Hawa dingin di pagi hari menguliti wajah Elina. Dia mengusap wajahnya lembut dengan kedua telapak tangannya. Mengusap berkali-kali hingga menimbulkan hawa hangat di sekitar wajahnya.
Hari ini, Elina sengaja berangkat lebih pagi. Setengah jam sebelum jam kerja, dia sudah harus duduk manis di ruangannya, menunggu kedatangan CEO tempat dia magang. Dia tidak ingin lagi telat dan menjadi sasaran omelan Aland."Pagi ... Pak Aland," sapa Elina menyambut kedatangan Aland, sang CEO tampan.Tak membalas sapaan Elina, Aland hanya memandang dingin ke arah gadis imut itu."Dasar sombong!" gerutu Elina.Sialnya telinga Aland cukup tajam untuk mendengar itu semua. "Kamu bicara apa, Elina?"Elina mendongakkan kepalanya melihat Aland sudah berdiri di hadapannya. Elina terlihat bingung mencari alasan apa yang tepat untuk dia utarakan."Tidak Pak, saya tidak bicara apa-apa." Elina menarik bibirnya paksa, melukiskan senyuman palsu agar tak terlihat gugup di hadapan Aland."Jelas-jelas saya mendengar kamu mengatakan bahwa saya sombong, benar kan, Elina?"Mata itu memandang tajam Elina, seolah menghujani Elina dengan pertanyaan yang menyudutkannya."Bapak sombong tidak, kalau tidak, jangan tersinggung dong," celetuk Elina tanpa dosa. Dia tak suka di pandang dengan mata yang tajam.Merasa apa yang dikatakan gadis imut itu ada benarnya, Aland hanya menelan salivanya dan berlalu masuk ke dalam ruangannya.Jika dia meladeni Elina itu artinya dia mengakui bahwa dirinya memang sombong. Maka dari itu, Aland memilih untuk berlalu saja."Huft ... lolos!" Elina mengusap dadanya yang sudah bergemuruh.Padahal dia sudah was-was jika Aland akan memarahinya seperti kemarin.Baru saja 5 menit Aland memasuki ruangannya, dia kembali membuka pintu ruangannya lagi dan memanggil gadis imut itu."Elina, ke ruangan saya, sekarang!" teriak Aland tak memajukan selangkah pun kakinya."Apa-apa sih itu orang, di ruangannya kan ada telepon, kenapa tidak menelepon saja, kenapa harus berteriak seperti itu." Elina terus menggerutu.Tok tok tok, Elina mengetuk pintu."Masuk!""Ada apa Bapak memanggil saya?" tanya Elina berdiri di hadapan Aland."Kamu bisa ... bisa memakaikan dasi?" Aland ragu menanyakan hal konyol itu kepada Elina.Ya, Aland memang tak bisa memakai dasi, setiap hari Mamanya yang memakaikan. kebetulan hari ini Mama pergi ke London untuk urusan bisnis."Bisa dong, Pak. Kenapa, Bapak meminta saya pakai dasi?" Elina mengerutkan dahinya, menebak apa yang menjadi maksut Aland itu."Nih!" Aland menyodorkan dasi berwarna biru tua kepada Elina.Mata Elina menyipit, dia menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. "Bapak, saya ini perempuan lho, kenapa harus pakai dasi juga, sih?""Bukan untuk kamu, bodoh!" ketus Aland."Kalau bukan untuk saya terus untuk siapa, Pak?'' Elina memberikan penekanan di akhir ucapannya."Pakaikan ke saya, dasar bodoh!""Bilang dong!" gerutu Elina.Elina menghampiri Aland, berdiri di depan Aland."Hei, jongkok dong, Bapak terlalu tinggi.""Kamu saja yang pendek, ck ... hanya segini." Aland mengukur tinggi badan Elina dengan tangannya yang hanya sebatas dada.Aland berjongkok di hadapan Elina. Memperhatikan wajah imut Elina yang masih berusia 19 tahun.Tanpa Aland sadari, bibirnya kini sudah menyunggingkan senyuman."Selesai," ucap Elina menatap wajah Aland yang tepat berada di wajahnya.Dada Elina berdebar, tak pernah dia berada sedekat ini dengan lawan jenisnya. Dia menggigit bibir bawahnya. Tak kuasa menahan gemuruh di dalam hatinya.'Astaga, Om galak ini tampan sekali ... uuuh.'Hatinya terasa ingin menjerit.Elina menundukkan wajahnya tersipu malu hingga wajahnya bersemu merah."Kenapa tersenyum begitu?" tanya Aland membuat Elina salah tinggal."Ha ... siapa ... enggak!" Elina gugup."Dasar bocah!" Aland berdiri, Elina mendongak dengan mulutnya yang mengerucut."Bapak lupa mengatakan sesuatu," sindir Elina."Mengatakan apa?" tanya Aland tak mengerti."Bilang, terima kasih, Elina!" ucap Elina manis, dia memiringkan kepalanya genit."Tidak usah berterima kasih. Mulai besok setiap pagi kamu harus memasangkan dasi untukku.""Kenapa begitu, suka sekali menyusahkan orang lain, pasanglah sendiri, Pak!"gerutu Elina merasa keberatan dengan permintaan Aland."Kalau aku bisa tak akan pernah aku memintaku untuk menolongku," cebik Aland kesal. Menurut Aland Elina itu terlalu bawel."Ha ... jadi Bapak tidak bisa memakai dasi, lalu siapa yang memakaikan setiap hari istri Bapak?" tanya Elina."Enak saja, saya belum menikah!" bentak Aland."Terus siapa?" Elina mukai kesal dengan Aland."Mamaku," lirih Aland menahan malu"Mama?" Elina tertawa hingga terpingkal-pingkal. "Rupanya Bapak ini anak Mama, ha ha ha.""Diam kamu Elina, apa yang lucu!" bentak Aland kesal karena menjadi bahan tertawaan Elina."Oh ... ini sangat lucu, Pak. Gayanya saja Bapak ini angkuh, arogan, ternyata Bapak anak Mama, ha ha ha!" Elina tertawa semakin keras, membuat Aland semakin kesal pada Elina.Dengan tangannya, Aland membungkam mulut Elina, membuat mereka tak sengaja saling bertatapan.Anehnya, ada rasa yang tiba-tiba muncul dari keduanya. Rasa yang tak pernah mereka rasa sebelumnya.Menyadari apa yang dia lakukan salah, Aland melepaskan tangannya dari mulut Elina, berpura-pura melihat ke arah lain, agar tak timbul rasa canggung.Sementara Elina, dia masih berdiri di tempat yang sama. Dia terpaku dan terpesona kepada Aland."Ngapain masih berdiri disitu!" bentak Aland memecahkan lamunannya."Tidak ... ini mau pergi Pak," ucapnya gugup.Elina hendak keluar dari ruangan Aland namun baru beberapa langkah saja Aland sudah memanggil gadis labil itu."Elina ...!"Elina menoleh dengan perasaan yang tak karuan "I-iya, Pak Aland.""Terima kasih."Senyuman tulus terukir di bibir Aland. Ini adalah kali pertamanya dia merasakan hal aneh di hatinya.Memang Aland sudah pernah mempunyai kekasih, tapi tak pernah dia merasa ada getaran seperti yang dia rasakan kepada Elina."Nggak ... nggak mungkin aku jatuh cinta pada anak kecil seperti Elina, dia masih kuliah," gumammya sesaat setelah Elina meninggalkan ruangannya.Aland terus menyangkal perasaannya, perasaan yang jelas membuat matanya tak bosan memandangi wajah Elina yang masih sangat imut.Sementara itu, Elina menarik nafasnya panjang setelah keluar dari ruangan Aland. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya.'Kenapa kalau menatap CEO galak itu aku jadi deg-degan ya?' Elina tanyakan itu pada hatinya. Jika itu cinta, ini adalah cinta pertama Elina.'Tapi ... si galak itu memang tampan sih, tak jauh bedalah dengan yang ada di drama Korea, hi hi hi.' Elina meringis tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Karena hanya hatinya saja yang mengetahui perasaannya sekarang.Elina duduk di ruangannya, mempersiapkan beberapa berkas untuk meeting siang nanti satu jam sebelum jam makan siang.Ini adalah pengalaman pertamanya, jangan