“Astaga!” Vanessa menepuk keningnya, ketika membaca pesan yang baru saja dia baca. “Sepertinya aku harus pulang lebih cepat.” “Loh? Kenapa?” Ardy langsung menoleh karena kaget. “Aku ada sedikit urusan,” gumam Vanessa disertai dengan ringisan pelan. “Maaf karena tidak bisa ikut makan malam tim kali ini.” Setelah mengatakan itu, Vanessa segera membereskan barang-barangnya. Dia yang baru saja selesai lembur, masih punya banyak kertas yang menumpuk. Alhasil, waktu membereskan meja jadi lebih lambat. “Kenapa kau lama sekali?” Lelaki berhelm, menyapa Vanessa ketika dia sudah berada di luar gedung kantor. “Kau sendiri kenapa tiba-tiba datang menjemput?” balas Vanessa dengan mata melotot. “Bukankah kau punya pasien darurat? Lagi pula, tumben naik motor?” “Naik motor jelas lebih mudah,” jawab Jovi dengan santainya. “Lagi pula, pasiennya sudah membaik.” Apa yang dikatakan oleh Jovi seratus persen benar. Dia tadi mendapat pesan dari Manda dan mengetahui perempuan itu sudah ba
[Vanessa MD: Apa maksudnya, ketika seorang lelaki mengungkit masakan mantannya?] Vanessa menatap pesan yang dia kirimkan di grup chat-nya. Sudah beberapa lama, tapi belum ada yang membalas. Hal yang membuatnya ingin segera menghapus pesan itu, selagi belum ada yang membaca. “Oh, Kak Ben kirim pesan.” Sayangnya, sebelum Vanessa menghapus pesan yang dimaksud, pesan lain masuk. Hal yang membuatnya melupakan pesan gila yang dia kirim. [Brother Ben: Hai, adik cantikku. Bagaimana harinya? Apa ada waktu senggang?] “Ih, apaan sih,” gumam Vanessa dengan bibir mencebik. “Ini Kak Ben gombal banget deh.” Walau tampak kesal karena kakaknya agak berlebihan, Vanessa tetap menekan tombol untuk menelepon. Dia jauh lebih senang mengobrol, dibanding mengirim pesan. Tentu saja selain dengan teman-temannya yang sangat ribut itu. “Kenapa Kak Ben?” tanya Vanessa disertai dengan senyum lebar di wajahnya. “Mau ngajak aku makan siang di luar kah?” “Dibanding makan siang, bagaimana kalau makan malam sa
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” hardik seorang lelaki paruh baya. “Padahal berkas yang kami tanda tangani itu hanya bernilai sepuluh milyar, tapi kenapa sekarang berubah jadi lima belas?” “Sudah itu, ini bukan tanda tangan dari pihak kami. Serupa, tapi tidak sama.” Lelaki tadi, melempar tumpukan kertas di atas meja. “Maaf, Pak.” Mau tidak mau, Vanessa menundukkan kepala. “Pihak kami sepertinya melakukan sedikit kesalahan.” “Itulah kenapa aku enggan ketika bukan kau yang mengurus,” dengus lelaki paruh baya tadi. “Anak baru tidak pernah teliti mengerjakan berkas, belum lagi berbohong tentang kau yang cuti.” “Maaf Pak, tapi itu bukan saya yang ....” Vanessa memegang tangan juniornya yang terkepal di atas pangkuan. Memang bukan salah anak itu, tapi untuk sekarang ini lebih baik diam saja. Membantah, hanya akan menambah masalah lain. “Nanti akan saya coba bicarakan lagi dengan teman dan atasan saya ya, Pak.” Vanessa memberikan senyum termanisnya. “Tapi mohon untuk t
[Cinta B: BERANI-BERANINYA KAU MENIKAH TANPA MEMBERITAHU KAMI!] Vanessa mengembuskan napas panjang, ketika membaca pesan pada grup chat teman-temannya. Dia tahu suatu hari akan ketahuan, tapi tidak menyangka akan secepat ini. Padahal, tadi dia sudah berhasil lolos dari pertanyaan Putri. Saat di rumah sakit tadi, sang ayah mertua dipanggil oleh entah siapa. Itu yang membuatnya bisa lolos dan memberikan jawaban yang ambigu. “Ini Jovi dan itu tadi ayahnya.” Itulah yang diucapkan Vanessa dengan senyum kikuk. Untung saja Jovi bisa diajak bekerja sama. Lagi pula, Jovi juga harus segera pergi. [Vanessa MD: Maaf, soalnya itu sangat tiba-tiba. Tapi, dari mana kau tahu?] [Erika WJ: Wah, tidak benar ini. Sudah tidak mengundang, tiba-tiba lagi.] [Lydia A: Hm. Mencurigakan sekali.] [Vanessa MD: Kalau mau diceritakan, agak panjang untuk diketik. Intinya, aku terjebak dalam pernikahan ini. Detailnya, nanti kita ketemuan saja.] “Apa yang membuatmu sangat bersemangat mengetik?”
