Deondra memperhatikan gadis yang tengah sarapan bersama dengan Kakak dan keponakannya yang akan pulang hari ini. Gadis itu, cantik sekali. Wajahnya yang oval sedikit bulat, rambut bergelombang dan memiliki kulit putih langsat, berhasil membuatnya jatuh cinta setelah sekian lama memendam luka.
Entah apa yang menjadi daya tariknya, yang gadis ini berhasil membuatnya melupakan keangkuhan dan harga diri. Seperti tadi malam, dia yang tertidur di dalam mobil, membuatnya langsung menggendongnya ke dalam kamar dan menatap wajahnya berlama-lama.
Caranya menarik napas saat tidur juga menggemaskan, Arinda sudah dewasa tapi masih memiliki sifat kekanakan yang cukup terasa.
Memperhatikan wajahnya yang masih tidur, Deondra mengusap perutnya yang masih rata. Sudah dua kali, namun tetap saja menyenangkan. Tubuhnya yang meremang saat mengusapnya, membuat tangannya gemetar antara bahagia dan juga haru. Sedikit menyesal juga menghampirinya, karena sudah menghadir
"Kalian, pacaran terus!"Devina mendekati kedua orang yang tengah bicara itu dengan tatapan menyipit. Tangan Arinda yang masih menyentuh bahu Deondra dia lepaskan, membuat sang empunya bahu merengut kecil saat kedatangan sang Kakak mengganggu kebahagiaannya."Sedang apa Kakak di sini?" tanya Deondra, menatapnya malas.Devina berhenti di depan Arinda, menatap gadis itu, dia menghela napas pelan. "Kata Syillia Arinda muntah, ya? Kamu kenapa?"Arinda menatap wajahnya yang tampak khawatir, lalu menggeleng kecil."Arin tadi tidak sengaja makan lengkuas, Kak. Makanya muntah," ucapnya dengan tubuh meremang karena teringat rasanya."Serius? Ya ampun, kok bisa? Kakak saja kalau terkunyah lengkuas langsung di telan," jawabnya membuat kedua orang itu bergidik."Kakak 'kan memang ada kelainannya, seharusnya aku tidak perlu heran.""Kamu!" Devina menatap adiknya horor. "Jangan dengarkan dia, Arin. M
"Lukhe!"Sudash berlari menuju temannya itu dengan gembira. Menyongsong Lukhe yang sedang menatap kolam ikan di halaman rumahnya."Kau sudah gila, ya?" Lukhe menatapnya dengan malas, lalu mengangkat kail pancing yang di pegangnya untuk menyentak ikan yang memakan umpan."Iyaa! Kau tahu, dia memelukku tadi!"Lukhe menatapnya cepat. "Siapa? Orang gila?""Kau! Benar-benar kurang ajar kau Lukhe! Ku bilang kau pada Deon, kau mengatakan bahwa dia gila!""Heh?" Lukhe melemparkan pancing yang di pegangnya, memasukkan ikan ke dalam tong kecil, dia berlari mengejar Sudash yang melangkah pergi."Tunggu, Sudash! Apa maksud ucapanmu?"Dan dengan seketika, Sudash berteriak kencang karena Lukhe memegang bahunya dengan tangan bau amis."Aaa! Snelli kebanggaanku! Kau benar-benar kurang ajar! Snelliku kotor, Lukhe!"***Lukhe menatap mesin cuci yang ada di depannya dengan malas. Karena ins
Memakan cemilan, Arinda menatap televisi di kamar. Kamar pelayan yang di isi barang-barang untuknya, seperti televisi, sofa, kasur baru yang lebih nyaman, lemari hias, pakaian baru, semuanya. Bahkan ada sebuah lemari yang sudah persis seperti warung mini. Isinya adalah cemilan dan bertumpuk-tumpuk cokelat. Bukan dia yang memintanya, Deondra yang memberikannya."Wah, dia terkenal sekali."Menatap layar televisi, siaran berita tak putus-putus menyiarkan tentang seorang Deondra sejak sebulan terakhir.Mulai dari acara amal, acara penanggulangan kanker anak, pembukaan rumah sakit kanker, berita tentang pembangunan rumah untuk para kaum urban yang menetap di pinggiran kota.Semuanya masuk televisi, semuanya di viralkan. Bahkan tak di sangka, ada Deondra yang tengah berdiri mengawasi pembangunan itu dengan Alrix, terkadang tertampil dirinya tengah mengeluarkan beberapa patah kata dan juga menggendong seorang anak laki-laki berumur dua tahun ya
"Aku justru ingin membawamu ke ranjangku dan mendekapmu sampai besok pagi."Bola mata Arinda melebar. "Apa?!"Deondra tertawa, dia merasa menang karena membuat gadis ini kesal."Bagaimana, kau mau?"Rona merah gadis itu semakin menjadi, wajahnya panas seperti terkena sinar matahari yang terik."Anda bercanda, 'kan? Jangan macam-macam sebelum saya menjauhi Anda lagi!"Deondra tertawa lagi, lalu menghela napasnya pelan."Iya, aku bercanda." Deondra menatapnya yang berubah datar. "Maaf, Arinda. Membuatmu kesal sesekali itu bagus. Karena seorang wanita hamil jika kesal pada seseorang, maka bayinya akan mirip dengan seseorang itu. Jadi, aku ingin bayiku mirip denganku.""Alasan," cibirnya sambil meluruskan kaki.Deondra menatap kaki jenjang yang terulur di dekatnya. "Aku tidak beralasan."Bohong, jelas itu adalah kebohongan. Sebagai pria normal yang sudah pernah mencicipi rasa ketika melakukan h
