Aku mendengus kesal saat makan siang bersama Fany. Kali ini bukan karena ocehan sahabatku itu, tapi deringan handphoneku yang terasa sangat mengganggu. Bisma. Namanya tertera jelas disana. Tapi...rasanya aku masih malas berdebat dengannya. Rasanya aku ingin lepas dari perjodohan ini. Sangat menyiksa.
"Mawar, angkat kali! Dia kan tunangan lo." Fany.
"Nggak usah bahas deh, Fan. Gue lagi males ngomongin dia." kesalku. Fany terdiam. Kemudian kembali menyantap makanannya.
"Lo beneran nggak makan?" Fany.
Aku menggeleng kemudian menyeruput susu coklat di hadapanku.
"Habis ini lo mau langsung pulang?" Fany.
Aku mengangguk. Hari ini jadwal kuliah kami hanya sampai jam 12.30. Dan sekarang sudah berakhir. Jadi kami sudah bebas.
"Gue duluan ya!" pamitku pada Fany yang masih asyik menyantap makanannya.
Fany mengangguk. Akupun segera pergi dari kantin menuju ke parkiran.
Aku tersentak kaget saat melihat seorang pria bersandar di samping pintu mobilku. Aku menghentikan langkahku dengan segera.
Bisma?
Dia menoleh ke arahku. Sejenak, pandangan kami bertemu. Dia berjalan ke arahku. Dan sampainya di hadapanku, dia mengangkat tangan kanannya seolah meminta sesuatu.
"Apa?" tanyaku dengan nada dingin.
Sebisa mungkin, aku ingin terlihat kuat di depannya. Aku ingin terlihat sebagai perempuan pemberani dan tak pernah takut pada kekuasaannya.
"Kunci mobil kamu." jawab Bisma dengan nada santai. Aku menyerit bingung. Untuk apa?
Tatapannya mulai berubah jadi dingin.
"Mana kunci mobil kamu? Berikan sekarang!" titahnya.
Aku menggeleng cepat.
"Untuk apa? Enggak! Minggir sana!" usirku.
Namun dengan cepat ia merebut kunci yang sedari tadi ku bawa dengan tangan kiriku. Kemudian dia berjalan cepat ke arah pintu sebelah kanan depan mobilku dan membukanya.
"Apaan sih?" kesalku.
"Buruan masuk!" perintahnya
Sungguh. Aku sangat kesal dengan segala tingkahnya. Tapi dengan terpaksa aku masuk dan duduk di bangku samping kemudi.
"Mau apa lagi sih?" kesalku.
"Sudah ku katakan, jangan menyetir sendiri! Kenapa sih kamu susah banget di bilangin?" balasnya dengan nada menjengkelkan.
Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku. Malas berdebat dengannya. Tak lama kemudian, Bisma mulai menjalankan mobilku dengan kecepatan sedang.
Aku kembali menatap Bisma saat ia berbelok ke kiri di perempatan. Ini bukan arah jalan rumahku.
"Loh kok ke sini sih? Kan harusnya lurus. Kamu mau bawa aku kemana?" protesku.
"Aku lapar." Bisma.
"Ya beli makan aja sendiri setelah nganter aku." suruhku.
Dia menoleh ke arahku.
"Aku nggak bawa dompet. Dan aku nggak tahan kalau di suruh nahan lapar sampe di kantor nanti." Bisma.
"Memang kamu punya waktu makan sama aku?" sindirku.
"Memang kamu punya uang buat bayar makananku?" balasnya menyindir.
Aku berdecak kesal. Secara nggak langsung dia sama saja memintaku untuk mentraktirnya. Bagaimana mungkin aku bilang tidak? Nanti di kira aku nggak punya uang lagi.
Bisma memberhentikan mobilku di depan sebuah restoran mewah. Yang ku tau, harga makanan di sini sangat mahal. Mungkin jika untuk makan berdua dengannya, bisa menghabiskan setengah dari uang jajan bulananku. Aku melotot kesal pada Bisma.
"Kamu mau morotin aku? Kamu kan udah kaya, ngapain sih pakai morotin mahasiswa biasa kayak aku?" kesalku.
"Maksud kamu apa sih? Cuma bayarin makan aja." Bisma.
"Tapi nggak disini. Kamu gila!" teriakku frustasi.
