“Apa itu betul?” Vanessa melirik Ardy yang langsung menyapanya dengan pertanyaan, ketika sudah waktunya jam pulang kantor. Pertanyaan yang dia dengar itu terlalu ambigu. “Apa tadi kau kencan ganda dengan Bu Meghan?” ulang Ardy dengan lebih detail. “Kencan ganda dari Hong Kong?” hardik Vanessa dengan mata melotot. “Lalu? Apa yang kalian lakukan bersama?” Ardy kembali bertanya dengan raut wajah bingung. “Bu Meghan kan jalan sama mantanmu.” “Kenapa kau bertanya padaku?” Vanessa masih setia melotot. “Tanya saja pada dua orang brengsek itu. Padahal mereka tidak diundang, tapi malah memaksa bergabung di mejaku.” “Kalau begitu, tadi kau pergi dengan siapa?” Kali ini Vanessa berdecak mendengar pertanyaan sang rekan kerja. Dia tidak mungkin jujur, karena tidak akan ada yang percaya. Apalagi, Vanessa memang tidak mengundang siapa pun selain keluarganya saja. “Orang itu keluargaku.” Akhirnya hanya itu saja yang bisa dia katakan. “Dia orang yang sibuk, tapi ketika ada waktu dia akan m
“Rupanya kau membawa tamu ya, Jo,” gumam Manda dengan senyum kecut. “Siapa mereka?” “Siapa katamu?” tanya Cindy dengan mata melotot. “Harusnya itu pertanyaanku.” Alih-alih menanggapi pertanyaan perempuan paruh baya di depannya, Manda malah menatap satu-satunya lelaki yang ada di sana. Dia bahkan melipat kedua tangan di depan dada, dan memperlihatkan wajah kesal. “Kau tidak mau memberi tahuku?” tanya Manda tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk, apalagi kini dia tidak menggunakan make up seperti biasanya. Jovi tidak menjawab, dan hanya bisa berdehem pelan. Jujur saja, penampilan Manda yang polos membuatnya sedikit terkejut. Sang mantan jadi jauh lebih cantik dan terlihat lebih baik. “Jovi.” Cindy menegur putranya. “Apa kau tidak mau mengusir perempuan ini dari apartemenmu? Kau membiarkan perempuan lain masuk ke dalam rumahmu, bahkan ketika kau sudah beristri?” “Maaf istri?” tanya Manda dengan mata melotot. “Sejak kapan Jovi menikah, apalagi dengan ....” Perem
“Aku rasa kita harus bicara,” gumam Jovi setelah hanya tinggal dia dan Vanessa saja di rumah. “Kau sedang bicara,” jawab perempuan yang sedang duduk di depan meja rias itu. “Maksudku ... bicara serius, dalam durasi yang cukup lama. Apa kau ada waktu?” Jovi mengulang pertanyaannya disertai dengan desisan pelan. “Bicara saja. Aku mendengarkan kok. Kegiatanku menggunakan skincare, tidak membuatku tuli.” Mendengar tanggapan itu, Jovi yang berdiri di depan pintu kamar sang istri, segera melangkah masuk. Dia perlu duduk, untuk mengatakan apa pun itu yang ada di dalam kepalanya. Pinggiran ranjang, menjadi pilihan untuk bokongnya bersandar. “Dari pada tidur di kamar terpisah, bagaimana kalau kita tidur di kamar yang sama saja?” tanya Jovi tanpa ragu. “Tentu saja ini demi terlihat baik di mata Mama, apalagi dia sepertinya akan sering datang dengan tiba-tiba,” lanjut Jovi dengan cepat. “Dia akan curiga kalau barangmu berada di kamar tamu, dan aku tidak ingin mengambil kesempata
