Maap kemarin sempat libur, aku mulai sibuk lagi di real life. 🥲
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Jovi berhenti.” Vanessa berusaha keras menarik tangan suaminya, yang tampak masih ingin memukul. Sayangnya, Jovi tidak terlihat ingin berhenti. Padahal, Ardy sudah terjatuh dari motor dan beberapa orang sudah mulai berkumpul sembari memegang ponsel. Tidak ada yang terlalu berniat untuk merelai, karena lebih memilih untuk membuat video viral. “Jovi aku mohon.” Kali ini, Vanessa berusaha untuk memeluk suaminya dan berhasil. “Jika kau tidak ingin mamamu makin membenciku, tolong jangan lakukan ini.” Mendengar kata ibu disebut, Jovi langsung terhenti. Sang dokter bahkan terlihat membeku untuk sesaat, sebelum akhirnya mencoba untuk mengatur napas dan emosinya yang tidak stabil. “Ardy, kau tidak apa-apa?” Melihat suaminya sudah tenang, Vanessa beranjak untuk melihat rekan kerjanya itu. Tapi baru juga satu langkah, tangannya sudah ditahan. “Kau masih mau melihat kondisi bajingan itu?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Kau menyerang orang dengan tiba-tiba, Vi.” Tentu saja Vanessa akan
“Kenapa kau menolak Hani?” tanya Cindy dalam intonasi suara yang cukup tinggi. “Hah? Hani siapa?” Jovi tentu saja akan balas bertanya, karena tidak mengenali orang yang disebutkan sang ibu. “Itu, perempuan yang tadi berkunjung ke rumahmu. Masa kau tidak tahu sih?” Jovi mengembuskan napas pelan, antara lega dan lelah. Tadi dia memang sempat mengusir seseorang, ketika akan keluar rumah untuk mengejar Vanessa. Hal yang membuatnya agak terlambat. “Apa Mama sehat?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat naik. “Aku punya istri, tapi Mama malah mengirim perempuan panggilan ke rumahku? Bahkan membiarkan dia naik sampai ke lantai kamarku?” “Heh, mulutmu itu. Kenapa tidak sopan sekali? Hani itu perempuan baik-baik.” “Perempuan baik-baik, tidak akan datang ke rumah lelaki malam-malam begitu seorang diri. Apalagi lelaki yang sudah menikah,” ucap Jovi yang terasa seperti tamparan bagi mamanya. Bukan hanya Cindy yang tertohok, tapi juga Vanessa. Perempuan gempal itu baru saja berduaan
“Ini ada apa lagi sih?” Vanessa mengeluh ketika dia sampai di kantor dan semua orang menatapnya dengan aneh. Bahkan dimulai dari satpam. “Hei, Nes. Sepertinya kau senang sekali berbuat keributan dengan berganti-ganti lelaki ya.” Seseorang bersuara dengan senyum jahil. “Sayangnya, aku tidak pernah seperti itu,” jawab Vanessa terlihat sangat santai. “Mungkin kau sedang halusinasi saja.” “Videomu ada di mana-mana.” Orang yang tadi kembali berbicara. “Coba saja tanya teman-temanmu di atas, tapi kenapa juga harus selingkuh dengan Ardy.” “Maaf?” Vanessa yang baru saja ingin menaiki tangga, langsung batal melakukannya. “Aku dan Ardy kenapa?” “Kau selingkuh dengan dia dan ketahuan sama pacarmu kan?” Vanessa menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Sekarang dia mengerti apa yang terjadi, tapi tidak mengerti kenapa video penyerangan malam kemarin sudah beredar secepat itu. “Kalian hanya salah paham saja. Yang ada di video itu juga salah paham saja dan sudah diatasi dengan
“Aku pikir tadi pagi kau datang untuk memukulku lagi,” gumam Ardy dengan kening berkerut. “Tadinya aku juga ingin seperti itu, tapi aku bukan orang yang sangat tidak tahu diri.” Jovi mengembuskan napas pelan. “Pengobatannya agak terlambat, tapi yang penting niatnya. Sekarang balik kanan.” Ardy mengikuti perintah lelaki dengan stetoskop yang menggantung di lehernya. Jovi tidak menggunakan jas dokternya, sehingga ada sedikit tato serigala yang terlihat di bawah lengan bajunya yang pendek. Tapi tentu saja itu tidak membuat Jovi tidak tampak seperti dokter. “Aduh!” Ardy meringis pelan, ketika luka lebam di tulang pipinya terasa perih. “Bertahanlah sedikit.” Jovi memberi tahu, sembari mengoleskan salep. “Kau itu lelaki, jadi jangan meringis hanya karena luka lebam seperti ini. Yah, walau aku melihat ada sedikit pembuluh darah yang pecah.” “Sedikit katamu?” dengus Ardy menatap lelaki yang mengerjakan lukanya itu. “Lebamnya terlihat sangat besar di mataku.” “Karena itu aku meminta maa