sampai dia mendapat kesan buruk dari Aland.Elina gadis imut pemilik hidung kecil mancung itu berdiri di samping pintu ruang meeting. Dia merapikan rambut hitam lurus sepunggungnya saat melihat Aland berjalan mendekat ke arahnya. Bibir tipis yang selalu di polesnya dengan lipstik berwarna nude itu tersenyum menyambut Aland yang lewat di hadapannya. "Selamat siang, Pak Aland," sapa Elina dengan ramah. Aland hanya melirikkan matanya tak menghiraukan gadis berponi depan itu. "Sudah sombong anak Mama lagi," sinis Elina mengikuti langkah kaki Aland dari belakang. Meskipun dia kesal karena diabaikan CEO tampan itu, tapi tetap saja Elina mengagumi sosok Aland yang kharismatik itu. Aland, membalikkan badannya, langkahnya membawa dia mendekat ke arah Elina memandang kesal kepada gadis berwajah imut itu. "Siapa yang kamu bilang anak Mama, Elina?" tanya Aland dengan matanya yang memicing. "Bapak lah, siapa lagi!" kesal Elina. Aland semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Elina yang bersandar pada dinding. Aroma parfum maskulin yang
"Mas ... yang bayar Om galak ini ya!" teriak Elina kepada petugas dibagian kasir. "Hei ... Dasar bocah ingusan!" teriak Aland. Elina berlari meninggalkan Aland membayar makanan yang sudah dia makan. "Ba!" Elina mengageti Aland yang baru saja keluar. Tapi bukannya kaget Aland malah mengumpat dengan kesal. "Dasar bodoh, kamu tidak lihat di sini kaca transparan, mau kamu ngumpet pun kelihatan!" ketus Aland menanggapi canda Elina yang sama sekali tak lucu buatnya. "Om ... kamu tidak mau menggandeng tanganku?" Elina mendongakkan pandangannya memberikan pertanyaan yang malas Aland jawab. "Om ... kenapa diam? Om marah?" Elina terus menggoda Aland. "Elina, diamlah!" bentak Alend. Aland tidak mau wibawanya hancur karena si usil Elina selalu saja memanggil dirinya Om. Elina yang iseng terus mengekori Aland, kemanapun dia pergi Elina ada di belakangnya. "Kamu tidak ada kegiatan lain selain mengikuti aku, Elina?" bentak Aland kesal. "Siapa yang ngikutin, saya itu mau masuk ke ruangan
Libur telah tiba Libur telah tiba Hore ... Hore ... Hore ... Sorak semangat Elina, menggosok tubuhnya dengan puff yang penuh dengan busa yang lembut. Penyanyi kamar mandi itu sedang bahagia hatinya. Semalam Aland menelpon memberikan kabar gembira. Elina membongkar lemari pakaiannya, mengeluarkan satu persatu dress yang dia miliki. Tubuhnya berputar-putar di depan cermin, berganti dress satu dengan dress yang lainnya. Akhirnya setelah mencoba beberapa dress, pilihannya jatuh kepada blose berwarna baby pink dengan celana jeans berwarna putih. Ya memang begitulah Elina, pilihannya tak sesuai dengan apa yang dia coba. Seperti hatinya juga, memilih Sean yang terpaut 10 tahun darinya. Elina duduk di depan cermin, dia bersolek dengan cantiknya. Memakai bedak tipis dengan lipstik warn nude andalannya. Elina terlihat sangat cantik dengan rambut yang dibiarkan tergerai. Kriiing! Ponselnya berbunyi, nama Aland tertera di layar ponselnya. Dengan cepat gadis imut itu menyelipkan kakinya
Di sebuah ruangan semi terbuka yang menghadap langsung ke kolam renang. Nyonya Anita, mengajak Elina duduk di set kursi yang terbuat dari anyaman rotan. "Tante dan Aland pasti suka olahraga ya?" tanya Elina saat matanya menangkap beberapa alat olahraga yang tertata rapi di sebelah kiri ruangan itu "Aland aja sih, Tante jarang." "Masak sih, Tan? Kok badan tante masih oke banget," puji Elina mengambil hati Nyonya Anita. "Kamu bisa aja, Tante jarang olahraga berat-berat kaya gitu." Nyonya Anita menunjuk ke arah treadmill dan beberapa barbel yang tertata dengan rapi. Elina berdiri dari duduknya, dia tertarik dengan deretan foto yang menempel pada dinding sebelah kanan ruangan itu. Elina tersenyum saat melihat foto anak kecil berambut panjang setelinga, dengan poni depan yang menutupi kening. "Ini siapa, Tan?" tanya Elina menunjuk foto itu. Nyonya Anita berdiri, berjalan menghampiri Elina. "Itu foto Aland, ini juga foto Aland." Nyonya Anita menunjuk ke foto sebelahnya, wajah yang s
Tubuh Elina menggigil karena basah kuyup. Gadis imut itu paling tak bisa berlama-lama terkena air, dia bisa pingsan karena kedinginan. Tak tega melihat bibir Elina yang sudah pucat, Aland membawa Elina masuk ke dalam rumahnya. "Ma ...!" Aland memanggil Mamanya. Nyonya Anita panik melihat keadaan Elina yang sudah pucat karena kedinginan. "Astaga Aland kenapa bisa begini sih, kamu cepet bikinin Elina teh panas. Mama mau mengganti bajunya Elina dulu," perintah Nyonya Anita. Nyonya Anita merangkul tubuh Elina yang basah, dia mengajak Elina masuk ke dalam kamarnya. "Kamu pakai ini ya." Nyonya Anita memberikan bajunya kepada Elina. "Terima kasih Mama." Elina mengambil baju itu dari Nyonya Anita, dan segera Elina mengganti bajunya. "Maaf ya, bajunya jelek, tapi kamu tetap terlihat cantik kok, tenang saja," puji Nyonya Anita. Elina mengenakan dress berwarna cokelat selutut miliknya. Meskipun modelnya bukan model anak muda, tapi potongan baju itu sangat pas di tubuh mungil Elina. Dia t
Aland menatap dalam wajah Elina, dia tahu gadis itu tengah gugup sekarang. Wajahnya bersemu merah, tak biasanya gadis imut itu diam tak bereaksi. Elina, dia memejamkan matanya karena tak sanggup lagi mengendalikan detak jantungnya yang terus berdetak dengan kencang. Di saat matanya terpejam, Elina merasakan ada sensasi yang berbeda di bibirnya. Terasa lembab dan hangat saat Aland menempelkan bibirnya ke bibir lembutnya. Aland, dia mencoba merasakan sesuatu yang sudah lama tak dia rasakan. Rasa yang hangat dan lembut, yang mampu membuat Aland terhanyut. Bak petir yang menyambar, dengan kuat Aland mendorong tubuh Elina, membuat gadis itu jatuh tersungkur ke tanah. "Akh ...!" teriak Aland memegangi bibir bawahnya yang terluka, rasa perihnya mampu membuat dirinya menjadi hilang selera. "Om Aland ... kenapa kamu mendorongku!" teriak Elina, pinggangnya terasa mau patah. Baru saja Elina merasakan pengalaman pertamanya, belum juga puas dia harus mengalami kesakitan di pinggangnya karena
Setibanya di rumah Elina."Sudah sampai, cepat turun!" sungut Aland, setelah menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang rumah Elina.Alih-alih turun, Elina malah memiringkan tubuhnya ke arah Aland. "Om, bukain," rengek Elina melirik ke arah seat belt yang masih melekat pada pinggangnya.Aland mengela nafas. Dia benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa ada gadis semanja Elina. Seat belt saja minta dilepaskan."Emangnya kamu nggak bisa buka sendiri, hem? Punya tangan kan?!" Elina tersenyum, seraya menggelengkan kepalanya. "Bisa sih, cuma males aja. Lagian, ini kan mobilnya Om. Jadi Om lah yang harus bukain."Enggan berdebat dengan gadis cerewet itu, Aland mendekat, sangat dekat bahkan sampai pipinya sampai hampir menyentuh bibir Elina.Tak ingin melewatkan kesempatan, Elina memejamkan matanya, mengendus aroma parfum Aland yang entah kenapa sangat Aland suka. Masa puber benar-benar membuat Elina hampir menggila karena jatuh cinta.Ternyata memang benar apa kata orang, kalau ja
"Pak Aland ... Elina ... kalian ...." Yuan sampai terbengong melihat sang Bos dan Elina yang tampak sangat mencurigakan. Dalam pikiran Yuan, Aland pasti sudah melakukan hal yang tidak-tidak pada Elina. Kalau tidak, tidak mungkin Elina sampai mengatakan kalau Aland orang yang mesum. "Elina, sini!" Yuan menarik tangan Elina. Mengajak gadis itu sedikit menjauh dari Aland. "Ih, Mbak Yuan sebentar, aku belum selesai sama Om galak ini!" sungut Elina menolak. "Om?" Yuan mengerutkan keningnya. Lalu menoleh ke arah Aland. "Pak Aland ...." "Tunggu, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Yuan. Ini semua ... haakh!" Aland mengacak rambutnya, ia menjadi kesal dengan keadaan yang seperti menjebaknya sekarang."Kamu bawa deh Elina pergi. Kemana gitu, atau kamu kasih dia perkerjaan biar dia sibuk. Pusing saya!" sungut Aland lalu masuk ke dalam ruang kerjanya, dan menutup pintunya sedikit lebih keras. "Tidak ada apa-apa. Kembali kerja ya, jangan pada ngerumpi di sini, udah sana-sana!" ucap Yuan
"Pak Aland ... Elina ... kalian ...." Yuan sampai terbengong melihat sang Bos dan Elina yang tampak sangat mencurigakan. Dalam pikiran Yuan, Aland pasti sudah melakukan hal yang tidak-tidak pada Elina. Kalau tidak, tidak mungkin Elina sampai mengatakan kalau Aland orang yang mesum. "Elina, sini!" Yuan menarik tangan Elina. Mengajak gadis itu sedikit menjauh dari Aland. "Ih, Mbak Yuan sebentar, aku belum selesai sama Om galak ini!" sungut Elina menolak. "Om?" Yuan mengerutkan keningnya. Lalu menoleh ke arah Aland. "Pak Aland ...." "Tunggu, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Yuan. Ini semua ... haakh!" Aland mengacak rambutnya, ia menjadi kesal dengan keadaan yang seperti menjebaknya sekarang."Kamu bawa deh Elina pergi. Kemana gitu, atau kamu kasih dia perkerjaan biar dia sibuk. Pusing saya!" sungut Aland lalu masuk ke dalam ruang kerjanya, dan menutup pintunya sedikit lebih keras. "Tidak ada apa-apa. Kembali kerja ya, jangan pada ngerumpi di sini, udah sana-sana!" ucap Yuan
Setibanya di rumah Elina."Sudah sampai, cepat turun!" sungut Aland, setelah menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang rumah Elina.Alih-alih turun, Elina malah memiringkan tubuhnya ke arah Aland. "Om, bukain," rengek Elina melirik ke arah seat belt yang masih melekat pada pinggangnya.Aland mengela nafas. Dia benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa ada gadis semanja Elina. Seat belt saja minta dilepaskan."Emangnya kamu nggak bisa buka sendiri, hem? Punya tangan kan?!" Elina tersenyum, seraya menggelengkan kepalanya. "Bisa sih, cuma males aja. Lagian, ini kan mobilnya Om. Jadi Om lah yang harus bukain."Enggan berdebat dengan gadis cerewet itu, Aland mendekat, sangat dekat bahkan sampai pipinya sampai hampir menyentuh bibir Elina.Tak ingin melewatkan kesempatan, Elina memejamkan matanya, mengendus aroma parfum Aland yang entah kenapa sangat Aland suka. Masa puber benar-benar membuat Elina hampir menggila karena jatuh cinta.Ternyata memang benar apa kata orang, kalau ja
Aland menatap dalam wajah Elina, dia tahu gadis itu tengah gugup sekarang. Wajahnya bersemu merah, tak biasanya gadis imut itu diam tak bereaksi. Elina, dia memejamkan matanya karena tak sanggup lagi mengendalikan detak jantungnya yang terus berdetak dengan kencang. Di saat matanya terpejam, Elina merasakan ada sensasi yang berbeda di bibirnya. Terasa lembab dan hangat saat Aland menempelkan bibirnya ke bibir lembutnya. Aland, dia mencoba merasakan sesuatu yang sudah lama tak dia rasakan. Rasa yang hangat dan lembut, yang mampu membuat Aland terhanyut. Bak petir yang menyambar, dengan kuat Aland mendorong tubuh Elina, membuat gadis itu jatuh tersungkur ke tanah. "Akh ...!" teriak Aland memegangi bibir bawahnya yang terluka, rasa perihnya mampu membuat dirinya menjadi hilang selera. "Om Aland ... kenapa kamu mendorongku!" teriak Elina, pinggangnya terasa mau patah. Baru saja Elina merasakan pengalaman pertamanya, belum juga puas dia harus mengalami kesakitan di pinggangnya karena
Tubuh Elina menggigil karena basah kuyup. Gadis imut itu paling tak bisa berlama-lama terkena air, dia bisa pingsan karena kedinginan. Tak tega melihat bibir Elina yang sudah pucat, Aland membawa Elina masuk ke dalam rumahnya. "Ma ...!" Aland memanggil Mamanya. Nyonya Anita panik melihat keadaan Elina yang sudah pucat karena kedinginan. "Astaga Aland kenapa bisa begini sih, kamu cepet bikinin Elina teh panas. Mama mau mengganti bajunya Elina dulu," perintah Nyonya Anita. Nyonya Anita merangkul tubuh Elina yang basah, dia mengajak Elina masuk ke dalam kamarnya. "Kamu pakai ini ya." Nyonya Anita memberikan bajunya kepada Elina. "Terima kasih Mama." Elina mengambil baju itu dari Nyonya Anita, dan segera Elina mengganti bajunya. "Maaf ya, bajunya jelek, tapi kamu tetap terlihat cantik kok, tenang saja," puji Nyonya Anita. Elina mengenakan dress berwarna cokelat selutut miliknya. Meskipun modelnya bukan model anak muda, tapi potongan baju itu sangat pas di tubuh mungil Elina. Dia t
Di sebuah ruangan semi terbuka yang menghadap langsung ke kolam renang. Nyonya Anita, mengajak Elina duduk di set kursi yang terbuat dari anyaman rotan. "Tante dan Aland pasti suka olahraga ya?" tanya Elina saat matanya menangkap beberapa alat olahraga yang tertata rapi di sebelah kiri ruangan itu "Aland aja sih, Tante jarang." "Masak sih, Tan? Kok badan tante masih oke banget," puji Elina mengambil hati Nyonya Anita. "Kamu bisa aja, Tante jarang olahraga berat-berat kaya gitu." Nyonya Anita menunjuk ke arah treadmill dan beberapa barbel yang tertata dengan rapi. Elina berdiri dari duduknya, dia tertarik dengan deretan foto yang menempel pada dinding sebelah kanan ruangan itu. Elina tersenyum saat melihat foto anak kecil berambut panjang setelinga, dengan poni depan yang menutupi kening. "Ini siapa, Tan?" tanya Elina menunjuk foto itu. Nyonya Anita berdiri, berjalan menghampiri Elina. "Itu foto Aland, ini juga foto Aland." Nyonya Anita menunjuk ke foto sebelahnya, wajah yang s
Libur telah tiba Libur telah tiba Hore ... Hore ... Hore ... Sorak semangat Elina, menggosok tubuhnya dengan puff yang penuh dengan busa yang lembut. Penyanyi kamar mandi itu sedang bahagia hatinya. Semalam Aland menelpon memberikan kabar gembira. Elina membongkar lemari pakaiannya, mengeluarkan satu persatu dress yang dia miliki. Tubuhnya berputar-putar di depan cermin, berganti dress satu dengan dress yang lainnya. Akhirnya setelah mencoba beberapa dress, pilihannya jatuh kepada blose berwarna baby pink dengan celana jeans berwarna putih. Ya memang begitulah Elina, pilihannya tak sesuai dengan apa yang dia coba. Seperti hatinya juga, memilih Sean yang terpaut 10 tahun darinya. Elina duduk di depan cermin, dia bersolek dengan cantiknya. Memakai bedak tipis dengan lipstik warn nude andalannya. Elina terlihat sangat cantik dengan rambut yang dibiarkan tergerai. Kriiing! Ponselnya berbunyi, nama Aland tertera di layar ponselnya. Dengan cepat gadis imut itu menyelipkan kakinya
"Mas ... yang bayar Om galak ini ya!" teriak Elina kepada petugas dibagian kasir. "Hei ... Dasar bocah ingusan!" teriak Aland. Elina berlari meninggalkan Aland membayar makanan yang sudah dia makan. "Ba!" Elina mengageti Aland yang baru saja keluar. Tapi bukannya kaget Aland malah mengumpat dengan kesal. "Dasar bodoh, kamu tidak lihat di sini kaca transparan, mau kamu ngumpet pun kelihatan!" ketus Aland menanggapi canda Elina yang sama sekali tak lucu buatnya. "Om ... kamu tidak mau menggandeng tanganku?" Elina mendongakkan pandangannya memberikan pertanyaan yang malas Aland jawab. "Om ... kenapa diam? Om marah?" Elina terus menggoda Aland. "Elina, diamlah!" bentak Alend. Aland tidak mau wibawanya hancur karena si usil Elina selalu saja memanggil dirinya Om. Elina yang iseng terus mengekori Aland, kemanapun dia pergi Elina ada di belakangnya. "Kamu tidak ada kegiatan lain selain mengikuti aku, Elina?" bentak Aland kesal. "Siapa yang ngikutin, saya itu mau masuk ke ruangan
Elina gadis imut pemilik hidung kecil mancung itu berdiri di samping pintu ruang meeting. Dia merapikan rambut hitam lurus sepunggungnya saat melihat Aland berjalan mendekat ke arahnya. Bibir tipis yang selalu di polesnya dengan lipstik berwarna nude itu tersenyum menyambut Aland yang lewat di hadapannya. "Selamat siang, Pak Aland," sapa Elina dengan ramah. Aland hanya melirikkan matanya tak menghiraukan gadis berponi depan itu. "Sudah sombong anak Mama lagi," sinis Elina mengikuti langkah kaki Aland dari belakang. Meskipun dia kesal karena diabaikan CEO tampan itu, tapi tetap saja Elina mengagumi sosok Aland yang kharismatik itu. Aland, membalikkan badannya, langkahnya membawa dia mendekat ke arah Elina memandang kesal kepada gadis berwajah imut itu. "Siapa yang kamu bilang anak Mama, Elina?" tanya Aland dengan matanya yang memicing. "Bapak lah, siapa lagi!" kesal Elina. Aland semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Elina yang bersandar pada dinding. Aroma parfum maskulin yang
Hawa dingin di pagi hari menguliti wajah Elina. Dia mengusap wajahnya lembut dengan kedua telapak tangannya. Mengusap berkali-kali hingga menimbulkan hawa hangat di sekitar wajahnya. Hari ini, Elina sengaja berangkat lebih pagi. Setengah jam sebelum jam kerja, dia sudah harus duduk manis di ruangannya, menunggu kedatangan CEO tempat dia magang. Dia tidak ingin lagi telat dan menjadi sasaran omelan Aland. "Pagi ... Pak Aland," sapa Elina menyambut kedatangan Aland, sang CEO tampan. Tak membalas sapaan Elina, Aland hanya memandang dingin ke arah gadis imut itu. "Dasar sombong!" gerutu Elina. Sialnya telinga Aland cukup tajam untuk mendengar itu semua. "Kamu bicara apa, Elina?" Elina mendongakkan kepalanya melihat Aland sudah berdiri di hadapannya. Elina terlihat bingung mencari alasan apa yang tepat untuk dia utarakan. "Tidak Pak, saya tidak bicara apa-apa." Elina menarik bibirnya paksa, melukiskan senyuman palsu agar tak terlihat gugup di hadapan Aland. "Jelas-jelas saya mendeng