“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya.
“Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Jovi berhenti.” Vanessa berusaha keras menarik tangan suaminya, yang tampak masih ingin memukul. Sayangnya, Jovi tidak terlihat ingin berhenti. Padahal, Ardy sudah terjatuh dari motor dan beberapa orang sudah mulai berkumpul sembari memegang ponsel. Tidak ada yang terlalu berniat untuk merelai, karena lebih memilih untuk membuat video viral. “Jovi aku mohon.” Kali ini, Vanessa berusaha untuk memeluk suaminya dan berhasil. “Jika kau tidak ingin mamamu makin membenciku, tolong jangan lakukan ini.” Mendengar kata ibu disebut, Jovi langsung terhenti. Sang dokter bahkan terlihat membeku untuk sesaat, sebelum akhirnya mencoba untuk mengatur napas dan emosinya yang tidak stabil. “Ardy, kau tidak apa-apa?” Melihat suaminya sudah tenang, Vanessa beranjak untuk melihat rekan kerjanya itu. Tapi baru juga satu langkah, tangannya sudah ditahan. “Kau masih mau melihat kondisi bajingan itu?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Kau menyerang orang dengan tiba-tiba, Vi.” Tentu saja Vanessa akan
“Kenapa kau menolak Hani?” tanya Cindy dalam intonasi suara yang cukup tinggi. “Hah? Hani siapa?” Jovi tentu saja akan balas bertanya, karena tidak mengenali orang yang disebutkan sang ibu. “Itu, perempuan yang tadi berkunjung ke rumahmu. Masa kau tidak tahu sih?” Jovi mengembuskan napas pelan, antara lega dan lelah. Tadi dia memang sempat mengusir seseorang, ketika akan keluar rumah untuk mengejar Vanessa. Hal yang membuatnya agak terlambat. “Apa Mama sehat?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat naik. “Aku punya istri, tapi Mama malah mengirim perempuan panggilan ke rumahku? Bahkan membiarkan dia naik sampai ke lantai kamarku?” “Heh, mulutmu itu. Kenapa tidak sopan sekali? Hani itu perempuan baik-baik.” “Perempuan baik-baik, tidak akan datang ke rumah lelaki malam-malam begitu seorang diri. Apalagi lelaki yang sudah menikah,” ucap Jovi yang terasa seperti tamparan bagi mamanya. Bukan hanya Cindy yang tertohok, tapi juga Vanessa. Perempuan gempal itu baru saja berduaan
“Ini ada apa lagi sih?” Vanessa mengeluh ketika dia sampai di kantor dan semua orang menatapnya dengan aneh. Bahkan dimulai dari satpam. “Hei, Nes. Sepertinya kau senang sekali berbuat keributan dengan berganti-ganti lelaki ya.” Seseorang bersuara dengan senyum jahil. “Sayangnya, aku tidak pernah seperti itu,” jawab Vanessa terlihat sangat santai. “Mungkin kau sedang halusinasi saja.” “Videomu ada di mana-mana.” Orang yang tadi kembali berbicara. “Coba saja tanya teman-temanmu di atas, tapi kenapa juga harus selingkuh dengan Ardy.” “Maaf?” Vanessa yang baru saja ingin menaiki tangga, langsung batal melakukannya. “Aku dan Ardy kenapa?” “Kau selingkuh dengan dia dan ketahuan sama pacarmu kan?” Vanessa menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Sekarang dia mengerti apa yang terjadi, tapi tidak mengerti kenapa video penyerangan malam kemarin sudah beredar secepat itu. “Kalian hanya salah paham saja. Yang ada di video itu juga salah paham saja dan sudah diatasi dengan
"Huh? Siapa yang datang?" Seorang lelaki berseragam polisi berpangkat cukup tinggi, menaikkan sebelah alisnya. "Itu, Pak. Pelapor tabrak lari tempo hari. Yang Bapak tangani kasusnya itu." "Mau apa lagi sih mereka." Pak polisi itu mengeluh. "Suruh saja masuk dulu." Danapati masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak senang. Hal yang tentunya tidak membuat si polisi takut, dia bahkan tersenyum lebar. "Aku lihat, tidak ada perkembangan dari kasus tabrak lari menantuku." Danapati langsung bertanya tanpa basa-basi. "Apa Pak Polisi benar-benar menangani hal ini dengan baik?" "Tentu saja kami menanganinya dengan baik." Pak Polisi tadi tersenyum lebar. "Kami sementara melihat rekaman CCTV, tapi itu kan butuh waktu. Apalagi pekerjaan kami kan banyak." "Pekerjaan kalian yang banyak, atau kalian merasa kekurangan uang sogokan?" tanya Danapati dengan senyum miringnya yang mencemooh. "Wah, Pak itu namanya fitnah." Si
"Loh, ada Jovi di sini." Anna tersenyum ketika melihat lelaki yang dia lihat itu. Berbeda dengan Anna, Jovi malah berdecih pelan. Lelaki itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran teman kelasnya itu. Apalagi Anna berada di rumah sakit milik keluarganya. "Kenapa kau ada di sini?" Anna mengekori Jovi yang sedang berjalan cepat menuju ke lift. "Apa kau juga berniat untuk nanti bergabung dengan peneliti yang ada di Hospitalia ini?" Tentu saja Jovi memilih untuk tidak menjawab. Dia tidak ingin mengurusi perempuan yang terus mengikutinya itu, karena perlu pergi ke kamar sang istri. Dia sudah sengaja pergi makan siang dan mandi, karena sahabat sang istri datang menjenguk. "Hei, apa kau tidak punya telinga?" tanya Anna terlihat cemberut, ketika masuk ke dalam lift. "Dokter Jovi, sepertinya Mbak yang di sana berbicara dengan dokter." Seorang perawat memberitahu. "Dia tidak bicara denganku," jawab Jovi dengan senyum tipis.
