Bab 5 Kedekatan Kita
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali namun aku tetap mengabaikannya. Reino tidak pantas mendapatkan kesempatan, pria brengsek itu lebih pantas ditinggalkan.
Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar bunyi ketukan lagi. Pasti Reino sudah pergi. Entah ke mana aku tidak peduli.
Kakiku ditekuk lalu kupeluk diriku sendiri dengan erat. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Setidaknya aku tidak mau bertemu untuk sekarang ini, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Aku menangis perlahan saat mengingat wajah Reino dulu. Wajah tampannya yang sangat gagah. Suaranya hangat dan senyumannya menawan. Aku sungguh jatuh cinta padanya. Bagiku, Reino sangat istimewa. Kukira dia jodoh sempurna untukku, tapi ternyata diawal pernikahan kami, ia sudah mengecewakanku.
***
Flashback On
Wajah tampan seorang pria terlihat tak asing berada di depan kelasku. Reino berdiri sambil menyadarkan tubuhnya di dinding. Kulihat dia sudah memakai jas almamater Universitas Adidharma. Cepat sekali, aku dan teman-temanku saja belum dapat jas.
"Rei," sapaku pada Reino yang tadi sibuk bermain ponsel.
"Kamu udah nyampe?" tanya Reino ambigu. "Ke kantin yuk?"
"Aku kan ada kelas bentar lagi," jawabku ragu. "Maaf ya."
Reino melihat jam tangannya yang terlihat manly, berwarna hitam pekat. "Bukannya masih 15 menit lagi?"
"Iya sih, cuma aku malas kalau harus bolak balik kantin ke kelas lagi."
"Nanti aku gendong," kata Reino setengah bergarau. Setelahnya ia tertawa renyah. "Ya udah deh kalau enggak mau. Kamu pulang jam berapa?" tanyanya lagi.
"Aku pulang jam 2 siang," jawabku sambil mengingat kembali apakah ada kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Namun sepertinya tidak ada.
"Aku antar pulang ya. Aku pulang jam 12, nanti aku tungguin kamu di sini." Setelah mengatakan maksudnya, Reino pun meninggalkanku sambil berlari kecil. Bibirnya nampak penuh senyum.
***
Reino benar-benar menungguku hingga selesai kelas. Bella dan Fatiya makin membicarakan yang tidak-tidak antara aku dan Reino. Mereka bilang, Reino menyukaiku makanya mengajak untuk pulang bersama.
Mendengar ucapan mereka, aku tidak begitu saja percaya tapi merasa sedikit geer sekarang. Apa benar Reino menyukainya? Dengan tingkahnya yang seperti ini sepertinya iya.
Reino menunggu di depan kelas sambil memainkan ponselnya. Wajahnya nampak serius membuatku bertanya-tanya apa yang tengah ia kerjakan. Ia juga terlihat begitu asyik berkutat dengan ponselnya sampai tidak sadar, aku sudah menghampirinya.
"Rei," panggilku, membuat wajah Reino mendongak. Ia melihat ponselnya lagi lalu mematikannya beberapa saat kemudian.
"Udah selesai aja kelasnya." Reino tersenyum lebar ke arahku. "Kamu enggak apa-apa kan pulang sama aku? Enggak ada yang marahin kamu kan?"
"Maksudnya marahin?" tanyaku bingung.
"Pacar."
Dalam hati aku tertawa, bagaimana mau punya pacar kalau orangtuaku tidak mengizinkan ubtuk berpacaran sebelum lulus SMA. Alasannya karena menurut mama dan papa, aku tidak terlalu pintar jadi harus rajin belajar biar bisa masuk kampus yang kuinginkan. Dan benar saja saat lulus SMA aku berhasil masuk Universitas Adidharma, kampus bergengsi di tahun ini.
"Aku enggak punya pacar," jawabku pendek.
"Syukurlah. Jalan yuk!" ajak Reino tiba-tiba.
"Loh katanya mau nganterin aku pulang?" tanyaku bingung dan polos.
"Aku anterin, Tit. Tapi gimana kalo habis jalan dulu. Kamu udah makan siang belum?" tanya Reino lagi.
Aku menggeleng, kelas pertamaku hanya berjarak 15 menit dari pertemuan kelas yang kedua.
"Ya udah kita cari makan siang dulu yuk?" ajak Reino lagi.
Aku pun mengangguk. Meskipun sejujurnya aku ingin pulang saja. Rasanya ini hal baru. Jalan bersama laki-laki yang bukan ayahku. Aku memang tidak punya pengalaman berpacaran sebelumnya. Aku masih jomlo ting-ting.