Dia terlihat bingung dengan sikapku. Aku mengacak rambutku frustasi.
"Aku nggak mau menguras uang jajanku cuma buat satu kali makan siang." ucapku memelas.
Bisma tersenyum miring menanggapi ucapanku. Ia turun dari mobil. Membuatku semakin menyerit kebingungan. Sesaat kemudian ku rasakan pintu sebelahku terbuka. Ternyata Bisma yang membukanya.
"Buruan turun! Aku sudah sangat lapar." Bisma dengan nada dingin.
Akupun turun dari mobil dan mengikutinya. Aku menelan ludahku kasar saat memasuki restoran. Aku memikirkan berapa banyak uang yang akan aku keluarkan hari ini. Tanpa sadar kini aku dan Bisma telah duduk berhadapan. Bisma tengah menyebutkan beberapa nama makanan dan minuman dalam menu yang aku yakin jika di total semua harganya akan lebih dari satu juta. Tak lama kemudian, pelayan itu pergi.
"Aku juga sudah memesankan untuk kamu." Bisma.
"Aku tidak akan berterima kasih karena aku yang membayarnya." balasku.
Bisma kembali terkekeh. Menatapku dengan tatapan gemas. Namun tampak mengesalkan bagiku.
"Aku minta maaf." ujar Bisma tiba-tiba.
Aku menatapnya bingung. Maaf? Buat apa?
"Buat apa?"tanyaku.
"Karena udah cuekin kamu, dan juga karena udah bentak kamu semalam." Bisma.
Aku terdiam. Jika mengingatnya, aku jadi kesal. Tapi...melihatnya meminta maaf dengan wajah itu, kenapa rasanya aku mulai luluh?
"Aku tadi ke rumah kamu, tapi kata Elang kamu sudah berangkat dan menyetir sendiri. Aku jadi emosi, tapi Elang menjelaskan semuanya. Tentang kekesalanmu padaku. Dan tentang semua kesalahanku." terang Bisma.
Aku terpenjat saat Bisma menggenggam tanganku. Dia tatapanku teduh. Membuat hatiku tak karuan rasanya.
"Kemarin aku hanya sedang benar-benar sibuk karena proyek baru di Malaysia. Tapi aku janji tak akan melakukannya lagi. Aku tak akan membuatmu merasa terabaikan lagi." Bisma.
Okey. Aku kalah. Aku luluh dengan semua kata-katanya. Aku mengangguk ragu.
"Maaf juga karena aku kekanakan." ujarku.
Bisma tersenyum kemudian semakin erat menggenggam tanganku.
Entah perasaan apa ini. Tapi...rasanya sungguh nyaman. Hangat.
Satu jam berlalu. Aku dan Bisma telah selesai makan beberapa menit lalu. Kemudian, seorang pelayan datang memberikan bill.
Baru saja aku akan meraih dompet dari tasku, Bisma mengeluarkan dompetnya dan segera memberikan debit card nya. Bukankah tadi dia bilang dia tak bawa dompet??
"Kamu bilang tadi..." ucapanku terpotong.
"Hanya alasan yang aku buat biar kamu mau menemaniku makan siang." potong Bisma semari terkekeh.
Kami segera pergi setelah pelayan tadi mengembalikan debit card Bisma. Bisma mengantarkanku pulang. Kemudian ia kembali ke kantor dengan mobilnya yang sudah terparkir di halaman rumahku.
*
Aku berlari kecil menuruni anak tangga rumahku. Hari ini, aku lebih bersemangat dari pada hari-hari sebelumnya. Kenapa? Karena hari ini adalah hari ulang tahunku.
"Pagi Ayah, pagi Ibu!" ujarku sembari mencium pipi kedua orang tuaku saru per satu.
"Pagi sayang!" balas mereka.
"Kakak enggak?" tanya Kak Elang sembari menyeringai. Menggelikan.
"No!" balasku singkat kemudian membalik piring yang tepat ada di hadapanku.
"Tunangan kamu?" Kak Elang sembari melirik Bisma
Aku menatap Bisma yang tepat berada di sampingku. Aku tersenyum kikuk kemudian menggeleng.
"Kamu udah disini?" tanyaku pada Bisma
Bisma mengangguk.
