Selamat membaca.
“Apa aku boleh menumpang?” Meghan dengan tidak tahu dirinya bertanya pada Vanessa. “Hah? Maksudnya Bu?” Yang ditanya tentu saja akan bertanya balik, karena apa yang ditanyakan bisa dibilang sangat ambigu. “Aku mau menumpang, bukannya kau akan pulang ke rumah dengan taksi online?” tanya Meghan dengan santainya. “Aku mau menumpang dan turun di tengah jalan saja, biar menghemat.” Vanessa menaikkan kedua alisnya. Ingin menghemat katanya? Seorang bos ingin menghemat dengan menumpang taksi online pegawainya? “Maaf, Bu. Saya hari ini dijemput, jadi saya rasa tidak bisa. Menumpang pada orang lain saja ya.” Vanessa tentu saja akan menolak, walau masih berusaha untuk sopan. “Tapi aku mau ikut denganmu, soalnya yang lain menyebalkan.” Sayang sekali Meghan bersikeras, tapi apa yang dia katakan tentu saja membuat orang yang ada di ruangan besar itu menoleh. Meghan bahka
Semua orang saling menatap saat Manda dengan terpaksa bergabung di meja makan. Mereka tidak mungkin mengusir orang yang sudah terlanjur dibiarkan masuk oleh ART kan? Itu agak tidak sopan. “Senang sekali akhirnya bisa diterima di rumah ini.” Manda tersenyum lebar. “Sayangnya tidak seperti itu.” Cindy membalas dengan senyum mencemooh. “Kami terpaksa mengajakmu karena kau sudah terlanjur masuk. Kami tidak cukup kurang ajar untuk mengusirmu lagi.” “Bagaimana kalau kita mulai makan saja?” tanya Jovi ingin menghindari pertengkaran. “Aku sudah lapar.” “Tentu saja.” Danapati pun mengangguk. “Aku yakin Vanessa juga sudah lapar, apalagi dia tidak bisa terlambat makan.” “Aku sudah minum obat kok, Pa.” Vanessa memaksakan senyum ketika mengatakan itu. Pada akhirnya, semua orang terdiam ketika ART m
“Mau aku antar pulang?” tanya Jovi agak ragu-ragu. “Oh, memangnya tidak apa-apa?” tanya Manda yang tentu saja akan tersenyum. “Aku khawatir istrimu tidak akan setuju.” “Bukan hanya Vanessa yang tidak setuju.” Cindy yang ikut mengantar putra dan menantunya sampai keluar pun bersuara. “Aku pun tidak setuju.” “Tidak apa-apa, Ma.” Vanessa tersenyum, sembari menenangkan ibu mertuanya. “Lagi pula, Vanessa kan ikut juga.” “Vanessa.” Cindy melotot mendengar sang menantu. “Tidak bisa begitu dong, Sayang.” “Jovi hanya sedang ingin berbuat baik, Ma. Tidak ada salahnya mengantar seseorang yang tidak mampu pulang sendiri.” Vanessa masih memasang senyum lebar, tapi perkataannya jelas untuk mencemooh. “Ya sudah.” Cindy hanya bisa mengembuskan napas pelan, karena menantunya sedikit kera
“Jovi tunggu dulu.” Vanessa berusaha menahan tubuh lelaki yang mendekapnya dengan erat. “Kenapa harus menunggu?” tanya Jovi dengan embusan napas berat. “Kita sudah di rumah, bukan di dalam mobil lagi.” “Iya, tapi ....” Kalimat Vanessa tidak selesai, karena bibirnya sudah dibungkam dengan ciuman. Walau awalnya sempat merasa tidak ingin melakukan apa pun, tapi dia dengan mudahnya terbawa suasana. Sekarang Vanessa mulai menyesal telah menggoda Jovi. “Kamar,” bisik Vanessa pelan. “Tidak perlu di kamar, Nes.” Jovi balas berbisik. “Di mana pun bisa.” “Tapi punggungku akan sakit kalau di lantai, Sialan.” Walau sedang dalam suasana hati yang baik, Vanessa tidak segan memaki. “Sofa?” Jovi memberikan penawaran. “Terlalu sempit.” “Tidak akan sempit jika kau mau duduk di atasku,” balas Jovi dengan senyum mir
“Sebentar malam, kalian berdua harus bicara sama Mama dan Papa.” Vanessa mengembuskan napas pelan, ketika mengingat apa yang dikatakan ibu mertuanya. Kejadian tadi pagi, tentu saja merupakan kejadian yang sangat memalukan sepanjang sejarah kehidupan Vanessa. “Bagaimana bisa Mama Cindy malah menemukan karet pengaman bekas pakai Jovi?” desis Vanessa dengan suara sekecil mungkin. “Dasar dokter mesum sialan.” “Kak Vanessa kenapa?” Putri yang baru saja berbalik, bertanya. “Sedang banyak pikiran,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Apa yang membuatmu banyak pikiran?” Ardy ikut menimpali. “Apa karena pacarmu ....” “Jaga mulutmu, Ardy.” Vanessa tentu saja akan melotot pada rekan kerja lelaki itu. “Jangan menyumpahiku dengan hal yang tidak-tidak.” “Aku bahkan belum mengatakan apa-apa.” Ardy mengedikkan bahu, seolah tidak bersalah. “
“Jadi Bu Meghan menilaiku seperti itu ya?” Vanessa mengangguk pelan. “Memang kenyataannya seperti itu, Vanessa. Itu bukan hanya sekedar penilaianku,” balas Meghan dengan sombongnya. “Tapi lebih rendah yang mana?” Tiba-tiba saja Vanessa berdiri dan tersenyum dengan lebar. “Tidur dengan pacar sendiri, atau tidur dengan pacar orang? Leher Bu Meghan punya lebih banyak bekas merah loh waktu itu. Mau saya tunjukkan fotonya?” “Apa maksudmu dengan itu?” Meghan memukul meja dengan wajah yang memerah karena marah dan bercampur sedikit malu. “Semua orang di sini juga tahu faktanya, Bu.” Vanessa menantang dengan melipat tangan di depan dada. “Rocky itu awalnya pacarku yang Bu Meghan tikung entah dengan cara apa. Mungkin dengan membuka kaki di depannya.” “Kau ....” Meghan menunjuk perempuan gempal di depannya menggunakan jari telunjuk berkuku panjang. Bahkan kuku itu n
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu