"Em, Tuan Muda." Arinda yang melihat Deondra tengah membuka lemari es memanggilnya, dia merasa tidak enak jika Deondra memasak.
Ya, walaupun bukan untuknya saja, tapi ini tidak sopan.
"Apa?" Deondra berdiri tegak setelah mengambil sebungkus ayam dari dalam kulkas. Menatap wajah Arinda, ada raut tidak enak yang memancar dari sana.
Saat ini mereka hanya berdua, Devina dan Syillia sedang keluar untuk membeli bumbu dan beberapa bahan makanan lain dengan di antar oleh Alrix. Sementara itu, para pelayan di mintanya pergi. Dia ingin menguasai dapur dengan Arinda yang ada di sisi kanannya.
"Em, itu .... Tidak perlu memasakkannya untuk saya. Saya akan memesannya saja, Tuan Muda."
Deondra tersenyum, lalu meletakkan bungkusan itu di wastafel dan mulai menyalakan kran.
"Kapan kau akan mengubah panggilan itu?" Deondra bertanya, seraya mencuci daging ayam itu.
Arinda tak menjawab, bukan itu inti pembicaraan merek
Arinda mengikat tali sepatunya sambil berdiri, menyanggakan sebelah kakinya di sofa ruangan ayahnya yang sedang tertidur. Setelah ziarah, Deondra mengantarkannya ke mari. Susah payah dia meminta Tuan Mudanya itu pergi, tapi tetap saja dia tidak mengindahkan permintaannya. Sekarang si penuh kuasa dan mulai berubah menjadi aneh itu sedang ada di luar bersama dengan dokter Sudash.Menatap wajah Ayahnya, pria yang paling berharga dalam hidupnya itu sedang tertidur lelap. Wajar saja, ini memang sudah menjelang malam. Biasanya, setelah makan obat dan di bersihkan perawat, ayahnya akan beristirahat sembari menunggu kedatangannya."Kenapa Ayah harus mengatakannya?" Arinda berkata pelan, meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya erat."Arin kecewa, tapi tidak ada yang bisa di lakukan lagi. Tuan Muda begitu posesif, sudah seperti mengawal seorang wanita yang hamil tua saja," ujarnya kesal, teringat saat mereka menemani Syillia jalan-jalan.De
"Mobil?" Arinda berkata datar. "Bagaimana caranya? Memanjat?" Arinda bangkit dari duduknya, entah mengapa dia merasa kegerahan.Deondra tersenyum melihat kekesalan Arinda. "Saya permisi sebentar Dokter."Menarik Arinda sedikit jauh, dia menatapnya lekat. "Kamu kenapa? Pergi begitu saja. Kukira tadi kau kembali keruangan Ayahmu," ujarnya sambil menatap Arinda yang tengah menarik napas malas."Sudahlah, Tuan-""Kamu tidak bisa memanggilku begitu jika di luar. Memang hubungan kita belum jelas di antara kita, tapi tunjukkanlah pada orang-orang." Deondra memotong ucapan Arinda, membuat gadis itu mengernyit."Jadi, apa yang harus saya panggil?"Malas, rasanya Arinda kesal karena dia di acuhkan. Bukankah Deondra ingin membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh? Atau, apakah semua laki-laki, akan mengabaikan wanita yang di sukainya jika sudah melihat yang lebih cantik?"Sayang.""Hah? Sudah gila, ya?" Arinda memekik
Deondra memperhatikan gadis yang tengah sarapan bersama dengan Kakak dan keponakannya yang akan pulang hari ini. Gadis itu, cantik sekali. Wajahnya yang oval sedikit bulat, rambut bergelombang dan memiliki kulit putih langsat, berhasil membuatnya jatuh cinta setelah sekian lama memendam luka.Entah apa yang menjadi daya tariknya, yang gadis ini berhasil membuatnya melupakan keangkuhan dan harga diri. Seperti tadi malam, dia yang tertidur di dalam mobil, membuatnya langsung menggendongnya ke dalam kamar dan menatap wajahnya berlama-lama.Caranya menarik napas saat tidur juga menggemaskan, Arinda sudah dewasa tapi masih memiliki sifat kekanakan yang cukup terasa.Memperhatikan wajahnya yang masih tidur, Deondra mengusap perutnya yang masih rata. Sudah dua kali, namun tetap saja menyenangkan. Tubuhnya yang meremang saat mengusapnya, membuat tangannya gemetar antara bahagia dan juga haru. Sedikit menyesal juga menghampirinya, karena sudah menghadir