“Aku ingin privasi.” Manda protes pada perawat. “Maksudnya, Mbak?” tanya si perawat baru dengan kening berkerut. “Keadaan pasien seharusnya adalah rahasia bukan?” tanya Manda ikut mengerutkan kening karena tidak suka. “Jadi seharusnya hanya ada aku dan dokter di sini.” “Perawat itu adalah tenaga kesehatan.” Jovi yang menjawab. “Semua tenaga kesehatan, berhak untuk melihat riwayat penyakit. Jika tidak, kau mungkin akan kesulitan mendapat penanganan.” “Tidak masuk akal.” Manda mendengus pelan. “Perawat itu tidak ada gunanya.” “Asal kau tahu.” Jovi menarik dan mengembuskan napas, kemudian beralih dari komputernya. “Jika kau rawat inap, hanya ada perawat yang mengurusimu. Dokter hanya akan datang saat benar-benar diperlukan dan itu hanya sehari sekali atau dua kali saja.” “Oke, baiklah. Aku masih bisa mengerti kalau perawat.” Manda mengangguk pelan. “Tapi kenapa dia juga ada di sini?” Jovi menoleh, melihat ke arah yang ditunjuk pasiennya. Di sana ada Vanessa yang sedang duduk mani
“Aku akan melaporkan kejadian ini pada Tante Cindy.” Itu yang diteriakkan Manda, sebelum keluar dari ruangan Jovi. Tentu saja dia tidak bersedia untuk bersujud. “Heran sekali aku melihat mantanmu itu,” gumam Vanessa setelah dia hanya tinggal berdua dengan Jovi. “Kenapa dia senang sekali menggangguku.” “Entahlah.” Sang dokter hanya bisa mengedikkan bahu. “Aku pun tidak tahu.” “Tentu saja kau tahu,” balas Vanessa dengan kening berkerut. “Kau hanya tidak ingin mengakuinya bukan?” “Maksudnya?” “Semua orang juga tahu Manda terus menggangguku, karena dia masih punya perasaan padamu.” Vanessa melipat kedua tangan di depan dada. “Masa hal seperti itu saja kau tidak tahu?” “Kau sendiri yang mengatakan heran dengan kelakuan Manda bukan? Artinya kau juga tidak tahu. Kenapa malah mengataiku?” Tentu saja Jovi tidak mau mengaku. “Heran dan tidak tahu itu berbeda,” jawab Vanessa dengan tenang. “Aku merasa heran karena tidak bisa mengerti jalan pikiran perempuan seperti dia dan juga jalan pik
Jovi menggoyangkan kaki kanannya dengan kecepatan penuh, membuat sol sepatu yang menabrak lantai keramik berbunyi lantang. Hal yang tentu saja membuat sang dokter mengundang tatapan dari orang-orang sekitar, terutama dia duduk di lobi rumah sakit. “Berhentilah menggoyangkan kakimu seperti itu.” Vanessa menegur, bahkan menghentikan gerakan sang suami. “Dia bilang akan segera datang,” balas Jovi dengan mata melotot. “Dan coba lihat sekarang sudah jam berapa?” lanjutnya memperlihatkan jam tangan. “Ini sudah lewat satu setengah jam loh, Nes. Apa dia pikir yang namanya direktur itu tidak sibuk?” Vanessa hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia juga tahu ini agak sedikit keterlaluan, apalagi lalu lintas sedang tidak padat. Sudah hampir dua jam adalah waktu keterlambatan yang sangat keterlaluan. “Hai, apa kalian menunggu lama?” tanya Meghan yang baru saja datang, sembari melambaikan tangan dengan santai. “Oh, pacarmu juga ada?” “Apakah itu pertanyaan yang pantas ditanyakan oleh orang
"Huh? Siapa yang datang?" Seorang lelaki berseragam polisi berpangkat cukup tinggi, menaikkan sebelah alisnya. "Itu, Pak. Pelapor tabrak lari tempo hari. Yang Bapak tangani kasusnya itu." "Mau apa lagi sih mereka." Pak polisi itu mengeluh. "Suruh saja masuk dulu." Danapati masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak senang. Hal yang tentunya tidak membuat si polisi takut, dia bahkan tersenyum lebar. "Aku lihat, tidak ada perkembangan dari kasus tabrak lari menantuku." Danapati langsung bertanya tanpa basa-basi. "Apa Pak Polisi benar-benar menangani hal ini dengan baik?" "Tentu saja kami menanganinya dengan baik." Pak Polisi tadi tersenyum lebar. "Kami sementara melihat rekaman CCTV, tapi itu kan butuh waktu. Apalagi pekerjaan kami kan banyak." "Pekerjaan kalian yang banyak, atau kalian merasa kekurangan uang sogokan?" tanya Danapati dengan senyum miringnya yang mencemooh. "Wah, Pak itu namanya fitnah." Si
"Loh, ada Jovi di sini." Anna tersenyum ketika melihat lelaki yang dia lihat itu. Berbeda dengan Anna, Jovi malah berdecih pelan. Lelaki itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran teman kelasnya itu. Apalagi Anna berada di rumah sakit milik keluarganya. "Kenapa kau ada di sini?" Anna mengekori Jovi yang sedang berjalan cepat menuju ke lift. "Apa kau juga berniat untuk nanti bergabung dengan peneliti yang ada di Hospitalia ini?" Tentu saja Jovi memilih untuk tidak menjawab. Dia tidak ingin mengurusi perempuan yang terus mengikutinya itu, karena perlu pergi ke kamar sang istri. Dia sudah sengaja pergi makan siang dan mandi, karena sahabat sang istri datang menjenguk. "Hei, apa kau tidak punya telinga?" tanya Anna terlihat cemberut, ketika masuk ke dalam lift. "Dokter Jovi, sepertinya Mbak yang di sana berbicara dengan dokter." Seorang perawat memberitahu. "Dia tidak bicara denganku," jawab Jovi dengan senyum tipis.
