es memanggilnya, dia merasa tidak enak jika Deondra memasak.Ya, walaupun bukan untuknya saja, tapi ini tidak sopan."Apa?" Deondra berdiri tegak setelah mengambil sebungkus ayam dari dalam kulkas. Menatap wajah Arinda, ada raut tidak enak yang memancar dari sana.Saat ini mereka hanya berdua, Devina dan Syillia sedang keluar untuk membeli bumbu dan beberapa bahan makanan lain dengan di antar oleh Alrix. Sementara itu, para pelayan di mintanya pergi. Dia ingin menguasai dapur dengan Arinda yang ada di sisi kanannya."Em, itu .... Tidak perlu memasakkannya untuk saya. Saya akan memesannya saja, Tuan Muda."Deondra tersenyum, lalu meletakkan bungkusan itu di wastafel dan mulai menyalakan kran."Kapan kau akan mengubah panggilan itu?" Deondra bertanya, seraya mencuci daging ayam itu.Arinda tak menjawab, bukan itu inti pembicaraan merek
Arinda mengikat tali sepatunya sambil berdiri, menyanggakan sebelah kakinya di sofa ruangan ayahnya yang sedang tertidur. Setelah ziarah, Deondra mengantarkannya ke mari. Susah payah dia meminta Tuan Mudanya itu pergi, tapi tetap saja dia tidak mengindahkan permintaannya. Sekarang si penuh kuasa dan mulai berubah menjadi aneh itu sedang ada di luar bersama dengan dokter Sudash.Menatap wajah Ayahnya, pria yang paling berharga dalam hidupnya itu sedang tertidur lelap. Wajar saja, ini memang sudah menjelang malam. Biasanya, setelah makan obat dan di bersihkan perawat, ayahnya akan beristirahat sembari menunggu kedatangannya."Kenapa Ayah harus mengatakannya?" Arinda berkata pelan, meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya erat."Arin kecewa, tapi tidak ada yang bisa di lakukan lagi. Tuan Muda begitu posesif, sudah seperti mengawal seorang wanita yang hamil tua saja," ujarnya kesal, teringat saat mereka menemani Syillia jalan-jalan.De
"Mobil?" Arinda berkata datar. "Bagaimana caranya? Memanjat?" Arinda bangkit dari duduknya, entah mengapa dia merasa kegerahan.Deondra tersenyum melihat kekesalan Arinda. "Saya permisi sebentar Dokter."Menarik Arinda sedikit jauh, dia menatapnya lekat. "Kamu kenapa? Pergi begitu saja. Kukira tadi kau kembali keruangan Ayahmu," ujarnya sambil menatap Arinda yang tengah menarik napas malas."Sudahlah, Tuan-""Kamu tidak bisa memanggilku begitu jika di luar. Memang hubungan kita belum jelas di antara kita, tapi tunjukkanlah pada orang-orang." Deondra memotong ucapan Arinda, membuat gadis itu mengernyit."Jadi, apa yang harus saya panggil?"Malas, rasanya Arinda kesal karena dia di acuhkan. Bukankah Deondra ingin membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh? Atau, apakah semua laki-laki, akan mengabaikan wanita yang di sukainya jika sudah melihat yang lebih cantik?"Sayang.""Hah? Sudah gila, ya?" Arinda memekik
Deondra memperhatikan gadis yang tengah sarapan bersama dengan Kakak dan keponakannya yang akan pulang hari ini. Gadis itu, cantik sekali. Wajahnya yang oval sedikit bulat, rambut bergelombang dan memiliki kulit putih langsat, berhasil membuatnya jatuh cinta setelah sekian lama memendam luka.Entah apa yang menjadi daya tariknya, yang gadis ini berhasil membuatnya melupakan keangkuhan dan harga diri. Seperti tadi malam, dia yang tertidur di dalam mobil, membuatnya langsung menggendongnya ke dalam kamar dan menatap wajahnya berlama-lama.Caranya menarik napas saat tidur juga menggemaskan, Arinda sudah dewasa tapi masih memiliki sifat kekanakan yang cukup terasa.Memperhatikan wajahnya yang masih tidur, Deondra mengusap perutnya yang masih rata. Sudah dua kali, namun tetap saja menyenangkan. Tubuhnya yang meremang saat mengusapnya, membuat tangannya gemetar antara bahagia dan juga haru. Sedikit menyesal juga menghampirinya, karena sudah menghadir
"Kalian, pacaran terus!"Devina mendekati kedua orang yang tengah bicara itu dengan tatapan menyipit. Tangan Arinda yang masih menyentuh bahu Deondra dia lepaskan, membuat sang empunya bahu merengut kecil saat kedatangan sang Kakak mengganggu kebahagiaannya."Sedang apa Kakak di sini?" tanya Deondra, menatapnya malas.Devina berhenti di depan Arinda, menatap gadis itu, dia menghela napas pelan. "Kata Syillia Arinda muntah, ya? Kamu kenapa?"Arinda menatap wajahnya yang tampak khawatir, lalu menggeleng kecil."Arin tadi tidak sengaja makan lengkuas, Kak. Makanya muntah," ucapnya dengan tubuh meremang karena teringat rasanya."Serius? Ya ampun, kok bisa? Kakak saja kalau terkunyah lengkuas langsung di telan," jawabnya membuat kedua orang itu bergidik."Kakak 'kan memang ada kelainannya, seharusnya aku tidak perlu heran.""Kamu!" Devina menatap adiknya horor. "Jangan dengarkan dia, Arin. M
"Lukhe!"Sudash berlari menuju temannya itu dengan gembira. Menyongsong Lukhe yang sedang menatap kolam ikan di halaman rumahnya."Kau sudah gila, ya?" Lukhe menatapnya dengan malas, lalu mengangkat kail pancing yang di pegangnya untuk menyentak ikan yang memakan umpan."Iyaa! Kau tahu, dia memelukku tadi!"Lukhe menatapnya cepat. "Siapa? Orang gila?""Kau! Benar-benar kurang ajar kau Lukhe! Ku bilang kau pada Deon, kau mengatakan bahwa dia gila!""Heh?" Lukhe melemparkan pancing yang di pegangnya, memasukkan ikan ke dalam tong kecil, dia berlari mengejar Sudash yang melangkah pergi."Tunggu, Sudash! Apa maksud ucapanmu?"Dan dengan seketika, Sudash berteriak kencang karena Lukhe memegang bahunya dengan tangan bau amis."Aaa! Snelli kebanggaanku! Kau benar-benar kurang ajar! Snelliku kotor, Lukhe!"***Lukhe menatap mesin cuci yang ada di depannya dengan malas. Karena ins