"Kalian, pacaran terus!"Devina mendekati kedua orang yang tengah bicara itu dengan tatapan menyipit. Tangan Arinda yang masih menyentuh bahu Deondra dia lepaskan, membuat sang empunya bahu merengut kecil saat kedatangan sang Kakak mengganggu kebahagiaannya."Sedang apa Kakak di sini?" tanya Deondra, menatapnya malas.Devina berhenti di depan Arinda, menatap gadis itu, dia menghela napas pelan. "Kata Syillia Arinda muntah, ya? Kamu kenapa?"Arinda menatap wajahnya yang tampak khawatir, lalu menggeleng kecil."Arin tadi tidak sengaja makan lengkuas, Kak. Makanya muntah," ucapnya dengan tubuh meremang karena teringat rasanya."Serius? Ya ampun, kok bisa? Kakak saja kalau terkunyah lengkuas langsung di telan," jawabnya membuat kedua orang itu bergidik."Kakak 'kan memang ada kelainannya, seharusnya aku tidak perlu heran.""Kamu!" Devina menatap adiknya horor. "Jangan dengarkan dia, Arin. M
"Lukhe!"Sudash berlari menuju temannya itu dengan gembira. Menyongsong Lukhe yang sedang menatap kolam ikan di halaman rumahnya."Kau sudah gila, ya?" Lukhe menatapnya dengan malas, lalu mengangkat kail pancing yang di pegangnya untuk menyentak ikan yang memakan umpan."Iyaa! Kau tahu, dia memelukku tadi!"Lukhe menatapnya cepat. "Siapa? Orang gila?""Kau! Benar-benar kurang ajar kau Lukhe! Ku bilang kau pada Deon, kau mengatakan bahwa dia gila!""Heh?" Lukhe melemparkan pancing yang di pegangnya, memasukkan ikan ke dalam tong kecil, dia berlari mengejar Sudash yang melangkah pergi."Tunggu, Sudash! Apa maksud ucapanmu?"Dan dengan seketika, Sudash berteriak kencang karena Lukhe memegang bahunya dengan tangan bau amis."Aaa! Snelli kebanggaanku! Kau benar-benar kurang ajar! Snelliku kotor, Lukhe!"***Lukhe menatap mesin cuci yang ada di depannya dengan malas. Karena ins
Memakan cemilan, Arinda menatap televisi di kamar. Kamar pelayan yang di isi barang-barang untuknya, seperti televisi, sofa, kasur baru yang lebih nyaman, lemari hias, pakaian baru, semuanya. Bahkan ada sebuah lemari yang sudah persis seperti warung mini. Isinya adalah cemilan dan bertumpuk-tumpuk cokelat. Bukan dia yang memintanya, Deondra yang memberikannya."Wah, dia terkenal sekali."Menatap layar televisi, siaran berita tak putus-putus menyiarkan tentang seorang Deondra sejak sebulan terakhir.Mulai dari acara amal, acara penanggulangan kanker anak, pembukaan rumah sakit kanker, berita tentang pembangunan rumah untuk para kaum urban yang menetap di pinggiran kota.Semuanya masuk televisi, semuanya di viralkan. Bahkan tak di sangka, ada Deondra yang tengah berdiri mengawasi pembangunan itu dengan Alrix, terkadang tertampil dirinya tengah mengeluarkan beberapa patah kata dan juga menggendong seorang anak laki-laki berumur dua tahun ya
"Aku justru ingin membawamu ke ranjangku dan mendekapmu sampai besok pagi."Bola mata Arinda melebar. "Apa?!"Deondra tertawa, dia merasa menang karena membuat gadis ini kesal."Bagaimana, kau mau?"Rona merah gadis itu semakin menjadi, wajahnya panas seperti terkena sinar matahari yang terik."Anda bercanda, 'kan? Jangan macam-macam sebelum saya menjauhi Anda lagi!"Deondra tertawa lagi, lalu menghela napasnya pelan."Iya, aku bercanda." Deondra menatapnya yang berubah datar. "Maaf, Arinda. Membuatmu kesal sesekali itu bagus. Karena seorang wanita hamil jika kesal pada seseorang, maka bayinya akan mirip dengan seseorang itu. Jadi, aku ingin bayiku mirip denganku.""Alasan," cibirnya sambil meluruskan kaki.Deondra menatap kaki jenjang yang terulur di dekatnya. "Aku tidak beralasan."Bohong, jelas itu adalah kebohongan. Sebagai pria normal yang sudah pernah mencicipi rasa ketika melakukan h
Deondra tersenyum mendengar pertanyaan yang masih terlihat ragu itu. Tangannya mengusap rambut kecoklatan milik Arinda, yang menatapnya menunggu jawaban."Kurangkah semua yang kulakukan untukmu selama ini?"Arinda terdiam, dia hanya takut suatu saat Deondra kembali menjatuhkannya dan membuatnya menangis. Mengingat, siapalah dirinya di bandingkan dengan seorang Deondra. Jelas rasa tak percaya diri masih terpatri di dalam hatinya. Dia tak ingin semua perlakuan baik Deondra hanya sebatas dirinya yang tengah hamil muda."Sa-saya hanya takut jika Anda kembali membuat saya terluka. Bukankah hati itu mudah terbolak-balik? Bisa saja nanti Anda mulai membenci saya karena tidak sempurna ini.""Sayang ...." Ucapan Deondra menembus dadanya, seakan meretakkan sebuah lagi dinding ketakutan yang masih ada di dalam hatinya. "Aku mencintaimu bukan karena kau seseorang yang sempurna. Ingat, kapan aku mulai menyukaimu?" tanya Deondra membuat Arinda terdiam