Aku mengikuti Reino sambil berjalan ke arah parkiran mobil. Aku tidak menyangka Reino punya mobil. Maksudku, memang sudah biasa mahasiswa pakai mobil ke kampus. Namun biasanya yang memakai mahasiswa lama atau dosen. Mahasiswa baru lebih kalem dengan menggunakan transportasi umum atau naik motor. Mungkin Reino tergolong sosok cowok yang percaya diri sampai berani membawa mobil ke kampus.
"Yuk masuk!" katanya santai.
Aku masuk ke dalam mobil Reino lalu terduduk dengan canggung. Pria itu sendiri sudah duduk di belakang kemudi. Ia tersenyum sebentar ke arahku sebelum akhirnya menyalakan mobil.
Dalam perjalanan Reino mulai membuka dirinya. Berbicara tentang kesukaannya. "Aku masuk ke jurusan Bisnis karena kemauan sendiri. Kalau kamu?" tanya Reino balik bertanya.
"Sama. Emang udah niat awal aku mau kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia."
"Pasti sebelumnya nyari yang negeri. Iya kan?" kata Reino, menebak.
"Iya biasa kan emang didaftarin dari sekolah dulu lewat SMNPTN, enggak lulus ya udah nyari yang mandiri. Aku sih udah sregnya ke Uniad," jawabku pendek. "Jadi aku buru-buru daftar ke sini."
Reino menganggukkan kepalanya mendengar cerita dariku. "Kamu orangnya fokus ya?"
"Eh enggak juga," kataku merendah.
"Aku sih kuliah di Uniad ya karena deket dari rumah. Ibuku orangnya khawatir kalau aku harus merantau. Aku anak bungsu soalnya."
"Pantesan hehe," balasku. "Aku juga anak tunggal jadi rada overprotektif Mama sama Papa."
"Kamu enggak punya saudara?"
Aku menggeleng pelan. "Kata Mama sih, Mama dulu pernah hamil 4 kali tapi keguguran terus. Waktu hamil aku bener-bener dijaga dan akhirnya lahir. Setelah itu Mama harus disteril. Enggak bisa punya anak lagi," ceritaku panjang lebar.
"Kasihan Mama kamu, perjuangan banget buat punya anak," komentar Reino. "Bibiku ada yang begitu, sampai sekarang belum punya anak. Udah 2 kali keguguran."
"Ya ampun, semoga segera diberi keturunan ya, Rei."
"Iya, aamiin." Reino tersenyum. Kami pun sampai ke restoran yang cukup lenggang. "Masuk yuk," ajak Reino.
Aku pun mengangguk singkat lalu turun dari mobil. Kami berjalan beriringan dan memasuki restoran. Setelah mencari meja yang kosong, aku pun duduk. Reino sendiri malah terdiam.
"Bentar aku pesenin makanan dulu. Kamu mau pesen apa?" tanya Reino sambil melihat daftar menu super besar yang dipajang di dinding restoran. Di sana tertulis daftar menu sekaligus harganya.
"Aku milktea sama rainbow cake aja."
Mendengarkanku, Reino pun mengangguk lalu memesankan apa yang kuingin. Ia juga memesan jus mangga dan mie ayam pelangi.
Reino duduk di hadapanku lagi setelah memesan makanan. Kami menunggu pesanan kami sambil mengobrol bebas.
"Kemaren yang jalan sama kamu siapa? Yang tinggi semampai itu?"
"Oh itu Bella," jawabku santai.
"Temenku, Bimo, ngefens sama dia tuh." Reino memberi tahu.
"Bimo siapa?" tanyaku bingung.
"Pokoknya temenku," jawabnya dengan senyum ceria. "Nanti aku kenalin sama dia. Sekalian bawa Bella juga."
"Ceritanya mau ngecomblangin temen kamu sama temenku?"
"Enggak ada salahnya kan?" kata Reino balik. "Biar kita juga makin deket."
"Apaan sih, Rei." Aku menggelengkan kepalaku karena malu dan beberapa saat kemudian pesanan makananku dan Reino diantarkan oleh pelayan restoran.
Flashback Off
***
Bersambung....