“Sialan,” desis Jovi cukup keras. “Dasar perempuan maniak.” Lelaki itu dengan cepat membuka pakaiannya satu per satu, kemudian melangkah mendekat ke arah tuas shower. Jovi sedang butuh untuk menenangkan diri dengan menggunakan air dingin. “Bagaimana mungkin dia meminta hal seperti itu pada seorang pria?” gumam Jovi seorang diri. “Jelas ada yang salah di otaknya.” Jovi menggeram marah, ketika mengingat apa yang terjadi barusan. Dia tentu saja menolak ajakan tidur itu mentah-mentah, tapi bukan berarti dia tidak memikirkannya. Jujur saja, itu tawaran yang patut dipikirkan. “Kenapa kau mandi lama sekali?” Vanessa menyambut, ketika yang empunya kamar keluar dari kamar mandi. “Apa yang kau lakukan di sini?” hardik Jovi berusaha menutupi dirinya dengan handuk. Dia tadi hanya menggunakan sepotong handuk, untuk menutupi area pribadi. Handuk kedua yang kebetulan saja masih ada dalam keranjang cucian, dia gunakan untuk menutup tubuh atasnya yang telanjang. “Kau memintaku untuk tidur di
“Aku tidak sengaja,” pekik Jovi dengan wajah sembap dan rambut berantakan. “Tidak sengaja bagaimana?” hardik Vanessa dengan mata melotot, juga dengan penampilan berantakan. “Bagaimana mungkin kau yang tadinya tidur di atas lantai, bisa tidur di atasku.” “Aku juga tidak tahu,” pekik Jovi sangat frustrasi. “Aku hanya tertidur dan bangun ketika kau memukuliku tadi.” “Dasar sampah. Mengaku tidak mau, tapi malah menyerangku saat tidur.” Vanessa jelas saja akan mencibir, sembari menarik selimut menutupi tubuhnya. “Hei, aku tidak menyerangmu.” Karena kesal, Jovi pada akhirnya menunjuki perempuan yang membuatnya kesal itu. “Aku hanya tidak sengaja naik ke atas ranjang, dan menindihmu ketika tidur.” “Catat baik-baik! Hanya menindihmu ketika tidur. Aku dan kau tertidur dengan posisi kau yang menjadi ranjang, itu saja tidak lebih! Lagi pula, bukankah kemarin kau yang menawari? Kenapa sekarang seolah aku yang dituduh?” Suara Jovi sedikit memelan, ketika menyadari kesalahan yang t
“Coba lihat itu.” Seseorang berbisik dengan cukup keras. “Bukan hanya lelaki, tapi sepertinya Vanessa juga menerima pelanggan perempuan.” Vanessa yang mendengar hal itu, tentu saja hanya bisa mengembuskan napas panjang. Padahal dia berpikir harinya akan sedikit lebih tenang, tapi malah ada badai gosip lain yang menerjang. Terlebih ada dua badai yang datang. “Nes.” Cindy datang menghampiri, dan segera menggenggam tangan menantunya. “Kok melamun sih, Sayang?” “Cuma kaget saja kok, Ma,” jawab Vanessa diiringi dengan ringisan. “Kok tiba-tiba ada di sini.” “Soalnya si Jovi kan lagi ada jadwal gym, kuliah dan praktik malam.” Cindy tentu saja akan menjelaskan. “Jadi hari ini, biar Mama yang temani di rumah.” Vanessa makin meringis ketika mama mertuanya mengatakan hal itu. Pasalnya, teman-teman yang masih tinggal di kantor, mulai meliriknya dengan tatapan aneh dan suara tawa mengejek. Bahkan ada yang sampai melambai pada Cindy, berusaha menjadi sok sopan padahal ingin mengejek. Bahkan
“Apa kau bertengkar dengan Manda?” Jovi mendongak ketika mendengar suara yang sudah familier di telinganya. Sesuai dugaan, dia melihat seseorang yang sudah dia kenal sejak lama, bahkan sudah tahu segala baik buruknya seorang Joviandri. “Kami putus,” jawab Jovi melempar pena yang dia pegang. “Serius?” Lelaki yang barusan masuk, kini duduk di depan meja berantakan sang dokter. “Pantas dia terus menerorku, karena tidak bisa menghubungimu.” “Amat sangat serius.” “Tapi kalian pasti akan balikan lagi kan?” Sang dokter mengembuskan napas pelan, sebelum pada akhirnya menggeleng. Sesuatu yang membuat lelaki di depannya langsung tertawa cukup keras. “Hei, apa yang kau tertawakan?” hardik si dokter dengan mata melotot. “Tentu saja kau, teman.” Teman Jovi masih tertawa. “Memangnya sudah berapa kali aku mendengar kau mengatakan putus dan mungkin tidak akan kembali lagi?” Jovi menghela napas cukup keras, bahkan mengacak rambutnya. Yang dikatakan sang sahabat sama sekali tidak salah. Meman