“Ya, Tuhan! Apa yang terjadi padaku?” desis Jovi yang tiba-tiba saja bangun dari posisi tidurnya, kemudian menggaruk kepala dengan keras. Setelah duduk pun, Jovi tidak lantas berhenti menggaruk kepala. Dia bahkan melakukannya lebih keras lagi, walau tidak ada rasa gatal. “Jangan menoleh. Jangan menoleh.” Sang dokter bergumam pelan seorang diri, mencoba menyugesti diri sendiri. Sayang sekali, upaya itu gagal dia lakukan. Pada akhirnya, kepala Jovi berputar untuk menatap perempuan yang sedang terlelap di atas ranjangnya. “Dia itu sebenarnya cantik ya,” gumam Jovi tanpa sadar, sembari memperhatikan wajah Vanessa dalam keremangan. Cahaya lampu tidur yang memantul di wajah bulat manis itu, membuat yang empunya kamar sampai megerutkan kening. Jovi mesampai perlu mencermati garis wajah itu dua kali, sampai tersenyum tipis. Ketika perempuan yang tatap itu membalikkan badan, Jovi bisa melihat bagian yang menggiurkan karena tidak tertutup selimut. Makin menggiurkan karena kerah piyama
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Jovi melirik semua orang yang ada di meja panjang itu. Tentu saja yang duduk di ruangan VIP dengan meja panjang itu sebagian besar adalah teman-teman Vanessa, walau di sana ada juga Ezra yang adalah teman Jovi. Belum ditambah dengan beberapa lelaki lain dan ... balita. “Tentu saja.” Perempuan berambut pendek yang tadi diperkenalkan sebagai Erika yang pertama menjawab. “Kau terlihat seperti lelaki yang tidak bertanggung jawab.” “Maaf?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat. “Katanya dokter, tapi kenapa terlihat serampangan?” Kini seorang ibu hamil yang berbicara, membuat Jovi menatapnya. Kalau tidak salah, tadi namanya Lydia. “Aku kecewa.” Cinta yang berbicara paling akhir. “Padahal aku kenal kalian berdua, tapi tidak ada satu pun yang mengundangku?” Jovi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Sungguh, ini pertama kalinya dia berhadapan dengan begitu banyak orang hanya karena hubungan asmara. Perasaan waktu sama Manda d
[Manda: Maaf, tapi aku lupa kembalikan kartumu. Kalau mau pakai, gimana kalau kau datang ambil saja di kos? Aku lagi sibuk soalnya.] “Mati aku.” Jovi langsung memukul jidatnya cukup keras, sampai membuat sang sahabat yang duduk di depannya mendongak. “Kau belum mengambil kartu itu?” Ezra langsung bertanya tepat pada sasaran. “Menurutmu?” balas Jovi dengan pertanyaan bernada kesal. “Kemarin kau tidak akan meminjam uangku kalau kartunya sudah kembali dan saldomu masih ada,” balas Ezra dengan dua tangan terlipat. “Kau tidak berniat mengambilnya?” “Bagaimana mungkin aku pergi mengambilnya?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Manda itu mantanku dan mamaku bisa jantungan kalau sampai ketahuan kartuku ada padanya.” Ezra hanya bisa mendengus, sembari menyeruput kopinya. Dia dan Jovi sedang berusaha mencari jalan keluar, untuk mengambil karu Manda di hari minggu yang cerah ini. “Itulah kenapa dari awal aku tidak setuju kau memberikan kartu pada Manda. Sekarang, kau kesulitan sendiri kan?