"Vanessa? Apa yang kau lamunkan?" Yang empunya nama tersentak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Makin terkejut ketika menyadari ada Cinta-sang sahabat, hanya berjarak lima senti dari wajah Vanessa. "Argh." Vanessa refleks mendorong sang sahabat. "Aduh!" Tentu saja Cinta akan mengeluh. "Kau itu kenapa sih?" "Ka ...." Vanessa ingin berbicara lebih banyak, tapi tidak bisa. Bisa mengeluarkan suara seperti barusan saja sudah merupakan kemajuan besar. "Pelan-pelan, Ta. Jangan terlalu membuat dia terkejut, nanti kepala Vanessa bisa berdarah lagi." Kali ini, giliran Lydia yang berbicara. "Cinta yang membuatku terkejut." Vanessa memperlihatkan ponselnya untuk berbicara. "Lagi pula, kenapa kalian harus membuatku terkejut." "Coba lihat dia." Erika berdecak pelan. "Padahal kita sudah susah-susah meluangkan waktu untuk datang menjenguk, tapi dia malah menyalahkan kita. Mana dari sejak kita datang dia cuma melamun saja. Dasar tidak tahu diuntung." Vanessa memutar b
"Gangguan bicara kadang terjadi pada pasien dengan pendarahan otak." Dokter bedah saraf memberi tahu. "Efeknya bisa jadi permanen, tapi bisa juga hanya sementara saja." "Saran saya, Mbak Vanessa boleh dicoba untuk terapi bicara saja dulu. Mungkin Dokter Danapati dan Dokter Jovi bisa sekalian ikut membantu. Saya yakin kalian bisa membantu untuk terapi juga." Walau terbalut dengan perban, semua orang tahu kalau Vanessa tengah mengerutkan keningnya. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari dokter yang menanganinya. Padahal, dia bisa bersuara walau tidak bisa merangkai kata. "Tidak apa-apa, Nes." Jovi berusaha untuk tersenyum dan menenangkan istrinya, ketika dokter yang menangani pergi. "Masih diterapi karena ini hanya gangguan sementara saja. Mungkin kau sudah bisa kembali berbicara dengan baik setelah beberapa minggu." Sayang sekali, Vanessa menggeleng. Dia tentu saja menjadi orang yang paling terpukul atas gangguan bicara yang dia alami sekarang in
"Jovi tunggu dulu." Anna berlarian mengejar lelaki yang dia panggil itu. "Hei, apa kau tidak mendengar?" Tentu Jovi tidak peduli dengan panggilan itu, karena dia sedang terburu-buru. Vanessa masih di ruang operasi, jadi dia harus bergegas pergi ke rumah sakit. Jovi ingin berada di dekat sang istri. "Hei, apa kau tidak mendengar aku." Anna merentangkan tangan di depan motor yang baru saja dinaiki oleh Jovi. "Minggir," gumam Jovi yang sudah siap untuk berangkat. "Aku tidak mau." Sayang sekali, Anna bergeming. "Setidaknya berikan nomor ponselmu sebelum kau pergi." "Minggir sekarang atau aku akan menabrakmu." Jovi kembali meminta disertai dengan ancaman. "Berikan nomor ponselmu, agar kita bisa mengobrol dengan lebih tenang dan... Kyaa." Anna segera menghindar ketika Jovi benar-benar melajukan motornya. Padahal lelaki itu hanya melajukan motor dengan sangat lambat untuk menakut-nakuti. Tentu saja itu membuat Anna langsung menghindar karena takut ditabrak. "Tunggu dulu." Rupa
"Mahasiswa baru ya?" Jovi mendongak ketika dia mendengar ada suara di sebelahnya. Ada seorang perempuan yang tampaknya lebih muda dari dirinya, tersenyum dengan sangat lebar. Hal yang membuat Jovi mendengus pelan. "Ada masalah dengan status kuliahku?" tanya Jovi kini kembali menatap ke depan. Sekarang ini, Jovi memang sudah mulai menjalankan kuliah kembali dan ini adalah hari pertamanya. Padahal, hari ini bersamaan dengan jadwal operasi Vanessa. Tapi karena dia juga tidak bisa bolos pada semester baru dan hari pertama, jika ingin cepat lulus. Alhasil Jovi memilih untuk pergi ke kampus dengan perasaan was-was. "Tidak ada sih." Bukannya menyerah, perempuan tadi malah duduk di sebelah Jovi yang memang kosong. "Tapi aku boleh berkenalan denganmu kan? Namaku Anna." "Maaf, tapi tidak bisa." Jovi segera menolak dan memilih untuk pindah ke deretan kursi paling belakang, walau dia suka duduk di tengah. "Kenapa tidak bisa?" tan
"Keguguran?" tanya Cindy dengan kedua alis terangkat. "Ya." Danapati mengangguk pelan. "Dan sepertinya baik Jovi maupun Vanessa tidak tahu tentang kehamilan itu. Bahkan Jovi mengaku sempat memberikan Vanessa obat untuk menghalangi kehamilan, tapi mungkin lupa diminum karena bertengkar." Cindy terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan suaminya. Dia yang sejak tadi menunggu di sana karena Vanessa harus dibiarkan sendiri untuk istirahat, benar-benar merasa sangat terkejut. Padahal cucu adalah hal yang sangat Cindy inginkan, tapi dia malah kehilangan. "Ini mungkin hukuman untukku," bisik Cindy pelan. "Ini pasti karena aku menindas Vanessa dan memaksanya untuk memiliki anak yang tidak mereka inginkan." "Jangan menyalahkan dirimu." Danapati mencoba untuk menenangkan sang istri. "Itu semua terjadi bukan karena dirimu." "Ya." Cindy tidak segan untuk mengangguk, ketika mengingat apa yang terjadi. "Ini semua karena mobil sialan yang tid
"Dasar orang gila." Cindy nyaris saja berteriak, ketika masuk ke dalam kamar rawat inap menantunya. "Masa anaknya koma begini malah minta uang tiga ratus juta." "Pantas saja Vanessa selalu terlihat stres ketika membicarakan keluarganya." Danapati mengembuskan napas lelah. "Ternyata mereka memang sakit jiwa." "Tidak apa-apa." Hanya Jovi yang terdengar tenang, walau raut wajahnya jelas tidak terlihat baik-baik saja. "Setidaknya mereka tidak akan berani untuk mendekati Vanessa lagi setelah ini." "Ya, kau benar." Cindy mengangguk paham. "Memang lebih baik meminta mereka untuk membuat surat pernyataan seperti tadi." Saat kedua orang tua Vanessa meminta uang, Jovi memang langsung menyanggupi dengan satu syarat. Keluarga mereka tidak boleh lagi muncul di hadapan Vanessa, apa pun yang terjadi. Memang syarat itu terkesan durhaka, tapi itu rasanya akan lebih baik untuk Vanessa. Orang tua perempuan itu bahkan tidak mau repot-repot menjenguk putrinya yang sedang sekarat setelah menerima
"Kau baru saja melakukan apa?" Gery bertanya dengan bola mata yang membesar. "Aku menabrak perempuan gendut itu," jawab Manda dengan santainya, bahkan sambil mengikir kuku. "Tadi aku kebetulan melihat mereka bergandengan tangan saat menyeberang jalan. Karena kesal, aku langsung asal tabrak saja. Untung hanya perempuan gendut itu yang benar-benar tertabrak," lanjut Manda seolah yang dia katakan bukanlah apa-apa. "Kau gila." Gery menggeleng pelan. "Kalau dia mati bagaimana?" "Mana mungkin dia mati." Manda malah menghardik. "Kejadian itu terjadi tepat di depan rumah sakit, jadi pasti dia akan segera diselamatkan. Apalagi perempuan itu kan menantu pemilik rumah sakit yang katanya akan segera bergelar direktur. Dia pasti diutamakan." "Tapi andaikata dia tidak selamat? Apa yang akan terjadi denganmu?" tanya Gery dengan kedua alis terangkat. Manda tidak langsung menjawab dan terlihat berpikir terlebih dahulu. Dia bahkan menghentikan kegiatannya mengikir kuku, karena pertanyaan san