“Apa kau punya waktu di minggu ini?” Hari sudah berganti ke hari Senin, ketika Vanessa bertanya pada suaminya. “Waktu untuk apa dulu?” Jovi yang sudah bersiap ke rumah sakit, mengerutkan kening. “Mama dan Bapak mau bertemu,” ucap Vanessa dengan kepala menunduk dan ekspresi sedih. “Aku bisa sih meluangkan waktu sebentar, tapi kenapa wajahmu terlihat sedih begitu?” Jovi yang bisa merasakan ketidaknyamanan sang istri tentu akan bertanya. “Masa sih?” jawab Vanessa berusaha untuk tersenyum. “Kalau kau tidak mau memberi tahu kegelisahanmu sih tidak masalah, tapi ... kenapa kau memanggil orang tuamu dengan panggilan bapak dan mama?” Setelah sekian lama, Jovi akhirnya bertanya juga. “Kenapa tidak bapak dan ibu, atau papa dan mama saja?” lanjutnya masih terlihat sangat bingung. “Karena bapak itu bukan ayah kandungku,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Anak-anaknya memanggil dia bapak dan aku memanggil ibuku dengan sebutan mama.” Kedua mata Jovi berkedip pelan. Dia sedang mencerna apa saja ya
“Aku tidak tahu siapa kau, tapi berhenti menerorku,” hardik Vanessa ketika mengangkat telepon tidak dikenal. “Aku hanya berusaha menghubungi kakakku.” “Kalau kau menganggap Jovi hanya sebagai kakak, bagaimana kalau kau bercerai saja darinya?” Kening Vanessa langsung berkerut mendengar jawaban dari si penelepon. Dia kemudian menjauhkan ponsel dari telinga, hanya untuk melihat dengan jelas nomor yang tertera di sana. “Maaf, ini siapa ya?” Gagal mengenali nomor yang dia lihat, Vanessa pada akhirnya bertanya. “Apa sekarang kau amnesia atau apa?” tanya si penelepon terdengar sangat kesal. “Aku Manda. Pacarnya Jovi.” “Oh, si Mantan Gamon.” Vanessa akhirnya mengangguk mengerti. “Aku bukan mantan yang gagal move on, Sialan. Aku masih pacar Jovi dan kau yang merebutnya dariku,” hardik Manda terdengar makin kesal saja, bahkan mungkin marah. “Dengar.” Vanessa perlu berbisik untuk berbicara dengan Manda, karena tidak ingin didengar orang lain. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Jovi di
“Eh, lepasin sialan!” Seseorang memekik dengan keras. “Itu kata-kataku brengsek! Kau duluan yang menjambak rambutku.” Kedua alis Jovi langsung terjungkit naik, ketika mendengar suara yang dia kenal. Itu jelas-jelas adalah suara Vanessa. Makin terkejut lagi, ketika dia melihat istrinya sedang saling menarik rambut dengan entah siapa. Padahal dia baru saja sampai di depan kantor sang istri, tapi malah mendapati Vanessa sedang bertengkar. Luar biasa sekali. “Hei, ada apa ini?” Jovi mendekat untuk mencari tahu. “Tidak tahu juga.” Seseorang menjawab. “Tiba-tiba saja mereka saling jambak dan berteriak.” “Lepaskan aku babi penggoda!” Perempuan yang tidak Jovi kenali, berteriak cukup keras. “Aku tidak menggoda siapa pun, Sialan. Dia itu kakakku.” Vanessa balas berteriak. Sebelah alis Jovi terangkat mendengar suara teriakan yang saling bersahutan itu. Sepertinya, dia bisa menduga apa yang terjadi di sini. Tapi kenapa tidak ada yang menghentikan kekacauan ini. “Hei, bisakah kalian ber
“Kakakmu itu kenapa sih?” Begitu sampai ke rumah, Jovi langsung bertanya. “Hah? Memangnya Kak Ben kenapa? Perasaan dia baik-baik saja,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. “Dia memang baik-baik saja, tapi ... tatapannya tadi itu loh.” Jovi agak ragu saat menjelaskan. “Kayak dia tidak suka dengan kedekatan kita.” “Memangnya tadi kita dekat?” Jujur saja, Vanessa merasa bingung dengan pernyataan sang suami. “Ya, iyalah.” Jovi melotot, karena merasa istrinya terlalu aneh. “Memangnya tadi kita tidak gandengan tangan? Terus tadi aku juga sempat memegang rambutmu.” Kening Vanessa berkerut mendengar apa yang dikatakan lelaki yang tampak marah itu. Mereka memang melakukan itu semua, tapi bukankah memang harus seperti itu? Lagi pula, apakah itu terlihat dekat dan mesra? “Aku tidak tahu apa yang kau maksud, tapi aku rasa sekarang tidak penting lagi membahas Kak Ben.” Vanessa segera mengalihkan pembicaraan. “Sekarang aku ingin tahu apakah kau sudah mengurus Manda?” “Dia kenapa lagi?” ta
