“Mama barusan bilang apa?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Kami sudah setuju dengan pernikahannya, dan katanya kita juga tidak perlu keluar uang untuk barang hantaran. Katanya pestanya akan sederhana saja, dan kita juga dikasih uang.” Vanessa makin melotot mendengar apa yang dikatakan mamanya itu. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak, kecuali bagian yang paling terakhir. Sungguh, Vanessa tidak pernah berpikir orang tuanya akan meminta uang. “Kalian yang minta kan?” tanya Vanessa makin melotot saja. “Mama ngaku saja, pasti Bapak yang minta uang kan? Terus Mama setuju begitu saja kan?” “Mereka kan gak mau pesta besar, jadi harus ada kompensasi buat kita dong. Lagian tidak banyak kok, hanya lima juta saja. Mereka sepertinya tidak terlalu kaya, tapi cukuplah untuk biaya listrik, air dan wifi.” Mata Vanessa melotot mendengar nominal yang disebutkan ibunya. Itu adalah jumlah yang sangat besar bagi Vanessa, apalagi bagi keluarga Jovi bukan? Memang Jovi terlihat seperti
“Aku sama sekali tidak tahu kalau seleramu sudah berubah drastis.” Seorang perempuan muda, mendekat ke meja yang ditempati Jovi dan Vanessa. “Vanessa kenalkan.” Alih-alih membalas perempuan di depannya, Jovi memilih untuk memperkenalkan istrinya. “Ini adalah sepupuku dari pihak papa. Sekedar informasi, aku punya sangat banyak sepupu.” “Aku lihat istrimu juga punya banyak saudara,” tambah sepupu Jovi dengan wajah mencibir. “Halo salam kenal.” Vanessa mengulurkan tangan dengan baik hati. “Aku Vanessa.” Bukannya mendapat balasan, tangan Vanessa malah tidak disambut sama sekali. Hal yang membuat mempelai wanita itu, memilih untuk menarik tangannya lagi. “Setelah perempuan emo, sekarang perempuan gendut yang jelek?” Jovi dan Vanessa serentak mendelik ke arah si sepupu perempuan tadi. Hal yang jelas membuat sepupu Jovi itu tertawa cukup keras, sampai beberapa orang sampai berbalik menatap mereka. “Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kenapa pilihanmu selalu jelek?” “Dengar.
“Halo, maaf kalau aku mungkin mengganggu.” Sang tamu menyapa dengan ramah. “Mungkin?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. “Kau masih mengatakan mungkin, ketika mengganggu malam pertama pengantin baru?” “Sekali lagi, maaf.” Kali ini si tamu sedikit menunduk. “Lagi pula, ini belum cukup malam untuk memulai kan?” “Jovi sudah.” Sebelum suaminya mengatakan sesuatu, Vanessa segera menghentikan. “Tidak usah semarah itu, dia ini kakakku.” “Kakak katamu?” tanya Jovi makin melotot saja. “Perkenalkan namaku Benigno, panggil saja Ben. Salah satu kakaknya Vanessa.” Yang empunya nama mengulurkan tangan dengan ekspresi ramah. “Panggil saja Jovi.” Mau tidak mau, sang dokter ikut mengulurkan tangan. Dia tidak mungkin kurang ajar pada kakak ipar kan? “Kak Ben kok baru datang sekarang?” Vanessa bertanya dengan senyum lebar yang terlihat tulus. “Padahal acara sudah selesai.” “Maaf.” Ben meringis pelan. “Pesawatnya delay, dan jalanan macet. Mungkin terdengar seperti alasan
“Ke mana saja kau tiba-tiba cuti?” Vanessa menoleh menatap atasan langsungnya dengan ekspresi lesu. Padahal dia hanya cuti sehari saja untuk menikah kilat, tapi coba lihat reaksi Meghan itu? Seolah Vanessa cuti mendadak selama sebulan saja. “Saya ada urusan keluarga, Bu.” Vanessa menjawab seadanya saja. “Kebetulan tiba-tiba juga.” “Urusan keluarga apa yang bisa tiba-tiba?” tanya Meghan dengan mata menyipit. “Kau tidak sedang mengada-ada kan?” “Ya banyaklah, Bu. Misalnya orang tua sakit, ada keluarga yang meninggal, ada nikahan tiba-tiba. Yang namanya urusan keluarga ya banyak.” Meghan melotot mendengar pernyataan blak-blakan Vanessa barusan. Bahkan bisa dibilang, perempuan gempal itu menyumpahi ada keluarganya yang meninggal. “Yang jelas, tidak mungkin kau yang menikah,” gumam Meghan, sebelum beranjak ke tempat duduknya. Vanessa hanya bisa mengedikkan bahu, kemudian dia pergi duduk di tempatnya. Inginnya sih mengatakan kalau sekarang dia sudah jadi istri orang, tap
