“Coba jawab pertanyaan mertuamu.” Cindy ikut mencecar putranya dengan tatapan menyipit curiga.
“Kan aneh kalau barang-barang Vanessa ada di kamar mandi luar, sementara dia selalu mandi di dalam.” Linna mengangguk pelan. “Apa kalian baru saja bertengkar atau apa?” “Tidak.” Jovi menggeleng dengan gugup. “Itu hanya ....” “Aku sengaja menaruhnya di luar.” Vanessa yang baru saja keluar dengan rambut yang masih basah, langsung memberi tahu. “Mandi di luar adalah solusi saat Jovi sudah lebih dulu mandi dan kami sedang buru-buru.” “Ya, seperti itu.” Jovi langsung mengangguk dengan bersemangat. “Mama kan tahu bagaimana aku jika mendapat tugas jaga pagi.” Cindy hanya bisa memutar bola mata dengan gemas. Tentu saja dia tahu kelakuan putranya jika sedang berada di dalam kamar mandi merangkap toilet saat pagi hari. “Memangnya kenapa?” Linna yang tidak mengerti, tentu akan bertanya. “Jovi itu kalau buang air sang“Bagaimana kalau aku pura-pura hamil, kemudian pura-pura keguguran?” tanya Vanessa dengan kelopak mata yang membulat sempurna. “Lantas bagaimana kalau mamaku membawamu ke dokter kandungan?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat. “Apa kau pikir tidak akan ketahuan? Lagi pula, keguguran itu butuh dirawat di rumah sakit.” “Kau kan dokter.” Vanessa menunjuki suaminya. “Kau bisa bekerja sama dengan dokter kandungan untuk itu bukan?” “Apa kau pikir keguguran hanya berhubungan dengan dokter kandungan?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Ada dokter anestesi juga perawat, bahkan bagian administrasi. Terlalu banyak orang.” “Tidak perlu sampai seperti itu. Memangnya orang tuamu akan memeriksa semuanya.” “Mamaku mungkin tidak, tapi papaku ya. Dia dokter juga dan kalau mau, Papa bisa meminta datamu, sekali pun kau dirawat di rumah sakit lain. Dia punya banyak teman, Nes.” Vanessa mendengus keras. Dia benar-benar merasa kesal karena semua ide yang sejak tadi dia ajukan, tidak diloloskan Jovi.
[+62xxxxxxxxx: Ini peringatan terakhir untukmu. Jauhi Jovi, atau kau akan menyesal seumur hidup.] Kening Vanessa berkerut membaca pesan bernada ancaman itu. Dia bisa menebak siapa yang mengirim, tapi jelas tidak mengerti kenapa harus sampai seperti ini. “Bukannya dia yang berselingkuh duluan ya?” gumam Vanessa dengan pelan, di balik kubikel kerjanya. “Perasaan Cinta bilangnya begitu deh. Atau aku yang salah ingat?” Vanessa kembali menjelajahi ruang obrolan pribadi dengan sahabatnya itu dan menemukan kalimat yang sesuai. Dia sama sekali tidak salah ingat, jadi untuk apa Manda sampai mengancam seperti itu? “Apa dia sama sekali tidak merasa bersalah dan ingin minta balikan?” Vanessa masih berbisik. “Siapa yang tidak merasa bersalah?” Ardy tiba-tiba saja muncul dari balik kubikelnya. “Bukan siapa-siapa.” Vanessa yang sudah terbiasa dengan kemunculan lelaki rekan kerjanya itu, mampu menjawab dengan senyum tipis “Apa mantan pacarmu berulah? Atau mantannya pacarmu yang be
“Apakah aku melakukan dosa jika melakukan hubungan intim dengan perempuan yang tidak aku sukai, hanya untuk mendapat anak?” Lelaki yang duduk di depan Jovi, langsung menyemburkan isi mulutnya yang tadi penuh. Untung saja yang tersembur hanya air putih. Jika itu kopi, kemeja sang lelaki dan juga Jovi akan kotor. “Kenapa kau sejorok itu sih, Zra?” Jovi dengan cepat mengambil tisu yang ada di atas meja dan mengelap kemejanya. “Lebih tepatnya, kenapa kau bertanya hal tolol seperti itu?” desis Ezra yang melakukan hal yang sama dengan temannya. “Itu bukan pertanyaan tolol, tapi pertanyaan yang benar dan dari dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku tidak akan melakukannya jika itu dosa,” balas Jovi tidak ingin disebut tolol. “Jangan-jangan kau ini sedang membicarakan Vanessa?” Mata Ezra menyipit ketika menanyakan hal itu. “Kau apakan anak orang?” “Aku belum melakukan apa pun.” Jovi segera mengangkat tangannya. “Karena i
[Dokter Mesum: Aku rasa tidak masalah jika kita tidur bersama sekali. Setidaknya, itu tidak akan membuat mamaku merasa aneh saat kalian pergi memeriksakan kandungan. Selebihnya, nanti saja diatur.] Vanessa tersedak, bahkan nyaris saja menyemburkan kopi dingin yang baru saja dia beli ketika membaca pesan dari Jovi. Setelah selama ini lelaki itu selalu menghindar, jujur saja pesan itu amat sangat mengejutkan. “Kau kenapa?” Cinta bertanya dengan kening berkerut. “Bukan apa-apa.” Vanessa cepat-cepat menyeka sudut bibirnya dengan tisu yang disediakan oleh cafe tempat dia dan teman-temannya duduk bersantai. “Apa suami bajingan nan mesummu itu mengirimkan sesuatu yang tidak senonoh?” Giliran Erika yang bertanya. “Atau mungkin dia memaki?” Si kurus Lydia tampak terkejut ketika mengatakan hal itu. “Guys, ini tidak seperti itu.” Vanessa mencoba untuk menjelaskan, sekaligus menenangkan. “Dia hanya bertanya. Atau mungkin lebih tepatnya memberi tahu.” Ketiga sahabat Vanessa kompak menaikka
“Jadi ... apa yang harus aku lakukan?” Jovi bertanya dengan nada ragu-ragu. “Kau serius menanyakan itu padaku?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Memangnya kau tidak pernah?” “Tentu saja tidak pernah.” Jovi jadi ikut-ikutan melotot. “Memangnya kau pikir aku lelaki brengsek yang sangat mesum.” “Ya.” Jawaban tegas dari Vanessa, membuat sang dokter menaikkan kedua alisnya. Dia tidak percaya ada seseorang yang akan menyebutnya seperti itu, karena dia jelas-jelas orang baik. Apa karena tato? “Kalau kau menganggapku seperti itu karena tato ....” “Kenapa kau membawa-bawa tato?” tanya Vanessa dengan memotong kalimat lelaki yang duduk di depannya itu. “Itu membuatmu terlihat seperti preman, tapi preman sekali pun ada yang berhati Hello Kitty.” “Lalu? Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Jovi makin bingung saja.
“Oh, sialan!” Jovi menggeram marah. “Ada apa lagi?” tanya Vanessa yang terbaring kelelahan di atas ranjang. “Karet pengamannya sudah habis.” Jovi menggeram kesal. “Seharusnya tadi aku ambil lebih banyak lagi.” “Maaf?” Vanessa langsung bangkit dari posisi berbaringnya dan tak lupa menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya. “Kita sudah tiga kali dan kau masih mau lagi? Apa kau lupa ini kali pertamaku?” “Maaf.” Jovi meringis pelan, ketika mendengar keluhan itu. “Aku agak terlalu bersemangak kurasa. Apa masih sakit?” Vanessa mendengus pelan mendengar pertanyaan yang sebenarnya terlambat itu. Rasa sakitnya memang masih tersisa sedikit, tapi itu bukan masalah. Sejujurnya, rasa sakit yang ditimbulkan malah tidak sesakit bayangan Vanessa. “Tidak terlalu,” jawabnya jujur. “Tapi aku tidak mau lagi dan ingin tidur saja. Aku lelah karena kau kerjai selama lebih dari satu jam dan nyaris tanpa jeda.” “Maaf.” Jovi yang masih telanjang, mendekati perempuan gempal yang memang terlihat l
“Apa yang kau lakukan di sini?” Vanessa mendongak ketika mendengar suara itu. Padahal dia sedang duduk cantik di kursi Jovi dan sedang menikmati makan siang yang sudah terlalu terlambat itu di meja sang dokter, ketika pintu tiba-tiba terbuka begitu saja. “Oh, maaf.” Vanessa buru-buru berdiri dan sedikit merapikan barang-barangnya. “Apa Jovi sudah akan menerima pasien di sini? Atau kau akan menggunakan ruangannya.” Perempuan yang mengenakan sneli dan ada stetoskop menggantung di leher itu melipat tangan. Dia menatap Vanessa dari atas sampai bawah, tapi tidak bisa mengingatnya sama sekali. “Boleh aku tanya kau itu siapa?” tanya sang dokter perempuan dengan kening berkerut tidak suka. “Vanessa dan aku ... dokter Aurora?” Vanessa perlu sedikit menyipitkan mata, untuk membaca tanda pengenal yang tergantung. “Mau apa kau di ruangan ini?” tanya Aurora, sembari meny
“Vanessa, ke ruangan saya sekarang juga.” “Baik, Bu,” jawab yang empunya nama dengan kening berkerut. Kening Vanessa masih berkerut, ketika meletakkan gagang teleponnya. Padahal seharusnya dia tidak punya jadwal untuk rapat bersama pimpinan cabang, tapi perempuan berkedudukan tertinggi di kantornya itu menelepon dan mencarinya. “Kau mau ke mana?” Vanessa bertanya, ketika Ardy juga berdiri dari tempatnya. “Bos 01 mencariku,” jawab Ardy disertai dengan kedikan bahu. “Aku juga dicari.” Vanessa jadi makin bingung saja. “Tapi kenapa bersamaan seperti ini.” “Kalian belum dengar gosipnya?” Tiba-tiba saja, Putri muncul di tengah dua orang yang tengah berdiri itu dan berbisik dengan pelan. “Gosip apa?” Tentu saja Ardy akan bertanya. Alih-alih menjawab, Putri malah meminta dua orang itu mengikutinya. Mereka mengarah ke tempat yang lebih sepi, tapi tidak terlalu terpencil agar tidak menimbulkan gosip aneh lainnya. “Aku yakin kalian berdua belum melihat video ini.” Putri memberi
“Kenapa kau menolak Hani?” tanya Cindy dalam intonasi suara yang cukup tinggi. “Hah? Hani siapa?” Jovi tentu saja akan balas bertanya, karena tidak mengenali orang yang disebutkan sang ibu. “Itu, perempuan yang tadi berkunjung ke rumahmu. Masa kau tidak tahu sih?” Jovi mengembuskan napas pelan, antara lega dan lelah. Tadi dia memang sempat mengusir seseorang, ketika akan keluar rumah untuk mengejar Vanessa. Hal yang membuatnya agak terlambat. “Apa Mama sehat?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat naik. “Aku punya istri, tapi Mama malah mengirim perempuan panggilan ke rumahku? Bahkan membiarkan dia naik sampai ke lantai kamarku?” “Heh, mulutmu itu. Kenapa tidak sopan sekali? Hani itu perempuan baik-baik.” “Perempuan baik-baik, tidak akan datang ke rumah lelaki malam-malam begitu seorang diri. Apalagi lelaki yang sudah menikah,” ucap Jovi yang terasa seperti tamparan bagi mamanya. Bukan hanya Cindy yang tertohok, tapi juga Vanessa. Perempuan gempal itu baru saja berduaan
“Jovi berhenti.” Vanessa berusaha keras menarik tangan suaminya, yang tampak masih ingin memukul. Sayangnya, Jovi tidak terlihat ingin berhenti. Padahal, Ardy sudah terjatuh dari motor dan beberapa orang sudah mulai berkumpul sembari memegang ponsel. Tidak ada yang terlalu berniat untuk merelai, karena lebih memilih untuk membuat video viral. “Jovi aku mohon.” Kali ini, Vanessa berusaha untuk memeluk suaminya dan berhasil. “Jika kau tidak ingin mamamu makin membenciku, tolong jangan lakukan ini.” Mendengar kata ibu disebut, Jovi langsung terhenti. Sang dokter bahkan terlihat membeku untuk sesaat, sebelum akhirnya mencoba untuk mengatur napas dan emosinya yang tidak stabil. “Ardy, kau tidak apa-apa?” Melihat suaminya sudah tenang, Vanessa beranjak untuk melihat rekan kerjanya itu. Tapi baru juga satu langkah, tangannya sudah ditahan. “Kau masih mau melihat kondisi bajingan itu?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Kau menyerang orang dengan tiba-tiba, Vi.” Tentu saja Vanessa akan
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt