Home / Romansa / My Bad Doctor / Pacar Dadakan

Share

My Bad Doctor
My Bad Doctor
Author: 5Lluna

Pacar Dadakan

“Apa sekarang kau sudah percaya?”

Vanessa mendongak ketika mendengar suara bernada tanya itu. Dia langsung meringis, ketika melihat dokter yang tadi dia tendang berdiri di depannya. Kali ini, sudah lengkap dengan sneli dan stetoskop.

“Maaf.” Hanya itu yang bisa Vanessa katakan dengan kepala menunduk.

“Kalau sudah tahu kesalahanmu, mungkin kau bisa mengembalikan tanda pengenalku?” Sang dokter kini mengulurkan tangan.

Dengan gerakan hati-hati, Vanessa meletakkan lanyard beserta kartu ID dokter milik lelaki di depannya. Ada nama Joviandri William N tertulis di sana. Kartu ID yang jelas sangat sakti, dan berlaku di rumah sakit yang Vanessa datangi.

“Maaf.” Vanessa sekali lagi mengatakan hal yang sama. “Aku benar-benar malu karena sudah salah sangka padamu.”

“Apa kau salah sangka karena melihat tatoku?” tanya Jovi tampak mencemooh. “Memangnya kenapa dengan tato? Apa aku terlihat buruk dengan itu?”

“Oh, tidak!” Vanessa menggeleng dengan cepat. “Aku bahkan tidak terlalu memperhatikan tato itu di awal. Aku hanya berpikir kau mesum karena berusaha membuka baju seorang anak remaja, apalagi di tempat sepi.”

Ya. Vanessa menyerang lelaki di depannya dengan membabi buta, karena salah sangka kalau lelaki itu adalah orang mesum. Padahal aslinya, dia hanya ingin menolong orang yang pingsan dan sesak napas.

Tapi bukankah wajar kalau Vanessa salah sangka? Dokter bernama Jovi ini tampak berusaha membuka kemeja seorang anak sekolah di tempat sepi. Itu jelas mencurigakan.

“Maafnya diterima, jadi tolong jangan diulangi lagi.”

Jovi mengembuskan napas pelan. Dia tentu saja tidak bisa lagi berkata banyak, apalagi yang perempuan gempal di depannya katakan bisa dibilang benar. Mungkin, nanti Jovi hanya perlu lebih hati-hati saat mau menolong orang.

“Karena sepertinya semua sudah selesai, mungkin aku pergi saja.” Vanessa pamit dengan suara kecil, tapi masih bisa didengar lelaki di depannya itu.

“Ya, silakan. Kau juga tidak akan dikenakan biaya apa pun, karena keluarga pasien tadi sudah datang.” Jovi tentu akan mengangguk.

“Jovi.”

Baru saja Vanessa berbalik dan ingin melangkah pergi, dia mendengar suara perempuan yang memanggil sang dokter. Tentu saja dia tidak akan peduli dan memutuskan untuk melangkah pergi saja, tapi rupanya tidak semudah itu.

Tiba-tiba saja, tangan Jovi mencekal pergelangan tangan perempuan gempal yang hendak pergi itu. Hal yang jelas akan membuat Vanessa menatap sang dokter dengan mata melotot.

“Tinggallah dulu sebentar,” bisik sang dokter, dengan tatapan yang tertuju pada seseorang yang sedang berjalan mendekat.

“Apa ini pasienmu?” Seorang perempuan dengan baju kulit serba hitam dan riasan tebal, datang mendekat dan menatap Vanessa dari atas ke bawah.

Jujur saja, Vanessa amat sangat tidak suka dengan tatapan itu. Tatapan perempuan itu tidak menyembunyikan cemoohan yang terlihat jelas di wajahnya. Dia memang gendut, tapi haruskan ditatap seperti itu?

“Bukan.” Akhirnya Jovi menjawab perempuan tadi. “Tapi ada masalah apa kau datang ke sini?”

“Ada apa denganmu sih?” Perempuan yang serba hitam tadi balas bertanya. “Aku ini pacarmu loh, Vi. Masa aku harus punya masalah dulu baru bisa datang ketemu kamu.”

Vanessa menaikkan kedua alis mendengar pernyataan barusan. Entah kenapa, dia punya firasat yang tidak enak. Terutama karena tangan si dokter, kini sudah merangkul bahunya yang penuh lemak itu.

“Sayangnya iya,” gumam Jovi dengan senyum tipis. “Kau tahu aku sangat sibuk.”

“Saking sibuknya, sampai selama seminggu aku tidak diberi kabar sama sekali?” tanya perempuan tadi, menatap rangkulan sang dokter di bahu Vanessa.

“Anu! Mungkin saya bisa pergi saja dulu.” Tidak ingin ikut campur, Vanessa memindahkan tangan kurang ajar si dokter, dan bersumpah akan memukulnya jika bertemu lagi.

“Kenapa kau harus pergi?” tanya Jovi malah makin mengeratkan rangkulannya. “Kau tidak perlu pergi, Sayang. Kita kan masih ada janji setelah ini.”

“Maksudnya apa?” geram Vanessa dengan suara, kecil agar tidak terlalu menimbulkan kericuhan yang tidak berarti.

“Sayang?” tanya perempuan serba hitam tadi dengan mata melotot. “Kau memanggil dia dengan sebutan sayang? Tidak salah?”

“Sama sekali tidak. Ada masalah dengan itu?” tanya Jovi dengan santai, sementara Vanessa tidak terlihat santai sama sekali.

“Tentu saja ada masalah,” hardik perempuan tadi tampak marah. “Kau memanggil perempuan lain dengan sebutan sayang.”

“Tapi dia ini bukan perempuan lain. Dia pacarku,” balas Jovi yang makin membuat wajah Vanessa jadi pucat.

***To Be Continued***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status