Bab 3 Flashback
Flashback On
Setelah melakukan pendaftaran ulang yang dilakukan oleh staf tata usaha, aku dan beberapa kawan baruku pun bisa pulang.
Kami bertiga berjalan bersama melewati koridor. Aku berjalan di tengah dua teman baruku. Di sebelah kanan, ada gadis cantik dengan tinggi semampai hingga 165cm. Namanya Bella Farasya, lulusan SMA 2 Cirebon. Ia sudah mulai tinggal di Kost Putri Adinda yang letaknya di belakang kampus dan hanya perlu menggunakan 1 kali jalur angkutan kota.
Berbeda dengan Bella, di samping kirinya ada Fatiya Hanum, gadis kalem yang terlihat menawan saat memakai kerudung lebar berwarna olive. Tinggi Fatiya sama sepertiku, tidak terlalu tinggi, sekitar 154cm. Meskipun begitu, kami tetap percaya diri.
Berbeda denganku dan Bella, rumah Fatiya masih terjangkau dari kampus. Hanya 2 kali jalur angkutan kota, atau sekali naik bus.
"Habis ini mau pada ngapain?" tanya Bella memulai pembicaraan kami sambil berjalan santai.
"Aku habis ini mau ikut kajian ke Masjid Nurul Ilmu." Fatiya memberitahukan agendanya hari ini. "Ada yang mau ikut?"
Aku dan Bella langsung menggeleng. Kami sadar diri tidak pantas pergi ke kajian dengan pakaian terbuka. Benar sekali, aku dan Bella tidak mengenakan hijab. Bahkan hijab sederhana sekalipun tidak kami pakai.
"Ya udah deh. Kapan-kapan ikut ya," ujar Fatiya tanpa beban. Ia tersenyum lembut membuat hatiku merasa dugun-dugun. Maksudku, perasaan nyaman dan tentram.
"Insyaa Allah," jawabku dan Bella berbarengan.
Saat kami melewati ruang pendaftaran ulang untuk jurusan Bisnis dan Manajemen, aku pun dengan sengaja menengok ke dalam melalui pintu yang terbuka. Aku melihat beberapa calon mahasiswa, tapi bukan Reino.
"Nyari siapa?" tanya Bella setelah memperhatikanku beberapa saat.
Aku mendongak menatap Bella yang lebih tinggi dariku lalu menggeleng sambil tersenyum lebar. "Bukan siapa-siapa kok."
"Oh," balas Bella lagi sambil lalu. "Kalau kamu habis ini ada acara juga, Tita?"
Aku berpikir sejenak dan mengingat belum membuka kardus berisi beberapa novel yang kubawa dari rumah ke tempat kost. "Aku belum selesai beres-beres, Bel."
"Ya udah deh kalau pada enggak bisa diajak jalan," Bella terdengar kecewa. "Oh ya nanti kalau ada info dari kampus jangan lupa bagi-bagi ya."
"Oke sip."
Setelah itu, kami pun berjalan menuju pintu gerbang kampus yang sangat megah. Keadaan kampus masih sangat ramai dipenuhi mahasiswa baru dan tentunya mahasiswa senior yang lebih dulu kuliah di sana.
"Aku nyebrang dulu ya," ujar Fatiya buru-buru lalu menyebrangi jalan raya di depannya. Ia pun segera masuk ke dalam angkutan kota tujuannya.
Aku memperhatikan Fatiya hingga gadis itu hanya terlihat punggungnya saja. Tak berapa lama, angkutan kota itu berjalan.
"Fatiya tuh cantik banget ya," ujar Bella mendadak hingga membuatku menoleh. Ucapan Bella memang ada benarnya.
"Kamu juga cantik, Bel." Aku memuji Bella sepenuh hatiku. "Udah cantik, tinggi lagi kayak model."
"Ah kamu bisa aja," balas Bella malu. Ia menoleh dengan gusar ke kanan dan ke kiri mencari angkutan kota yang akan ditumpanginya kemudian tersenyum lebar saat melihat angkot yang dicarinya maju perlahan melewati beberapa kendaraan yang diam di tempat. Jika tidak salah, itu juga angkot yang bisa membawanya ke tempat kost. Astaga, ia masih belum hapal saja.
"Aku juga naik angkot itu, Bel."
"Wah jadi kita searah," balas Bella senang karena tidak jadi pulang sendirian. "Yuk langsung naik aja, biar bisa cepet pulang buat istirahat. Bentar lagi Ospek. Semoga aja enggak ada kejadian buruk kayak jaman aku SMP ya."
"Aamiin, aku juga males banget sebenernya kalo ikut Ospek. Sering enggak kuat. Aku gampang mimisan orangnya," beritahuku.
"Kapan-kapan main lah ke tempat kostku," kata Bella mengubah topik pembicaraan.
"Kapan-kapan aja, Bell. Kan masih ada banyak waktu. Aku juga harus beres-beres kostan. Deg-degan juga karena ini kali pertama jauh dari orangtua."
"Aku juga baru pertama ngekost tapi ya biasa aja. Lagian di tempat kost kan banyak temennya."
"Gitu ya?" Aku berpikir sejenak dan ingat banyaknya teman kost yang lain. Semuanya remaja putri. Kebanyakan mahasiswi dan anak SMA. Sekitar ada 7 orang.
"Semoga kamu betah ya," ujar Bella sambil memperhatikan laju mobil. "bentar lagi aku mau turun nih," sambungnya.
Benar saja, Bella turun beberapa saat kemudian. Ia pamit lalu turun dari mobil. Setelahnya aku pun kembali melanjutkan perjalananku.
***
Tiba saat Ospek Mahasiswa Baru (Maba), kami hanya diberi penjelasan bahwa dunia mahasiswa bukan seperti dunia anak SMA. Inti dari Ospek di Kampus Adidharma itu sendiri hanya untuk bimbingan mental yang lebih baik bagi seluruh Maba. Sama sekali tidak ada panitia yang bersikap senioritas, berbicara dengan nada tinggi, atau main tangan. Semua terkendali. Ibarat Ospek yang dilakukan adalah seminar kesiapan diri dengan identitas baru sebagai mahasiswa.
Hingga 5 hari dilalui, kami pun berhasil melewati masa Ospek yang santai dan penuh wawasan. Dan mulai awal minggu depan, kami akan mulai sesi perkuliahan.
Baru saja hendak pulang bersama Bella, kami mendengar seseorang memanggilku beberapa kali. Dari suaranya sudah jelas laki-laki. Saat kami menoleh, kulihat sosok laki-laki tidak asing itu. Reino. Ia menghampiriku dengan wajah sumringahnya.
"Tit, untung kita ketemu lagi," kata Reino setelah berada di hadapanku dan Bella.
"Kenapa, Rei?" tanyaku balik sok akrab. Padahal kami hanya selintas pernah jumpa dan mengobrol bersama.
Reino merogoh saku celana panjangnya lalu menyodorkannya padaku. "Aku minta nomer whatsapp kamu ya, Tit."
Aku pun mengambil ponsel Reino lalu mengetik nomer ponselku. "Ini, Rei."
Reino melihat nomer ponselku sebentar lalu menyimpannya. Tak berapa lama ia pun menatapku dengan senyum penuhnya. "Nanti aku chat. Aku pergi dulu ya, masih ada urusan sama temen-temen." Sebelum meninggalkanku dan Bella, kulihat Reino sedikit mengerlingkan matanya kepadaku.
Lengan Bella langsung menyenggolku dengan kuat. Aku nyaris terjungkal namun kembali berdiri dengan tegap. "Siapa tadi? Ciee...."
"Cie cie apaan sih, Bel. Tadi itu namanya Reino anak Jurusan Bisnis dan Manajemen, kita ketemu pas pendaftaran ulang kemaren."
"Kok kayaknya udah deket banget."
"Ah perasaan kamu saja," kataku, menahan.
"Iya deh, nanti aku tunggu pajak jadian kalian ya." Bella masih saja menggodaku. "Tapi bukannya dia mahasiswa yang terus diomongin anak cewek di kelas kita ya, cowok ganteng dari jurusan Bisnis."
"Bukan," elakku.
Bella menyenggol bahuku lagi dengan kuat, tapi tidak mengatakan apapun. Hanya wajahnya yang terlihat penuh makna ke arahku. Kami pun kembali melangkah bersama, untuk pulang.
Flashback Off
****
Bersambung....
Bab 4Kedatangan ReinoKeesokan paginya aku terbangun dengan tubuh yang sedikit kaku. Bagaimana tidak, aku baru saja melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Cirebon. Meskipun tidak terlalu jauh juga dengan memakan waktu sekitar 3 jam, tapi tetap saja badanku rasanya pegal.Kulihat jendela kamarku masih hanya tertutup kain kerudung seadanya dengan seberkas cahaya yang masuk. Aku sengaja merangkak dan menyibak kain itu sedikit, mengeluarkan kepalaku dan melihat kondisi di luar yang sudah pagi.Tidak terlalu lama berada di sana, aku pun bangkit berdiri. Mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai berganti pakaian dan sholat shubuh yang nyaris terlambat itu, aku pun ke ke luar dari rumah untuk mencari sarapan.Baru saja ke luar dan memakai sandal rumah berwarna putih, kulihat tepat tetangga rumahku ternyata
Bab 5 Kedekatan KitaSuara ketukan pintu terdengar beberapa kali namun aku tetap mengabaikannya. Reino tidak pantas mendapatkan kesempatan, pria brengsek itu lebih pantas ditinggalkan.Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar bunyi ketukan lagi. Pasti Reino sudah pergi. Entah ke mana aku tidak peduli.Kakiku ditekuk lalu kupeluk diriku sendiri dengan erat. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Setidaknya aku tidak mau bertemu untuk sekarang ini, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.Aku menangis perlahan saat mengingat wajah Reino dulu. Wajah tampannya yang sangat gagah. Suaranya hangat dan senyumannya menawan. Aku sungguh jatuh cinta padanya. Bagiku, Reino sangat istimewa. Kukira dia jodoh sempurna untukku, tapi ternyata diawal pernikahan kami, ia sudah mengecewakanku.***Flashback OnWajah tampan seorang
Bab 6 Kemungkinan yang Tidak KuinginkanSelepas bangun tidur di pagi hari, kulanjutkan aktifitas dengan mandi. Aku membersihkan diriku dan melanjutkan dengan sholat shubuh. Setelahnya aku berdoa pada Allah agar aku dapat diberikan kelancaran dan keberkahan dalam hidup.Belum selesai bermunajat padaNya, aku merasakan pening di kepalaku. Entah mengapa beberapa kali aku merasa pening, terkadang hanya pening saja, kadang pula diiringi dengan mual.Kulepas mukenah yang kupakai, lalu berbaring sejenak di atas kasur. Kupenjamkan mataku sejenak dan kudengar suara ketukan pintu terdengar. Siapa tamunya?Apa Reino?Bisa saja kan semalam pria itu tidak pulang dan menunggu. Meskipun aku tidak tahu ke mana ia menunggu semalaman.Sambil menahan pening di kepalaku, kubuka pintu depan rumah dengan perlahan. Tidak ada siapapun yang kutemukan kecuali bungkus plastik putih berukuran besar.
Bab 7PamitSetelah pulang dari berbelanja ke CBC Mall, penatku selama sendirian di rumah kontrakan rasanya sedikit terobati. Meskipun ada hal yang tidak menyenangkan kami bahas, tapi aku suka saat berbelanja.Selain berbelanja skincare, aku juga berbelanja keperluan rumah yang sudah hampir habis, tidak lupa juga kami membeli pakaian, dompet, dan sepatu yang menarik hati.Selama berjalan-jalan seharian ini aku menggunakan kartu debit yang diberikan oleh Reino. Entah mengapa aku ingin menghabiskan uang pria brengsek itu?"Bel, hati-hati di jalan. Makasih ya buat hari ini," kataku dengan senyum ceria.Bella mengangguk, ia baru selesai memakai helmnya. Ia mengacungkan jempol tangan lalu memutar motornya. Baru saja kukira dia akan pulang, Bella menatapku sebentar. "Mau gue beliin testpack enggak sebelum balik?" tanyanya.Wajahku terasa kaku mendengar pe
Bab 8Pernikahanku dan ReinoTepat tengah malam dan aku masih saja terjaga. Mataku terbuka lebar dan arah pandangku tertuju pada layar laptop di mana aku bersiap melihat kepastian dari masa depanku.Aku berdoa dalam hati dengan penuh kesungguhan. Kuharap, aku lolos CPNS tahun ini dan bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil. Cita-citaku memang standar sekali, ingin menjadi seorang guru. Aku memilih pelajaran Bahasa Indonesia karena itulah satu-satunya keahlianku. Pelajaran yang lain, aku harus ekstra belajar. Terutama matematika dan fisika.Kulihat ranking nilai SKD dan melihat -bukan namaku- banyak tercantum di sana. Tunggu sebentar, itu namaku, Tita Silvia. Ya Tuhan, namaku tertera di urutan nomer 3 dari atas. Bukan dari bawah. Apakah aku lolos? Rasa haruku membuncah. Terima kasih, Ya Allah akan rezeki yang Kau berikan kepadaku.Tak berapa lama panggilan masuk, saat kuce