Bab 6 Kemungkinan yang Tidak KuinginkanSelepas bangun tidur di pagi hari, kulanjutkan aktifitas dengan mandi. Aku membersihkan diriku dan melanjutkan dengan sholat shubuh. Setelahnya aku berdoa pada Allah agar aku dapat diberikan kelancaran dan keberkahan dalam hidup.Belum selesai bermunajat padaNya, aku merasakan pening di kepalaku. Entah mengapa beberapa kali aku merasa pening, terkadang hanya pening saja, kadang pula diiringi dengan mual.Kulepas mukenah yang kupakai, lalu berbaring sejenak di atas kasur. Kupenjamkan mataku sejenak dan kudengar suara ketukan pintu terdengar. Siapa tamunya?Apa Reino?Bisa saja kan semalam pria itu tidak pulang dan menunggu. Meskipun aku tidak tahu ke mana ia menunggu semalaman.Sambil menahan pening di kepalaku, kubuka pintu depan rumah dengan perlahan. Tidak ada siapapun yang kutemukan kecuali bungkus plastik putih berukuran besar.
Bab 7PamitSetelah pulang dari berbelanja ke CBC Mall, penatku selama sendirian di rumah kontrakan rasanya sedikit terobati. Meskipun ada hal yang tidak menyenangkan kami bahas, tapi aku suka saat berbelanja.Selain berbelanja skincare, aku juga berbelanja keperluan rumah yang sudah hampir habis, tidak lupa juga kami membeli pakaian, dompet, dan sepatu yang menarik hati.Selama berjalan-jalan seharian ini aku menggunakan kartu debit yang diberikan oleh Reino. Entah mengapa aku ingin menghabiskan uang pria brengsek itu?"Bel, hati-hati di jalan. Makasih ya buat hari ini," kataku dengan senyum ceria.Bella mengangguk, ia baru selesai memakai helmnya. Ia mengacungkan jempol tangan lalu memutar motornya. Baru saja kukira dia akan pulang, Bella menatapku sebentar. "Mau gue beliin testpack enggak sebelum balik?" tanyanya.Wajahku terasa kaku mendengar pe
Bab 8Pernikahanku dan ReinoTepat tengah malam dan aku masih saja terjaga. Mataku terbuka lebar dan arah pandangku tertuju pada layar laptop di mana aku bersiap melihat kepastian dari masa depanku.Aku berdoa dalam hati dengan penuh kesungguhan. Kuharap, aku lolos CPNS tahun ini dan bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil. Cita-citaku memang standar sekali, ingin menjadi seorang guru. Aku memilih pelajaran Bahasa Indonesia karena itulah satu-satunya keahlianku. Pelajaran yang lain, aku harus ekstra belajar. Terutama matematika dan fisika.Kulihat ranking nilai SKD dan melihat -bukan namaku- banyak tercantum di sana. Tunggu sebentar, itu namaku, Tita Silvia. Ya Tuhan, namaku tertera di urutan nomer 3 dari atas. Bukan dari bawah. Apakah aku lolos? Rasa haruku membuncah. Terima kasih, Ya Allah akan rezeki yang Kau berikan kepadaku.Tak berapa lama panggilan masuk, saat kuce
Bab 9Elena*Flashback On*Melihat laki-laki yang kucintai, yang baru beberapa jam yang lalu berubah status dari pacar menjadi suami. Tak kusangka ia tega melakukan ini padaku.Hal yang tidak sanggup kuatasi bahwa Reino melakukan perbuatan itu di hari terpenting kami. Ketika kita seharusnya menjadikan ini momen paling berharga. Namun, ia menghancurkannya dan membuat momen pernikahan kami layaknya panggung pertunjukan yang menyakitkan.Kutahan tangisku sekuat mungkin, tapi kurasakan air mata melewati pipiku dengan cepat. Pria yang kulihat sebelumnya dan berdiri di sampingku hanya terdiam, mematung melihatku yang menangis tersedu. Setelahnya aku pun pergi meninggalkan ruangan itu.Dengan kondisi yang menangis, aku berjalan ke ruangan mempelai wanita. Tak kusangka di sana berdiri orang yang tak asing. "Fatiya?" Aku mengambil tisu yang berada di meja lalu menyeka air mataku p
Bab 10Malam Pertama PernikahankuSetelah pertemuanku dengan Elena, aku banyak berpikir. Apakah benar ucapannya bahwa aku belum mengenal Reino dengan baik? Tapi selama ini, kami sudah berpacaran hingga 4 tahun. Kami jalani semuanya pelan-pelan, mulai dari pendekatan hingga jadian. Semua tidak seinstan itu seperti drama perjodohan.Fatiya masuk kembali ke ruang mempelai wanita dengan beberapa camilan dan minuman. “Tadi aku papasan sama perempuan. Kayak baru dari sini?” tanya Fatiya. Ia pasti bertanya karena jalan menuju ruang mempelai wanita atau pria harus melewati satu lorong.“Perempuan siapa?” balasku berbohong. “Ehm, mungkin salah jalan.”Fatiya pun segera mengangguk, tidak mempertanyakan lebih jauh. Ia meletakkan piring camilan di atas meja di hadapan kami dan 2 gelas minuman yang ia bawa susah payah.“Tadi aku p
