[Cinta B: BERANI-BERANINYA KAU MENIKAH TANPA MEMBERITAHU KAMI!] Vanessa mengembuskan napas panjang, ketika membaca pesan pada grup chat teman-temannya. Dia tahu suatu hari akan ketahuan, tapi tidak menyangka akan secepat ini. Padahal, tadi dia sudah berhasil lolos dari pertanyaan Putri. Saat di rumah sakit tadi, sang ayah mertua dipanggil oleh entah siapa. Itu yang membuatnya bisa lolos dan memberikan jawaban yang ambigu. “Ini Jovi dan itu tadi ayahnya.” Itulah yang diucapkan Vanessa dengan senyum kikuk. Untung saja Jovi bisa diajak bekerja sama. Lagi pula, Jovi juga harus segera pergi. [Vanessa MD: Maaf, soalnya itu sangat tiba-tiba. Tapi, dari mana kau tahu?] [Erika WJ: Wah, tidak benar ini. Sudah tidak mengundang, tiba-tiba lagi.] [Lydia A: Hm. Mencurigakan sekali.] [Vanessa MD: Kalau mau diceritakan, agak panjang untuk diketik. Intinya, aku terjebak dalam pernikahan ini. Detailnya, nanti kita ketemuan saja.] “Apa yang membuatmu sangat bersemangat mengetik?”
“Ya, Tuhan! Apa yang terjadi padaku?” desis Jovi yang tiba-tiba saja bangun dari posisi tidurnya, kemudian menggaruk kepala dengan keras. Setelah duduk pun, Jovi tidak lantas berhenti menggaruk kepala. Dia bahkan melakukannya lebih keras lagi, walau tidak ada rasa gatal. “Jangan menoleh. Jangan menoleh.” Sang dokter bergumam pelan seorang diri, mencoba menyugesti diri sendiri. Sayang sekali, upaya itu gagal dia lakukan. Pada akhirnya, kepala Jovi berputar untuk menatap perempuan yang sedang terlelap di atas ranjangnya. “Dia itu sebenarnya cantik ya,” gumam Jovi tanpa sadar, sembari memperhatikan wajah Vanessa dalam keremangan. Cahaya lampu tidur yang memantul di wajah bulat manis itu, membuat yang empunya kamar sampai megerutkan kening. Jovi mesampai perlu mencermati garis wajah itu dua kali, sampai tersenyum tipis. Ketika perempuan yang tatap itu membalikkan badan, Jovi bisa melihat bagian yang menggiurkan karena tidak tertutup selimut. Makin menggiurkan karena kerah piyama
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Jovi melirik semua orang yang ada di meja panjang itu. Tentu saja yang duduk di ruangan VIP dengan meja panjang itu sebagian besar adalah teman-teman Vanessa, walau di sana ada juga Ezra yang adalah teman Jovi. Belum ditambah dengan beberapa lelaki lain dan ... balita. “Tentu saja.” Perempuan berambut pendek yang tadi diperkenalkan sebagai Erika yang pertama menjawab. “Kau terlihat seperti lelaki yang tidak bertanggung jawab.” “Maaf?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat. “Katanya dokter, tapi kenapa terlihat serampangan?” Kini seorang ibu hamil yang berbicara, membuat Jovi menatapnya. Kalau tidak salah, tadi namanya Lydia. “Aku kecewa.” Cinta yang berbicara paling akhir. “Padahal aku kenal kalian berdua, tapi tidak ada satu pun yang mengundangku?” Jovi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Sungguh, ini pertama kalinya dia berhadapan dengan begitu banyak orang hanya karena hubungan asmara. Perasaan waktu sama Manda d
[Manda: Maaf, tapi aku lupa kembalikan kartumu. Kalau mau pakai, gimana kalau kau datang ambil saja di kos? Aku lagi sibuk soalnya.] “Mati aku.” Jovi langsung memukul jidatnya cukup keras, sampai membuat sang sahabat yang duduk di depannya mendongak. “Kau belum mengambil kartu itu?” Ezra langsung bertanya tepat pada sasaran. “Menurutmu?” balas Jovi dengan pertanyaan bernada kesal. “Kemarin kau tidak akan meminjam uangku kalau kartunya sudah kembali dan saldomu masih ada,” balas Ezra dengan dua tangan terlipat. “Kau tidak berniat mengambilnya?” “Bagaimana mungkin aku pergi mengambilnya?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Manda itu mantanku dan mamaku bisa jantungan kalau sampai ketahuan kartuku ada padanya.” Ezra hanya bisa mendengus, sembari menyeruput kopinya. Dia dan Jovi sedang berusaha mencari jalan keluar, untuk mengambil karu Manda di hari minggu yang cerah ini. “Itulah kenapa dari awal aku tidak setuju kau memberikan kartu pada Manda. Sekarang, kau kesulitan sendiri kan?
“Apa kau punya waktu di minggu ini?” Hari sudah berganti ke hari Senin, ketika Vanessa bertanya pada suaminya. “Waktu untuk apa dulu?” Jovi yang sudah bersiap ke rumah sakit, mengerutkan kening. “Mama dan Bapak mau bertemu,” ucap Vanessa dengan kepala menunduk dan ekspresi sedih. “Aku bisa sih meluangkan waktu sebentar, tapi kenapa wajahmu terlihat sedih begitu?” Jovi yang bisa merasakan ketidaknyamanan sang istri tentu akan bertanya. “Masa sih?” jawab Vanessa berusaha untuk tersenyum. “Kalau kau tidak mau memberi tahu kegelisahanmu sih tidak masalah, tapi ... kenapa kau memanggil orang tuamu dengan panggilan bapak dan mama?” Setelah sekian lama, Jovi akhirnya bertanya juga. “Kenapa tidak bapak dan ibu, atau papa dan mama saja?” lanjutnya masih terlihat sangat bingung. “Karena bapak itu bukan ayah kandungku,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Anak-anaknya memanggil dia bapak dan aku memanggil ibuku dengan sebutan mama.” Kedua mata Jovi berkedip pelan. Dia sedang mencerna apa saja ya
“Aku tidak tahu siapa kau, tapi berhenti menerorku,” hardik Vanessa ketika mengangkat telepon tidak dikenal. “Aku hanya berusaha menghubungi kakakku.” “Kalau kau menganggap Jovi hanya sebagai kakak, bagaimana kalau kau bercerai saja darinya?” Kening Vanessa langsung berkerut mendengar jawaban dari si penelepon. Dia kemudian menjauhkan ponsel dari telinga, hanya untuk melihat dengan jelas nomor yang tertera di sana. “Maaf, ini siapa ya?” Gagal mengenali nomor yang dia lihat, Vanessa pada akhirnya bertanya. “Apa sekarang kau amnesia atau apa?” tanya si penelepon terdengar sangat kesal. “Aku Manda. Pacarnya Jovi.” “Oh, si Mantan Gamon.” Vanessa akhirnya mengangguk mengerti. “Aku bukan mantan yang gagal move on, Sialan. Aku masih pacar Jovi dan kau yang merebutnya dariku,” hardik Manda terdengar makin kesal saja, bahkan mungkin marah. “Dengar.” Vanessa perlu berbisik untuk berbicara dengan Manda, karena tidak ingin didengar orang lain. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Jovi di
“Eh, lepasin sialan!” Seseorang memekik dengan keras. “Itu kata-kataku brengsek! Kau duluan yang menjambak rambutku.” Kedua alis Jovi langsung terjungkit naik, ketika mendengar suara yang dia kenal. Itu jelas-jelas adalah suara Vanessa. Makin terkejut lagi, ketika dia melihat istrinya sedang saling menarik rambut dengan entah siapa. Padahal dia baru saja sampai di depan kantor sang istri, tapi malah mendapati Vanessa sedang bertengkar. Luar biasa sekali. “Hei, ada apa ini?” Jovi mendekat untuk mencari tahu. “Tidak tahu juga.” Seseorang menjawab. “Tiba-tiba saja mereka saling jambak dan berteriak.” “Lepaskan aku babi penggoda!” Perempuan yang tidak Jovi kenali, berteriak cukup keras. “Aku tidak menggoda siapa pun, Sialan. Dia itu kakakku.” Vanessa balas berteriak. Sebelah alis Jovi terangkat mendengar suara teriakan yang saling bersahutan itu. Sepertinya, dia bisa menduga apa yang terjadi di sini. Tapi kenapa tidak ada yang menghentikan kekacauan ini. “Hei, bisakah kalian ber
“Kakakmu itu kenapa sih?” Begitu sampai ke rumah, Jovi langsung bertanya. “Hah? Memangnya Kak Ben kenapa? Perasaan dia baik-baik saja,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. “Dia memang baik-baik saja, tapi ... tatapannya tadi itu loh.” Jovi agak ragu saat menjelaskan. “Kayak dia tidak suka dengan kedekatan kita.” “Memangnya tadi kita dekat?” Jujur saja, Vanessa merasa bingung dengan pernyataan sang suami. “Ya, iyalah.” Jovi melotot, karena merasa istrinya terlalu aneh. “Memangnya tadi kita tidak gandengan tangan? Terus tadi aku juga sempat memegang rambutmu.” Kening Vanessa berkerut mendengar apa yang dikatakan lelaki yang tampak marah itu. Mereka memang melakukan itu semua, tapi bukankah memang harus seperti itu? Lagi pula, apakah itu terlihat dekat dan mesra? “Aku tidak tahu apa yang kau maksud, tapi aku rasa sekarang tidak penting lagi membahas Kak Ben.” Vanessa segera mengalihkan pembicaraan. “Sekarang aku ingin tahu apakah kau sudah mengurus Manda?” “Dia kenapa lagi?” ta