“Mungkin kau bisa berhenti membuat keributan dan pergi saja.” “Kau itu kenapa sih?” tanya Manda dengan tangan terlipat di depan dada. “Kau selalu menghalangi hubunganku dengan Jovi. Ada masalah atau kau hanya cemburu?” “Siapa yang kau sebut cemburu?” Manda hanya mendengus menahan tawa, melihat tingkah laku dokter muda di depannya. Dia sebenarnya sudah lupa nama dokter perempuan itu, tapi bisa membaca pada gantungan tanda pengenal. “Dokter Aurora, aku ini ke sini mau berobat dan memilih dokter Jovi. Aku tidak melakukan keributan loh,” ucap Manda dengan sombongnya. “Kau sebagai dokter, tentu tidak bisa mengusir pasien kan?” “Kau terlihat sangat sehat, jadi aku yakin kau datang hanya untuk mengganggu Jovi. Lagi pula, kalian sudah putus kan? Kenapa malah berobat pada mantanmu? Itu kan aneh.” “Dokter umum yang sedang praktik hanya Jovi saja,” balas Manda terlihat sangat geram. Aurora memutar bola matanya dengan kesal, karena yang dikatakan oleh Manda adalah benar. Saat
“Berbaringlah dulu. Biar aku mudah memeriksa,” gumam Jovi mencoba untuk profesional. “Tapi aku ingin diperiksa sambil duduk, agar bisa melihat wajahmu,” balas Manda dengan centil. Bukan hanya Jovi, tapi perawat yang menemani di dalam pun mengernyit mendengar hal itu. Apalagi kini Manda sudah terlihat seperti biasa saja, sama sekali tidak tampak seperti orang yang akan pingsan seperti tadi. “Apa keluhannya?” tanya Jovi kembali mencoba untuk menatap perempuan di depannya sebagai pasien. “Dadaku sakit,” jawab Manda tanpa ragu. “Sepertinya ada yang menusuk dengan pisau.” Sekali lagi, perawat yang mendengar itu tampak terkejut. Apalagi kini Manda mengatakannya sambil mengedipkan mata. Jelas sekali terlihat kalau sang pasien tidak benar-benar sakit. “Kau sebenarnya sakit atau tidak?” tanya Jovi berusaha untuk tidak marah. “Sakit. Tentu saja sakit. Di bagian sini.” Manda menempelkan tangan di dada kirinya.
“Kau pasti bercanda, Vi.” Danapati melotot pada putranya. “Sama sekali tidak, Pa. Aku tidak bercanda,” balas Jovi dengan tegas. “Kau meminta Papa untuk menambah kredit rumah sakit yang baru saja terbentuk itu sebanyak sepuluh miliar?” Danapati bertanya, hanya agar dia tidak salah. “Ya. Jadi nanti totalnya adalah tiga belas milyar. Bisa kan Pa?” “APA KAU GILA?” Jovi tersentak mendengar teriakan sang papa. Rasanya, sudah lama sekali dia tidak mendengar teriakan yang seperti ini. Terakhir kali, mungkin saat Jovi duduk di kelas empat sekolah dasar. “Jovi waras dan hanya ....” “Kau ingin kita membayar pakai apa?” hardik Danapati memotong kalimat sang putra semata wayang. “Uang itu mau digunakan untuk apa juga? Yang tiga milyar kemarin saja belum terpakai.” “Papa bisa memakainya untuk ... menambah armada ambulans misalnya? Atau mungkin memperluas rumah sakit?” Danapati melotot mend
“Tidakkah ini benar-benar sangat menyebalkan?” gumam Aurora dengan ekspresi kesal. “Kau mengatakan sesuatu?” tanya Jovi dengan kening berkerut. “Tidak.” Aurora segera menggeleng. “Hati-hati di jalan dan maaf malah membuang waktumu untuk mengantarku pulang.” “Tidak masalah. Sampai nanti,” jawab Jovi dengan senyum tipis, sebelum masuk kembali ke dalam mobilnya. Mau tidak mau, Aurora hanya bisa melambaikan tangan saja. Dia memperhatikan mobil yang baru saja mengantarnya, sampai menghilang dari pandangan. Setelah itu, barulah dia mulai mengeluh. “Sialan! Padahal aku mengajaknya jalan, tapi malah diantar pulang. Ini benar-benar menyebalkan.” Ya. Pada akhirnya, Jovi hanya mengantar rekan kerjanya pulang. Itu pun setelah memberitahu sang istri, jika dia sedikit terlambat. “Kau memasak apa?” tanya Jovi ketika dia sudah sampai di rumah. “Aku pikir kau akan terlambat.” Vanessa mengerutkan kening, ketika melihat sang pemilik rumah sudah berdiri di sampingnya. “Aku memang terlambat. Ras
“Tunggu dulu! Kenapa bisa jadi begini sih?” Vanessa memekik di dalam hati. Perempuan tambun itu mendongak, hanya untuk menemukan wajah Jovi yang tertidur pulas. Yang makin membuat wajahnya memerah adalah posisi mereka saat ini. Sang dokter tertidur dalam posisi memeluk Vanessa layaknya memeluk bantal guling. “Kenapa di saat seperti ini dia tampan sekali sih.” Secara tidak sadar, Vanessa menggumamkan hal itu dengan sangat pelan. “Mana berotot juga,” lanjutnya di dalam hati, sembari melirik pangkal lengan yang memeluknya dengan sangat erat. “Boleh kupegang tidak ya?” Walau tadi bertanya dengan ekspresi ragu-ragu, pada akhirnya Vanessa menggerakkan tangannya. Sulit menjangkau lengan Jovi, tapi cukup sanggup untuk menyentuh bagian dada. “Ini tidak sekeras yang kubayangkan,” gumam Vanessa di dalam hati, sambil memegang otot dada lelaki yang memeluknya dengan lebih berani. “Tapi rasanya nyaman juga.” “Hei, sampai kapan kau mau melecehkanku?” Suara yang tiba-tiba terdengar itu, memb
“Aku sama sekali tidak membawa uang, kecuali apa pun yang tersisa di dompetku. Tentu saja itu jumlahnya hanya beberapa ratus ribu saja,” jawab Vanessa dengan mata melotot. “Kau kan bisa mengirimiku lewat mobile banking. Kau tahu nomor rekeningku atau nomor dompet digitalku kan?” tanya sang kakak sulung dengan santainya. “Aku belum gajian.” Vanessa berusaha menolak dengan segala cara. “Lagi pula, aku masih harus mengurus biaya rumah. Aku sudah menikah.” “Justru karena kau sudah menikah.” Kini sang kakak sulung melipat tangan di depan dada, setelah menyandarkan motornya dengan aman. “Biaya rumah harusnya ditanggung suami dan kau juga pasti dapat uang jajan.” “Kalau seperti itu, harusnya kau jadi lebih banyak uang kan? Berbagi sedikit kenapa?” Vanessa menggeram kesal. Padahal biasanya sang kakak sulung itu sedikit bodoh. Tapi jika sudah bersangkutan dengan uang, lelaki itu tiba-tiba saja jadi lebih pintar. “Asal kau tahu, aku ada perjanjian pisah harta dengan suamiku.” V
“Bagus, Vanessa. Sekarang kau tidak punya uang sepeser pun.” Perempuan bertubuh tambun itu mengeluh sambil berjalan. Uang di tabungan terkuras dan uang di dompet digital pun sudah habis. Itu membuat Vanessa dengan terpaksa harus berjalan kaki di pagi hari yang sangat cerah itu. “Padahal aku belum makan,” gumam Vanessa mengelus perutnya yang buncit dengan bibir mencebik. “Tapi sekarang beli nasi bungkus saja tidak bisa, bagaimana caranya aku harus minum obat?” Vanessa mengembuskan napas pelan, meratapi isi dompetnya yang hanya tinggal selembar uang sepuluh ribu dan tidak ada satu pun kartu kredit di sana. Kini Vanessa merutuki diri sendiri yang sangat jarang menyimpan uang tunai di dompet. “Ya, sudah. Aku coba bertanya pada Kak Benny saja. Siapa tahu dia belum jauh dan bisa mengantarku pulang.” Vanessa bergegas mengambil ponselnya. “Loh?” Vanessa yang sempat menepi ke mini market, langsung memekik ketika melihat ponselnya. “Kok gak nyala sih? Perasaan tadi sudah sempat is
“Aduh, tapi bagaimana ini?” Vanessa terlihat sangat panik. “Saya sedang tidak bawa uang dan ponsel saya mati. Bisa saya pinjam dulu kabel untuk mengisi daya ponsel?” Perawat yang duduk di depan komputer itu melirik dengan bibir mencebik. Dia jelas saja tidak mudah percaya dengan orang yang datang ke rumah sakit untuk berobat dan tidak membawa uang sepeser pun. “Saya cuma perlu mengirim pesan untuk suami saya kok, Sus.” Vanessa kembali memelas. “Setelah itu dia pasti kirim uang untuk saya pakai. Sumpah!” “Ponselnya menggunakan kabel seperti apa?” Pada akhirnya, si perawat memilih untuk sedikit membantu karena kasihan. “Type c.” Vanessa segera memekik girang mendengarnya. “Tapi maaf, tapi bisakah saya dibantu? Tangan saya diperban.” Si perawat yang makin merasa kasihan melihat Vanessa tentu saja akan membantu. Biar bagaimana, perempuan itu juga terluka. Vanessa yang tadi kurang berhati-hati saat berjalan pulang, malah berakhir ditabrak motor. Sebelah tangannya harus dib