“Apa kau punya waktu di minggu ini?” Hari sudah berganti ke hari Senin, ketika Vanessa bertanya pada suaminya. “Waktu untuk apa dulu?” Jovi yang sudah bersiap ke rumah sakit, mengerutkan kening. “Mama dan Bapak mau bertemu,” ucap Vanessa dengan kepala menunduk dan ekspresi sedih. “Aku bisa sih meluangkan waktu sebentar, tapi kenapa wajahmu terlihat sedih begitu?” Jovi yang bisa merasakan ketidaknyamanan sang istri tentu akan bertanya. “Masa sih?” jawab Vanessa berusaha untuk tersenyum. “Kalau kau tidak mau memberi tahu kegelisahanmu sih tidak masalah, tapi ... kenapa kau memanggil orang tuamu dengan panggilan bapak dan mama?” Setelah sekian lama, Jovi akhirnya bertanya juga. “Kenapa tidak bapak dan ibu, atau papa dan mama saja?” lanjutnya masih terlihat sangat bingung. “Karena bapak itu bukan ayah kandungku,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Anak-anaknya memanggil dia bapak dan aku memanggil ibuku dengan sebutan mama.” Kedua mata Jovi berkedip pelan. Dia sedang mencerna apa saja ya
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt
“Jadi Bu Meghan menilaiku seperti itu ya?” Vanessa mengangguk pelan. “Memang kenyataannya seperti itu, Vanessa. Itu bukan hanya sekedar penilaianku,” balas Meghan dengan sombongnya. “Tapi lebih rendah yang mana?” Tiba-tiba saja Vanessa berdiri dan tersenyum dengan lebar. “Tidur dengan pacar sendiri, atau tidur dengan pacar orang? Leher Bu Meghan punya lebih banyak bekas merah loh waktu itu. Mau saya tunjukkan fotonya?” “Apa maksudmu dengan itu?” Meghan memukul meja dengan wajah yang memerah karena marah dan bercampur sedikit malu. “Semua orang di sini juga tahu faktanya, Bu.” Vanessa menantang dengan melipat tangan di depan dada. “Rocky itu awalnya pacarku yang Bu Meghan tikung entah dengan cara apa. Mungkin dengan membuka kaki di depannya.” “Kau ....” Meghan menunjuk perempuan gempal di depannya menggunakan jari telunjuk berkuku panjang. Bahkan kuku itu n
“Sebentar malam, kalian berdua harus bicara sama Mama dan Papa.” Vanessa mengembuskan napas pelan, ketika mengingat apa yang dikatakan ibu mertuanya. Kejadian tadi pagi, tentu saja merupakan kejadian yang sangat memalukan sepanjang sejarah kehidupan Vanessa. “Bagaimana bisa Mama Cindy malah menemukan karet pengaman bekas pakai Jovi?” desis Vanessa dengan suara sekecil mungkin. “Dasar dokter mesum sialan.” “Kak Vanessa kenapa?” Putri yang baru saja berbalik, bertanya. “Sedang banyak pikiran,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Apa yang membuatmu banyak pikiran?” Ardy ikut menimpali. “Apa karena pacarmu ....” “Jaga mulutmu, Ardy.” Vanessa tentu saja akan melotot pada rekan kerja lelaki itu. “Jangan menyumpahiku dengan hal yang tidak-tidak.” “Aku bahkan belum mengatakan apa-apa.” Ardy mengedikkan bahu, seolah tidak bersalah. “