Sepertinya beberapah hari ini bakal rajin update. 😁
“Apa yang kau lakukan di sini?” Vanessa mendongak ketika mendengar suara itu. Padahal dia sedang duduk cantik di kursi Jovi dan sedang menikmati makan siang yang sudah terlalu terlambat itu di meja sang dokter, ketika pintu tiba-tiba terbuka begitu saja. “Oh, maaf.” Vanessa buru-buru berdiri dan sedikit merapikan barang-barangnya. “Apa Jovi sudah akan menerima pasien di sini? Atau kau akan menggunakan ruangannya.” Perempuan yang mengenakan sneli dan ada stetoskop menggantung di leher itu melipat tangan. Dia menatap Vanessa dari atas sampai bawah, tapi tidak bisa mengingatnya sama sekali. “Boleh aku tanya kau itu siapa?” tanya sang dokter perempuan dengan kening berkerut tidak suka. “Vanessa dan aku ... dokter Aurora?” Vanessa perlu sedikit menyipitkan mata, untuk membaca tanda pengenal yang tergantung. “Mau apa kau di ruangan ini?” tanya Aurora, sembari meny
“Vanessa, ke ruangan saya sekarang juga.” “Baik, Bu,” jawab yang empunya nama dengan kening berkerut. Kening Vanessa masih berkerut, ketika meletakkan gagang teleponnya. Padahal seharusnya dia tidak punya jadwal untuk rapat bersama pimpinan cabang, tapi perempuan berkedudukan tertinggi di kantornya itu menelepon dan mencarinya. “Kau mau ke mana?” Vanessa bertanya, ketika Ardy juga berdiri dari tempatnya. “Bos 01 mencariku,” jawab Ardy disertai dengan kedikan bahu. “Aku juga dicari.” Vanessa jadi makin bingung saja. “Tapi kenapa bersamaan seperti ini.” “Kalian belum dengar gosipnya?” Tiba-tiba saja, Putri muncul di tengah dua orang yang tengah berdiri itu dan berbisik dengan pelan. “Gosip apa?” Tentu saja Ardy akan bertanya. Alih-alih menjawab, Putri malah meminta dua orang itu mengikutinya. Mereka mengarah ke tempat yang lebih sepi, tapi tidak terlalu terpencil agar tidak menimbulkan gosip aneh lainnya. “Aku yakin kalian berdua belum melihat video ini.” Putri memberi
“Kau apa?” “Aku dikasih surat teguran, Kak Ben,” keluh Vanessa setelah mengembuskan napas pelan. “Padahal aku tidak terbukti bersalah, tapi aku kena tegur.” “Kenapa bisa? Apa ada yang mengerjaimu?” tanya Ben terdengar tidak senang. “Ke mana suamimu? Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?” “Jovi bahkan belum tahu hal ini, Kak. Lagi pula, ini kan urusan kantorku. Kenapa harus memberi tahu Jovi?” “Karena dia suamimu, Nes.” Ben terdengar mengembuskan napas cukup keras. “Tentu saja dia harus tahu dan membelamu sebisa mungkin.” “Tapi nanti dia justru marah. Soalnya ada yang memfitnah aku selingkuh dengan teman kantor.” Pada akhirnya Vanessa sedikit menjelaskan keadaannya. “Dia tidak akan marah, jika itu hanya sesuatu yang tidak masuk akal. Atau perlu aku saja yang mencari tahu pelaku yang menuduhmu itu?” “Kami sudah tahu, Kak. Tapi kami tidak p
“Bagaimana keadaan pacarmu yang kemarin?” Jovi mendongak ketika mendengar suara yang dia kenal. Jam jaganya sebentar lagi akan selesai, tapi sekarang dia malah kedatangan tamu. Untung saja sekarang dia masih berjaga di IGD, jadi Aurora mungkin tidak akan melakukan atau menanyakan hal aneh. “Baik,” jawab Jovi kembali menekuni laporannya. “Lagi pula, tidak ada yang perlu kau khawatirkan.” “Tapi aku lihat tangannya menggunakan perban. Memang sepertinya bukan luka besar, tapi tetap saja kan.” Jovi kembali mendongak mendengar pernyataan itu. Rasanya aneh saja mendengar ada orang yang memperhatikan Vanessa sampai sebegitunya, apalagi oleh orang yang bisa dibilang tidak kenal baik. “Terakhir kali aku cek, itu terlihat baik-baik saja.” Jovi mengangguk dan kembali pada laporannya. “Tidak ada indikasi lain? Maksudku, dia kan kelebihan berat badan, jadi siapa tahu saja
“Hah? Makan malam bersama?” Vanessa nyaris memekik, ketika mendengar berita itu. “Iya. Papa tiba—tiba ingin kita ke rumah dan makan malam sama-sama.” Jovi berdecak pelan, dari ujung sambungan telepon. “Padahal rencananya hari ini aku mau di rumah saja.” “Aduh! Bagaimana ini? Aku sedang banyak pekerjaan dan tidak bisa ditunda.” Vanessa jadi panik sendiri, sembari menatap beberapa tumpukan kertas dan komputernya yang menyala. “Padahal tadinya mau lembur.” “Jadi bagaimana?” Bukannya memberi solusi, Jovi malah bertanya balik. “Mau aku tanyakan ke Papa dan Mama dulu biar ganti hari saja?” “Biar aku saja yang menelepon.” Vanessa dengan tegas menolak. “Kan aku yang tidak bisa ke sana, jadi harus aku yang meminta izin.” “Ya sudah, tapi nanti kabari aku apa hasilnya ya. Biar aku bisa memesan makanan untuk sebentar malam,” balas Jovi sebelum mengucapkan salam perpisahan. Dengan cepat, Vanessa menekan nomor telepon ayah mertuanya. Dia merasa perlu keluar ruangan untuk membicarakan apa
“Apa aku boleh menumpang?” Meghan dengan tidak tahu dirinya bertanya pada Vanessa. “Hah? Maksudnya Bu?” Yang ditanya tentu saja akan bertanya balik, karena apa yang ditanyakan bisa dibilang sangat ambigu. “Aku mau menumpang, bukannya kau akan pulang ke rumah dengan taksi online?” tanya Meghan dengan santainya. “Aku mau menumpang dan turun di tengah jalan saja, biar menghemat.” Vanessa menaikkan kedua alisnya. Ingin menghemat katanya? Seorang bos ingin menghemat dengan menumpang taksi online pegawainya? “Maaf, Bu. Saya hari ini dijemput, jadi saya rasa tidak bisa. Menumpang pada orang lain saja ya.” Vanessa tentu saja akan menolak, walau masih berusaha untuk sopan. “Tapi aku mau ikut denganmu, soalnya yang lain menyebalkan.” Sayang sekali Meghan bersikeras, tapi apa yang dia katakan tentu saja membuat orang yang ada di ruangan besar itu menoleh. Meghan bahka
Semua orang saling menatap saat Manda dengan terpaksa bergabung di meja makan. Mereka tidak mungkin mengusir orang yang sudah terlanjur dibiarkan masuk oleh ART kan? Itu agak tidak sopan. “Senang sekali akhirnya bisa diterima di rumah ini.” Manda tersenyum lebar. “Sayangnya tidak seperti itu.” Cindy membalas dengan senyum mencemooh. “Kami terpaksa mengajakmu karena kau sudah terlanjur masuk. Kami tidak cukup kurang ajar untuk mengusirmu lagi.” “Bagaimana kalau kita mulai makan saja?” tanya Jovi ingin menghindari pertengkaran. “Aku sudah lapar.” “Tentu saja.” Danapati pun mengangguk. “Aku yakin Vanessa juga sudah lapar, apalagi dia tidak bisa terlambat makan.” “Aku sudah minum obat kok, Pa.” Vanessa memaksakan senyum ketika mengatakan itu. Pada akhirnya, semua orang terdiam ketika ART m
“Mau aku antar pulang?” tanya Jovi agak ragu-ragu. “Oh, memangnya tidak apa-apa?” tanya Manda yang tentu saja akan tersenyum. “Aku khawatir istrimu tidak akan setuju.” “Bukan hanya Vanessa yang tidak setuju.” Cindy yang ikut mengantar putra dan menantunya sampai keluar pun bersuara. “Aku pun tidak setuju.” “Tidak apa-apa, Ma.” Vanessa tersenyum, sembari menenangkan ibu mertuanya. “Lagi pula, Vanessa kan ikut juga.” “Vanessa.” Cindy melotot mendengar sang menantu. “Tidak bisa begitu dong, Sayang.” “Jovi hanya sedang ingin berbuat baik, Ma. Tidak ada salahnya mengantar seseorang yang tidak mampu pulang sendiri.” Vanessa masih memasang senyum lebar, tapi perkataannya jelas untuk mencemooh. “Ya sudah.” Cindy hanya bisa mengembuskan napas pelan, karena menantunya sedikit kera