“DASAR MESUM!” Vanessa berteriak keras, saat dia keluar dari kamar keesokan harinya. “What the ....” Jovi yang sedang santai meminum air, kini dengan panik menyembunyikan diri. “Apa yang kau lakukan?” pekik Vanessa dengan mata yang terpejam setengah. “Minum?” jawab Jovi dengan ragu-ragu, masih berjongkok di belakang counter table yang tinggi untuk menutupi dirinya. “Mana ada orang minum tanpa menggunakan sehelai benang pun? Hanya orang tidak waras yang berkelakuan seperti itu.” Jovi menggeram dan menunduk sebentar menatap tubuhnya yang memang tidak tertutup apa pun. Sekarang dia menyesal karena keluar dari kamar mandi tanpa menggunakan pakaian terlebih dahulu. “Maaf, aku lupa ada kau di kamar.” Mau tidak mau, Jovi pada akhirnya mengaku saja. “Lupa?” Vanessa mendengus pelan. “Jadi maksudmu kalau tidak lupa, kau akan berkeliaran tanpa pakaian? Tidakkah itu tindakan orang mesum yang sakit jiwa?” “Aku baru selesai mandi di kamar mandi luar,” hardik Jovi kesal. “Bukan sesuatu yan
“Apakah itu normal?” Jovi bertanya dengan kedua alis terangkat. “Apanya yang normal?” Ezra balas bertanya pada sahabatnya itu. “Istri yang meminta izin memakai uang suami, bahkan dia ingin meminjam. Minta izin untuk meminjam uang.” Wajah Ezra yang terlihat di benda berbentuk pipih alias ponsel, tampak menaikkan sebelah alis. Dia terlihat bingung dengan kalimat yang diucapkan Jovi, terutama kalimat yang paling terakhir. “Aku tidak tahu kalau orang lain, tapi istriku tidak seperti itu.” Ezra mencoba menjelaskan, sambil mengingat. “Maksudku bagian yang minta izin untuk meminjam uang, tapi memang aku selalu diberitahu pengeluaran sekecil apa pun itu.” “Itu juga masih tidak masuk akal.” Jovi menggeleng tidak puas dengan jawaban yang dia dapat. “Manda tidak seperti itu.” “Tolong jangan samakan mantanmu, dengan wanita normal lainnya.” Ezra dengan cepat membantah. “Memangnya Manda tidak normal?” Jovi kini menaikkan sebelah alisnya karena makin bingung. “Tentu saja. Dia bahkan mungki
“Siapa yang kau sebut dengan perempuan penggoda?” tanya Jovi dengan tatapan menyipit. “Maaf, aku hanya salah bicara saja.” Aurora dengan terburu-buru mengoreksi ucapannya. “Kebetulan, aku juga mengenal seseorang yang bermana sama dan dia bukan perempuan baik.” “Yang kau kenali mungkin tidak baik, tapi jangan samakan dengan orang lain yang bernama sama,” desis Jovi tampak kesal. “Maaf.” Jovi mengembuskan napas cukup keras, untuk menetralkan emosi. Dia menatap dokter perempuan di depannya, dengan tatapan kesal. Sayangnya, Jovi tidak bisa asal menghukum junior begitu saja. “Pergilah saja.” Pada akhirnya, Jovi hanya bisa mengusir saja. “Lupakan saja tentang makan siang, karena aku merasa harus pergi ke tempat lain.” “Tapi ....” “Tolong Aurora,” potong Jovi kini kembali kesal. “Aku tidak ingin mengasari perempuan, siapa pun itu.” Mau tidak mau, Aurora memilih untuk menyerah saja. Dia tentu tidak ingin membuat lelaki di depannya menjadi lebih marah lagi. Itu tentu akan berdampak bu
“Oh, ayolah! Lepaskan aku.” Vanessa masih mencoba untuk melepaskan diri dari sekuriti yang menyeretnya. “Kau tidak bisa mengasariku seperti ini tanpa bukti.” “Ini perintah atasan.” “Atasanmu sekali pun, harus punya bukti sebelum menangkapku seperti kriminal,” pekik Vanessa mencoba untuk menarik perhatian banyak orang, berharap akan ditolong. Sayangnya orang-orang yang melihat kejadian itu, hanya menatap dengan nada bertanya. Beberapa bahkan memilih untuk merekam apa yang terjadi. “Tidak bisa seperti ini.” Vanessa kembali berteriak. “Kalian harus melepasku, kalau tidak aku akan melapor ke polisi.” “Melapor ke polisi?” Lelaki yang menjadi nasabah Vanessa kini muncul, padahal mereka masih di lobi dan sama sekali masih jauh dari ruangan lelaki itu. “Lapor saja kalau kau mampu,” lanjut lelaki tadi dengan senyum lebar. “Toh, pada akhirnya tetap aku yang akan menang.” Vanessa menggeram kesal. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh lelaki angkuh di depannya. Sang nasabah, pastinya ak