Permintaan yang wow 😱
“Sialan,” desis Jovi cukup keras. “Dasar perempuan maniak.” Lelaki itu dengan cepat membuka pakaiannya satu per satu, kemudian melangkah mendekat ke arah tuas shower. Jovi sedang butuh untuk menenangkan diri dengan menggunakan air dingin. “Bagaimana mungkin dia meminta hal seperti itu pada seorang pria?” gumam Jovi seorang diri. “Jelas ada yang salah di otaknya.” Jovi menggeram marah, ketika mengingat apa yang terjadi barusan. Dia tentu saja menolak ajakan tidur itu mentah-mentah, tapi bukan berarti dia tidak memikirkannya. Jujur saja, itu tawaran yang patut dipikirkan. “Kenapa kau mandi lama sekali?” Vanessa menyambut, ketika yang empunya kamar keluar dari kamar mandi. “Apa yang kau lakukan di sini?” hardik Jovi berusaha menutupi dirinya dengan handuk. Dia tadi hanya menggunakan sepotong handuk, untuk menutupi area pribadi. Handuk kedua yang kebetulan saja masih ada dalam keranjang cucian, dia gunakan untuk menutup tubuh atasnya yang telanjang. “Kau memintaku untuk tidur di
“Aku tidak sengaja,” pekik Jovi dengan wajah sembap dan rambut berantakan. “Tidak sengaja bagaimana?” hardik Vanessa dengan mata melotot, juga dengan penampilan berantakan. “Bagaimana mungkin kau yang tadinya tidur di atas lantai, bisa tidur di atasku.” “Aku juga tidak tahu,” pekik Jovi sangat frustrasi. “Aku hanya tertidur dan bangun ketika kau memukuliku tadi.” “Dasar sampah. Mengaku tidak mau, tapi malah menyerangku saat tidur.” Vanessa jelas saja akan mencibir, sembari menarik selimut menutupi tubuhnya. “Hei, aku tidak menyerangmu.” Karena kesal, Jovi pada akhirnya menunjuki perempuan yang membuatnya kesal itu. “Aku hanya tidak sengaja naik ke atas ranjang, dan menindihmu ketika tidur.” “Catat baik-baik! Hanya menindihmu ketika tidur. Aku dan kau tertidur dengan posisi kau yang menjadi ranjang, itu saja tidak lebih! Lagi pula, bukankah kemarin kau yang menawari? Kenapa sekarang seolah aku yang dituduh?” Suara Jovi sedikit memelan, ketika menyadari kesalahan yang t
“Coba lihat itu.” Seseorang berbisik dengan cukup keras. “Bukan hanya lelaki, tapi sepertinya Vanessa juga menerima pelanggan perempuan.” Vanessa yang mendengar hal itu, tentu saja hanya bisa mengembuskan napas panjang. Padahal dia berpikir harinya akan sedikit lebih tenang, tapi malah ada badai gosip lain yang menerjang. Terlebih ada dua badai yang datang. “Nes.” Cindy datang menghampiri, dan segera menggenggam tangan menantunya. “Kok melamun sih, Sayang?” “Cuma kaget saja kok, Ma,” jawab Vanessa diiringi dengan ringisan. “Kok tiba-tiba ada di sini.” “Soalnya si Jovi kan lagi ada jadwal gym, kuliah dan praktik malam.” Cindy tentu saja akan menjelaskan. “Jadi hari ini, biar Mama yang temani di rumah.” Vanessa makin meringis ketika mama mertuanya mengatakan hal itu. Pasalnya, teman-teman yang masih tinggal di kantor, mulai meliriknya dengan tatapan aneh dan suara tawa mengejek. Bahkan ada yang sampai melambai pada Cindy, berusaha menjadi sok sopan padahal ingin mengejek. Bahkan
“Apa kau bertengkar dengan Manda?” Jovi mendongak ketika mendengar suara yang sudah familier di telinganya. Sesuai dugaan, dia melihat seseorang yang sudah dia kenal sejak lama, bahkan sudah tahu segala baik buruknya seorang Joviandri. “Kami putus,” jawab Jovi melempar pena yang dia pegang. “Serius?” Lelaki yang barusan masuk, kini duduk di depan meja berantakan sang dokter. “Pantas dia terus menerorku, karena tidak bisa menghubungimu.” “Amat sangat serius.” “Tapi kalian pasti akan balikan lagi kan?” Sang dokter mengembuskan napas pelan, sebelum pada akhirnya menggeleng. Sesuatu yang membuat lelaki di depannya langsung tertawa cukup keras. “Hei, apa yang kau tertawakan?” hardik si dokter dengan mata melotot. “Tentu saja kau, teman.” Teman Jovi masih tertawa. “Memangnya sudah berapa kali aku mendengar kau mengatakan putus dan mungkin tidak akan kembali lagi?” Jovi menghela napas cukup keras, bahkan mengacak rambutnya. Yang dikatakan sang sahabat sama sekali tidak salah. Meman
“Dia benar-benar tidak pulang?” gumam Vanessa melihat rumahnya masih gelap. Ralat, rumah yang dia tempati bersama Jovi selama menikah. “Padahal kemarin bilangnya mau pulang pagi, tapi sekarang sudah malam lagi dan masih belum ada orang yang memakan makananku.” Vanessa mengeluh, ketika melihat masih ada mangkuk tertutup di atas counter dapur. Vanessa mengembuskan napas, ketika mendapati salad yang tadi subuh dia buat sudah basi. Padahal dia sudah susah payah bangun lebih cepat untuk menyiapkan sarapan. “Maaf karena harus dibuang,” gumam Vanessa sebelum menuang isi mangkuk ke dalam tong sampah basah. “Aku menyesal sudah mencampur mayonaise.” Setelah merapikan dapur yang tidak terlalu berantakan, Vanessa memilih untuk menghubungi Jovi terlebih dulu. Setidaknya, dia perlu tahu kapan si pemilik rumah akan pulang. “Sebenarnya kapan kau berniat untuk pulang?” tanya Vanessa, begitu teleponnya diangkat. “Maaf, aku sedang ada urusan,” jawab Jovi dari seberang sambungan telepon. “Itu tid
“Astaga!” Vanessa menepuk keningnya, ketika membaca pesan yang baru saja dia baca. “Sepertinya aku harus pulang lebih cepat.” “Loh? Kenapa?” Ardy langsung menoleh karena kaget. “Aku ada sedikit urusan,” gumam Vanessa disertai dengan ringisan pelan. “Maaf karena tidak bisa ikut makan malam tim kali ini.” Setelah mengatakan itu, Vanessa segera membereskan barang-barangnya. Dia yang baru saja selesai lembur, masih punya banyak kertas yang menumpuk. Alhasil, waktu membereskan meja jadi lebih lambat. “Kenapa kau lama sekali?” Lelaki berhelm, menyapa Vanessa ketika dia sudah berada di luar gedung kantor. “Kau sendiri kenapa tiba-tiba datang menjemput?” balas Vanessa dengan mata melotot. “Bukankah kau punya pasien darurat? Lagi pula, tumben naik motor?” “Naik motor jelas lebih mudah,” jawab Jovi dengan santainya. “Lagi pula, pasiennya sudah membaik.” Apa yang dikatakan oleh Jovi seratus persen benar. Dia tadi mendapat pesan dari Manda dan mengetahui perempuan itu sudah ba
[Vanessa MD: Apa maksudnya, ketika seorang lelaki mengungkit masakan mantannya?] Vanessa menatap pesan yang dia kirimkan di grup chat-nya. Sudah beberapa lama, tapi belum ada yang membalas. Hal yang membuatnya ingin segera menghapus pesan itu, selagi belum ada yang membaca. “Oh, Kak Ben kirim pesan.” Sayangnya, sebelum Vanessa menghapus pesan yang dimaksud, pesan lain masuk. Hal yang membuatnya melupakan pesan gila yang dia kirim. [Brother Ben: Hai, adik cantikku. Bagaimana harinya? Apa ada waktu senggang?] “Ih, apaan sih,” gumam Vanessa dengan bibir mencebik. “Ini Kak Ben gombal banget deh.” Walau tampak kesal karena kakaknya agak berlebihan, Vanessa tetap menekan tombol untuk menelepon. Dia jauh lebih senang mengobrol, dibanding mengirim pesan. Tentu saja selain dengan teman-temannya yang sangat ribut itu. “Kenapa Kak Ben?” tanya Vanessa disertai dengan senyum lebar di wajahnya. “Mau ngajak aku makan siang di luar kah?” “Dibanding makan siang, bagaimana kalau makan malam sa
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” hardik seorang lelaki paruh baya. “Padahal berkas yang kami tanda tangani itu hanya bernilai sepuluh milyar, tapi kenapa sekarang berubah jadi lima belas?” “Sudah itu, ini bukan tanda tangan dari pihak kami. Serupa, tapi tidak sama.” Lelaki tadi, melempar tumpukan kertas di atas meja. “Maaf, Pak.” Mau tidak mau, Vanessa menundukkan kepala. “Pihak kami sepertinya melakukan sedikit kesalahan.” “Itulah kenapa aku enggan ketika bukan kau yang mengurus,” dengus lelaki paruh baya tadi. “Anak baru tidak pernah teliti mengerjakan berkas, belum lagi berbohong tentang kau yang cuti.” “Maaf Pak, tapi itu bukan saya yang ....” Vanessa memegang tangan juniornya yang terkepal di atas pangkuan. Memang bukan salah anak itu, tapi untuk sekarang ini lebih baik diam saja. Membantah, hanya akan menambah masalah lain. “Nanti akan saya coba bicarakan lagi dengan teman dan atasan saya ya, Pak.” Vanessa memberikan senyum termanisnya. “Tapi mohon untuk t
"Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora
"Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia
"Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d
"Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it
"Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir
"Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Ardy?" Aurora menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan praktiknya dan langsung memutar mata karena gemas dan kesal. Hanya ada satu orang yang bisa membuat dia kesal, terutama saat jam kerja seperti sekarang. "Tidak bisakah kau berhenti menyelinap ke ruanganku, saat aku sedang bekerja?" Aurora tidak segan untuk menegur, sekalipun dia adalah menantu direktur. Yap. Penyusup itu adalah Vanessa. "Aku tidak menyelinap." Vanessa membantah dan segera duduk di kursi yang tersedia di depan meja dokter. "Aku mendaftar untuk bertemu denganmu tahu." "Sepertinya staff keuangan sangat kekurangan pekerjaan ya?" tanya Aurora dengan nada mengejek. "Bagaimana mungkin kau bisa berkeliaran saat jam kerja seperti sekarang? Kalau ingin bermain, bukankah lebih baik kau mencari Jovi?" "Pekerjaanku sudah selesai." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Entah kenapa, pekerjaan di rumah sakit sebesar ini tidak begitu banyak. Lalu soal Jov
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Aurora dengan kedua terlipat di depan dada. "Aku ini pasien loh. Masa kau memperlakukan pasien sejutek itu?" tanya Ardy yang sudah duduk di atas ranjang pasien dengan santainya. "Pasien apanya?" hardik Aurora terdengar kesal. "Kau jelas-jelas terlihat sangat sehat, berbeda dengan saat kau pertama kali datang ke sini." "Tapi aku benar-benar sakit." Ardy bersikeras. "Kalau begitu, bagian mana yang sakit?" Mau tidak mau, Aurora akhirnya bangkit dengan sneli yang dia pegang dengan erat. "Kalau aku tidak menemukan ada penyakit, maka aku akan memukulmu." "Kalau penyakit sih tidak ada, tapi aku terluka." Ardy tiba-tiba saja mengangkat kakinya. Dia tidak perlu menggulung celana untuk menunjukkan luka, karena hari ini menggunakan celana pendek. "Luka apa ini?" tanya Aurora dengan kening berkerut. Kini dia mulai terlihat serius. "Bukankah ini luka bekas gigitan hewan?" "Benar." Ardy mengangguk tanpa ragu. "Tadi pagi, aku digigit anjing tetangga." "
"Aurora dan Ardy?" tanya Jovi dengan sebelah alis terangkat. "Apa aku tidak salah dengar?" "Sama sekali tidak." Vanessa menggeleng pelan. "Soalnya, aku kemarin melihat interaksi lucu mereka dan itu menggemaskan. Sepertinya mereka akan cocok." Kening Jovi berkerut menatap istri yang dia peluk. Mereka sedang bersantai di atas ranjang, setelah menghabiskan malam panas bersama. Jovi sih masih ingin sekali lagi, tapi memilih menahan diri karena istrinya lelah. Alhasil mereka hanya berpelukan saja. "Tapi bagiku itu tetap aneh." Sayangnya, pikiran Jovi berbeda dengan sang istri. "Aku rasa sifat mereka bertolak belakang dan bisa memicu konflik." "Memangnya sifat kita tidak bertolak belakang?" Vanessa malah memukul dada bidang sang suami. "Sama sekali tidak." Jovi menyangkal dengan entengnya. "Kita sama-sama orang yang senang cari ribut." "Heh, aku tidak seperti itu ya." Kali ini Vanessa bukan memukul lagi, tapi mencubit. Tentu saja rasanya sakit, tapi Jovi hanya bisa meringis