Mohon maaf karena lama baru update, tapi semoga masih ada yang mau baca. 🥲
“Bagus, Vanessa. Sekarang kau tidak punya uang sepeser pun.” Perempuan bertubuh tambun itu mengeluh sambil berjalan. Uang di tabungan terkuras dan uang di dompet digital pun sudah habis. Itu membuat Vanessa dengan terpaksa harus berjalan kaki di pagi hari yang sangat cerah itu. “Padahal aku belum makan,” gumam Vanessa mengelus perutnya yang buncit dengan bibir mencebik. “Tapi sekarang beli nasi bungkus saja tidak bisa, bagaimana caranya aku harus minum obat?” Vanessa mengembuskan napas pelan, meratapi isi dompetnya yang hanya tinggal selembar uang sepuluh ribu dan tidak ada satu pun kartu kredit di sana. Kini Vanessa merutuki diri sendiri yang sangat jarang menyimpan uang tunai di dompet. “Ya, sudah. Aku coba bertanya pada Kak Benny saja. Siapa tahu dia belum jauh dan bisa mengantarku pulang.” Vanessa bergegas mengambil ponselnya. “Loh?” Vanessa yang sempat menepi ke mini market, langsung memekik ketika melihat ponselnya. “Kok gak nyala sih? Perasaan tadi sudah sempat is
“Aduh, tapi bagaimana ini?” Vanessa terlihat sangat panik. “Saya sedang tidak bawa uang dan ponsel saya mati. Bisa saya pinjam dulu kabel untuk mengisi daya ponsel?” Perawat yang duduk di depan komputer itu melirik dengan bibir mencebik. Dia jelas saja tidak mudah percaya dengan orang yang datang ke rumah sakit untuk berobat dan tidak membawa uang sepeser pun. “Saya cuma perlu mengirim pesan untuk suami saya kok, Sus.” Vanessa kembali memelas. “Setelah itu dia pasti kirim uang untuk saya pakai. Sumpah!” “Ponselnya menggunakan kabel seperti apa?” Pada akhirnya, si perawat memilih untuk sedikit membantu karena kasihan. “Type c.” Vanessa segera memekik girang mendengarnya. “Tapi maaf, tapi bisakah saya dibantu? Tangan saya diperban.” Si perawat yang makin merasa kasihan melihat Vanessa tentu saja akan membantu. Biar bagaimana, perempuan itu juga terluka. Vanessa yang tadi kurang berhati-hati saat berjalan pulang, malah berakhir ditabrak motor. Sebelah tangannya harus dib
“Jovi, tolong aku.” Tiba-tiba saja Manda memekik histeris. “Dia mendorongku, padahal dia yang bersalah di sini.” “Aku tidak melakukan apa pun.” Tentu saja Vanessa akan membela diri. “Dia jatuh dengan sendirinya.” “Kau masih mengelak, padahal kau yang membuat temanku celaka?” Manda tidak menghentikan sandiwaranya, bahkan tidak berniat untuk bangkit dari lantai yang dia duduki. “Aku hanya memintamu membayar pengobatan orang yang kau celakai, tapi kau menolak.” “Aku sama sekali tidak menolak. Aku hanya kehabisan uang dan menunggu Jovi untuk ....” “Kau bahkan tidak berniat mengeluarkan uang pribadimu atas kesalahan yang kau buat?” tanya Manda yang baru saja berdiri dibantu oleh Jovi. “Apa kau ingin memeras Jovi?” “Aku tidak ....” “Cukup Vanessa.” Setelah tadi kalimatnya dipotong Manda, kini kalimat Vanessa dipotong oleh Jovi. “Jangan membuat keributan. Ini di rumah sakit.” “Aku tidak pernah membuat keri
“Tadi Mama kenapa?” Kegiatan Jovi membuka pintu rumah terhenti, ketika dia mendengar penjelasan dari ibu mertuanya. “Tadi sebenarnya Mama minta uang sama Vanessa dan beri semua uangnya. Mungkin karena itu dia jadi tidak punya uang, apalagi tadi kamu bilang salah kasih ATM ke Vanessa.” Kini Jovi memijat pangkal hidungnya dengan keras. Rasanya, sakit kepala yang sejak tadi dai rasakan, kini terasa makin sakit saja. “Nanti Jovi akan bicarakan dengan Vanessa.” Pada akhirnya, hanya itu saja yang bisa sang dokter katakan pada ibu mertuanya. Setelah mematikan telepon, Jovi melanjutkan kegiatannya yang tadi. Dia melakukan itu dengan sedikit tergesa, karena perlu melihat keadaan perempuan yang menjadi teman satu rumahnya. “Vanessa.” Jovi memanggil, ketika menemukan apartemennya dalam keadaan gelap gulita. Padahal sekarang sudah malam. Mau tidak mau, Jovi menekan sakelar lampu. Setelahnya, barulah dia melangkah ke kamar utama tanpa menengok ke arah ruangan lain lebih dulu. “Vanessa.” J