Bab 9Elena*Flashback On*Melihat laki-laki yang kucintai, yang baru beberapa jam yang lalu berubah status dari pacar menjadi suami. Tak kusangka ia tega melakukan ini padaku.Hal yang tidak sanggup kuatasi bahwa Reino melakukan perbuatan itu di hari terpenting kami. Ketika kita seharusnya menjadikan ini momen paling berharga. Namun, ia menghancurkannya dan membuat momen pernikahan kami layaknya panggung pertunjukan yang menyakitkan.Kutahan tangisku sekuat mungkin, tapi kurasakan air mata melewati pipiku dengan cepat. Pria yang kulihat sebelumnya dan berdiri di sampingku hanya terdiam, mematung melihatku yang menangis tersedu. Setelahnya aku pun pergi meninggalkan ruangan itu.Dengan kondisi yang menangis, aku berjalan ke ruangan mempelai wanita. Tak kusangka di sana berdiri orang yang tak asing. "Fatiya?" Aku mengambil tisu yang berada di meja lalu menyeka air mataku p
Bab 10Malam Pertama PernikahankuSetelah pertemuanku dengan Elena, aku banyak berpikir. Apakah benar ucapannya bahwa aku belum mengenal Reino dengan baik? Tapi selama ini, kami sudah berpacaran hingga 4 tahun. Kami jalani semuanya pelan-pelan, mulai dari pendekatan hingga jadian. Semua tidak seinstan itu seperti drama perjodohan.Fatiya masuk kembali ke ruang mempelai wanita dengan beberapa camilan dan minuman. “Tadi aku papasan sama perempuan. Kayak baru dari sini?” tanya Fatiya. Ia pasti bertanya karena jalan menuju ruang mempelai wanita atau pria harus melewati satu lorong.“Perempuan siapa?” balasku berbohong. “Ehm, mungkin salah jalan.”Fatiya pun segera mengangguk, tidak mempertanyakan lebih jauh. Ia meletakkan piring camilan di atas meja di hadapan kami dan 2 gelas minuman yang ia bawa susah payah.“Tadi aku p
Bab 11Menantu Idaman MamaSetelah sarapan yang terdiri dari nasi goreng ekstra telur, ayam goreng, serta tempe dan tahu goreng siap di atas meja makan, aku pun pergi ke kamar untuk bersiap mandi. Meskipun segan, kupanggil Reino yang sedang mengutak-atik ponsel pintarnya dengan serius. Dia pasti mengurusi karyawan restorannya, memberi intruksi tentang masa promo karena pernikahan kami. Aku mengetahui hal itu karena Reino pernah membahasnya denganku sebelum pernikahan kami digelar.“Rei, sarapan udah siap. Sarapan dulu sana.”Reino menatapku sebentar dan aku tidak mempedulikannya sama sekali. Aku mengambil baju ganti dan handuk yang akan kupakai nanti.“Aku juga belum mandi nih,” ujar Reino mengingat dirinya masih belum mandi meskipun sudah sholat shubuh.“Makan dulu aja, enggak apa-apa. Aku mau mandi duluan,” kataku tidak acuh. Kutinggalkan kembali Reino sendirian di kama
Setelah perjuangan panjang menahan kontraksi yang makin menjadi-jadi. Akhirnya putra kecilku terlahir dengan selamat. Seperti yang kubayangkan, ia mirip ayahnya.Reino sangat bersuka-cita dengan kelahirannya. Ia tidak berhenti menatap wajah lelap buah hati kami.“Udah deh jangan dilihatin terus,” cetusku membuat Reino menatapku dengan cengiran kudanya.“Habis dia kecil banget, lucu. Kayak miniatur.”“Ngaco!” Aku tertawa. Sekarang aku masih berada di rumah sakit setelah melakukan persalinan yang terjadi hingga 12 jam lamanya menahan sakit.“Makasih ya, Tit. Kamu udah berjuang melahirkan anakku.” Reino memelukku dari samping.“Anak kita, Rei,” ralatku.Reino berdehem. “Kita sekarang udah jadi orangtua. Tanggung jawabku pun sudah bertambah satu lagi. Semoga dalam masa kepemimpinanku sebagai kepala keluarga kalian bahagia ya.”“A
Hari ini terasa begitu berat saat aku mengetahui semuanya secara jelas. Selama ini, aku sudah bersikap gegabah dan keras kepala. Seharusnya aku jauh lebih dewasa dengan mendengarkan penjelasan Reino lebih dulu. Ah, tidak … Reino juga sejak awal memang tidak bisa jujur padanya hingga kesalahpahaman ini lebih melingkar dan seolah tak berujung selain menjadi kesalahan Reino seutuhnya.Tak kusangka sebelumnya, ternyata dalang semua ini adalah teman dekatku. Orang yang kuanggap sangat baik dan kuanggap sebagai orang yang meginspirasi, malah menjadi penyebab kemarahanku. Pernikahanku yang baru kujalani sudah berada di ujung tanduk karena ulahnya.Bersyukur, aku mengetahui semuanya sebelum pernikahanku dan Reino benar-benar berakhir. Semua itu berkat Elena, karena ia mau dan berani speak up tentang kejahatan Fatiya.Suara pintu kamar terbuka dan kulihat Reino masuk dengan wajah yang memancar senyum tipis. “Gimana tadi obrolan kamu da
Happy Reading>>>***Bab 28Musuh dalam SelimutSetelah mendapatkan verifikasi akurat dari Elena, aku pun sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Fatiya. Alhasil setelah pertemuanku dan Elena selesai pukul 1 siang, aku pun sengaja segera menemui Fatiya.Aku menghubungi Fatiya melalui whatsapp karena ia sedang dalam mode online. Fatiya pun segera membalas pesanku.[Fatiya : Ada apa, Tita?]Aku segera membalasnya. [Aku mau ketemu sekarang. Kalau boleh tahu kamu ada di mana? Biar aku yang nyamperin kamu.][Fatiya : Urgent banget ya? Emang ada apa?][Enggak ada apa-apa kok. Kamu ada apa? Aku Cuma mau ngobrol sebentar sama kamu. bisa?][Fatiya : Bisa, Tita. Aku lagi ada Mall Popokrat. Di lantai 4, di restoran Kiorado.][Kamu sama siapa di sana? Apa aku bisa ngobrol berdua, nanti?]
Bab 27ObrolanPembicaraanku dan Elena terhenti sejenak karena seorang pelayan yang menghampiri meja kami, memberikan pesanan Elena, kopi dangdang dalam secawan cangkir putih.Elena menyeruput kopi dangdang perlahan lalu meletakan kembali cangkir yang dipegangnya ke atas piring kecil. “Rasanya enak. Kamu udah pernah coba sebelumnya?” tanya Elena mengubah topic pembicaraan kami. Ia nampak berhasil mengontrol dirinya dengan baik.“Hmm,” dehemku malas.Elena menatap ke arah jendela yang berada di samping kami, lalu mendesah dengan kesal. “Hujan,” katanya pendek.Aku melihat ke arah luar dan terdiam cukup lama. Hujan tiba-tiba deras dan mengguyur sekitar pemukiman Kafe Dangdang. Kulihat banyak orang berlalu lalang demi tidak terkena air hujan yang membasahi pakaian mereka.“Aku kira hari ini bakal cerah. Sayang banget turun hujan,” kata Elena lagi, lalu melirikku. Kami
***Happy Reading>>>***Bab 26Pertemuan“Cepetan dong, Rei, kamu kok lama banget sih!” ketusku pada Reino yang baru saja masuk ke dalam kamar. Sekarang sudah pukul 10 pagi dan Reino masih bersantai di rumah. Padahal ia sudah berjanji akan mempertemukanku dengan Elena hari ini.“Sabar dong, Tit. Aku juga kan harus cuci mobil dulu,” balas Reino lalu membuka kaosnya yang basah, menyisakan kaos dalam putih yang melekat di tubuhnya. Ia berjalan mengambil handuk lalu membuka lemari pakaian untuk mengambil pakaian ganti.Aku mencebik, kesal dengan sikap Reino yang santai. Padahal aku sudah ingin sekali segera bertemu dengan Elena.“Kan janjiannya masih lama, santai aja.” Reino menatapku, menenangkan. “Kamu jangan ngomong apa-apa ya tentang apa yang kubilang.”“Kenapa?” tanyaku sengit.“Aku kan udah bilang, kalau
Happy ReadingBab 25Titik AwalMama memaksaku untuk pulang ke Jakarta hari ini, tidak ada penolakan. Alasannya karena Mama sudah lama meninggalkan Papa di rumah. Belum lagi, Mama tidak tega jika harus meninggalkanku di Cirebon sendiri, meskipun Reino sudah pernah menyinggung untuk pindah ke Cirebon, tapi sepanjang pemaksaan yang Mama lakukan agar aku ikut pulang ke Jakarta, Reino tetap diam. Aku sungguh tidak paham dengan sikapnya.“Tita, ayo cepet! Kamu siap-siap lama banget sih,” ujar Mama kepadaku.“Ma, kita ke rumah yang punya kontrakan dulu yuk! Buat ngasih langsung kunci rumahnya.” Aku melihat ke sekitar kamar, semua barang sudah dibawa kecuali kasur. Mama bahkan ngotot semua peralatan dapur untuk dibawa. Ini sungguh pindahan dan usahaku untuk kabur dengan berdalih ujian CPNS berakhir sudah.“Enggak dititipin aja ke warungnya Bu Nen?” tanya Mama balik.
