“WOI, GUYS. VANESSA BARU PUTUS!”
Padahal Vanessa berharap bisa merasakan ketenangan ketika sampai di rumah, tapi rupanya itu sangat salah. Dia baru saja membuka pintu, dan menegur sang adik yang sedang main judi online, tapi sekarang malah dirinya yang diteriaki. "Dari mana kau mendapat informasih tidak masuk akal itu?" hardik Vanessa dengan mata yang sudah hampir keluar dari posisinya. "Semua orang juga tahu ekspresimu ketika diputus pacar." Sang adik segera berlari, setelah mengatakan hal itu. “Hei, brengsek!” Vanessa jelas saja akan mengejar, tapi dia jelas kalah. Tubuhnya lebih besar dari sang adik lelaki. “Jangan kejar-kejaran di tangga.” Sang ibu ikut-ikutan berteriak entah dari mana. “Dia duluan yang cari gara-gara,” hardik Vanessa dengan kesal. “Aku bahkan tidak bilang apa-apa, tapi dia sudah berteriak.” “Dia masih kecil, Nes.” Sayangnya sang ibu malah membela sang adik. “Kecil my ass. Dia sudah bisa bikin anak.” Vanessa hanya berani mengatakan hal itu dengan suara kecil saja. “Mana kerjanya cuma judi saja.” “Kau juga cobalah bikin anak.” Seorang lelaki keluar dari dalam kamar di sisi kiri Vanessa. “Mas kira aku ini kucing?” tanya Vanessa dengan mata yang senang sekali melotot. “Tinggal kawin saja dan langsung jadi setengah lusin anak.” “Emang ada yang mau kawin sama kamu?” tanya kakak lelaki Vanessa dengan senyum lebar mengejek. “Ngaca dong, mana ada yang mau dengan cewek gendut.” Vanessa membuang napas dengan kasar. Dia sungguh ingin sekali memaki, tapi tahu kalau itu akan percuma. Semua saudaranya akan senang kalau dia marah, jadi Vanessa tidak akan memberikan apa yang dia inginkan. Sayangnya, sang kakak tidak tinggal diam. “Aku kasih uang deh kalau ada yang mau kawin denganmu. Kawin ya, bukan nikah.” “Gila!” Tentu saja Vanessa akan menghardik, bahkan sudah akan melangkah pergi. “Setidaknya, coba rasakan sekali saja surga dunia,” tambah sang kakak dengan cepat. “Setelah itu, kau bebas melakukan apa pun. Tidak mau menikah juga tidak masalah, nanti aku akan pergi cari uang.” Mendengar kakak sulungnya ingin pergi cari uang, Vanessa langsung berbalik. Hal itu jauh lebih menggiurkan baginya, dibanding langsung diberikan uang tunai dalam jumlah besar. Dia sudah lelah menanggung hidup semua orang yang ada di rumah ini. “Fine,” desis Vanessa kesal. “Kalau aku berhasil penuhi janjimu, atau akan kupotong belalai kesayanganmu.” “Aku pasti akan menang.” Sang kakak berteriak dengan senyum lebar. Vanessa tidak berniat untuk menjawab sang kakak lagi, dan memilih untuk memberikan jari tengah saja. Setelahnya, dia masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu. Cukup keras, sampai membuat sang kakak terlonjak. “Sialan!” Vanessa langsung mengumpat, ketika sudah mengunci diri di dalam kamar. “Dasar gila. Sekarang bagaimana aku harus melaksanakan taruhan tidak masuk akal itu?” “Pacarku saja tidak pernah ada yang dapat jatah, masa sekarang aku harus mencari orang asing?” tanya Vanessa masih bicara pada diri sendiri. Vanessa mondar-mandir di dalam kamarnya, memikirkan apa yang harus dia lakukan. Sesungguhnya, dia sudah punya ide akan mengajak siapa. Hanya saja ....” “Kalau kau mengajak dokter mesum itu, namanya kau gila Vanessa.” Perempuan itu segera menggeleng. “Kalian baru bertemu tadi siang.” “Tapi kan dia tadi sudah memanfaatkanku juga.” Vanessa mengingat bagaimana ketika Jovi tiba-tiba membuatnya menjadi pacar dadakan. Dengan bibir bawah yang tergigit, Vanessa bergerak pelan mencari kartu nama yang tadi diberikan oleh Jovi. Kartu nama yang diberikan untuk membuktikan kalau dia sungguh dokter. Awalnya Vanessa pikir itu tidak akan berguna, tapi pada akhirnya dia mencari juga. “Jadi, apa yang harus kutulis?” Vanessa berpikir sesaat, sebelum mulai mengetik dengan cepat. Tentu saja bukan hal mudah untuk meminta seseorang yang baru saja dia temui untuk tidur bersama, apalagi dirinya masih perawan. Vanessa sampai harus berulang kali mengumpat dan mengulangi ketikannya. “Oke.” Vanessa mengangguk cukup yakin, sembari membaca ketikannya untuk yang kesekian kalinya. “Berdoalah untuk yang terbaik Vanessa. Demi masa depan yang lebih baik, tanpa keluargamu.” Vanessa pada akhirnya menekan tombol kirim. [+628xxxxxxxx: Ayo kita tidur bersama. Anggap saja kau balas dendam pada mantanmu yang entah melakukan apa, dan aku balas dendam pada mantanku yang selingkuh.] ***To be continued***[+628xxxxxxxx: Aku tahu permintaanku tadi sangat aneh, jadi tidak usah dipikirkan. Omong-omong ini Vanessa.] “Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?” bisik Jovi dengan senyum jahil. “Ini terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja.” “Kau berbicara denganku?” Rekan kerja Jovi yang sejak tadi membaca buku, bertanya. “Ya.” Jovi dengan cepat mengangguk. “Aku ingin tahu jadwal jaga IGD hari ini. Apakah ada aku nanti sore?” “Tentu saja. Jadwalmu setelah ini sampai malam.” “Kalau begitu, bisa tolong gantikan aku? Aku punya urusan yang sangat mendesak sore nanti, mungkin sampai besok pagi.” Jovi bertanya dengan senyum lebar. *** [Dokter Mesum: Bagaimana kalau kita membicarakan ini setelah jam pulang kantor?] [Dokter Mesum: Kita bisa makan malam bersama, kemudian lanjut ke hotel mungkin?] Helaan napas disertai dengan geraman pelan terdengar dari balik salah satu kubikel. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa Wijaya yang terlihat sangat putus asa sa
“Apa yang kau lakukan di kamar hotel?” Pertanyaan itu, menyambut Jovi yang baru saja membuka pintu kamarnya, sepuluh menit setelah dia masuk ke dalam kamar hotel. Itu pun dia terpaksa membuka pintu, karena suara ketukan di pintu benar-benar mengganggu. Siapa yang sangka kalau Jovi akan kedatangan tamu tidak terduga. “Mama,” panggil Jovi dengan ekspresi syok. “Kenapa bisa ada di sini?” “Harusnya Mama yang tanya sama kamu,” hardik perempuan paruh baya yang tampak terkejut itu. “Kenapa kamu ada di sini, dan tadi Mama lihat kamu sama perempuan.” Sungguh, ingin sekali Jovi mengumpat. Padahal dia dan Vanessa baru saja masuk kamar, dan sedang berdiskusi ketika pintu kamar terketuk. Padahal tadi Jovi tidak melihat sang mama ada di sekitar restoran atau lobi hotel, tapi dia malah ketahuan. “Apa kamu mau menghamili perempuan itu untuk mendapat restu Mama?” “Bukan seperti itu, Ma. Tidak ada Manda di dalam.” Tahu apa maksud sang ibu, Jovi segera membantah. “Kalau begitu biar Mama masuk
“Apa Mama gila?” hardik Jovi tidak peduli kalau itu kurang ajar. Padahal Jovi dan mamanya baru saja kembali dari mengantar Vanessa, dan mereka bahkan belum masuk ke rumah. Namun, lebih penting bagi Jovi untuk mengonfrontasi ibunya itu. “Justru kau yang gila, Jov.” Mama Cindy balas menghardik. “Kalau Mama tidak sengaja melihat kalian melintas saat keluar dari ruang meeting, kalian pasti sudah melakukan hal yang macam-macam.” “Kalau pun iya, memangnya kenapa?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Zaman sudah berubah, Ma. Yang seperti itu bukan lagi sesuatu yang tabu, antar pasangan. Yang bukan pasangan saja banyak.” “Tapi Mama tidak mau kau begitu tanpa ikatan,” balas Cindy terus berjalan masuk ke dalam rumah mereka. “Lagi pula, menikah adalah hal yang paling bagus untukmu.” “Kenapa itu bisa menjadi bagus untukku?” tanya Jovi, tentu saja akan mengejar sang ibu. “Apa ini masih tentang Manda?” “Kalau kau sudah tahu, maka tidak perlu bertanya.” Cindy tiba-tiba saja berbalik d
“Bagaimana bisa ibumu datang ke rumahku, Brengsek?” Vanessa langsung memaki, begitu teleponnya tersambung. “Maaf, tapi siapa ini?” Suara maskulin di seberang sambungan telepon bertanya. “Ini aku Vanessa.” Perempuan bertubuh gempal yang masih berdiri di luar kantornya berdesis pelan, karena ada rekan kerja yang lewat. Dia tentu tidak ingin dipelototi rekan kerjanya. “Jangan pura-pura melupakanku, Dokter Cabul, lanjutnya masih dalam suara pelan. Vanessa sebenarnya ingin sekali mengikuti orang tuanya dan Cindy pergi sarapan, tapi itu tidak mungkin. Dia harus pergi bekerja, jika tidak ingin mendapat makian dari team leadernya. Kebetulan ada nasabah besar yang harus dikunjungi hari ini. “Apa maksud kalimatmu itu?” Jovi tampak begitu terkejut. “Kalimat yang mana yang kau maksud?” Vanessa balas bertanya. “Tentu saja bagian yang cabul itu,” geram Jovi terdengar begitu kesal. “Astaga! Apakah kau tuli atau bagaimana?” Bukannya memberikan klarifikasi, Vanessa malah makin in
“Ya, aku rasa kau terlalu beruntung.” Meghan segera mengangguk yakin, ketika tadi mendengar omongan Vanessa. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa merayu banyak lelaki.” Vanessa melirik perempuan yang baru saja berbicara itu. Tentu saja yang barusan bicara adalah bos Meghan, yang tampak kesal karena lagi-lagi Vanessa yang berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengambil kredit pada mereka dan harus Vanessa yang mengurus. “Ucapan Bu Meghan tidak salah kok. Aku memang pandai merayu nasabah, untuk menjadi nasabah kita.” Vanessa dengan mudahnya memperbaiki kalimat atasan langsungnya itu. “Kebetulan saja, pengusaha yang butuh modal kerja itu kebanyakan lelaki. Karena itu marketing kebanyakan perempuan kan?” lanjut Vanessa dalam nada tanya dan senyum mengejek. “Bu Meghan juga perempuan kan?” Perkataan itu tentu saja membuat Meghan menjadi makin kesal saja, karena apa yang dikatakan Vanessa tidak salah. Sebagian besar yang mengambil modal kerja memang pengusaha lelaki, dan mark
“Apa kau janda?” tanya Jovi dengan hati-hati. “APA KAU INGIN MATI?” Suara teriakan Vanessa bukan hanya membuat Jovi terkejut, tapi juga seisi kantin. Hal yang membuat perempuan itu malu sendiri ketika tersadar, dan hanya bisa memberikan senyum canggung pada semua orang yang melihatnya. “Bisa kecilkan suaramu?” desis sang dokter yang ikut merasa malu. “Aku tidak akan berteriak, kalau mulutmu bisa dijaga,” hardik Vanessa dalam desisan pelan. “Aku kan hanya bertanya, memangnya tidak boleh?” “Bertanya boleh, tapi yang masuk akal sedikit,” balas Vanessa masih dengan suara kecil. “Aku bahkan belum pernah menikah, tapi sudah disebut janda. Apa kau mendoakan pernikahanku kelak berumur pendek?” “Sebelum aku lebih banyak bicara, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?” tanya Jovi melirik ke sekelilingnya. “Terlalu banyak orang yang melihat kita, dan sebagian besar adalah kolegaku.” Vanessa ikut melirik ke sekelilingnya, dan benar saja. Masih ada cukup banyak orang yang menatap ke ara