Deondra tersenyum mendengar pertanyaan yang masih terlihat ragu itu. Tangannya mengusap rambut kecoklatan milik Arinda, yang menatapnya menunggu jawaban."Kurangkah semua yang kulakukan untukmu selama ini?"Arinda terdiam, dia hanya takut suatu saat Deondra kembali menjatuhkannya dan membuatnya menangis. Mengingat, siapalah dirinya di bandingkan dengan seorang Deondra. Jelas rasa tak percaya diri masih terpatri di dalam hatinya. Dia tak ingin semua perlakuan baik Deondra hanya sebatas dirinya yang tengah hamil muda."Sa-saya hanya takut jika Anda kembali membuat saya terluka. Bukankah hati itu mudah terbolak-balik? Bisa saja nanti Anda mulai membenci saya karena tidak sempurna ini.""Sayang ...." Ucapan Deondra menembus dadanya, seakan meretakkan sebuah lagi dinding ketakutan yang masih ada di dalam hatinya. "Aku mencintaimu bukan karena kau seseorang yang sempurna. Ingat, kapan aku mulai menyukaimu?" tanya Deondra membuat Arinda terdiam
Deondra tersenyum, dia menatap wajah Arinda yang menatapnya dengan tatapan berbeda."Jika dia laki-laki, dia adalah putraku. Jika dia perempuan maka dia adalah putriku. Apa bedanya?"Arinda tersenyum lega, setidaknya seorang pengusaha hebat sepertinya tidak mempermasalahkan jenis kelamin calon anaknya. Arinda bersyukur atas hal itu."Lagipula, Arin. Wanita jaman sekarang justru bisa lebih sukses mengembangkan perusahaan daripada laki-laki. Jadi, kalaupun dia nanti perempuan, aku akan mendidiknya untuk menjadi seorang wanita sukses dengan karier tinggi. Uangku banyak, aku bisa melakukan apapun untuk membuat putriku menjadi hebat," balasnya jumawa.Dokter Dee tersenyum mendengar ucapannya putra sahabatnya ini. Setelah membersihkan sisa gel, dia membawa dua orang itu ke mejanya."Bayi kalian sehat, sepertinya dia juga sempurna. Untuk membuatnya lebih sehat dan dapat berkembang lebih baik, kamu harus memakan makanan bergizi dan juga b
Masih menemani Arinda memilih makanan, Deondra ikut mengambil beberapa kotak yang berada di atas rak. Arinda bergumam sejenak, lalu memintanya meletakkannya lagi. Dan kembali mencari makanan yang menarik untuknya. "Sudah?" Arinda tersenyum, dia menatap beberapa kotak makanan di hadapannya. Salah satunya adalah spaghetti bakso, mie Tteokbokki yang baru di masak, hamburger dan juga sekotak roti isi daging. Dia sengaja membeli banyak karena dia ingin memakannya, beberapa hari ini dia bosan di bawa ke restoran dan makan makanan mewah, dia ingin makan makanan yang biasa di makan orang-orang dan berbumbu pedas, seperti Tteokbokki. "Sudah, bayar sana." Walaupun lembut, nada memerintah tersemat di dalam suaranya. Deondra tersenyum, tanpa bergerak dia melambaikan tangannya pada pelayan itu dan menyerahkan kartu. "Bungkus semuanya dan letakkan di mobilku." "Baik, Tuan." Arinda menatap kepergian pelayan
Arinda mendorong kursi roda ayahnya keluar dari rumah sakit. Tidak ada Deondra di sana, pemuda itu langsung kembali ke perusahaan dengan Alrix seusai mengantarnya ke mari. Namun, beberapa bodyguard di perintahkannya untuk menjaga dan memastikan semua urusan kepulangan calon ayah mertuanya itu lancar dan dia sendiri yang mengawasinya langsung dari perusahaan."Ah, akhirnya Ayah bisa menghirup udara luar," ujar Recath saat mereka keluar dari rumah sakit.Arinda tersenyum, melanjutkan langkahnya untuk terus mendorong kursi roda itu menuju mobil yang sudah di bukakan salah satu bodyguard.Saat Arinda akan membantu Ayahnya naik ke mobil. Satu buah mobil terparkir di dekat mobil yang akan mereka naiki, lalu seorang pria yang berusia sama dengan ayahnya keluar berserta istrinya."Jakc?" Recath menyapanya yang mulai mendekat.Mereka bersalaman sejenak, dengan wajah yang tampak bersahabat."Kau akan pulang hari ini, buka
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi