“Jadi ... apa yang harus aku lakukan?” Jovi bertanya dengan nada ragu-ragu.
“Kau serius menanyakan itu padaku?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Memangnya kau tidak pernah?” “Tentu saja tidak pernah.” Jovi jadi ikut-ikutan melotot. “Memangnya kau pikir aku lelaki brengsek yang sangat mesum.” “Ya.” Jawaban tegas dari Vanessa, membuat sang dokter menaikkan kedua alisnya. Dia tidak percaya ada seseorang yang akan menyebutnya seperti itu, karena dia jelas-jelas orang baik. Apa karena tato? “Kalau kau menganggapku seperti itu karena tato ....” “Kenapa kau membawa-bawa tato?” tanya Vanessa dengan memotong kalimat lelaki yang duduk di depannya itu. “Itu membuatmu terlihat seperti preman, tapi preman sekali pun ada yang berhati Hello Kitty.” “Lalu? Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Jovi makin bingung saja.“Oh, sialan!” Jovi menggeram marah. “Ada apa lagi?” tanya Vanessa yang terbaring kelelahan di atas ranjang. “Karet pengamannya sudah habis.” Jovi menggeram kesal. “Seharusnya tadi aku ambil lebih banyak lagi.” “Maaf?” Vanessa langsung bangkit dari posisi berbaringnya dan tak lupa menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya. “Kita sudah tiga kali dan kau masih mau lagi? Apa kau lupa ini kali pertamaku?” “Maaf.” Jovi meringis pelan, ketika mendengar keluhan itu. “Aku agak terlalu bersemangak kurasa. Apa masih sakit?” Vanessa mendengus pelan mendengar pertanyaan yang sebenarnya terlambat itu. Rasa sakitnya memang masih tersisa sedikit, tapi itu bukan masalah. Sejujurnya, rasa sakit yang ditimbulkan malah tidak sesakit bayangan Vanessa. “Tidak terlalu,” jawabnya jujur. “Tapi aku tidak mau lagi dan ingin tidur saja. Aku lelah karena kau kerjai selama lebih dari satu jam dan nyaris tanpa jeda.” “Maaf.” Jovi yang masih telanjang, mendekati perempuan gempal yang memang terlihat l
“Apa yang kau lakukan di sini?” Vanessa mendongak ketika mendengar suara itu. Padahal dia sedang duduk cantik di kursi Jovi dan sedang menikmati makan siang yang sudah terlalu terlambat itu di meja sang dokter, ketika pintu tiba-tiba terbuka begitu saja. “Oh, maaf.” Vanessa buru-buru berdiri dan sedikit merapikan barang-barangnya. “Apa Jovi sudah akan menerima pasien di sini? Atau kau akan menggunakan ruangannya.” Perempuan yang mengenakan sneli dan ada stetoskop menggantung di leher itu melipat tangan. Dia menatap Vanessa dari atas sampai bawah, tapi tidak bisa mengingatnya sama sekali. “Boleh aku tanya kau itu siapa?” tanya sang dokter perempuan dengan kening berkerut tidak suka. “Vanessa dan aku ... dokter Aurora?” Vanessa perlu sedikit menyipitkan mata, untuk membaca tanda pengenal yang tergantung. “Mau apa kau di ruangan ini?” tanya Aurora, sembari meny
“Vanessa, ke ruangan saya sekarang juga.” “Baik, Bu,” jawab yang empunya nama dengan kening berkerut. Kening Vanessa masih berkerut, ketika meletakkan gagang teleponnya. Padahal seharusnya dia tidak punya jadwal untuk rapat bersama pimpinan cabang, tapi perempuan berkedudukan tertinggi di kantornya itu menelepon dan mencarinya. “Kau mau ke mana?” Vanessa bertanya, ketika Ardy juga berdiri dari tempatnya. “Bos 01 mencariku,” jawab Ardy disertai dengan kedikan bahu. “Aku juga dicari.” Vanessa jadi makin bingung saja. “Tapi kenapa bersamaan seperti ini.” “Kalian belum dengar gosipnya?” Tiba-tiba saja, Putri muncul di tengah dua orang yang tengah berdiri itu dan berbisik dengan pelan. “Gosip apa?” Tentu saja Ardy akan bertanya. Alih-alih menjawab, Putri malah meminta dua orang itu mengikutinya. Mereka mengarah ke tempat yang lebih sepi, tapi tidak terlalu terpencil agar tidak menimbulkan gosip aneh lainnya. “Aku yakin kalian berdua belum melihat video ini.” Putri memberi
“Kau apa?” “Aku dikasih surat teguran, Kak Ben,” keluh Vanessa setelah mengembuskan napas pelan. “Padahal aku tidak terbukti bersalah, tapi aku kena tegur.” “Kenapa bisa? Apa ada yang mengerjaimu?” tanya Ben terdengar tidak senang. “Ke mana suamimu? Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?” “Jovi bahkan belum tahu hal ini, Kak. Lagi pula, ini kan urusan kantorku. Kenapa harus memberi tahu Jovi?” “Karena dia suamimu, Nes.” Ben terdengar mengembuskan napas cukup keras. “Tentu saja dia harus tahu dan membelamu sebisa mungkin.” “Tapi nanti dia justru marah. Soalnya ada yang memfitnah aku selingkuh dengan teman kantor.” Pada akhirnya Vanessa sedikit menjelaskan keadaannya. “Dia tidak akan marah, jika itu hanya sesuatu yang tidak masuk akal. Atau perlu aku saja yang mencari tahu pelaku yang menuduhmu itu?” “Kami sudah tahu, Kak. Tapi kami tidak p
“Bagaimana keadaan pacarmu yang kemarin?” Jovi mendongak ketika mendengar suara yang dia kenal. Jam jaganya sebentar lagi akan selesai, tapi sekarang dia malah kedatangan tamu. Untung saja sekarang dia masih berjaga di IGD, jadi Aurora mungkin tidak akan melakukan atau menanyakan hal aneh. “Baik,” jawab Jovi kembali menekuni laporannya. “Lagi pula, tidak ada yang perlu kau khawatirkan.” “Tapi aku lihat tangannya menggunakan perban. Memang sepertinya bukan luka besar, tapi tetap saja kan.” Jovi kembali mendongak mendengar pernyataan itu. Rasanya aneh saja mendengar ada orang yang memperhatikan Vanessa sampai sebegitunya, apalagi oleh orang yang bisa dibilang tidak kenal baik. “Terakhir kali aku cek, itu terlihat baik-baik saja.” Jovi mengangguk dan kembali pada laporannya. “Tidak ada indikasi lain? Maksudku, dia kan kelebihan berat badan, jadi siapa tahu saja
“Hah? Makan malam bersama?” Vanessa nyaris memekik, ketika mendengar berita itu. “Iya. Papa tiba—tiba ingin kita ke rumah dan makan malam sama-sama.” Jovi berdecak pelan, dari ujung sambungan telepon. “Padahal rencananya hari ini aku mau di rumah saja.” “Aduh! Bagaimana ini? Aku sedang banyak pekerjaan dan tidak bisa ditunda.” Vanessa jadi panik sendiri, sembari menatap beberapa tumpukan kertas dan komputernya yang menyala. “Padahal tadinya mau lembur.” “Jadi bagaimana?” Bukannya memberi solusi, Jovi malah bertanya balik. “Mau aku tanyakan ke Papa dan Mama dulu biar ganti hari saja?” “Biar aku saja yang menelepon.” Vanessa dengan tegas menolak. “Kan aku yang tidak bisa ke sana, jadi harus aku yang meminta izin.” “Ya sudah, tapi nanti kabari aku apa hasilnya ya. Biar aku bisa memesan makanan untuk sebentar malam,” balas Jovi sebelum mengucapkan salam perpisahan. Dengan cepat, Vanessa menekan nomor telepon ayah mertuanya. Dia merasa perlu keluar ruangan untuk membicarakan apa
“Apa aku boleh menumpang?” Meghan dengan tidak tahu dirinya bertanya pada Vanessa. “Hah? Maksudnya Bu?” Yang ditanya tentu saja akan bertanya balik, karena apa yang ditanyakan bisa dibilang sangat ambigu. “Aku mau menumpang, bukannya kau akan pulang ke rumah dengan taksi online?” tanya Meghan dengan santainya. “Aku mau menumpang dan turun di tengah jalan saja, biar menghemat.” Vanessa menaikkan kedua alisnya. Ingin menghemat katanya? Seorang bos ingin menghemat dengan menumpang taksi online pegawainya? “Maaf, Bu. Saya hari ini dijemput, jadi saya rasa tidak bisa. Menumpang pada orang lain saja ya.” Vanessa tentu saja akan menolak, walau masih berusaha untuk sopan. “Tapi aku mau ikut denganmu, soalnya yang lain menyebalkan.” Sayang sekali Meghan bersikeras, tapi apa yang dia katakan tentu saja membuat orang yang ada di ruangan besar itu menoleh. Meghan bahka
Semua orang saling menatap saat Manda dengan terpaksa bergabung di meja makan. Mereka tidak mungkin mengusir orang yang sudah terlanjur dibiarkan masuk oleh ART kan? Itu agak tidak sopan. “Senang sekali akhirnya bisa diterima di rumah ini.” Manda tersenyum lebar. “Sayangnya tidak seperti itu.” Cindy membalas dengan senyum mencemooh. “Kami terpaksa mengajakmu karena kau sudah terlanjur masuk. Kami tidak cukup kurang ajar untuk mengusirmu lagi.” “Bagaimana kalau kita mulai makan saja?” tanya Jovi ingin menghindari pertengkaran. “Aku sudah lapar.” “Tentu saja.” Danapati pun mengangguk. “Aku yakin Vanessa juga sudah lapar, apalagi dia tidak bisa terlambat makan.” “Aku sudah minum obat kok, Pa.” Vanessa memaksakan senyum ketika mengatakan itu. Pada akhirnya, semua orang terdiam ketika ART m
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt
“Jadi Bu Meghan menilaiku seperti itu ya?” Vanessa mengangguk pelan. “Memang kenyataannya seperti itu, Vanessa. Itu bukan hanya sekedar penilaianku,” balas Meghan dengan sombongnya. “Tapi lebih rendah yang mana?” Tiba-tiba saja Vanessa berdiri dan tersenyum dengan lebar. “Tidur dengan pacar sendiri, atau tidur dengan pacar orang? Leher Bu Meghan punya lebih banyak bekas merah loh waktu itu. Mau saya tunjukkan fotonya?” “Apa maksudmu dengan itu?” Meghan memukul meja dengan wajah yang memerah karena marah dan bercampur sedikit malu. “Semua orang di sini juga tahu faktanya, Bu.” Vanessa menantang dengan melipat tangan di depan dada. “Rocky itu awalnya pacarku yang Bu Meghan tikung entah dengan cara apa. Mungkin dengan membuka kaki di depannya.” “Kau ....” Meghan menunjuk perempuan gempal di depannya menggunakan jari telunjuk berkuku panjang. Bahkan kuku itu n
“Sebentar malam, kalian berdua harus bicara sama Mama dan Papa.” Vanessa mengembuskan napas pelan, ketika mengingat apa yang dikatakan ibu mertuanya. Kejadian tadi pagi, tentu saja merupakan kejadian yang sangat memalukan sepanjang sejarah kehidupan Vanessa. “Bagaimana bisa Mama Cindy malah menemukan karet pengaman bekas pakai Jovi?” desis Vanessa dengan suara sekecil mungkin. “Dasar dokter mesum sialan.” “Kak Vanessa kenapa?” Putri yang baru saja berbalik, bertanya. “Sedang banyak pikiran,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Apa yang membuatmu banyak pikiran?” Ardy ikut menimpali. “Apa karena pacarmu ....” “Jaga mulutmu, Ardy.” Vanessa tentu saja akan melotot pada rekan kerja lelaki itu. “Jangan menyumpahiku dengan hal yang tidak-tidak.” “Aku bahkan belum mengatakan apa-apa.” Ardy mengedikkan bahu, seolah tidak bersalah. “