“Mama barusan bilang apa?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Kami sudah setuju dengan pernikahannya, dan katanya kita juga tidak perlu keluar uang untuk barang hantaran. Katanya pestanya akan sederhana saja, dan kita juga dikasih uang.” Vanessa makin melotot mendengar apa yang dikatakan mamanya itu. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak, kecuali bagian yang paling terakhir. Sungguh, Vanessa tidak pernah berpikir orang tuanya akan meminta uang. “Kalian yang minta kan?” tanya Vanessa makin melotot saja. “Mama ngaku saja, pasti Bapak yang minta uang kan? Terus Mama setuju begitu saja kan?” “Mereka kan gak mau pesta besar, jadi harus ada kompensasi buat kita dong. Lagian tidak banyak kok, hanya lima juta saja. Mereka sepertinya tidak terlalu kaya, tapi cukuplah untuk biaya listrik, air dan wifi.” Mata Vanessa melotot mendengar nominal yang disebutkan ibunya. Itu adalah jumlah yang sangat besar bagi Vanessa, apalagi bagi keluarga Jovi bukan? Memang Jovi terlihat seperti
“Aku sama sekali tidak tahu kalau seleramu sudah berubah drastis.” Seorang perempuan muda, mendekat ke meja yang ditempati Jovi dan Vanessa. “Vanessa kenalkan.” Alih-alih membalas perempuan di depannya, Jovi memilih untuk memperkenalkan istrinya. “Ini adalah sepupuku dari pihak papa. Sekedar informasi, aku punya sangat banyak sepupu.” “Aku lihat istrimu juga punya banyak saudara,” tambah sepupu Jovi dengan wajah mencibir. “Halo salam kenal.” Vanessa mengulurkan tangan dengan baik hati. “Aku Vanessa.” Bukannya mendapat balasan, tangan Vanessa malah tidak disambut sama sekali. Hal yang membuat mempelai wanita itu, memilih untuk menarik tangannya lagi. “Setelah perempuan emo, sekarang perempuan gendut yang jelek?” Jovi dan Vanessa serentak mendelik ke arah si sepupu perempuan tadi. Hal yang jelas membuat sepupu Jovi itu tertawa cukup keras, sampai beberapa orang sampai berbalik menatap mereka. “Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kenapa pilihanmu selalu jelek?” “Dengar.
Kaki Vanessa tidak berhenti bergerak di bawah meja. Saking cepatnya gerakan kakinya yang mengetuk lantai, meja itu sampai bergetar. Tentu saja, Vanessa bahkan tidak menyadari hal itu. "Kenapa mejanya bergetar ya?" Seseorang bertanya. "Mungkin ada seseorang yang sudah tidak sabar ingin pulang." Seseorang yang lain melemparkan candaan dan membuat semua orang tertawa. Tentu saja Cindy dan Vanessa juga ikut tertawa pelan, tapi mereka berdua tahu siapa pelakunya. Hal yang membuat Cindy memegang kaki sang menantu dengan cukup keras. "Sayang, yang sabar sedikit ya." Cindy berbisik pelan. "Kita tunggu papamu mengatakan bagiannya dan kita bisa turun ke bawah." "Aku sedang mencoba, Ma." Mau tidak mau, Vanessa harus mengangguk. "Tapi ini tidak akan berlangsung lama kan?" "Kalau kau begitu merindukan Jovi, kirim saja pesan padanya. Minta dia yang datang menjemputmu." Cindy mengatakan itu, sembari mengedipkan sebelah mata untuk me
"Bukankah kita seharusnya tidak datang ke rumah sakit?" tanya Vanessa dengan kedua alis terangkat. "Kata Mama kita akan pergi ke perkumpulan?" "Benar." Cindy mengangguk dengan tenang. "Perkumpulan para istri dokter. Sejenis perkumpulan rutin yang kami lakukan, setelah rapat umum pemegang saham." "Rapat umum pemegang saham?" Vanessa masih bertanya dengan kedua alis terangkat. "Apakah maksudnya Mama juga akan ikut rapat?" "Tidak." Cindy kini menggeleng. "Yang ikut hanya papamu dan Jovi saja. Aku rasa sudah waktunya Jovi diperkenalkan dengan lebih intens pada semua orang, tentu saja bersama dengan dirimu yang mungkin akan mewarisi itu semua." Kini bukan hanya kedua alis Vanessa yang terangkat, tapi juga mulutnya terbuka. Dia tentu tidak akan menyangka kalau hari liburnya akan diisi dengan hal yang sangat bermanfaat, seperti yang dikatakan ibu mertuanya. "Tapi, Ma." Setelah cukup menenangkan diri, Vanessa langsung protes. "Aku dan J
"Mbak, Vanessa ada kiriman." "Hah? Kiriman apa pak? Perasaan saya tidak beli barang." tanya Vanessa pada petugas keamanan yang menghentikan langkahnya. "Ini, Bu." Si satpam mengeluarkan sebuket kecil bunga mawar merah. "Baru saja diantarkan sebelum Bu Vanessa datang. Kedua mata Vanessa berkedip cepat, sesaat sebelum menerima buket bunga itu. Memang buketnya tidak besar, tapi tetap saja sangat mencolok. Apalagi benda itu dikirimkan ke kantornya. "Cieh, yang dapat kiriman buket dari suami tercinta." Putri yang baru datang, langsung mengganggu seniornya. "Bisa tidak usah berisik?" desis Vanessa sudah mulai merasa malu. "Kenapa harus malu, Kak?" Putri makin terkekeh. "Toh, itu dari suami sendiri kan?" "Aku juga tidak tahu." Vanessa menggeleng, sembari memeriksa apakah ada kartu ucapan di sana dan ternyata memang ada. "Aku harap, harimu penuh dengan kebahagiaan. From Jovi." Vanessa membaca pesan itu dengan kening berkerut. "Ini sungguh dari Jovi? Tapi tadi dia tidak mengata
"Mama pasti salah ngomong kan?" tanya Vanessa dengan tawa yang terdengar sedikit bergetar karena gugup. "Aku tidak mungkin bekerja di rumah sakit." "Sebenarnya Papa ingin kau saja yang menggantikan papa nantinya." Danapati malah menambahkan kalimat yang membuat Vanessa makin sakit kepala. "Tapi itu tentu saja butuh banyak waktu dan kau harus belajar lagi dari awal. Mengurus rumah sakit, tentu berbeda dengan perbankan," lanjut lelaki paruh baya itu, secara tidak langsung mengiyakan ucapan sang istri. Sungguh, Vanessa tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh mertuanya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka kalau dirinya akan diminta untuk bekerja di perusahaan keluarga, apalagi sebuah rumah sakit. "Tapi bukankah Mama tidak suka denganku?" Vanessa bertanya dengan refleks. "Lalu kenapa tiba-tiba mengusulkan pindah ke rumah sakit?" "Ah, soal itu...." Cindy jadi meringis mendengar pertanyaan sang menantu. "Mama melakukan kesalaha
"Apa yang kau lakukan di sini?" Vanessa mengerutkan kening, ketika dia ada di lantai satu gedung kantornya dan melihat Jovi duduk di salah satu kursi sembari bermain ponsel. "Menjemputmu tentu saja." Jovi dengan cepat mengantongi ponselnya. "Kita akan pulang ke rumah Mama kan?" "Kita?" Vanessa menaikkan sebelah alis, tapi langsung memperbaiki ekspresinya. Walau sudah melewati jam kerja, tapi Vanessa masih di kantor dan ada cukup banyak orang yang lembur. Dia tidak mungkin memarahi Jovi yang datang tanpa izin di depan umum kan? Alhasil, Vanessa memilih untuk menyeret suaminya itu keluar dari kantor. Akan jauh lebih aman untuk berbicara berdua di dalam mobil. "Kenapa kau bisa datang ke sini?" Vanessa mengulangi pertanyaannya, setelah berhasil duduk tenang di dalam mobil sang suami. "Aku tadi sudah menjawab, tapi aku tidak keberatan mengulang. Aku datang untuk menjemputmu, karena kita akan menginap di rumah orang tuaku,"
"Maaf, Vanessanya ada?" Cindy bertanya pada petugas keamanan yang berjaga di gedung perkantoran yang dia datangi. "Sepertinya tadi sedang keluar sih, tapi coba saya pastikan ulang ya. Ibu boleh duduk dulu." Si petugas keamanan, menuntun Cindy ke tempat yang dimaksud. Ini bukan kali pertama perempuan paruh baya itu berkunjung, tapi Cindy menatap sekitarnya seolah itu yang pertama. Pemandangan bank juga bukan sesuatu yang asing baginya, tapi kali ini Cindy ingin merekam sekitarnya dengan lebih baik. "Ternyata tempat kerja Vanessa tidak terlalu besar ya," gumam Cindy setelah cukup puas melihat. "Apa karena ini hanya kantor cabang pembantu?" "Permisi, Bu." Baru juga Cindy selesai mengoceh sendiri, satpam sudah datang menghampirinya lagi. "Bu Vanessa benar sedang keluar mengunjungi nasabah, apa perlu bantuan?" "Tidak, Pak. Saya menunggu saja di sini, mumpung jam makan siang sudah dekat. Saya cuma mau mengajak mantu saya makan siang."
"Loh, Jovi? Tumben datang malam-malam begini?" Cindy mengerutkan kening, ketika dia melihat sang putra berjalan dengan gontai. "Malam, Ma," gumam Jovi tanpa menatap ibunya dan terus saja berjalan. Cindy yang sudah menggunakan piyama, makin mengerutkan kening. Padahal tadi dia sudah bersiap untuk tidur, tapi batal karena bisa mendengar suara mobil putranya. Tapi coba lihat sekarang, Jovi bahkan tidak peduli padanya. "Kau itu kenapa sih?" tanya Cindy setelah berhasil mengejar sang putra yang baru mau masuk ke kamar. "Kau habis minum?" "Hanya sedikit saja," jawab Jovi dengan jujur dan senyum lebar. "Aku masih belum mabuk karena tadi bisa menyetir sendiri." "Tapi jelas otakmu sudah tidak pada tempatnya." Cindy hanya bisa geleng-geleng kepala dan kini memilih untuk membantu sang putra sampai ke atas ranjang. "Apa ada masalah di rumah sakit?" "Masalah di rumah sakit?" Bukannya menjawab, Jovi malah bertanya. "Tidak terlalu b
"Aku tidak terlambat kan?" Jovi langsung bertanya, ketika dia sudah sampai di tempat janjian. Lebih tepatnya, saat sudah berada di depan sang istri. "Terlambat," balas Vanessa yang melihat jam tangannya. "Kau terlambat dua menit." "Maaf untuk itu." Jovi meringis pelan. Sesungguhnya, Jovi ingin protes. Dua menit jelas bukan waktu menunggu yang membuatnya harus sampai dicap terlambat, tapi untuk kali ini sang dokter memilih untuk meminta maaf saja. Jauh lebih aman. "Aku tadi dapat pasien di menit-menit terakhir." Sang dokter mencoba untuk menjelaskan. "Padahal aku sudah meminta untuk tidak menerima pasien tiga puluh menit terakhir, agar aku bisa menyelesaikan catatanku dan tidak terlambat datang." "Jujur saja, aku tidak terlalu percaya." Vanessa mengedikkan bahu dengan santai. "Tapi untuk mempersingkat waktu, anggap saja begitu." "Mau pesan makanan dulu?" tanya Jovi masih meringis. "Aku sedikit lapar, karena tadi tidak
"Bagaimana kau bisa gagal?" "Aku juga tidak tahu, Gery." Manda ikut terlihat kesal pada lelaki di depannya. "Semuanya sudah berjalan baik, tapi tiba-tiba saja Jovi dan temannya datang. Untung aku cepat melarikan diri, selagi mereka semua berkelahi." "Bodoh." Lelaki yang dipanggil Gery, tak segan memaki. Dia bahkan menjambak rambut Manda. "Seharusnya tidak ada kesalahan seperti ini, Manda. Kau tahu kalau aku tidak suka dengan yang namanya kegagalan, apalagi kegagalan karena kau bodoh." Gery melempar tubuh Manda ke atas sofa buntut dengan kasar. Hal yang tentu saja membuat Manda sedikit menjerit, tapi tidak dengan ekspresi takut atau sedih. Dia malah terlihat senang dengan perlakuan lelaki itu. "Apakah aku harus gagal terus agar kau memperlakukanku dengan sedikit kasar?" tanya Manda masih tersenyum. "Rasanya sudah lama juga kita tidak bermain seperti ini." "Kau memang gila." Gery tidak segan untuk mencibir. "Tapi kalau kau menging