Share

MBF-12

Mataku masih terpejam saat terdengar bel kamarku berbunyi berkali-kali. Handphoneku di nakaspun sedari tadi sudah bergetar.

Oh... ayolah, ini hari Minggu.

Aku bangun dari tidurku kemudian mengucek kedua mataku. Hoammm..masih jam 6.30. Biasanya aku bangun jam delapan di hari Minggu. Aku mengikat rambutku asal sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya. Pria yang berdiri di depan pintu kamarku tampak terkejut melihat penampakanku. Hh...seperti baru pertama kali melihatku bangun saja.

"Ini sudah jam enam lebih. Kau baru bangun?" tanyanya seakan tak percaya.

"Ini hari Minggu." jawabku malas.

"Apa kalau Hari Minggu itu artinya kau juga libur makan?" Bisma.

Aku kembali mengucek mataku kemudian menyandarkan punggungku pada pintu.

"Cepat mandi! Kita cari sarapan!" lanjutnya.

"Aku masih ngantuk. Kamu makan duluan saja ya!" keluhku.

"Cepat Mawar! Daripada aku menyeretku dalam kondisi seperti ini." Bisma.

Aku menghembuskan napasku kesal. Menyebalkan sekali pria yang berstatus tunanganku ini. Selalu memaksa.

"Fine. Okey aku mandi sekarang." akhirnya aku mengalah kemudian segera masuk ke dalam kamarku dan membanting pintunya dengan keras.

Sarapan di tepi pantai? Not bad. Aku lebih menyukainya daripada Bisma mengajakku makan di restoran mewah. Aku selalu menyukai Bisma saat mengenakan pakaian santai. Kaus hitam polos dan celana jeans selutut. Dia terlihat lebih muda.

"Mau makan apa?" tawar Bisma yang masih fokus mengamati menu.

"Cumi lada hitam sama kepiting asam manis." jawabku cepat.

Kini Bisma mengalihkan tatapannya padaku. Kenapa? Aku memang menyukai dua makanan itu. Bisma tersenyum kemudian kembali beralih pada buku menu di hadapannya.

"Ikannya apa? Sayur?" Bisma.

"Enggak. Itu aja plus nasi sama es kelapa muda." jawabku.

"Baiklah." Bisma.

Bisma menuliskan pesanannya di sebuah kertas. Kemudian memanggil pelayan untuk membawa pesanan kami.

"Kemarin Reza ngomong apa aja sama kamu?" Bisma.

Aku terdiam. Aku tidak tau harus cerita dari mana.

"Kenapa? Apa kamu lupa siapa Reza? Kemarin yang menggenggam tanganmu di depan toilet." terang Bisma dengan nada berbeda dari sebelumnya. Dingin.

Wajahnya mulai memerah yang menandakan jika ia tengah marah. Aku semakin bingung harus menjawab apa. Aku tidak mau sampai dia memarahiku.

"Jangan seperti itu, Bis! Aku nggak suka kamu marah-marah terus." ujarku hati-hati.

Bisma masih dengan tatapan tajamnya. Mimik mukanya masih sama.

"Okey. Tapi kamu jangan marah-marahin aku!"

"Kemarin waktu aku keluar dari toilet, dia menahan lenganku. Aku sendiri juga kaget. Dia pengen kami kenalan, tapi aku merasa dia aneh jadi aku menghindar. Terus tiba-tiba dia genggam tanganku, udah gitu aja." terangku panjang lebar sembari memainkan jari-jariku.

"Dan kamu diam saja? Terus, kalian bisa bertemu disana apa sudah kalian rencanakan sebelumnya?" Bisma.

Aku menggeleng cepat.

"Sudah ku katakan, aku juga kaget saat tiba-tiba dia ada disana dan menahan tanganku. Dan juga, bukankah saat kamu datang aku juga masih berusaha melepaskan diri dari dia?"

Kini Bisma terdiam. Dia mengusap wajahnya kasar kemudian mengalihkan pandangannya dariku.

"Kamu kenapa sih, Bis? Kok jadi aneh banget. Padahal itu bukan masalah besar." tanyaku merasa aneh.

Bisma kembali menatapku dengan tatapan menusuknya.

"Kau tunanganku. Aku tidak suka apa yang menjadi milikku disentuh orang lain. Apalagi dia terlihat begitu menginginkanmu." balasnya penuh penekanan.

Mulutku menganga, menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Tapi kemarin Kak Reza cuma..."

"Maaf menunggu lama. Silahkan dinikmati makanannya!" ujar seorang pelayan sembari menata pesanan kami di atas meja.

Aku menghela napasku lega, berharap percakapan tak mengenakan ini akan segera berakhir.

"Jaga tatapanmu dari tunanganku!" pekik Bisma tajam hingga beberapa tamu mengalihkan pandangannya pada kami.

Aku melihat ke arah pelayan pria di sampingku yang kini nampak sangat gugup, atau mungkin ketakutan.

"Cepat pergi!" usir Bisma.

Setelah membungkukan badan dengan sopan pelayan itu segera pergi. Aku menatap kesal ke arah Bisma. Memalukan sekali dia.

"Kenapa? Dia terus saja menatapmu." ujar Bisma seakan tau isi otakku.

Aku kembali menghela napas kemudian beralih pada makanan dan minuman di hadapanku. Abaikan saja, Mawar. Dia memang gila.

Waktu menunjukkan pukul 8.40. Bisma membawaku berkeliling ke daerah pedesaan Bali. Aku membuka kaca di sebelahku dan mengarahkan wajahku ke arah luar. Menikmati semilir angin yang menerpa wajahku. Aku menormalkan posisi dudukku setelah merasa pegal. Aku sedikit menoleh ke arah Bisma.

"Bis, boleh aku ngeluarin tanganku? Anginnya segar banget." ucapku meminta izin.

Bisma balas menatapku sebentar kemudian mengangguk. Akupun segera mengeluarkan tangan kiriku. Seakan menabrakan kulit tanganku pada angin yang melewatiku.

Mataku terpejam, menikmati desiran angin yang terasa sejuk khas pedesaan. Tak lama kemudian, mataku terbuka saat merasakan mobil Bisma berhenti. Aku menoleh ke arah Bisma, melemparkan tatapan bingungku. Bisma tersenyum ke arahku. Ia mencondongkan dagunya seolah menunjuk sesuatu di belakangku. Akupun mengikuti arah yang ia tunjuk.

"Wahhh...."

Aku tercengang melihat pemandangan di depan mataku. Sebuah padang cukup luas yang terbalut warna putih bak salju.

"Sampai kapan mau disitu terus? Ayo turun!" suara Bisma mengintrupsiku untuk segera turun dari mobil.

Aku mengikuti langkahnya mendekat ke arah padang berwarna putih itu.

"Ladang Bunga Kasna." Ujarnya.

Aku menoleh ke arahnya, detik berikutnya aku mengangguk mengerti.

"Kau belum pernah kesini?" tanyanya setelah menghentikan langkahnya.

"Belum. Bahkan aku tak pernah tau jika ada tempat seperti ini." jawabku, masih fokus melihat pemandangan di hadapanku.

Sejenak, kami sama-sama terdiam. Ku rasa Bisma sengaja membiarkanku menikmati pemandangan langka ini.

"Bis.." panggilku. Bisma segera menoleh ke arahku.

"Kamu tidak ingin mengajakku bermain di sana?" tanyaku sembari menunjuk ke arah tengah padang bunga itu.

Bisma terkekeh sembari mengacak-acak poniku.

"Aku sudah terlalu tua untuk bermain. Mainlah sendiri! Nikmati sesukamu biar aku mengambil gambarmu dari sini saja." Bisma.

Aku menatap tak setuju ke arahnya.

"Ayolah, aneh rasanya kalau main sendirian. Kamu harus ikut. Kapan lagi kita bisa datang kesini? Pasti Fany ngiranya kita ke luar negeri." rengekku.

Bisma terdiam. Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan. Aku balas menatapnya. Melemparkan tatapan penuh tanyaku padanya. Aku terpenjat saat ku rasakan sebuah tangan menggenggam jemariku dan menarikku memasuki area ladang bunga kasna. Ternyata itu adalah tangan Bisma. Ia membimbingku untuk menuju tengah area ladang.

Di sepanjang perjalanan, aku terus melihat tangannya yang menggandengku. Rasanya sangat nyaman, hampir sama seperti saat Ibu memelukku.

"Kita sudah sampai. Apa yang kamu inginkan sekarang?" Bisma membuyarkan lamunanku.

"Entahlah." Jawabku.

Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh bunga-bunga itu. Sesekali aku mendekatkan wajahku ke arahnya kemudian mencium aromanya.

"Kau menyukainya?" Bisma. Aku mengangguk mantab.

"Indah. Seperti salju meski tidak sedingin salju." balasku masih fokus dengan apa yang kini ada di hadapanku.

Aku menoleh saat mengetahui Bisma baru saja mengambil gambarku.

"Bagus tidak? Coba aku lihat!" ujarku berusaha meraih handphone Bisma.

Bisma menjauhkan handphonenya dariku. Membuatku terpaksa berjinjit dan berusaha lebih keras mengambil handphone yang harganya belasan juta rupiah itu.

"Mana? Aku mau lihat Bisma." desakku.

"Ini milikku, jangan coba-coba merebutnya!" balas Bisma santai

"Aku tidak peduli dengan handphonemu. Aku cuma mau melihat fotoku disana."

"Semua yang ada di handphoneku adalah milikku." Bisma.

Hh... menyebalkan sekali dia. Sudah ku bilang, aku hanya ingin melihat fotoku disana.

"Kau mengesalkan sekali sih." kesalku, masih berusaha keras merebut handphone Bisma.

Aku melompat-lompat seperti anak kecil yang tengah merengek pada ayahnya.

"Aahhh..."

Hampir saja aku terjatuh, tapi dengan segera Bisma menangkap tubuhku dengan memeluk erat pinggangku. Hampir tak ada jarak di antara kami. Sehingga aku dapat melihat wajahnya dari jarak yang sangat dekat.

'Dug'

'Dug'

'Dug'

Lagi. Jantungku berdegup tak karuan. Mungkin dua atau tiga kali lebih cepat dari biasanya.

Aku menatapnya. Tepat ke arah matanya yang kini juga tengah menatapku. Seakan ada magnet yang membuat mataku tak bisa berpaling darinya. Matanya begitu indah. Membuat wanita manapun pasti akan jatuh cinta saat melihatnya seperti ini. Pantas saja, ia banyak memiliki penggemar wanita meski sifatnya sangat dingin.

"Matamu indah."

Aku mengejapkan mataku berkali-kali, tersadar dari lamunanku saat mendengar suara Bisma.

"Em.. Bis." panggilku.

Sepertinya ia juga mulai kembali ke dunia nyata. Ia segera membantuku menegakkan badanku kemudian melangkahkan kakinya mundur dariku. Untuk sesaat, kecanggungan mulai melanda antara aku dan Bisma.

"Kamu serius nggak mau ngeliatin foto tadi? Pelit banget sih?" keluhku berusaha mencairkan suasana.

Bisma tersenyum kemudian menggeleng.

"Aku yakin kau akan menghapusnya setelah melihatnya." balasnya.

Astaga! Apa aku tampak begitu buruk dalam foto itu? Pikiran-pikiran negatif mulai bergelanyut di otakku. Aku menghentakkan kakiku kesal. Membuat pria yang berstatus tunanganku itu kembali terkekeh.

"Bis, jangan iseng kenapa sih? Jangan malu-maluin aku!"

"Aku hanya akan menyimpannya. Tidak akan ada yang melihatnya selain aku. Aku jamin." Bisma.

Aku masih mengerutkan bibirku meski rasa kesalku mulai mereka. Ya... setidaknya ia tak akan meng-upload atau men-share nya. Bisma melirik arloji mahalnya kemudian kembali menatapku.

"Sudah hampir jam sepuluh. Mau pulang sekarang?" Bisma.

"Bentar dong, Bis. Ini pertama kalinya aku kesini, aku sangat suka." ucapku dengan nada manja.

"Okey, sepuluh menit lagi ya?" Bisma.

Aku mengangguk.

"Kau tidak ingin foto denganku?" tanyaku.

Bisma tampak berpikir, sepertinya ia tidak tertarik dengan ideku.

"Aku tidak suka diambil gambarnya." Bisma.

"Ayolah... aku harus memamerkannya pada Fany. Dia pasti heboh." desakku.

Bisma hanya menatapku dengan tatapan datarnya, tanpa berniat menyahuti ucapanku.

"Ayolah, Bis. Tiga kali aja deh. Buat kenang-kenangan. Mumpung tempatnya mendukung juga."

Aku adalah gadis 20 tahun biasa, yang suka mengabadikan momen-momen indah atau tempat indah yang ku kunjungi. Tapi akankah CEO berumur 28 tahun di hadapanku ini dapat mengerti dan mau sedikit membantuku?

"Baiklah." ujar Bisma pada akhirnya.

Aku bersorak girang kemudian segera mengeluarkan handphoneku.

"Sekali saja!" Bisma.

Aku kembali mengkerutkan bibirku.

"Tiga kali!" ujarku.

Bisma menggeleng.

"Hanya satu, atau tidak sama sekali." tegas Bisma.

Aku mendengus kesal kemudian menyetujuinya. Setelah kekesalanku mereka, aku segera mengarahkan kamera depan handphone ku ke arah kami kemudian...

'Satu'

'Dua'

'Tiga'

'Ckrek..'

Seperti yang telah kami sepakati, hanya satu foto.

Aku melihat hasil jepretanku. Tak terlalu bagus. Tapi aku yakin suatu saat akan mendapatkan foto kami yang jauh lebih baik dari ini.

"Sudah jam sepuluh. Ayo ke mobil dan kembali ke hotel untuk mengambil barang!" ajak Bisma kemudian berjalan mendahuluiku.

'Ckrek'

Entah apa yang mendorongku, aku mencuri satu gambarnya dengan handphoneku.  Hanya terlihat Bisma dari belakang. Namun jaraknya tak terlalu jauh sehingga tampak jelas jika itu adalah gambar Bisma. Setelah itu aku berlari kecil menyusul langkah Bisma hingga berada tepat di sampingnya.

Ku rasakan ia kembali menggandengku setelah aku sampai di sampingnya. Aku mengayunkan tanganku seperti anak kecil dan semakin mendekat padanya.

❤❤❤

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status