"Dia udah dari tadi kali, Dek.. Kamu aja yang selalu kesiangan jadi Bisma harus nunggu lama tiap pagi." Kak Elang.
Aku mendengus kesal kemudian memelototi kakakku itu. Bahkan Bisma biasa saja tak pernah mengeluh, tapi kenapa dia yang selalu ribet?
"Sudah sudah.. cepat makan!" ujar Ayah.
"Happy birthday ya sayang. Hadiah dari Ibu nanti nyusul." sambung Ibu.
"Happy birthday my sister. Kakak nggak kasih hadiah, ya? Uang jajan kakak udah habis buat reuni kemarin. Hehe.." sambung Kak Elang
"Ehhmm.. selamat ulang tahun putri kecil Ayah." tambah Ayah.
Aku mengangguk antusias. Akhirnya, ada juga yang mengucapkannya padaku. Ibu menjadi orang pertama yang mengucapkannya secara langsung hari ini.
"Mawar ulang tahun?" tanya Bisma pada semua orang di meja makan. Aku menatapnya aneh. Jadi dia tidak tahu?
"Kamu baru tahu?" tanyaku sedikit kesal.
Belum sempat Bisma menjawab, ibu sudah memotongnya.
"Ya wajar kan, Sayang. Kalian kan baru saja kenal. Banyak hal yang belum kalian ketahui satu sama lain." sambung Ibu.
Aku masih menatap kesal ke arah Bisma. Namun pria itu malah membalasku dengan senyuman tipis. Mungkin merasa bangga karena mendapat belaan ibu.
"Cepat habiskan makananmu, Mawar! Nak Bisma sudah terlalu lama menunggumu." ujar Ayah.
"Iya, Ayah." Balasku.
*
Sejak awal memasuki area kampus, banyak diantara teman-temanku yang mengucapkan 'Selamat ulang tahun' padaku. Tak sedikit pula yang memberikan kado.
"Astaga Mawar... banyak banget kado lo." ujar Fany lebay melihatku membawa begitu banyak kado.
"Sebenernya pengen gue tolak, tapi nggak enak juga." balasku kemudian duduk di samping Fany.
"Terus mau lo apain sekarang?" Fany.
Aku berpikir sejenak. Kemudian sebuah ide muncul di kepalaku. Fany menyerit melihatku yang buru-buru mengeluarkan handphone dan menghubungi seseorang.
Lima belas menit kemudian, seseorang yang tadi aku hubungi telah datang. Dia adalah salah satu pekerja di rumahku. Pak Budi.
"Ada apa, Non?" Pak Budi.
"Pak, tolong bawa hadiah-hadiah ini dan berikan ke panti asuhan atau anak jalanan!" ujarku.
Pak Budi mengangguk mengerti. Kemudian beliau memasukkan hadiah-hadiah yang mayoritas adalah cokelat itu ke dalam sebuah kantung berukuran cukup besar dan membawanya pergi.
"Gila..kenapa nggak lo simpen aja sih. Kan sayang." Fany.
"Setahun juga gue nggak bakalan habis. Daripada kebuang mending di kasihin mereka yang butuh." balasku santai.
Aku memainkan handphoneku dan membaca ratusan notifikasi yang masuk di jejaring sosial milikku yang semuanya berisi ucapan selamat ulang tahun.
Tapi.....
Aku menyerit ketika melewati nama tunanganku di kontak What's App. Dia sama sekali tak menghubungiku. Dan tadi pun dia juga belum mengucapkan selamat padaku.
Hh.... dia mulai lagi.
*
Aku menggeliat meregangkan ototku yang tegang setelah seharian berkutat dengan pelajaran. Bahkan selama hampir delapan jam aku hanya menikmati istirahat selama 30 menit dan itupun ku habiskan untuk makan siang. Aku menghentikan langkahku saat melihat Bisma sudah berdiri tepat di hadapanku.
"Oh.. udah sampai?" tanyaku basa basi.
Aku segera berjalan melewati Bisma dan masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di sebelahku dan menyalakan mesin mobilnya.
"Ke rumahku dulu, ya?" ujar Bisma.
"Tapi aku mau pergi sama Ibu dan Ayah. Mereka pasti nungguin. Aku belum siap-siap juga." tolakku.
"Ya siap-siapnya di rumahku aja. Aku sudah belikan baju juga kalau kamu mau mandi sekalian." Bisma.
Hh? Aku menatap tak percaya ke arahnya.
"Maksudnya?" bingungku.
"Udah nurut aja!" balasnya santai.
❤❤❤
Bersambung ....
Ada yang belum follow ig @riskandria06 ? 🙄🙄
Waaahhh...Aku berdecak kagum ketika pintu rumah Bisma terbuka. Rumah yang ku yakini harganya lebih dari 10M itu berisi perabot mewah dan guci-guci antik."Ayo masuk!" ajak Bisma membuyarkan lamunanku.Aku mengikuti langkah Bisma kemudian duduk di sebuah sofa ruang tamu. Seorang pelayan datang meletakkan sebuah minuman di hadapanku.
Kini aku sudah berada di rumah Bisma. Tepatnya, duduk sembari mengerjakan laporanku di meja makan rumah Bisma. Sementara Bisma, kini ia tengah asyik berbincang di ruang tamu bersama clientnya. Sejak hampir satu jam yang lalu mereka bicara di sana. Tak lama kemudian, ku dapati sosok Bisma sudah duduk tepat di samping kananku."Sampai mana?" tanya Bisma ketika aku asyik membaca jurnal di tanganku."Lagi mikir soal tabel ini, nuanginnya ke laporan gimana ya?" tanyaku sembari memperlihatkan bagian yang tak ku mengerti
Sebelum acara resepsi, Bisma mengajakku makan malam di restoran hotel. Letaknya berada satu lantai dengan kamar kami, namun seakan berbeda bangunan karena desain bangunannya yang begitu unik. Restoran ini menjorok ke arah pantai, hingga kami dapat menyaksikan pemandangan pantai di malam hari, dengan beberapa lampu hias yang didesain khusus. Makanan pesanan kami baru saja tiba dan aku segera menyantapnya dengan lahap."Pelan-pelan aja makannya! Kalo kurang masih bisa nambah." Bisma sembari terkekeh kecil.Aku mengangguk memakan makananku de
Sudah lebih dari sepuluh menit, tapi Bisma belum juga kembali. Rasa kantuk mulai menyelemutiku. Aku bangkit dan menuju toilet untuk mencuci tangan. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Ternyata warnalipstickku sangat cocok ku pakai. Apalagi dengandressyang ku kenakan kini. Tampak alami dan pas dengan umurku.Kemudian aku melangkah keluar dari toilet. Langkahku terhenti tepat di depan toilet saat seseorang menahan lenganku.
Mataku masih terpejam saat terdengar bel kamarku berbunyi berkali-kali.Handphoneku di nakaspun sedari tadi sudah bergetar.Oh... ayolah, ini hari Minggu.Aku bangun dari tidurku kemudian mengucek kedua mataku.Hoammm..masih jam 6.30. Biasanya aku bangun jam delapan di hari Minggu. Aku mengikat rambutku asal sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Aku menghentakkan kakiku kesal. Sudah hampir satu jam aku berdiri di depan gerbang fakultasku, menunggu Bisma yang tak kunjung menjemputku.Sudah berkali-kali aku menghubungi nomorhandphoneBisma, tapi hanya suara seorang wanita yang menyahutinya. Membuatku kesal."Nomor yang anda tuju sedang tid...."
Jam kuliahku telah usai. Lebih tepatnya, karena jam terakhir yang di ganti dengan tugas. Aku berdiri di depan gerbang menunggu taxi lewat. Aku tak ingin menambah pekerjaan Pak Yudha dan memintanya segera datang sekarang. Biarlah beliau istirahat selama majikannya itu pergi."Mawar Kusuma?"Aku menolehkan kepalaku ke arah seseorang yang menyebutkan nama lengkapku. Aku terpenjat kemudian memundurkan langkahku.
Dua hari berlalu. Ini adalah hari keempat kepergian Bisma ke Dubai. Dan sejak malam itu, aku tak pernah mendapat kabar darinya. Kak Reza? Dia masih sering menerorku. Dia sering ke kampusku, menungguku pulang kuliah meski selalu berakhir perdebatan dengan kak Brian."Sayang!"Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Aku menutup buku di hadapanku kemudian beralih menatap Ibu yang kini berdiri di pintu.