Bab 11Menantu Idaman MamaSetelah sarapan yang terdiri dari nasi goreng ekstra telur, ayam goreng, serta tempe dan tahu goreng siap di atas meja makan, aku pun pergi ke kamar untuk bersiap mandi. Meskipun segan, kupanggil Reino yang sedang mengutak-atik ponsel pintarnya dengan serius. Dia pasti mengurusi karyawan restorannya, memberi intruksi tentang masa promo karena pernikahan kami. Aku mengetahui hal itu karena Reino pernah membahasnya denganku sebelum pernikahan kami digelar.“Rei, sarapan udah siap. Sarapan dulu sana.”Reino menatapku sebentar dan aku tidak mempedulikannya sama sekali. Aku mengambil baju ganti dan handuk yang akan kupakai nanti.“Aku juga belum mandi nih,” ujar Reino mengingat dirinya masih belum mandi meskipun sudah sholat shubuh.“Makan dulu aja, enggak apa-apa. Aku mau mandi duluan,” kataku tidak acuh. Kutinggalkan kembali Reino sendirian di kama
Bab 12Beberapa hari setelah menikah, yang kulakukan hanyalah termenung, main hape, dan bersikap kucing-kucingan dengan Reino. Aku masih marah dengan apa yang terjadi, apalagi dengan pengakuannya bahwa ia khilaf. Pertanyaannya, mengapa ia harus khilaf di hari pernikahan kami? Mengapa tidak kemarin saja sebelum kami menikah, biar sekalian aku patah hati dan memutuskan hubungan kami?Jantungku berdegup dengan kencang saat mendapati pesan dari nomer tak dikenal. Jika biasanya aku mendapat pesan Whatsapp tapi kini aku mendapat SMS biasa.[+62 852 4000 1xxx]Selamat siang, Tita. Gimana hubungan kamu dan Reino? Aku lagi ada di Joykarta, nemenin Rei. Restoran penuh banget sekarang. Kamu enggak peduli ya? Oh ya, ini aku Elena.Mendapat pesan dari wanita sundal itu, kepalaku rasanya mendidih. Apa maksudnya mengirim pesan begini? Mau membuatku cemburu?[+62 852 4000 1xxx]&nbs
Bab 13Laki-laki MisteriusAku masih berada di Restoran Joykarta sampai sore, meskipun berada di sana pikiranku terkadang melambung ke kafe di seberang jalan, Coffe Back Donna. Tempat yang akan menjadi tempat pertemuan keduaku dengan Elena Deviana setelah pertemuan pertama kami di pesta pernikahanku.“Liatin jam terus, kamu udah mau pulang?” tanya Julekha setelah selesai melayani pelanggan yang hendak memesan makanan untuk dibawa pulang. Pembayaran dilakukan di restoran ini memang ada dua, bisa melalui kasir, bisa juga langsung meminta pada pelayan.“Udah jam 4 ya?” kataku ambigu, masih ragu antara mau pergi atau tidak. “Reino mana ya? Daritadi enggak kelihatan.” Kepala kutengokkan ke kanan dan ke kiri. Mencari ke segala penjuru restoran.“Oh iya aku lupa ngasih tahu, tadi pas kamu ke musholah, Reino bilang mau pergi ke temp
Setelah perjuangan panjang menahan kontraksi yang makin menjadi-jadi. Akhirnya putra kecilku terlahir dengan selamat. Seperti yang kubayangkan, ia mirip ayahnya.Reino sangat bersuka-cita dengan kelahirannya. Ia tidak berhenti menatap wajah lelap buah hati kami.“Udah deh jangan dilihatin terus,” cetusku membuat Reino menatapku dengan cengiran kudanya.“Habis dia kecil banget, lucu. Kayak miniatur.”“Ngaco!” Aku tertawa. Sekarang aku masih berada di rumah sakit setelah melakukan persalinan yang terjadi hingga 12 jam lamanya menahan sakit.“Makasih ya, Tit. Kamu udah berjuang melahirkan anakku.” Reino memelukku dari samping.“Anak kita, Rei,” ralatku.Reino berdehem. “Kita sekarang udah jadi orangtua. Tanggung jawabku pun sudah bertambah satu lagi. Semoga dalam masa kepemimpinanku sebagai kepala keluarga kalian bahagia ya.”“A