Happy Reading>>>***Bab 24Tanda TanyaTidak habis berpikir tentang keberadaan Fatiya yang berada di video, aku pun terus menonton. Fatiya yang kukenali dengan pakaian biru putih nampak berjalan menghampiri Elena dan temannya yang lain, Gina. Dalam video itu, Fatiya tidak memakai hijab, dan rambutnya yang panjang terurai hingga punggung.“Gue ingetin ya, ini peringatan terakhir kali ke elo. Kalau gue masih ngelihat lo deket-deket sama Reino, gue bakal kerjain lo tiap hari. Ini cuma awal, Elena.” Fatiya mengancam sambil berlutut menghadap Elena yang sedang menunduk. Tangannya yang tadi diam, kini mulai mendorong kepala Elena. “Elo tahu kan siapa gue? Gue Fatiya, seorang Tia enggak main-main sama ucapannya.”Elena terus terisak tapi Fatiya, Gina, dan Dinda tidak peduli. Wajah mereka bahkan terlihat senang saat berhasil menindas Elena. Ini benar-benar tidak tidak adil, satu l
Happy Reading>>>***Bab 23Video MisteriusReino memutuskan menginap di hotel setelah jam menunjukan pukul 11.00. Semua itu karena keminiman perabot di rumah kontrakanku. Hanya ada satu kasur di rumah, yang berada di kamarku dan kini sedang ditiduri Mama.Sebelum memutuskan menyewa hotel, Reino sudah mencoba tidur di lantai dengan alas tikar seadanya. Namun berulang kali mencoba tertidur, ia terus saja terbangun. Katanya, badannya sakit.Tidak aneh, menurutku dalam hati. Apalagi Reino ini anak orang berada. Kasur di kamarnya saja sangat empuk, halus, dan lembut. Bagaimana bisa ia tidur di karpet? Ia butuh kasur agar tubuhnya nyaman.Sementara Reino pergi ke hotel dan Mama beristirahat dengan tidur di kamar. Aku pun memutuskan untuk duduk di ruang tengah sambil menonton youtube. Aku mencari channel K-POP dan menonton video musik yang sedang tranding. Karena
Happy Reading...***Bab 22Rencana ReinoMama datang disaat yang kurang tepat, saat aku dan Reino baru saja mengobrolkan masalah kami. Aku yakin sekali Mama sudah mendengar semuanya.“Mama lupa bawa dompet,” ujar Mama sambil berbalik arah. Tidak melihatku lagi atau Reino. Ia mencari ke dalam tas jinjing coklat tua miliknya lalu mengambil dompet berwarna senada. “Belanjaan Mama masih di warung.”Setelah mengatakan itu, Mama kembali pergi. Tanpa menoleh ke arahku atau Reino.Reino menatap kepergian Mama dengan wajah gugup. Sama sepertiku. Aku takut Mama akan membenci Reino karena masalah ini. Bagaimana pun juga Reino adalah menantu idaman Mama.“Apa Mama denger obrolan kita barusan?” tanya Reino membuatku menoleh ke arahnya dengan wajah tenang.“Aku enggak tahu. Mama kayaknya ngehindar gitu, buru-buru pergi lagi.”Re