“Kenapa dengan tanganmu itu.” Meghan menatap perban di tangan Vanessa dengan tatapan tidak suka.
“Saya kecelakaan, Bu. Ini yang saya urus dua hari kemarin.” Vanessa sama sekali tidak keberatan untuk menjelaskan. “Jadi apa kau akan mengajukan cuti lagi?” tanya Meghan dengan mata melotot. “Dengan alasan sakit?” “Tentu saja tidak.” Vanessa menggeleng sambil tersenyum. “Saya tidak selemah itu, sampai harus cuti karena tangan diperban. Walau mungkin akan jadi lamban, saya bisa bekerja.” Meghan menyipitkan mata dengan tidak suka. Entah bagaimana, dia merasa kata-kata yang diucapkan oleh Vanessa terdengar sedikit mengintimidasi dan mengejek. Hal yang jelas saja tidak disukai oleh Meghan karena biar bagaimana jabatannya lebih tinggi. “Baiklah.” Meghan mengangguk pelan. “Karena kau sudah sombong begitu, aku tidak mau melihat kau meminta tolong orang lain mengerjakan pekerjaanmu, sekali pun itu hanya sedikit.” “Itu tidak“Bagaimana dengan Vanessa?” tanya Danapati, ketika sang putra mengunjunginya di kantor. “Hubungan kalian baik-baik saja kan?” “Sangat baik.” Jovi mengangguk dengan sangat canggung dan membuat lelaki paruh baya yang menggunakan sneli di depannya menaikkan sebelah alis. “Kenapa kau terlihat gugup?” Danapati tidak segan untuk bertanya. “Kau tidak menyembunyikan sesuatu kan?” “Tidak juga.” Jovi kembali menggeleng. “Yah, kecuali soal Vanessa yang terluka karena kecelakaan ringan.” “Vanessa kecelakaan dan kau masih merahasiakan itu?” Danapati sampai melotot mendengar apa yang dikatakan oleh putranya. “Bukan sesuatu yang parah, Pa. Hanya sedikit robek di tangan dan jari.” Jovi tentu saja akan menunjukkan tempat-tempat yang sama sekali tidak berbahaya itu. “Tetap saja. Seharusnya kau memberitahu kami dan orang tua Vanessa. Kau tidak lupa mengabari mertuamu kan?” Jovi langsung terdiam mendengar pertanyaan ayahnya. Tentu saja dia sama sekali lupa dengan hal itu, apalagi mereka juga masi
“Kenapa kalian berdua bisa ada di sini?” Vanessa mengatakan itu, ketika melihat ada dua orang berdiri di depan rumah Jovi. “Vanessa, kok baru pulang kerja jam segini?” Alih-alih menjawab, Mama Cindy segera mendatangi menantunya. “Kan lagi sakit. Tidak perlu masuk kerja lah.” “Nah, kan. Mama juga bilang apa?” Kali ini, Mama Linna yang bersuara. “Harusnya kau mendengar ketika Mama bilang cuti saja.” Vanessa mengangkat sebelah alis mendengar ucapan mama kandungnya itu. Rasanya itu tidak terdengar tulus, bahkan merupakan suatu kebohongan. Linna bahkan tidak terlalu peduli dan tidak menanyakan keadaan Vanessa sama sekali. “Jam pulang Vanessa memang jam segini, Ma.” Pada akhirnya, perempuan gempal itu memilih untuk menjawab sang mama mertua. “Lagi pula, ini bukan luka serius kok.” “Astaga!” Mama Cindy langsung mengambil tangan Vanessa yang terulur dengan pelan. “Diperban sebanyak ini dan kau masih bilang tidak serius?” “Memang tidak serius.” Vanessa sampai meringis, karena tidak tahu
“Jovi.” Linna langsung gugup melihat kehadiran menantunya yang berdiri di depan pintu kamar. “Tadi aku dengar Mama mertuaku mengatakan sesuatu,” balas Jovi dengan senyuman lebar. “Apa aku salah dengar?” “Kau salah dengar.” Linna mengangguk dengan cepat. “Kami sedang membicarakan orang lain, bukan membicarakan kalian.” “Baguslah kalau begitu.” Jovi mengangguk pelan, masih mempertahankan senyum penuh artinya. “Kalau begitu mungkin Mama bisa keluar saja, biar aku yang membantu istriku.” Linna tidak langsung keluar. Dia terlebih dulu melirik ke arah putrinya dan memberi tanda agar bisa segera mengirim uang. Setelah itu, barulah Linna beranjak keluar dengan senyum lebar di wajahnya. “Walau tubuh putriku tidak terlalu bagus, tapi tolong perlakukan dia dengan baik ya.” Linna menyempatkan diri untuk mengatakan itu, sembari menepuk pelan pundak sang menantu. “Mama tidak perlu khawatir, karena sejujurnya Vanessa itu cukup indah,” jawab Jovi dengan tidak tahu malunya. Jujur saja, Vaness
“Coba jawab pertanyaan mertuamu.” Cindy ikut mencecar putranya dengan tatapan menyipit curiga. “Kan aneh kalau barang-barang Vanessa ada di kamar mandi luar, sementara dia selalu mandi di dalam.” Linna mengangguk pelan. “Apa kalian baru saja bertengkar atau apa?” “Tidak.” Jovi menggeleng dengan gugup. “Itu hanya ....” “Aku sengaja menaruhnya di luar.” Vanessa yang baru saja keluar dengan rambut yang masih basah, langsung memberi tahu. “Mandi di luar adalah solusi saat Jovi sudah lebih dulu mandi dan kami sedang buru-buru.” “Ya, seperti itu.” Jovi langsung mengangguk dengan bersemangat. “Mama kan tahu bagaimana aku jika mendapat tugas jaga pagi.” Cindy hanya bisa memutar bola mata dengan gemas. Tentu saja dia tahu kelakuan putranya jika sedang berada di dalam kamar mandi merangkap toilet saat pagi hari. “Memangnya kenapa?” Linna yang tidak mengerti, tentu akan bertanya. “Jovi itu kalau buang air sang