Hari ini terasa begitu berat saat aku mengetahui semuanya secara jelas. Selama ini, aku sudah bersikap gegabah dan keras kepala. Seharusnya aku jauh lebih dewasa dengan mendengarkan penjelasan Reino lebih dulu. Ah, tidak … Reino juga sejak awal memang tidak bisa jujur padanya hingga kesalahpahaman ini lebih melingkar dan seolah tak berujung selain menjadi kesalahan Reino seutuhnya.Tak kusangka sebelumnya, ternyata dalang semua ini adalah teman dekatku. Orang yang kuanggap sangat baik dan kuanggap sebagai orang yang meginspirasi, malah menjadi penyebab kemarahanku. Pernikahanku yang baru kujalani sudah berada di ujung tanduk karena ulahnya.Bersyukur, aku mengetahui semuanya sebelum pernikahanku dan Reino benar-benar berakhir. Semua itu berkat Elena, karena ia mau dan berani speak up tentang kejahatan Fatiya.Suara pintu kamar terbuka dan kulihat Reino masuk dengan wajah yang memancar senyum tipis. “Gimana tadi obrolan kamu da
Happy Reading>>>***Bab 28Musuh dalam SelimutSetelah mendapatkan verifikasi akurat dari Elena, aku pun sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Fatiya. Alhasil setelah pertemuanku dan Elena selesai pukul 1 siang, aku pun sengaja segera menemui Fatiya.Aku menghubungi Fatiya melalui whatsapp karena ia sedang dalam mode online. Fatiya pun segera membalas pesanku.[Fatiya : Ada apa, Tita?]Aku segera membalasnya. [Aku mau ketemu sekarang. Kalau boleh tahu kamu ada di mana? Biar aku yang nyamperin kamu.][Fatiya : Urgent banget ya? Emang ada apa?][Enggak ada apa-apa kok. Kamu ada apa? Aku Cuma mau ngobrol sebentar sama kamu. bisa?][Fatiya : Bisa, Tita. Aku lagi ada Mall Popokrat. Di lantai 4, di restoran Kiorado.][Kamu sama siapa di sana? Apa aku bisa ngobrol berdua, nanti?]
Bab 27ObrolanPembicaraanku dan Elena terhenti sejenak karena seorang pelayan yang menghampiri meja kami, memberikan pesanan Elena, kopi dangdang dalam secawan cangkir putih.Elena menyeruput kopi dangdang perlahan lalu meletakan kembali cangkir yang dipegangnya ke atas piring kecil. “Rasanya enak. Kamu udah pernah coba sebelumnya?” tanya Elena mengubah topic pembicaraan kami. Ia nampak berhasil mengontrol dirinya dengan baik.“Hmm,” dehemku malas.Elena menatap ke arah jendela yang berada di samping kami, lalu mendesah dengan kesal. “Hujan,” katanya pendek.Aku melihat ke arah luar dan terdiam cukup lama. Hujan tiba-tiba deras dan mengguyur sekitar pemukiman Kafe Dangdang. Kulihat banyak orang berlalu lalang demi tidak terkena air hujan yang membasahi pakaian mereka.“Aku kira hari ini bakal cerah. Sayang banget turun hujan,” kata Elena lagi, lalu melirikku. Kami
***Happy Reading>>>***Bab 26Pertemuan“Cepetan dong, Rei, kamu kok lama banget sih!” ketusku pada Reino yang baru saja masuk ke dalam kamar. Sekarang sudah pukul 10 pagi dan Reino masih bersantai di rumah. Padahal ia sudah berjanji akan mempertemukanku dengan Elena hari ini.“Sabar dong, Tit. Aku juga kan harus cuci mobil dulu,” balas Reino lalu membuka kaosnya yang basah, menyisakan kaos dalam putih yang melekat di tubuhnya. Ia berjalan mengambil handuk lalu membuka lemari pakaian untuk mengambil pakaian ganti.Aku mencebik, kesal dengan sikap Reino yang santai. Padahal aku sudah ingin sekali segera bertemu dengan Elena.“Kan janjiannya masih lama, santai aja.” Reino menatapku, menenangkan. “Kamu jangan ngomong apa-apa ya tentang apa yang kubilang.”“Kenapa?” tanyaku sengit.“Aku kan udah bilang, kalau
Happy ReadingBab 25Titik AwalMama memaksaku untuk pulang ke Jakarta hari ini, tidak ada penolakan. Alasannya karena Mama sudah lama meninggalkan Papa di rumah. Belum lagi, Mama tidak tega jika harus meninggalkanku di Cirebon sendiri, meskipun Reino sudah pernah menyinggung untuk pindah ke Cirebon, tapi sepanjang pemaksaan yang Mama lakukan agar aku ikut pulang ke Jakarta, Reino tetap diam. Aku sungguh tidak paham dengan sikapnya.“Tita, ayo cepet! Kamu siap-siap lama banget sih,” ujar Mama kepadaku.“Ma, kita ke rumah yang punya kontrakan dulu yuk! Buat ngasih langsung kunci rumahnya.” Aku melihat ke sekitar kamar, semua barang sudah dibawa kecuali kasur. Mama bahkan ngotot semua peralatan dapur untuk dibawa. Ini sungguh pindahan dan usahaku untuk kabur dengan berdalih ujian CPNS berakhir sudah.“Enggak dititipin aja ke warungnya Bu Nen?” tanya Mama balik.