“Kenapa dengan tanganmu itu.” Meghan menatap perban di tangan Vanessa dengan tatapan tidak suka. “Saya kecelakaan, Bu. Ini yang saya urus dua hari kemarin.” Vanessa sama sekali tidak keberatan untuk menjelaskan. “Jadi apa kau akan mengajukan cuti lagi?” tanya Meghan dengan mata melotot. “Dengan alasan sakit?” “Tentu saja tidak.” Vanessa menggeleng sambil tersenyum. “Saya tidak selemah itu, sampai harus cuti karena tangan diperban. Walau mungkin akan jadi lamban, saya bisa bekerja.” Meghan menyipitkan mata dengan tidak suka. Entah bagaimana, dia merasa kata-kata yang diucapkan oleh Vanessa terdengar sedikit mengintimidasi dan mengejek. Hal yang jelas saja tidak disukai oleh Meghan karena biar bagaimana jabatannya lebih tinggi. “Baiklah.” Meghan mengangguk pelan. “Karena kau sudah sombong begitu, aku tidak mau melihat kau meminta tolong orang lain mengerjakan pekerjaanmu, sekali pun itu hanya sedikit.” “Itu tidak
“Bagaimana dengan Vanessa?” tanya Danapati, ketika sang putra mengunjunginya di kantor. “Hubungan kalian baik-baik saja kan?” “Sangat baik.” Jovi mengangguk dengan sangat canggung dan membuat lelaki paruh baya yang menggunakan sneli di depannya menaikkan sebelah alis. “Kenapa kau terlihat gugup?” Danapati tidak segan untuk bertanya. “Kau tidak menyembunyikan sesuatu kan?” “Tidak juga.” Jovi kembali menggeleng. “Yah, kecuali soal Vanessa yang terluka karena kecelakaan ringan.” “Vanessa kecelakaan dan kau masih merahasiakan itu?” Danapati sampai melotot mendengar apa yang dikatakan oleh putranya. “Bukan sesuatu yang parah, Pa. Hanya sedikit robek di tangan dan jari.” Jovi tentu saja akan menunjukkan tempat-tempat yang sama sekali tidak berbahaya itu. “Tetap saja. Seharusnya kau memberitahu kami dan orang tua Vanessa. Kau tidak lupa mengabari mertuamu kan?” Jovi langsung terdiam mendengar pertanyaan ayahnya. Tentu saja dia sama sekali lupa dengan hal itu, apalagi mereka juga masi
“Kenapa kalian berdua bisa ada di sini?” Vanessa mengatakan itu, ketika melihat ada dua orang berdiri di depan rumah Jovi. “Vanessa, kok baru pulang kerja jam segini?” Alih-alih menjawab, Mama Cindy segera mendatangi menantunya. “Kan lagi sakit. Tidak perlu masuk kerja lah.” “Nah, kan. Mama juga bilang apa?” Kali ini, Mama Linna yang bersuara. “Harusnya kau mendengar ketika Mama bilang cuti saja.” Vanessa mengangkat sebelah alis mendengar ucapan mama kandungnya itu. Rasanya itu tidak terdengar tulus, bahkan merupakan suatu kebohongan. Linna bahkan tidak terlalu peduli dan tidak menanyakan keadaan Vanessa sama sekali. “Jam pulang Vanessa memang jam segini, Ma.” Pada akhirnya, perempuan gempal itu memilih untuk menjawab sang mama mertua. “Lagi pula, ini bukan luka serius kok.” “Astaga!” Mama Cindy langsung mengambil tangan Vanessa yang terulur dengan pelan. “Diperban sebanyak ini dan kau masih bilang tidak serius?” “Memang tidak serius.” Vanessa sampai meringis, karena tidak tahu
“Jovi.” Linna langsung gugup melihat kehadiran menantunya yang berdiri di depan pintu kamar. “Tadi aku dengar Mama mertuaku mengatakan sesuatu,” balas Jovi dengan senyuman lebar. “Apa aku salah dengar?” “Kau salah dengar.” Linna mengangguk dengan cepat. “Kami sedang membicarakan orang lain, bukan membicarakan kalian.” “Baguslah kalau begitu.” Jovi mengangguk pelan, masih mempertahankan senyum penuh artinya. “Kalau begitu mungkin Mama bisa keluar saja, biar aku yang membantu istriku.” Linna tidak langsung keluar. Dia terlebih dulu melirik ke arah putrinya dan memberi tanda agar bisa segera mengirim uang. Setelah itu, barulah Linna beranjak keluar dengan senyum lebar di wajahnya. “Walau tubuh putriku tidak terlalu bagus, tapi tolong perlakukan dia dengan baik ya.” Linna menyempatkan diri untuk mengatakan itu, sembari menepuk pelan pundak sang menantu. “Mama tidak perlu khawatir, karena sejujurnya Vanessa itu cukup indah,” jawab Jovi dengan tidak tahu malunya. Jujur saja, Vaness