“DASAR MESUM!” Vanessa berteriak keras, saat dia keluar dari kamar keesokan harinya. “What the ....” Jovi yang sedang santai meminum air, kini dengan panik menyembunyikan diri. “Apa yang kau lakukan?” pekik Vanessa dengan mata yang terpejam setengah. “Minum?” jawab Jovi dengan ragu-ragu, masih berjongkok di belakang counter table yang tinggi untuk menutupi dirinya. “Mana ada orang minum tanpa menggunakan sehelai benang pun? Hanya orang tidak waras yang berkelakuan seperti itu.” Jovi menggeram dan menunduk sebentar menatap tubuhnya yang memang tidak tertutup apa pun. Sekarang dia menyesal karena keluar dari kamar mandi tanpa menggunakan pakaian terlebih dahulu. “Maaf, aku lupa ada kau di kamar.” Mau tidak mau, Jovi pada akhirnya mengaku saja. “Lupa?” Vanessa mendengus pelan. “Jadi maksudmu kalau tidak lupa, kau akan berkeliaran tanpa pakaian? Tidakkah itu tindakan orang mesum yang sakit jiwa?” “Aku baru selesai mandi di kamar mandi luar,” hardik Jovi kesal. “Bukan sesuatu yan
“Apakah itu normal?” Jovi bertanya dengan kedua alis terangkat. “Apanya yang normal?” Ezra balas bertanya pada sahabatnya itu. “Istri yang meminta izin memakai uang suami, bahkan dia ingin meminjam. Minta izin untuk meminjam uang.” Wajah Ezra yang terlihat di benda berbentuk pipih alias ponsel, tampak menaikkan sebelah alis. Dia terlihat bingung dengan kalimat yang diucapkan Jovi, terutama kalimat yang paling terakhir. “Aku tidak tahu kalau orang lain, tapi istriku tidak seperti itu.” Ezra mencoba menjelaskan, sambil mengingat. “Maksudku bagian yang minta izin untuk meminjam uang, tapi memang aku selalu diberitahu pengeluaran sekecil apa pun itu.” “Itu juga masih tidak masuk akal.” Jovi menggeleng tidak puas dengan jawaban yang dia dapat. “Manda tidak seperti itu.” “Tolong jangan samakan mantanmu, dengan wanita normal lainnya.” Ezra dengan cepat membantah. “Memangnya Manda tidak normal?” Jovi kini menaikkan sebelah alisnya karena makin bingung. “Tentu saja. Dia bahkan mungki
“Siapa yang kau sebut dengan perempuan penggoda?” tanya Jovi dengan tatapan menyipit. “Maaf, aku hanya salah bicara saja.” Aurora dengan terburu-buru mengoreksi ucapannya. “Kebetulan, aku juga mengenal seseorang yang bermana sama dan dia bukan perempuan baik.” “Yang kau kenali mungkin tidak baik, tapi jangan samakan dengan orang lain yang bernama sama,” desis Jovi tampak kesal. “Maaf.” Jovi mengembuskan napas cukup keras, untuk menetralkan emosi. Dia menatap dokter perempuan di depannya, dengan tatapan kesal. Sayangnya, Jovi tidak bisa asal menghukum junior begitu saja. “Pergilah saja.” Pada akhirnya, Jovi hanya bisa mengusir saja. “Lupakan saja tentang makan siang, karena aku merasa harus pergi ke tempat lain.” “Tapi ....” “Tolong Aurora,” potong Jovi kini kembali kesal. “Aku tidak ingin mengasari perempuan, siapa pun itu.” Mau tidak mau, Aurora memilih untuk menyerah saja. Dia tentu tidak ingin membuat lelaki di depannya menjadi lebih marah lagi. Itu tentu akan berdampak bu
“Oh, ayolah! Lepaskan aku.” Vanessa masih mencoba untuk melepaskan diri dari sekuriti yang menyeretnya. “Kau tidak bisa mengasariku seperti ini tanpa bukti.” “Ini perintah atasan.” “Atasanmu sekali pun, harus punya bukti sebelum menangkapku seperti kriminal,” pekik Vanessa mencoba untuk menarik perhatian banyak orang, berharap akan ditolong. Sayangnya orang-orang yang melihat kejadian itu, hanya menatap dengan nada bertanya. Beberapa bahkan memilih untuk merekam apa yang terjadi. “Tidak bisa seperti ini.” Vanessa kembali berteriak. “Kalian harus melepasku, kalau tidak aku akan melapor ke polisi.” “Melapor ke polisi?” Lelaki yang menjadi nasabah Vanessa kini muncul, padahal mereka masih di lobi dan sama sekali masih jauh dari ruangan lelaki itu. “Lapor saja kalau kau mampu,” lanjut lelaki tadi dengan senyum lebar. “Toh, pada akhirnya tetap aku yang akan menang.” Vanessa menggeram kesal. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh lelaki angkuh di depannya. Sang nasabah, pastinya ak
“Seharusnya kau tidak perlu seperti itu,” desis Vanessa terlihat agak kesal. “Aku menyelamatkanmu, tapi kau malah protes?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. “Masalahnya, karena kau memukul kita sekarang jadi di kantor polisi tahu,” hardik Vanessa dalam nada rendah. “Ini hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar, apalagi kau dokter dan dia pengusaha.” “Apa hubungannya dengan pekerjaan?” Tentu saja, Jovi akan merasa bingung. “Berhubungan, karena ini menyangkut reputasimu sebagai dokter. Menurutmu, apa masih ada orang yang mau berobat pada dokter yang suka memukul orang?” “Lalu, apa hubungannya dengan pengusaha?” Walau tadi sudah sempat mengangguk mengerti, Jovi kembali bertanya. “Dia punya banyak uang dan bisa menghalalkan segala cara untuk menjebloskan kita ke penjara. Uang bisa membeli segalanya.” Jovi kembali mengangguk. Dia kini mengerti apa yang dikhawatirkan oleh Vanessa, tapi baginya itu adalah kekhawatiran yang sangat tidak berguna. Jovi ingi
“Dia siapa?” tanya Vanessa dengan suara berbisik, menatap sekian banyak tato yang menutupi tubuh lelaki yang menyapa tadi. “Temanmu?” Alih-alih menjawab, Jovi hanya menatap lelaki yang baru saja menyapanya. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama, bahkan dia sampai menatap Vanessa dengan kening berkerut. “Walau aku pikir itu hanya bercanda, aku dengar kau sudah putus dari Manda.” Tiba-tiba saja, lelaki tadi mendengus pelan. “Aku pikir kenapa, tapi rupanya hanya karena perempuan tidak jelas ini.” “Maaf?” tanya Jovi dengan kening berkerut. “Aku tidak menyangka kau lebih memilih perempuan gendut seperti ini, dari pada Manda yang seksi.” Lelaki tadi, menggoyangkan tangannya, seolah sedang melukis bentuk tubuh seseorang. “Kau.” Jovi yang terlihat berang, sudah mengepalkan tangan dan beranjak maju. Untung saja Vanessa kali ini lebih sigap untuk menahan suaminya, agar tidak melakukan kekerasan. “Jovi, ini di kantor polisi,” desis Vanessa pelan. “Kau bisa kena masalah jika berulah.”
“Mungkin kau bisa berhenti membuat keributan dan pergi saja.” “Kau itu kenapa sih?” tanya Manda dengan tangan terlipat di depan dada. “Kau selalu menghalangi hubunganku dengan Jovi. Ada masalah atau kau hanya cemburu?” “Siapa yang kau sebut cemburu?” Manda hanya mendengus menahan tawa, melihat tingkah laku dokter muda di depannya. Dia sebenarnya sudah lupa nama dokter perempuan itu, tapi bisa membaca pada gantungan tanda pengenal. “Dokter Aurora, aku ini ke sini mau berobat dan memilih dokter Jovi. Aku tidak melakukan keributan loh,” ucap Manda dengan sombongnya. “Kau sebagai dokter, tentu tidak bisa mengusir pasien kan?” “Kau terlihat sangat sehat, jadi aku yakin kau datang hanya untuk mengganggu Jovi. Lagi pula, kalian sudah putus kan? Kenapa malah berobat pada mantanmu? Itu kan aneh.” “Dokter umum yang sedang praktik hanya Jovi saja,” balas Manda terlihat sangat geram. Aurora memutar bola matanya dengan kesal, karena yang dikatakan oleh Manda adalah benar. Saat
“Berbaringlah dulu. Biar aku mudah memeriksa,” gumam Jovi mencoba untuk profesional. “Tapi aku ingin diperiksa sambil duduk, agar bisa melihat wajahmu,” balas Manda dengan centil. Bukan hanya Jovi, tapi perawat yang menemani di dalam pun mengernyit mendengar hal itu. Apalagi kini Manda sudah terlihat seperti biasa saja, sama sekali tidak tampak seperti orang yang akan pingsan seperti tadi. “Apa keluhannya?” tanya Jovi kembali mencoba untuk menatap perempuan di depannya sebagai pasien. “Dadaku sakit,” jawab Manda tanpa ragu. “Sepertinya ada yang menusuk dengan pisau.” Sekali lagi, perawat yang mendengar itu tampak terkejut. Apalagi kini Manda mengatakannya sambil mengedipkan mata. Jelas sekali terlihat kalau sang pasien tidak benar-benar sakit. “Kau sebenarnya sakit atau tidak?” tanya Jovi berusaha untuk tidak marah. “Sakit. Tentu saja sakit. Di bagian sini.” Manda menempelkan tangan di dada kirinya.
"Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Ardy?" Aurora menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan praktiknya dan langsung memutar mata karena gemas dan kesal. Hanya ada satu orang yang bisa membuat dia kesal, terutama saat jam kerja seperti sekarang. "Tidak bisakah kau berhenti menyelinap ke ruanganku, saat aku sedang bekerja?" Aurora tidak segan untuk menegur, sekalipun dia adalah menantu direktur. Yap. Penyusup itu adalah Vanessa. "Aku tidak menyelinap." Vanessa membantah dan segera duduk di kursi yang tersedia di depan meja dokter. "Aku mendaftar untuk bertemu denganmu tahu." "Sepertinya staff keuangan sangat kekurangan pekerjaan ya?" tanya Aurora dengan nada mengejek. "Bagaimana mungkin kau bisa berkeliaran saat jam kerja seperti sekarang? Kalau ingin bermain, bukankah lebih baik kau mencari Jovi?" "Pekerjaanku sudah selesai." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Entah kenapa, pekerjaan di rumah sakit sebesar ini tidak begitu banyak. Lalu soal Jov
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Aurora dengan kedua terlipat di depan dada. "Aku ini pasien loh. Masa kau memperlakukan pasien sejutek itu?" tanya Ardy yang sudah duduk di atas ranjang pasien dengan santainya. "Pasien apanya?" hardik Aurora terdengar kesal. "Kau jelas-jelas terlihat sangat sehat, berbeda dengan saat kau pertama kali datang ke sini." "Tapi aku benar-benar sakit." Ardy bersikeras. "Kalau begitu, bagian mana yang sakit?" Mau tidak mau, Aurora akhirnya bangkit dengan sneli yang dia pegang dengan erat. "Kalau aku tidak menemukan ada penyakit, maka aku akan memukulmu." "Kalau penyakit sih tidak ada, tapi aku terluka." Ardy tiba-tiba saja mengangkat kakinya. Dia tidak perlu menggulung celana untuk menunjukkan luka, karena hari ini menggunakan celana pendek. "Luka apa ini?" tanya Aurora dengan kening berkerut. Kini dia mulai terlihat serius. "Bukankah ini luka bekas gigitan hewan?" "Benar." Ardy mengangguk tanpa ragu. "Tadi pagi, aku digigit anjing tetangga." "
"Aurora dan Ardy?" tanya Jovi dengan sebelah alis terangkat. "Apa aku tidak salah dengar?" "Sama sekali tidak." Vanessa menggeleng pelan. "Soalnya, aku kemarin melihat interaksi lucu mereka dan itu menggemaskan. Sepertinya mereka akan cocok." Kening Jovi berkerut menatap istri yang dia peluk. Mereka sedang bersantai di atas ranjang, setelah menghabiskan malam panas bersama. Jovi sih masih ingin sekali lagi, tapi memilih menahan diri karena istrinya lelah. Alhasil mereka hanya berpelukan saja. "Tapi bagiku itu tetap aneh." Sayangnya, pikiran Jovi berbeda dengan sang istri. "Aku rasa sifat mereka bertolak belakang dan bisa memicu konflik." "Memangnya sifat kita tidak bertolak belakang?" Vanessa malah memukul dada bidang sang suami. "Sama sekali tidak." Jovi menyangkal dengan entengnya. "Kita sama-sama orang yang senang cari ribut." "Heh, aku tidak seperti itu ya." Kali ini Vanessa bukan memukul lagi, tapi mencubit. Tentu saja rasanya sakit, tapi Jovi hanya bisa meringis
"Jovi sedang tidak praktik hari ini. Dia ada kuliah." Ardy langsung menoleh, ketika dia mendengar suara yang dikenalnya. Senyum lebar mengembang, ketika dia sudah melihat perempuan yang empunya suara. Suara yang sebenarnya masih dia rindukan. "Hai." Ardy hanya bisa mengangkat tangan sebagai sapaan. "Sudah lama tidak bertemu." "Beberapa bulan memang cukup lama." Vanessa mengangguk tegas. "Tapi kenapa kau datang ke sini?" "Aku berobat pada suamimu," jawab Ardy tanpa ragu. "Tapi aku dengar, dia sedang tidak praktik ya?" "Sekarang Jovi sedang berkuliah untuk mengambil spesialis. Akan sulit baginya untuk sering praktik. Kalau mau, aku bisa merekomendasikan dokter yang lain." "Tentu saja." Ardy dengan cepat mengangguk. "Lagi pula, aku memang butuh dokter." "Kalau begitu, tolong daftarkan untuk dokter Aurora." Vanessa memberitahu perawat yang sedang berjaga di konter registrasi. Setelah mengatakan it