Happy Reading>>>***Bab 24Tanda TanyaTidak habis berpikir tentang keberadaan Fatiya yang berada di video, aku pun terus menonton. Fatiya yang kukenali dengan pakaian biru putih nampak berjalan menghampiri Elena dan temannya yang lain, Gina. Dalam video itu, Fatiya tidak memakai hijab, dan rambutnya yang panjang terurai hingga punggung.“Gue ingetin ya, ini peringatan terakhir kali ke elo. Kalau gue masih ngelihat lo deket-deket sama Reino, gue bakal kerjain lo tiap hari. Ini cuma awal, Elena.” Fatiya mengancam sambil berlutut menghadap Elena yang sedang menunduk. Tangannya yang tadi diam, kini mulai mendorong kepala Elena. “Elo tahu kan siapa gue? Gue Fatiya, seorang Tia enggak main-main sama ucapannya.”Elena terus terisak tapi Fatiya, Gina, dan Dinda tidak peduli. Wajah mereka bahkan terlihat senang saat berhasil menindas Elena. Ini benar-benar tidak tidak adil, satu l
Happy Reading>>>***Bab 23Video MisteriusReino memutuskan menginap di hotel setelah jam menunjukan pukul 11.00. Semua itu karena keminiman perabot di rumah kontrakanku. Hanya ada satu kasur di rumah, yang berada di kamarku dan kini sedang ditiduri Mama.Sebelum memutuskan menyewa hotel, Reino sudah mencoba tidur di lantai dengan alas tikar seadanya. Namun berulang kali mencoba tertidur, ia terus saja terbangun. Katanya, badannya sakit.Tidak aneh, menurutku dalam hati. Apalagi Reino ini anak orang berada. Kasur di kamarnya saja sangat empuk, halus, dan lembut. Bagaimana bisa ia tidur di karpet? Ia butuh kasur agar tubuhnya nyaman.Sementara Reino pergi ke hotel dan Mama beristirahat dengan tidur di kamar. Aku pun memutuskan untuk duduk di ruang tengah sambil menonton youtube. Aku mencari channel K-POP dan menonton video musik yang sedang tranding. Karena
Happy Reading...***Bab 22Rencana ReinoMama datang disaat yang kurang tepat, saat aku dan Reino baru saja mengobrolkan masalah kami. Aku yakin sekali Mama sudah mendengar semuanya.“Mama lupa bawa dompet,” ujar Mama sambil berbalik arah. Tidak melihatku lagi atau Reino. Ia mencari ke dalam tas jinjing coklat tua miliknya lalu mengambil dompet berwarna senada. “Belanjaan Mama masih di warung.”Setelah mengatakan itu, Mama kembali pergi. Tanpa menoleh ke arahku atau Reino.Reino menatap kepergian Mama dengan wajah gugup. Sama sepertiku. Aku takut Mama akan membenci Reino karena masalah ini. Bagaimana pun juga Reino adalah menantu idaman Mama.“Apa Mama denger obrolan kita barusan?” tanya Reino membuatku menoleh ke arahnya dengan wajah tenang.“Aku enggak tahu. Mama kayaknya ngehindar gitu, buru-buru pergi lagi.”Re