“Bagaimana kalau aku pura-pura hamil, kemudian pura-pura keguguran?” tanya Vanessa dengan kelopak mata yang membulat sempurna. “Lantas bagaimana kalau mamaku membawamu ke dokter kandungan?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat. “Apa kau pikir tidak akan ketahuan? Lagi pula, keguguran itu butuh dirawat di rumah sakit.” “Kau kan dokter.” Vanessa menunjuki suaminya. “Kau bisa bekerja sama dengan dokter kandungan untuk itu bukan?” “Apa kau pikir keguguran hanya berhubungan dengan dokter kandungan?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Ada dokter anestesi juga perawat, bahkan bagian administrasi. Terlalu banyak orang.” “Tidak perlu sampai seperti itu. Memangnya orang tuamu akan memeriksa semuanya.” “Mamaku mungkin tidak, tapi papaku ya. Dia dokter juga dan kalau mau, Papa bisa meminta datamu, sekali pun kau dirawat di rumah sakit lain. Dia punya banyak teman, Nes.” Vanessa mendengus keras. Dia benar-benar merasa kesal karena semua ide yang sejak tadi dia ajukan, tidak diloloskan Jovi.
[+62xxxxxxxxx: Ini peringatan terakhir untukmu. Jauhi Jovi, atau kau akan menyesal seumur hidup.] Kening Vanessa berkerut membaca pesan bernada ancaman itu. Dia bisa menebak siapa yang mengirim, tapi jelas tidak mengerti kenapa harus sampai seperti ini. “Bukannya dia yang berselingkuh duluan ya?” gumam Vanessa dengan pelan, di balik kubikel kerjanya. “Perasaan Cinta bilangnya begitu deh. Atau aku yang salah ingat?” Vanessa kembali menjelajahi ruang obrolan pribadi dengan sahabatnya itu dan menemukan kalimat yang sesuai. Dia sama sekali tidak salah ingat, jadi untuk apa Manda sampai mengancam seperti itu? “Apa dia sama sekali tidak merasa bersalah dan ingin minta balikan?” Vanessa masih berbisik. “Siapa yang tidak merasa bersalah?” Ardy tiba-tiba saja muncul dari balik kubikelnya. “Bukan siapa-siapa.” Vanessa yang sudah terbiasa dengan kemunculan lelaki rekan kerjanya itu, mampu menjawab dengan senyum tipis “Apa mantan pacarmu berulah? Atau mantannya pacarmu yang be
“Apakah aku melakukan dosa jika melakukan hubungan intim dengan perempuan yang tidak aku sukai, hanya untuk mendapat anak?” Lelaki yang duduk di depan Jovi, langsung menyemburkan isi mulutnya yang tadi penuh. Untung saja yang tersembur hanya air putih. Jika itu kopi, kemeja sang lelaki dan juga Jovi akan kotor. “Kenapa kau sejorok itu sih, Zra?” Jovi dengan cepat mengambil tisu yang ada di atas meja dan mengelap kemejanya. “Lebih tepatnya, kenapa kau bertanya hal tolol seperti itu?” desis Ezra yang melakukan hal yang sama dengan temannya. “Itu bukan pertanyaan tolol, tapi pertanyaan yang benar dan dari dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku tidak akan melakukannya jika itu dosa,” balas Jovi tidak ingin disebut tolol. “Jangan-jangan kau ini sedang membicarakan Vanessa?” Mata Ezra menyipit ketika menanyakan hal itu. “Kau apakan anak orang?” “Aku belum melakukan apa pun.” Jovi segera mengangkat tangannya. “Karena i
[Dokter Mesum: Aku rasa tidak masalah jika kita tidur bersama sekali. Setidaknya, itu tidak akan membuat mamaku merasa aneh saat kalian pergi memeriksakan kandungan. Selebihnya, nanti saja diatur.] Vanessa tersedak, bahkan nyaris saja menyemburkan kopi dingin yang baru saja dia beli ketika membaca pesan dari Jovi. Setelah selama ini lelaki itu selalu menghindar, jujur saja pesan itu amat sangat mengejutkan. “Kau kenapa?” Cinta bertanya dengan kening berkerut. “Bukan apa-apa.” Vanessa cepat-cepat menyeka sudut bibirnya dengan tisu yang disediakan oleh cafe tempat dia dan teman-temannya duduk bersantai. “Apa suami bajingan nan mesummu itu mengirimkan sesuatu yang tidak senonoh?” Giliran Erika yang bertanya. “Atau mungkin dia memaki?” Si kurus Lydia tampak terkejut ketika mengatakan hal itu. “Guys, ini tidak seperti itu.” Vanessa mencoba untuk menjelaskan, sekaligus menenangkan. “Dia hanya bertanya. Atau mungkin lebih tepatnya memberi tahu.” Ketiga sahabat Vanessa kompak menaikka