“Loh, tidak bisa begitu dong Bu Meghan.” Vanessa langsung protes, sampai berdiri dari kursinya. “Dari awal kan aku yang mengurusi Hospitalia, bahkan aku juga yang meyakinkan mereka untuk mengambil kredit di kita.” “Tapi kau cuti, ketika mereka sedang buru-buru. Memangnya aku bisa apa kalau begitu?” tanya Meghan dengan kedua alis yang menjungkit naik. Vanessa menggeram kesal mendengar apa yang dikatakan oleh atasan langsungnya itu. Hal yang sebenarnya cukup masuk akal, dan membuat Vanessa tidak bisa banyak membalas. Tapi tetap saja hal itu membuatnya sakit hati. “Nah, sekarang duduklah dengan tenang dan mulailah mencari nasabah baru,” ucap Meghan dengan senyum lebar. Setelah yakin Vanessa sudah duduk dengan baik, dan tidak menatapnya. Barulah Meghan mengetik cepat di ponselnya, sambil melirik Vanessa. [Marketing 1: Ambil alih berkas kredit rumah sakit itu dari Vanessa sekarang juga.] *** “Kenapa kau ada di sini?” Jovi mendongak mendengar suara yang dikenali itu, hanya untuk mem
“Vanessa, ada yang mencarimu di bawah.” Seseorang berteriak. “Hah? Siapa?” Vanessa yang baru saja ingin duduk, mengerutkan kening. “Gak tahu, tapi orangnya bapak-bapak. Tipikal om-om ganteng yang bisa jadi sugar dady gitu.” “Hei, bisakah kau mengatakannya dengan lebih baik?” Vanessa jelas saja akan menegur, karena apa yang dikatakan temannya bisa menggiring opini negatif. “Maaf, soalnya dia tampan. Aku jadi ingin mendekatinya.” Bukannya menyesal, rekan kerjanya itu malah tertawa mesum. Vanessa hanya bisa menghela napas lelah. Padahal masalahnya tentang pekerjaan belum selesai, kini datang lagi masalah lain. Untung saja Vanessa mengingat kalau dia ada janji dengan ayah mertuanya. “Aku akan pergi makan siang di luar. Apa ada yang mau menitip?” tanya Vanessa dengan baik hati. “Titip salam saja untuk papa gulamu,” sahut Meghan dengan senyum mencemooh. “Mungkin aku bisa kecipratan dapat tas mahal.” “Bermimpilah setinggi langit,” desis Vanessa tentu hanya berani dalam suara kecil,
“Apa itu betul?” Vanessa melirik Ardy yang langsung menyapanya dengan pertanyaan, ketika sudah waktunya jam pulang kantor. Pertanyaan yang dia dengar itu terlalu ambigu. “Apa tadi kau kencan ganda dengan Bu Meghan?” ulang Ardy dengan lebih detail. “Kencan ganda dari Hong Kong?” hardik Vanessa dengan mata melotot. “Lalu? Apa yang kalian lakukan bersama?” Ardy kembali bertanya dengan raut wajah bingung. “Bu Meghan kan jalan sama mantanmu.” “Kenapa kau bertanya padaku?” Vanessa masih setia melotot. “Tanya saja pada dua orang brengsek itu. Padahal mereka tidak diundang, tapi malah memaksa bergabung di mejaku.” “Kalau begitu, tadi kau pergi dengan siapa?” Kali ini Vanessa berdecak mendengar pertanyaan sang rekan kerja. Dia tidak mungkin jujur, karena tidak akan ada yang percaya. Apalagi, Vanessa memang tidak mengundang siapa pun selain keluarganya saja. “Orang itu keluargaku.” Akhirnya hanya itu saja yang bisa dia katakan. “Dia orang yang sibuk, tapi ketika ada waktu dia akan m
“Rupanya kau membawa tamu ya, Jo,” gumam Manda dengan senyum kecut. “Siapa mereka?” “Siapa katamu?” tanya Cindy dengan mata melotot. “Harusnya itu pertanyaanku.” Alih-alih menanggapi pertanyaan perempuan paruh baya di depannya, Manda malah menatap satu-satunya lelaki yang ada di sana. Dia bahkan melipat kedua tangan di depan dada, dan memperlihatkan wajah kesal. “Kau tidak mau memberi tahuku?” tanya Manda tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk, apalagi kini dia tidak menggunakan make up seperti biasanya. Jovi tidak menjawab, dan hanya bisa berdehem pelan. Jujur saja, penampilan Manda yang polos membuatnya sedikit terkejut. Sang mantan jadi jauh lebih cantik dan terlihat lebih baik. “Jovi.” Cindy menegur putranya. “Apa kau tidak mau mengusir perempuan ini dari apartemenmu? Kau membiarkan perempuan lain masuk ke dalam rumahmu, bahkan ketika kau sudah beristri?” “Maaf istri?” tanya Manda dengan mata melotot. “Sejak kapan Jovi menikah, apalagi dengan ....” Perem