Dasar mak lampir tukang fitnah
“Kau apa?” “Aku dikasih surat teguran, Kak Ben,” keluh Vanessa setelah mengembuskan napas pelan. “Padahal aku tidak terbukti bersalah, tapi aku kena tegur.” “Kenapa bisa? Apa ada yang mengerjaimu?” tanya Ben terdengar tidak senang. “Ke mana suamimu? Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?” “Jovi bahkan belum tahu hal ini, Kak. Lagi pula, ini kan urusan kantorku. Kenapa harus memberi tahu Jovi?” “Karena dia suamimu, Nes.” Ben terdengar mengembuskan napas cukup keras. “Tentu saja dia harus tahu dan membelamu sebisa mungkin.” “Tapi nanti dia justru marah. Soalnya ada yang memfitnah aku selingkuh dengan teman kantor.” Pada akhirnya Vanessa sedikit menjelaskan keadaannya. “Dia tidak akan marah, jika itu hanya sesuatu yang tidak masuk akal. Atau perlu aku saja yang mencari tahu pelaku yang menuduhmu itu?” “Kami sudah tahu, Kak. Tapi kami tidak p
“Bagaimana keadaan pacarmu yang kemarin?” Jovi mendongak ketika mendengar suara yang dia kenal. Jam jaganya sebentar lagi akan selesai, tapi sekarang dia malah kedatangan tamu. Untung saja sekarang dia masih berjaga di IGD, jadi Aurora mungkin tidak akan melakukan atau menanyakan hal aneh. “Baik,” jawab Jovi kembali menekuni laporannya. “Lagi pula, tidak ada yang perlu kau khawatirkan.” “Tapi aku lihat tangannya menggunakan perban. Memang sepertinya bukan luka besar, tapi tetap saja kan.” Jovi kembali mendongak mendengar pernyataan itu. Rasanya aneh saja mendengar ada orang yang memperhatikan Vanessa sampai sebegitunya, apalagi oleh orang yang bisa dibilang tidak kenal baik. “Terakhir kali aku cek, itu terlihat baik-baik saja.” Jovi mengangguk dan kembali pada laporannya. “Tidak ada indikasi lain? Maksudku, dia kan kelebihan berat badan, jadi siapa tahu saja
“Hah? Makan malam bersama?” Vanessa nyaris memekik, ketika mendengar berita itu. “Iya. Papa tiba—tiba ingin kita ke rumah dan makan malam sama-sama.” Jovi berdecak pelan, dari ujung sambungan telepon. “Padahal rencananya hari ini aku mau di rumah saja.” “Aduh! Bagaimana ini? Aku sedang banyak pekerjaan dan tidak bisa ditunda.” Vanessa jadi panik sendiri, sembari menatap beberapa tumpukan kertas dan komputernya yang menyala. “Padahal tadinya mau lembur.” “Jadi bagaimana?” Bukannya memberi solusi, Jovi malah bertanya balik. “Mau aku tanyakan ke Papa dan Mama dulu biar ganti hari saja?” “Biar aku saja yang menelepon.” Vanessa dengan tegas menolak. “Kan aku yang tidak bisa ke sana, jadi harus aku yang meminta izin.” “Ya sudah, tapi nanti kabari aku apa hasilnya ya. Biar aku bisa memesan makanan untuk sebentar malam,” balas Jovi sebelum mengucapkan salam perpisahan. Dengan cepat, Vanessa menekan nomor telepon ayah mertuanya. Dia merasa perlu keluar ruangan untuk membicarakan apa
“Apa aku boleh menumpang?” Meghan dengan tidak tahu dirinya bertanya pada Vanessa. “Hah? Maksudnya Bu?” Yang ditanya tentu saja akan bertanya balik, karena apa yang ditanyakan bisa dibilang sangat ambigu. “Aku mau menumpang, bukannya kau akan pulang ke rumah dengan taksi online?” tanya Meghan dengan santainya. “Aku mau menumpang dan turun di tengah jalan saja, biar menghemat.” Vanessa menaikkan kedua alisnya. Ingin menghemat katanya? Seorang bos ingin menghemat dengan menumpang taksi online pegawainya? “Maaf, Bu. Saya hari ini dijemput, jadi saya rasa tidak bisa. Menumpang pada orang lain saja ya.” Vanessa tentu saja akan menolak, walau masih berusaha untuk sopan. “Tapi aku mau ikut denganmu, soalnya yang lain menyebalkan.” Sayang sekali Meghan bersikeras, tapi apa yang dia katakan tentu saja membuat orang yang ada di ruangan besar itu menoleh. Meghan bahka
Semua orang saling menatap saat Manda dengan terpaksa bergabung di meja makan. Mereka tidak mungkin mengusir orang yang sudah terlanjur dibiarkan masuk oleh ART kan? Itu agak tidak sopan. “Senang sekali akhirnya bisa diterima di rumah ini.” Manda tersenyum lebar. “Sayangnya tidak seperti itu.” Cindy membalas dengan senyum mencemooh. “Kami terpaksa mengajakmu karena kau sudah terlanjur masuk. Kami tidak cukup kurang ajar untuk mengusirmu lagi.” “Bagaimana kalau kita mulai makan saja?” tanya Jovi ingin menghindari pertengkaran. “Aku sudah lapar.” “Tentu saja.” Danapati pun mengangguk. “Aku yakin Vanessa juga sudah lapar, apalagi dia tidak bisa terlambat makan.” “Aku sudah minum obat kok, Pa.” Vanessa memaksakan senyum ketika mengatakan itu. Pada akhirnya, semua orang terdiam ketika ART m
“Mau aku antar pulang?” tanya Jovi agak ragu-ragu. “Oh, memangnya tidak apa-apa?” tanya Manda yang tentu saja akan tersenyum. “Aku khawatir istrimu tidak akan setuju.” “Bukan hanya Vanessa yang tidak setuju.” Cindy yang ikut mengantar putra dan menantunya sampai keluar pun bersuara. “Aku pun tidak setuju.” “Tidak apa-apa, Ma.” Vanessa tersenyum, sembari menenangkan ibu mertuanya. “Lagi pula, Vanessa kan ikut juga.” “Vanessa.” Cindy melotot mendengar sang menantu. “Tidak bisa begitu dong, Sayang.” “Jovi hanya sedang ingin berbuat baik, Ma. Tidak ada salahnya mengantar seseorang yang tidak mampu pulang sendiri.” Vanessa masih memasang senyum lebar, tapi perkataannya jelas untuk mencemooh. “Ya sudah.” Cindy hanya bisa mengembuskan napas pelan, karena menantunya sedikit kera
“Jovi tunggu dulu.” Vanessa berusaha menahan tubuh lelaki yang mendekapnya dengan erat. “Kenapa harus menunggu?” tanya Jovi dengan embusan napas berat. “Kita sudah di rumah, bukan di dalam mobil lagi.” “Iya, tapi ....” Kalimat Vanessa tidak selesai, karena bibirnya sudah dibungkam dengan ciuman. Walau awalnya sempat merasa tidak ingin melakukan apa pun, tapi dia dengan mudahnya terbawa suasana. Sekarang Vanessa mulai menyesal telah menggoda Jovi. “Kamar,” bisik Vanessa pelan. “Tidak perlu di kamar, Nes.” Jovi balas berbisik. “Di mana pun bisa.” “Tapi punggungku akan sakit kalau di lantai, Sialan.” Walau sedang dalam suasana hati yang baik, Vanessa tidak segan memaki. “Sofa?” Jovi memberikan penawaran. “Terlalu sempit.” “Tidak akan sempit jika kau mau duduk di atasku,” balas Jovi dengan senyum mir
“Sebentar malam, kalian berdua harus bicara sama Mama dan Papa.” Vanessa mengembuskan napas pelan, ketika mengingat apa yang dikatakan ibu mertuanya. Kejadian tadi pagi, tentu saja merupakan kejadian yang sangat memalukan sepanjang sejarah kehidupan Vanessa. “Bagaimana bisa Mama Cindy malah menemukan karet pengaman bekas pakai Jovi?” desis Vanessa dengan suara sekecil mungkin. “Dasar dokter mesum sialan.” “Kak Vanessa kenapa?” Putri yang baru saja berbalik, bertanya. “Sedang banyak pikiran,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Apa yang membuatmu banyak pikiran?” Ardy ikut menimpali. “Apa karena pacarmu ....” “Jaga mulutmu, Ardy.” Vanessa tentu saja akan melotot pada rekan kerja lelaki itu. “Jangan menyumpahiku dengan hal yang tidak-tidak.” “Aku bahkan belum mengatakan apa-apa.” Ardy mengedikkan bahu, seolah tidak bersalah. “
"Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora
"Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia
"Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d
"Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it
"Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir
"Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Ardy?" Aurora menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan praktiknya dan langsung memutar mata karena gemas dan kesal. Hanya ada satu orang yang bisa membuat dia kesal, terutama saat jam kerja seperti sekarang. "Tidak bisakah kau berhenti menyelinap ke ruanganku, saat aku sedang bekerja?" Aurora tidak segan untuk menegur, sekalipun dia adalah menantu direktur. Yap. Penyusup itu adalah Vanessa. "Aku tidak menyelinap." Vanessa membantah dan segera duduk di kursi yang tersedia di depan meja dokter. "Aku mendaftar untuk bertemu denganmu tahu." "Sepertinya staff keuangan sangat kekurangan pekerjaan ya?" tanya Aurora dengan nada mengejek. "Bagaimana mungkin kau bisa berkeliaran saat jam kerja seperti sekarang? Kalau ingin bermain, bukankah lebih baik kau mencari Jovi?" "Pekerjaanku sudah selesai." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Entah kenapa, pekerjaan di rumah sakit sebesar ini tidak begitu banyak. Lalu soal Jov
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Aurora dengan kedua terlipat di depan dada. "Aku ini pasien loh. Masa kau memperlakukan pasien sejutek itu?" tanya Ardy yang sudah duduk di atas ranjang pasien dengan santainya. "Pasien apanya?" hardik Aurora terdengar kesal. "Kau jelas-jelas terlihat sangat sehat, berbeda dengan saat kau pertama kali datang ke sini." "Tapi aku benar-benar sakit." Ardy bersikeras. "Kalau begitu, bagian mana yang sakit?" Mau tidak mau, Aurora akhirnya bangkit dengan sneli yang dia pegang dengan erat. "Kalau aku tidak menemukan ada penyakit, maka aku akan memukulmu." "Kalau penyakit sih tidak ada, tapi aku terluka." Ardy tiba-tiba saja mengangkat kakinya. Dia tidak perlu menggulung celana untuk menunjukkan luka, karena hari ini menggunakan celana pendek. "Luka apa ini?" tanya Aurora dengan kening berkerut. Kini dia mulai terlihat serius. "Bukankah ini luka bekas gigitan hewan?" "Benar." Ardy mengangguk tanpa ragu. "Tadi pagi, aku digigit anjing tetangga." "
"Aurora dan Ardy?" tanya Jovi dengan sebelah alis terangkat. "Apa aku tidak salah dengar?" "Sama sekali tidak." Vanessa menggeleng pelan. "Soalnya, aku kemarin melihat interaksi lucu mereka dan itu menggemaskan. Sepertinya mereka akan cocok." Kening Jovi berkerut menatap istri yang dia peluk. Mereka sedang bersantai di atas ranjang, setelah menghabiskan malam panas bersama. Jovi sih masih ingin sekali lagi, tapi memilih menahan diri karena istrinya lelah. Alhasil mereka hanya berpelukan saja. "Tapi bagiku itu tetap aneh." Sayangnya, pikiran Jovi berbeda dengan sang istri. "Aku rasa sifat mereka bertolak belakang dan bisa memicu konflik." "Memangnya sifat kita tidak bertolak belakang?" Vanessa malah memukul dada bidang sang suami. "Sama sekali tidak." Jovi menyangkal dengan entengnya. "Kita sama-sama orang yang senang cari ribut." "Heh, aku tidak seperti itu ya." Kali ini Vanessa bukan memukul lagi, tapi mencubit. Tentu saja rasanya sakit, tapi Jovi hanya bisa meringis