“Dia benar-benar tidak pulang?” gumam Vanessa melihat rumahnya masih gelap. Ralat, rumah yang dia tempati bersama Jovi selama menikah. “Padahal kemarin bilangnya mau pulang pagi, tapi sekarang sudah malam lagi dan masih belum ada orang yang memakan makananku.” Vanessa mengeluh, ketika melihat masih ada mangkuk tertutup di atas counter dapur. Vanessa mengembuskan napas, ketika mendapati salad yang tadi subuh dia buat sudah basi. Padahal dia sudah susah payah bangun lebih cepat untuk menyiapkan sarapan. “Maaf karena harus dibuang,” gumam Vanessa sebelum menuang isi mangkuk ke dalam tong sampah basah. “Aku menyesal sudah mencampur mayonaise.” Setelah merapikan dapur yang tidak terlalu berantakan, Vanessa memilih untuk menghubungi Jovi terlebih dulu. Setidaknya, dia perlu tahu kapan si pemilik rumah akan pulang. “Sebenarnya kapan kau berniat untuk pulang?” tanya Vanessa, begitu teleponnya diangkat. “Maaf, aku sedang ada urusan,” jawab Jovi dari seberang sambungan telepon. “Itu tid
“Jovi berhenti.” Vanessa berusaha keras menarik tangan suaminya, yang tampak masih ingin memukul. Sayangnya, Jovi tidak terlihat ingin berhenti. Padahal, Ardy sudah terjatuh dari motor dan beberapa orang sudah mulai berkumpul sembari memegang ponsel. Tidak ada yang terlalu berniat untuk merelai, karena lebih memilih untuk membuat video viral. “Jovi aku mohon.” Kali ini, Vanessa berusaha untuk memeluk suaminya dan berhasil. “Jika kau tidak ingin mamamu makin membenciku, tolong jangan lakukan ini.” Mendengar kata ibu disebut, Jovi langsung terhenti. Sang dokter bahkan terlihat membeku untuk sesaat, sebelum akhirnya mencoba untuk mengatur napas dan emosinya yang tidak stabil. “Ardy, kau tidak apa-apa?” Melihat suaminya sudah tenang, Vanessa beranjak untuk melihat rekan kerjanya itu. Tapi baru juga satu langkah, tangannya sudah ditahan. “Kau masih mau melihat kondisi bajingan itu?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Kau menyerang orang dengan tiba-tiba, Vi.” Tentu saja Vanessa akan
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt
“Jadi Bu Meghan menilaiku seperti itu ya?” Vanessa mengangguk pelan. “Memang kenyataannya seperti itu, Vanessa. Itu bukan hanya sekedar penilaianku,” balas Meghan dengan sombongnya. “Tapi lebih rendah yang mana?” Tiba-tiba saja Vanessa berdiri dan tersenyum dengan lebar. “Tidur dengan pacar sendiri, atau tidur dengan pacar orang? Leher Bu Meghan punya lebih banyak bekas merah loh waktu itu. Mau saya tunjukkan fotonya?” “Apa maksudmu dengan itu?” Meghan memukul meja dengan wajah yang memerah karena marah dan bercampur sedikit malu. “Semua orang di sini juga tahu faktanya, Bu.” Vanessa menantang dengan melipat tangan di depan dada. “Rocky itu awalnya pacarku yang Bu Meghan tikung entah dengan cara apa. Mungkin dengan membuka kaki di depannya.” “Kau ....” Meghan menunjuk perempuan gempal di depannya menggunakan jari telunjuk berkuku panjang. Bahkan kuku itu n