"Aku bingung." Vanessa mengerutkan keningnya. "Mana yang harus aku ambil untuk kuliah S2? Administrasi rumah sakit, atau manajemen rumah sakit? Bedanya apa?" "Untuk apa kau mengambil S2?" Jovi membalas pertanyaan sang istri, dengan pertanyaan lainnya. "Tentu saja aku harus belajar lebih banyak tentang itu kan?" Vanessa segera meminta suaminya duduk di atas ranjang, kemudian mengambil alih handuk yang lelaki itu pegang. "Walau mungkin tidak bisa menjadi direktur, tapi aku tetap ingin mempelajari banyak hal. Biar bagaimana, kau butuh istri yang mengerti seluk beluk rumah sakit dengan baik dan benar bukan?" Vanessa mengatakan itu, sembari mengeringkan rambut basah suaminya. Jovi hari ini memang pulang sedikit terlambat dan berakhir harus mandi malam. Dia yang tidak suka menggunakan hair dryer, kini membiarkan sang istri yang mengeringkan rambutnya dengan handuk saja. "Tapi nanti kau bisa lelah." Sang dokter berusaha untuk menasihati istrinya. "Sekarang ini kau juga bekerja di b
"Perkenalkan, ini menantuku Vanessa." Danapati mengulurkan tangannya dengan senyum cerah, untuk menggandeng perempuan yang dia panggil. "Ke depannya, kalian semua akan sering bertemu dengan dia, karena Vanessa akan bergabung di rumah sakit kita," lanjut Danapati, sembari melihat semua orang yang menghadiri rapat hari ini. "Selamat siang semuanya. Saya Vanessa yang mulai minggu depan, akan ikut bergabung dengan rumah sakit ini, sebagai staff bagian keuangan." Jovi mengembuskan napas pelan ketika istrinya selesai memperkenalkan diri. Rasanya, sudah satu minggu belakangan ini dia terus dan terus dikejutkan dengan keputusan sang istri. Seperti apa yang terjadi kemarin. "Kenapa kau selalu memberikanku kejutan?" tanya Jovi yang segera menggandeng sang istri, keluar dari ruangan rapat. "Memangnya Vanessa memberi kejutan apa lagi?" Danapati yang ikut berjalan dengan kedua anaknya bertanya. "Kemarin Vanessa memutuskan pergi ke dokter kandungan untuk konsultasi dan program keha
"Hey, Vi. Sesekali nongkrong sama kita dong. Jangan pulang cepat terus." Yang empunya nama meringis pelan, ketika mendengar suara teman-temannya yang terdengar sangat keras itu. Padahal, dia sedang merekam pesan suara untuk sang istri. "Kalian ini jangan terlalu ribut dong." Jovi langsung protes. "Coba lihat ini, pesan suara yang berisi suara kalian, malah terkirim pada istriku." "Astaga, Vi!" Salah seorang teman seangkatannya hanya bisa menggeleng. "Memangnya kenapa kalau istrimu dengar? Toh, kita hanya akan pergi nongkrong. Bukan mengajakmu pergi selingkuh." "Iya tahu. Tapi kalau istriku dengar, nanti dia malah mengusirku pergi bersama kalian." "Loh? Bukannya itu bagus?" tanya teman yang lain. "Sama sekali tidak, karena aku akan lebih memilih untuk menemani istriku pergi terapi. Jadi, sekarang aku akan pulang saja." Jovi dengan cepat melangkah pergi. Dia ingin menghindari teman-temannya yang senang sekali menanyakan terlalu banyak hal. Sesuatu yang membuat Jovi nyari
"Aku tidak menyangka akan punya waktu ngobrol berdua dengan Kak Ben." Mendengar namanya dipanggil, Ben langsung mendongak. Dia bisa melihat adik iparnya baru saja duduk di kursi kosong di depannya. Mengesalkan, tapi Ben sendiri yang mengundang lelaki itu datang. "Jadi, kenapa Kak Ben mengundangku makan malam?" tanya Jovi dengan senyum lebar. "Kak Ben tidak suka padaku kan?" "Apa kau ingin mati?" Ben tidak segan untuk bertanya dengan kasar. "Tentu saja belum." Jovi menjawab dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Biar bagaimana, aku masih harus menemani Vanessa sampai tua." "Senang kau punya pemikiran yang bijaksana seperti itu." Ben mengembuskan napas pelan, sebelum menenggak segelas wine yang sudah dia pesan lebih dulu. "Pesan saja dulu, kau mungkin lapar setelah kuliah panjang. Aku dengar kau mengambil spesialis." Ben mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji restoran. "Aku senang karena kakak iparku pengertian." Jovi menggosok kedua tangan, ketika melihat menu yan