"Vanessa? Apa yang kau lamunkan?" Yang empunya nama tersentak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Makin terkejut ketika menyadari ada Cinta-sang sahabat, hanya berjarak lima senti dari wajah Vanessa. "Argh." Vanessa refleks mendorong sang sahabat. "Aduh!" Tentu saja Cinta akan mengeluh. "Kau itu kenapa sih?" "Ka ...." Vanessa ingin berbicara lebih banyak, tapi tidak bisa. Bisa mengeluarkan suara seperti barusan saja sudah merupakan kemajuan besar. "Pelan-pelan, Ta. Jangan terlalu membuat dia terkejut, nanti kepala Vanessa bisa berdarah lagi." Kali ini, giliran Lydia yang berbicara. "Cinta yang membuatku terkejut." Vanessa memperlihatkan ponselnya untuk berbicara. "Lagi pula, kenapa kalian harus membuatku terkejut." "Coba lihat dia." Erika berdecak pelan. "Padahal kita sudah susah-susah meluangkan waktu untuk datang menjenguk, tapi dia malah menyalahkan kita. Mana dari sejak kita datang dia cuma melamun saja. Dasar tidak tahu diuntung." Vanessa memutar b
"Gangguan bicara kadang terjadi pada pasien dengan pendarahan otak." Dokter bedah saraf memberi tahu. "Efeknya bisa jadi permanen, tapi bisa juga hanya sementara saja." "Saran saya, Mbak Vanessa boleh dicoba untuk terapi bicara saja dulu. Mungkin Dokter Danapati dan Dokter Jovi bisa sekalian ikut membantu. Saya yakin kalian bisa membantu untuk terapi juga." Walau terbalut dengan perban, semua orang tahu kalau Vanessa tengah mengerutkan keningnya. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari dokter yang menanganinya. Padahal, dia bisa bersuara walau tidak bisa merangkai kata. "Tidak apa-apa, Nes." Jovi berusaha untuk tersenyum dan menenangkan istrinya, ketika dokter yang menangani pergi. "Masih diterapi karena ini hanya gangguan sementara saja. Mungkin kau sudah bisa kembali berbicara dengan baik setelah beberapa minggu." Sayang sekali, Vanessa menggeleng. Dia tentu saja menjadi orang yang paling terpukul atas gangguan bicara yang dia alami sekarang in
"Jovi tunggu dulu." Anna berlarian mengejar lelaki yang dia panggil itu. "Hei, apa kau tidak mendengar?" Tentu Jovi tidak peduli dengan panggilan itu, karena dia sedang terburu-buru. Vanessa masih di ruang operasi, jadi dia harus bergegas pergi ke rumah sakit. Jovi ingin berada di dekat sang istri. "Hei, apa kau tidak mendengar aku." Anna merentangkan tangan di depan motor yang baru saja dinaiki oleh Jovi. "Minggir," gumam Jovi yang sudah siap untuk berangkat. "Aku tidak mau." Sayang sekali, Anna bergeming. "Setidaknya berikan nomor ponselmu sebelum kau pergi." "Minggir sekarang atau aku akan menabrakmu." Jovi kembali meminta disertai dengan ancaman. "Berikan nomor ponselmu, agar kita bisa mengobrol dengan lebih tenang dan... Kyaa." Anna segera menghindar ketika Jovi benar-benar melajukan motornya. Padahal lelaki itu hanya melajukan motor dengan sangat lambat untuk menakut-nakuti. Tentu saja itu membuat Anna langsung menghindar karena takut ditabrak. "Tunggu dulu." Rupa
"Mahasiswa baru ya?" Jovi mendongak ketika dia mendengar ada suara di sebelahnya. Ada seorang perempuan yang tampaknya lebih muda dari dirinya, tersenyum dengan sangat lebar. Hal yang membuat Jovi mendengus pelan. "Ada masalah dengan status kuliahku?" tanya Jovi kini kembali menatap ke depan. Sekarang ini, Jovi memang sudah mulai menjalankan kuliah kembali dan ini adalah hari pertamanya. Padahal, hari ini bersamaan dengan jadwal operasi Vanessa. Tapi karena dia juga tidak bisa bolos pada semester baru dan hari pertama, jika ingin cepat lulus. Alhasil Jovi memilih untuk pergi ke kampus dengan perasaan was-was. "Tidak ada sih." Bukannya menyerah, perempuan tadi malah duduk di sebelah Jovi yang memang kosong. "Tapi aku boleh berkenalan denganmu kan? Namaku Anna." "Maaf, tapi tidak bisa." Jovi segera menolak dan memilih untuk pindah ke deretan kursi paling belakang, walau dia suka duduk di tengah. "Kenapa tidak bisa?" tan
"Keguguran?" tanya Cindy dengan kedua alis terangkat. "Ya." Danapati mengangguk pelan. "Dan sepertinya baik Jovi maupun Vanessa tidak tahu tentang kehamilan itu. Bahkan Jovi mengaku sempat memberikan Vanessa obat untuk menghalangi kehamilan, tapi mungkin lupa diminum karena bertengkar." Cindy terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan suaminya. Dia yang sejak tadi menunggu di sana karena Vanessa harus dibiarkan sendiri untuk istirahat, benar-benar merasa sangat terkejut. Padahal cucu adalah hal yang sangat Cindy inginkan, tapi dia malah kehilangan. "Ini mungkin hukuman untukku," bisik Cindy pelan. "Ini pasti karena aku menindas Vanessa dan memaksanya untuk memiliki anak yang tidak mereka inginkan." "Jangan menyalahkan dirimu." Danapati mencoba untuk menenangkan sang istri. "Itu semua terjadi bukan karena dirimu." "Ya." Cindy tidak segan untuk mengangguk, ketika mengingat apa yang terjadi. "Ini semua karena mobil sialan yang tid
"Dasar orang gila." Cindy nyaris saja berteriak, ketika masuk ke dalam kamar rawat inap menantunya. "Masa anaknya koma begini malah minta uang tiga ratus juta." "Pantas saja Vanessa selalu terlihat stres ketika membicarakan keluarganya." Danapati mengembuskan napas lelah. "Ternyata mereka memang sakit jiwa." "Tidak apa-apa." Hanya Jovi yang terdengar tenang, walau raut wajahnya jelas tidak terlihat baik-baik saja. "Setidaknya mereka tidak akan berani untuk mendekati Vanessa lagi setelah ini." "Ya, kau benar." Cindy mengangguk paham. "Memang lebih baik meminta mereka untuk membuat surat pernyataan seperti tadi." Saat kedua orang tua Vanessa meminta uang, Jovi memang langsung menyanggupi dengan satu syarat. Keluarga mereka tidak boleh lagi muncul di hadapan Vanessa, apa pun yang terjadi. Memang syarat itu terkesan durhaka, tapi itu rasanya akan lebih baik untuk Vanessa. Orang tua perempuan itu bahkan tidak mau repot-repot menjenguk putrinya yang sedang sekarat setelah menerima
"Kau baru saja melakukan apa?" Gery bertanya dengan bola mata yang membesar. "Aku menabrak perempuan gendut itu," jawab Manda dengan santainya, bahkan sambil mengikir kuku. "Tadi aku kebetulan melihat mereka bergandengan tangan saat menyeberang jalan. Karena kesal, aku langsung asal tabrak saja. Untung hanya perempuan gendut itu yang benar-benar tertabrak," lanjut Manda seolah yang dia katakan bukanlah apa-apa. "Kau gila." Gery menggeleng pelan. "Kalau dia mati bagaimana?" "Mana mungkin dia mati." Manda malah menghardik. "Kejadian itu terjadi tepat di depan rumah sakit, jadi pasti dia akan segera diselamatkan. Apalagi perempuan itu kan menantu pemilik rumah sakit yang katanya akan segera bergelar direktur. Dia pasti diutamakan." "Tapi andaikata dia tidak selamat? Apa yang akan terjadi denganmu?" tanya Gery dengan kedua alis terangkat. Manda tidak langsung menjawab dan terlihat berpikir terlebih dahulu. Dia bahkan menghentikan kegiatannya mengikir kuku, karena pertanyaan san