Aku memelankan langkah kakiku. Mataku menyipit, melihat dengan seksama ke arah meja makan. Biasanya hanya ada ibu dan ayah yang menungguku. Tapi...siapa yang kini duduk tepat di hadapan ibuku itu?
"Bis... ma?" kagetku.
"Oh... itu dia yang kita tunggu." ujar Ayah sembari menunjukku,
"Buruan kesini sayang! Nak Bisma sudah menunggu sejak tadi." sambung Ibu.
Kenapa pria bodoh itu di rumahku? Membuat mood pagiku semakin buruk saja. Bak petir yang menyambar di tengah hujan deras. Aku berpikir. Mencari cara agar dapat lari dari ruangan ini.
"Em... maaf tapi Mawar udah telat. Mawar langsung ke kampus aja ya." pamitku cepat-cepat pergi.
"Mawar!" sergah Ayah berhasil menghentikan langkahku.
Aku memejamkan mataku sejenak. Please... please Ayah jangan ngomelin aku di depan pria bodoh itu. Memalukan.
"Nak Bisma datang kesini untuk mengantarmu ke kampus. Pergilah bersamanya. Oh ya, dan kau lupa belum bersalaman dengan Ayah dan Ibu." ujar Ayah
Aku berbalik badan cepat. Melontarkan tatapan protes pada pria paruh baya yang tak lain adalah Ayah kandungku itu. Baru saja aku hendak membuka mulutku, suara berat Ayah menghentikannya. Seakan Beliau tau, apa yang ada dalam otakku.
"Tidak ada penolakan, Mawar. Mulai hari ini Bisma akan antar jemput kamu ke kampus. Ini demi kebaikan kalian kedepannya,"
Oh... ayolah Ayah... bisakah Ayah memahami anakmu ini?
"Tap.. tapi Ayah..." ujarku terpotong.
"Baiklah kalau Mawar sudah siap, saya juga mau pamitan untuk mengantar Mawar. Karena sepertinya ini sudah terlalu siang." potong Bisma.
Dasar pria bodoh itu! Beraninya memotong pembicaraanku. Lihatlah! Sekarang dia bersalaman dengan kedua orang tuaku. Sok manis sekali.
Aku menghentakkan kakiku kesal mengikuti langkah si bodoh itu. Ia masuk ke dalam mobilnya. Dan aku masih terdiam di depan mobilnya.
"Buruan! Katanya udah telat." ujarnya.
"Braaakks!!" aku membanting pintu mobilnya kasar setelah masuk dan duduk di bangku penumpang, di samping pria bodoh itu.
"Kau tidak takut jarimu patah karena terjepit pintu mobilku?" tanyanya. Aku menoleh ke arahnya. Menatapnya malas tanpa menyahuti pertanyaannya.
Baiklah. Sepertinya dia mengerti maksudku. Dia mulai menyalakan mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang ke arah kampusku.
Senyap. Tak ada suara yang terlontar diantara aku dan Bisma. Tunggu! Apa lebih baiknya aku memanggilnya 'Paman'? Sepertinya aku lebih cocok memanggilnya begitu.
Aku menoleh ke arahnya. Bukan karena dia tampan. Karena merasa aneh saja dengan suasana se-sepi ini. Bahkan biasanya aku memutar lagu dan bernyanyi saat menyetir sendiri. Aku berdecak kesal melihat wajahnya yang seperti es. Dingin.
Bisma memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang kampus. Baru saja aku akan membuka pintu, Bisma mencegahku. Aku menoleh malas kepadanya. Pria itu nampak menyeritkan alisnya.
"Kamu nggak bilang makasih, atau apa gitu?" tanyanya.
What?? Aku sudah telat dan dia menahanku cuma untuk menanyakan hal itu? Bahkan aku juga tak berharap dia menjemputku pagi tadi.
"Harus?" tanyaku ragu.
Bisma terkekeh kecil. Apa maksudnya?
Aku memutar tubuhku kembali menghadap Bisma. Namun pria itu tetap santai seakan tak melakukan hal aneh.
"Apa maksud ketawamu tadi? "tanyaku dengan nada kesal.
Tentu saja. Aku kesal. Sangat bahkan.
"Aku bahkan sudah menjemputmu. Sabar menunggumu yang tak kunjung keluar kamar. Dan mengantarmu dengan selamat sampai kampusmu. Tak ada rasa terima kasih sedikitpun yang ingin kau ucapkan?" tanyanya.
Apakah harus? Pamrih sekali orang ini.
"Bahkan aku telat masuk kelas dan kamu menahanku hanya untuk ini? Baiklah 'Terima Kasih'!" ujarku pada akhirnya.
Dia kembali tertawa. Pasti ia merasa sangat puas sekarang. Tapi aku mengabaikannya. Lebih baik aku segera keluar dari mobil ini dan berlari ke kelas.
'Brakkkss!!' aku membanting pintu mobilnya cukup keras.
Biarkan saja jika dia kesal padaku. Mungkin dia akan marah jika mobil Bercedez Benz S 500 L yang harganya lebih dari 3,5 miliar ini rusak karena ku banting pintunya. Tapi aku tak peduli. Dia cukup kaya untuk membeli mobil baru. Jadi aku yakin dia tak akan menuntutku hanya karena hal itu.
*
Waktu menunjukkan pukul 12.40. Harusnya dosen itu sudah keluar dari kelas sejak 10 menit lalu. Tapi entah apa yang membuat Beliau begitu betah berdiri di hadapan kelasku. Perutku berkali-kali berbunyi. Hhss.. aku berkali-kali mendesah kesal mengingatnya. Mengingat kebodohanku yang tidak sarapan tadi pagi hanya karena 'pria menyebalkan' itu ada di ruang makanku.
'Ini gara-gara si tua itu.' batinku terus mengumpat.
Sedetik setelah dosen yang ku perkirakan usianya sudah hampir menginjak 60 tahun itu pergi, aku bergegas ke kantin. Bahkan sesekali terdengar suara Fany yang memanggil namaku. Aissh...lamban sekali dia. Aku memilih duduk di kursi yang cukup dekat dengan pintu dan segera memesan makanan.
"Mawar, lo berapa hari sih nggak makan? Kayak orang kurang pangan aja." kesal Fany yang baru saja datang.
Gadis itu sudah duduk di hadapanku. Menampakkan wajah kesal yang sudah biasa ia tunjukkan padaku.
"Gue memang lapar. Tadi pagi nggak sempat sarapan gara-gara orang nyebelin itu udah nangkring di meja makan rumah gue." ujarku.
Fany menyeritkan alisnya.
Baik. Aku paham maksud sahabatku yang super kepo itu.
"Aku di jodohkan." ujarku tiba-tiba.
Fany tampak terkejut. Tentu saja. Bahkan semalam aku sendiripun terkejut.
Pesananku datang dan aku segera menyantapnya. Aku tak lagi memperdulikan Fany yang masih menatapku aneh.
"Sama siapa? Ganteng nggak? Sama Pak Brian ganteng mana?" tanya Fany bertubi-tubi.
Aku menegakkan badanku untuk dapat melihatnya. Mulutku masih asyik mengunyah makanan yang beberapa detik lalu ku santap.
"Oh iya, dan kapan rencananya kalian akan menikah?"
"Uhhukkk..."
Inilah yang terkadang membuatku merasa aneh memiliki teman seperti Fany. Terkadang mulutnya kesusahan menyaring kalimat-kalimat yang ia pikirkan.
"Jawab kek!!" desaknya.
Aku menatapnya malas. Aku yakin dia tak akan diam jika aku mengabaikannya. Apa dia tidak mengerti jika saat ini aku benar-benar kelaparan?
"Namanya Bisma. Bisma Renandi. Putra tunggal Tuan Rio Renandi dan Nyonya Kamila Renandi. Dia..." ucapku terpotong.
"Tunggu! Bisma Renandi? CEO ganteng itu??" Fany nampak antusias dengan pertanyaannya.
"Ganteng?"ulangku.
Fany mengangguk mantab. Matanya berbinar seakan ia tengah di lamar oleh pria idamannya.
"Nggak juga. Lo salah orang kalik. Tapi pokoknya dia terlalu tua untuk gue." balasku yang segera mendapat tatapan protes Fany.
Kenapa? Memangnya aku salah?
"Oh ya. Dan menyebalkan." Tambahku.
Fany terlihat makin tak terima dengan ucapanku. Ada apa dengannya?
Ah..mungkin saja dia baru saja melihat drama Korea baru dan ke-baper-annya terbawa sampai sekarang. But, this is my life, not just 'drama'.
"Cuma ada satu Bisma Renandi di negeri ini, Mawar. Tapi dia memang tampan. Sangat tampan. Dan dia juga tidak tua. Usianya masih 28 tahun. Hanya terpaut sembilan tahun dari lo." Fany meralat kata-kataku.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Hh...semua akan jadi panjang jika aku memprotes opininya itu. Ingat! Opini. Karena penilaianku terhadap pria bernama Bisma itu tak sama seperti yang terlontar dari mulut Fany.
Aku memilih kembali menyantap makananku sebelum dingin. Ccckk...Fany terus mengoceh sembari menemaniku makan. Dia terus saja memuji Bisma seakan Bisma adalah malaikat yang di idamkan semua wanita di bumi.
*
Hh...aku menghela napas kesal melihat Bercedez Benz hitam itu terparkir di depan gerbang kampusku. Sang empu mobil itu tampaknya enggan turun untuk menyambutku walau sekedar hanya khawatir aku tak mengenalinya. Aku masih terdiam di tempatku. Menatap malas ke arah mobil itu. Hingga akhirnya kaca depan mobil itu terbuka, menampakkan pemilik mobil mewah itu.
"Ayo naik!" suruhnya.
Aku berdecak sebal kemudian mengikuti perintahnya. Dia melirikku sebentar sebelum menyalakan mesin mobilnya.
"Tumben nggak banting pintu?" gumam pria itu sesaat setelah menjalankan mobilnya.
"Takut suruh ganti kalo rusak." jawabku asal.
Pria itu terkekeh kecil. What?? Apa yang lucu? Aku menatapnya kesal. Selalu, entah mengapa aku sangat kesal dengannya.
"Apa yang lucu?" tanyaku dengan sedikit nada tinggi.
Dia menoleh ke arahku sebentar.
"Aku kira kamu takut kejepit pintu." Balasnya santai.
Aku melipat tanganku di dada dan mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
"Mawar!" panggilnya.
Aku tak menggubrisnya sama sekali. Aku masih asyik dengan kegiatanku. Berdiam diri.
"Mawar.." ulangnya dengan volume yang lebih tinggi.
Aku kembali menatapnya.
"Lo pikir gue budek apa?" kesalku
"Ya siapa tau aja." balasnya membuatku semakin naik pitam.
Dia hanya terkekeh kecil menanggapiku.
Aneh. Kenapa tiba-tiba dia jadi senang mentertawakanku sih? Membuatku makin kesal saja. Entahlah. Apapun ekspresi yang di tunjukkan pria itu aku sangat tidak menyukainya.
Lagi. Dia melirikku sekilas.
"Sampai kapan kamu mau nunjukin muka masammu itu?" tanyanya.
"Selamanya. Sampai perjodohan kita dibatalin." jawabku cepat.
Bisma terdiam cukup lama. Kemudian kembali berucap,
"Aku lebih tua dari kamu, bisakah sedikit saja kamu menghargaiku? Bahkan aku selalu bersikap baik padamu." ujarnya.
Aku menyeritkan alisku, kemudian melemparkan tatapan protes padanya. Bagian mana yang dia anggap berbuat baik padaku?
"Kapan lo baik sama gue?" protesku.
Bisma menghentikan laju mobilnya karena lampu merah menyala. Dia menatapku. Kali ini dengan tatapan yang beda dari biasanya. Tatapan kesal tepatnya.
"Berhenti berbicara kasar padaku!" suruhnya.
"Berhenti nyuruh-nyuruh gue!" balasku garang.
Bisma tampak menghela napasnya kesal.
"Mana bisa gadis sepertimu terlahir dari keluarga Kusuma yang menjunjung tinggi tata krama? Hh..." sindirnya.
Rasanya aku semakin ingin memukul wajahnya yang sok perfect itu. Dengarlah, kata-katanya seakan menunjukkan bahwa dia adalah pria yang sangat berbudi baik.
Aku menarik urat senyum di bibirku. Tentu saja hanya senyum palsu. Senyum mengejek tepatnya.
"Baiklah Bism...eh maksud saya 'kak', tunggu! Saya harus memanggil Anda apa? Om..Paman...atau...." ucapku terpotong.
"Bisma!" potong pria itu cepat.
Aku menggeleng cepat.
"Bagaimana mungkin saya memanggil Anda dengan nama saja? Bukankah itu sangat tidak sopan?" ucapku lebay.
Hh...munafik sekali orang di hadapanku ini.
Bisma kembali memijak pedal gasnya setelah lampu hijau menyala. Dia sama sekali tak menggubris ucapan terakhirku tadi.
"Kenapa kamu nggak suka banget sama aku?" tanyanya tiba-tiba.
Aku beralih menatapnya yang masih fokus menyetir.
"Ya kenapa lo pakai nerima perjodohan ini? Kenapa lo diam waktu itu?" tanyaku balik dengan nada mulai tinggi.
Bisma melirikku sekilas kemudian kembali fokus pada jalanan di depannya.
"Kamu sendiri diam saja nggak protes kemarin." Bisma.
Aku mendengus kesal. Aku tak dapat menjawab ucapannya. Aku ingin. Sangat ingin membatalkan perjodohan itu. Tapi aku tak mau Ayah memarahiku dan kecewa padaku.
"Kenapa?" ulangnya.
Aku menggeleng cepat.
"Lo nggak perlu tahu." balasku dingin.
"Aku sebenernya bingung kenapa kamu segitu nggak sukanya sama aku. Aku ngerasa nggak pernah bikin salah sebelumnya. Aku juga udah usaha buat baik sama kamu. Bukan karena cinta, suka atau sejenisnya. Ya...aku cuma berusaha aja biar kamu nyaman. Dan itu caraku menghargai kamu. Tapi maaf kalau selama ini usahaku gagal dan malah bikin kamu makin kesel." ucap Bisma.
❤❤❤
Bersambung ....
Aku melirik ke arah Bisma. Kaget? Tentu saja. Sebelumnya aku belum pernah mendengar dia berucap sepanjang itu. Dan juga, untuk apa dia minta maaf? Seorang Bisma? CEO perusahaan properti itu minta maaf sama aku?Tunggu! Benar juga ucapannya. Aku nggak punya alasan buat kesel sama dia sampai kayak gini. Soal perjodohan itupun, aku yakin dia tak mengerti apapun.Aku rasa dia benar, dia berusaha baik padaku. Dia mau mengantar jemputku meski aku yakin pekerjaannya di kantor menumpuk. Dia ju
Akumenutup telingaku dengan bantal. Aku mengerang kesal mendengar nada dering hand phoneku yang terus berbunyi itu. Aku yakin mentaripun belum menampakkan dirinya. Tapi kenapa sudah ada yang mengusik hidupku sepagi ini.Aku tak tahan lagi. Aku meraihhandphoneku kemudian mematikannya tanpa sedikitpun menoleh ke layarsmartphoneku itu.
Malam yang dinantikan telah tiba. Malam pertunanganku dengan Bisma. Suasana pesta cukup ramai. Kedua orang tuaku tampak sibuk berbincang dengan rekan bisnis mereka. Sementara kakakku? Dia berkeliling kesana-kemari bak seorang EO yang bertanggung jawab atas terlaksananya acara malam ini."Mawar...."Aku merasakan tubuhku di peluk dari samping. Sebuah tangan mungil yang sangat aku kenali. Aku tersenyum kemudian memutar tubuhku menghadapnya.
Hujan turun cukup deras sore ini. Aku melihatnya dari jendela kelasku. Karena memang aku cukup senang duduk di dekat jendela."Yah hujannya makin gede aja." keluh Fany di sampingku."Terus kenapa? Lo juga di kelas nggak kehujanan." Balasku."Eh Mawar, lo nanti di jemput tunangan lo ya? Ih..gue iri." Fany.
Aku mendengus kesal saat makan siang bersama Fany. Kali ini bukan karena ocehan sahabatku itu, tapi deringanhandphoneku yang terasa sangat mengganggu. Bisma. Namanya tertera jelas disana. Tapi...rasanya aku masih malas berdebat dengannya. Rasanya aku ingin lepas dari perjodohan ini. Sangat menyiksa."Mawar, angkat kali! Dia kan tunangan lo." Fany."Nggak usah bahas deh, Fan. Gue lagi males ngomongin dia." kesalku. Fany terdiam. Kemudian kembali m
Waaahhh...Aku berdecak kagum ketika pintu rumah Bisma terbuka. Rumah yang ku yakini harganya lebih dari 10M itu berisi perabot mewah dan guci-guci antik."Ayo masuk!" ajak Bisma membuyarkan lamunanku.Aku mengikuti langkah Bisma kemudian duduk di sebuah sofa ruang tamu. Seorang pelayan datang meletakkan sebuah minuman di hadapanku.
Kini aku sudah berada di rumah Bisma. Tepatnya, duduk sembari mengerjakan laporanku di meja makan rumah Bisma. Sementara Bisma, kini ia tengah asyik berbincang di ruang tamu bersama clientnya. Sejak hampir satu jam yang lalu mereka bicara di sana. Tak lama kemudian, ku dapati sosok Bisma sudah duduk tepat di samping kananku."Sampai mana?" tanya Bisma ketika aku asyik membaca jurnal di tanganku."Lagi mikir soal tabel ini, nuanginnya ke laporan gimana ya?" tanyaku sembari memperlihatkan bagian yang tak ku mengerti
Sebelum acara resepsi, Bisma mengajakku makan malam di restoran hotel. Letaknya berada satu lantai dengan kamar kami, namun seakan berbeda bangunan karena desain bangunannya yang begitu unik. Restoran ini menjorok ke arah pantai, hingga kami dapat menyaksikan pemandangan pantai di malam hari, dengan beberapa lampu hias yang didesain khusus. Makanan pesanan kami baru saja tiba dan aku segera menyantapnya dengan lahap."Pelan-pelan aja makannya! Kalo kurang masih bisa nambah." Bisma sembari terkekeh kecil.Aku mengangguk memakan makananku de
Satu jam berlalu. Bisma dan Mawar berjalan beriringan menuju meja makan. Bisma tersenyum melihat putri kecilnya sudah duduk di salah satu kursi sembari memakan martabak manis yang ia belikan. Namun ia bingung dengan ekspresi anak sulungnya yang tampak kesal.“Papa!!” girang Devania menyambut kedatangan Bisma.‘Ratapan seorang Ibu kandung yang di anak tirikan oleh anaknya.’ batin Mawar.
AUTHOR POVWanita berusia 37 tahun itu kembali berdecak kesal ketika acara nonton TVnya terganggu. Dia adalah Mawar Renandi. Ia menatap kesal putrinya yang baru pulang sekolah dan langsung merecokinya menonton acara gosib siang ini.
Bisma menuntunku untuk kembali berdiri. Sekarang, kami berhadapan dengan Kak Elang yang membawa kue ulang tahun yang di atasnya terdapat lilin berbentuk angka 21."Ayo, tiup lilinnya, sayang!" ujar Tante Kamila. Aku mengangguk kemudian meniup lilinnya. Detik berikutnya, aku menoleh ke arah Bisma yang masih mempertahankan senyumannya untukku."Tadinya aku minta mereka buat acara sendiri, biar nggak ganggu kita, tapi mereka menolak." terang Bisma.
Mawar's POV***Aku memeluk leher Bisma dari belakang. Kepalaku ku sandarkan pada bahunya. Mataku terpejam, menikmati semilir angin yang mengenai wajahku. Pantai. Saat ini aku dan Bisma ada di pantai. Salah satu supir keluarga Bisma yang membawa kami kemari. Tak terasa, sudah
BRIAN POV***Aku melirik arloji di tangan kiriku. Mungkin ini sudah yang ke sepuluh kalinya siang ini. Dua puluh menit aku menunggu, tapi Mawar tidak kunjung tampak. Berkali-kali aku menelfon gadis itu, namun tidak ada jawaban. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencarinya ke dalam. A
Mawar mendorong kursi roda Bisma hingga ke taman halaman belakang rumahnya. Sudah seminggu terakhir, Mawar selalu datang ke rumah orang tua Bisma untuk merawat pria itu. Bagaimana kondisi Bisma?Saat ini dia hanya bisa duduk di kursi roda. Tulang kaki kirinya bergeser dan perlu pemulihan selama satu bulan. Selain itu, dokter mem-vonis Bisma buta. Hal itulah yang membuat Mawar terus merasa bersalah."Bis, kamu mau makan sesuatu?" tawar Mawar. Bisma tersenyum kemudian menggenggam tangan
AUTHOR POV***Bisma masih setia menanti di depan halaman rumah Mawar. Berkali-kali Elang mengusirnya, tapi ia tetap bersikeras untuk bertahan. Ia harus bisa menemui Mawar. Hingga pada sekitar pukul 19.00, terlihat sebuah mobil memasuki gerbang rumah Mawar. Dari kaca samping, Bisma dapat melihat sosok Mawar, gadis itu duduk di samping Brian.
BISMA POV***Aku bertemu dengan teman lamaku, Arya dan kami memiliki proyek bersama. Aku mengajaknya berkeliling kantorku sebelummeetingdi mulai. Kami berjalan hingga melewati lobby. Namun, langkahku terhenti. Aku melihat gadis yang menghilang dari pandanganku lebih dari tiga bulan ter
Semua telah di tetapkan. Satu bulan lagi, aku dan Kak Brian akan bertunangan. Dan pagi ini, aku dan Kak Brian akan memesan kebutuhan untuk pertunangan kami. Namun sebelum itu, kami akan ke kantor Kak Brian sebentar karena ada beberapa file yang harus Kak Brian tanda tangani. Aku menunggu Kak Brian di lobby. Aku duduk di sebuah sofa panjang yang terletak di ujung ruangan. Tanganku asyik menari di atas layarsmartphoneku. Hingga sebuah suara berhasil mengalihkan perhatianku. Memaksaku untuk segera menemukan sang pemilik suara itu."Bisma?" kagetku.