[+62xxxxxxxxx: Ini peringatan terakhir untukmu. Jauhi Jovi, atau kau akan menyesal seumur hidup.] Kening Vanessa berkerut membaca pesan bernada ancaman itu. Dia bisa menebak siapa yang mengirim, tapi jelas tidak mengerti kenapa harus sampai seperti ini. “Bukannya dia yang berselingkuh duluan ya?” gumam Vanessa dengan pelan, di balik kubikel kerjanya. “Perasaan Cinta bilangnya begitu deh. Atau aku yang salah ingat?” Vanessa kembali menjelajahi ruang obrolan pribadi dengan sahabatnya itu dan menemukan kalimat yang sesuai. Dia sama sekali tidak salah ingat, jadi untuk apa Manda sampai mengancam seperti itu? “Apa dia sama sekali tidak merasa bersalah dan ingin minta balikan?” Vanessa masih berbisik. “Siapa yang tidak merasa bersalah?” Ardy tiba-tiba saja muncul dari balik kubikelnya. “Bukan siapa-siapa.” Vanessa yang sudah terbiasa dengan kemunculan lelaki rekan kerjanya itu, mampu menjawab dengan senyum tipis “Apa mantan pacarmu berulah? Atau mantannya pacarmu yang be
“Apakah aku melakukan dosa jika melakukan hubungan intim dengan perempuan yang tidak aku sukai, hanya untuk mendapat anak?” Lelaki yang duduk di depan Jovi, langsung menyemburkan isi mulutnya yang tadi penuh. Untung saja yang tersembur hanya air putih. Jika itu kopi, kemeja sang lelaki dan juga Jovi akan kotor. “Kenapa kau sejorok itu sih, Zra?” Jovi dengan cepat mengambil tisu yang ada di atas meja dan mengelap kemejanya. “Lebih tepatnya, kenapa kau bertanya hal tolol seperti itu?” desis Ezra yang melakukan hal yang sama dengan temannya. “Itu bukan pertanyaan tolol, tapi pertanyaan yang benar dan dari dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku tidak akan melakukannya jika itu dosa,” balas Jovi tidak ingin disebut tolol. “Jangan-jangan kau ini sedang membicarakan Vanessa?” Mata Ezra menyipit ketika menanyakan hal itu. “Kau apakan anak orang?” “Aku belum melakukan apa pun.” Jovi segera mengangkat tangannya. “Karena i
[Dokter Mesum: Aku rasa tidak masalah jika kita tidur bersama sekali. Setidaknya, itu tidak akan membuat mamaku merasa aneh saat kalian pergi memeriksakan kandungan. Selebihnya, nanti saja diatur.] Vanessa tersedak, bahkan nyaris saja menyemburkan kopi dingin yang baru saja dia beli ketika membaca pesan dari Jovi. Setelah selama ini lelaki itu selalu menghindar, jujur saja pesan itu amat sangat mengejutkan. “Kau kenapa?” Cinta bertanya dengan kening berkerut. “Bukan apa-apa.” Vanessa cepat-cepat menyeka sudut bibirnya dengan tisu yang disediakan oleh cafe tempat dia dan teman-temannya duduk bersantai. “Apa suami bajingan nan mesummu itu mengirimkan sesuatu yang tidak senonoh?” Giliran Erika yang bertanya. “Atau mungkin dia memaki?” Si kurus Lydia tampak terkejut ketika mengatakan hal itu. “Guys, ini tidak seperti itu.” Vanessa mencoba untuk menjelaskan, sekaligus menenangkan. “Dia hanya bertanya. Atau mungkin lebih tepatnya memberi tahu.” Ketiga sahabat Vanessa kompak menaikka
“Jadi ... apa yang harus aku lakukan?” Jovi bertanya dengan nada ragu-ragu. “Kau serius menanyakan itu padaku?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Memangnya kau tidak pernah?” “Tentu saja tidak pernah.” Jovi jadi ikut-ikutan melotot. “Memangnya kau pikir aku lelaki brengsek yang sangat mesum.” “Ya.” Jawaban tegas dari Vanessa, membuat sang dokter menaikkan kedua alisnya. Dia tidak percaya ada seseorang yang akan menyebutnya seperti itu, karena dia jelas-jelas orang baik. Apa karena tato? “Kalau kau menganggapku seperti itu karena tato ....” “Kenapa kau membawa-bawa tato?” tanya Vanessa dengan memotong kalimat lelaki yang duduk di depannya itu. “Itu membuatmu terlihat seperti preman, tapi preman sekali pun ada yang berhati Hello Kitty.” “Lalu? Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Jovi makin bingung saja.
“Oh, sialan!” Jovi menggeram marah. “Ada apa lagi?” tanya Vanessa yang terbaring kelelahan di atas ranjang. “Karet pengamannya sudah habis.” Jovi menggeram kesal. “Seharusnya tadi aku ambil lebih banyak lagi.” “Maaf?” Vanessa langsung bangkit dari posisi berbaringnya dan tak lupa menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya. “Kita sudah tiga kali dan kau masih mau lagi? Apa kau lupa ini kali pertamaku?” “Maaf.” Jovi meringis pelan, ketika mendengar keluhan itu. “Aku agak terlalu bersemangak kurasa. Apa masih sakit?” Vanessa mendengus pelan mendengar pertanyaan yang sebenarnya terlambat itu. Rasa sakitnya memang masih tersisa sedikit, tapi itu bukan masalah. Sejujurnya, rasa sakit yang ditimbulkan malah tidak sesakit bayangan Vanessa. “Tidak terlalu,” jawabnya jujur. “Tapi aku tidak mau lagi dan ingin tidur saja. Aku lelah karena kau kerjai selama lebih dari satu jam dan nyaris tanpa jeda.” “Maaf.” Jovi yang masih telanjang, mendekati perempuan gempal yang memang terlihat l
“Apa yang kau lakukan di sini?” Vanessa mendongak ketika mendengar suara itu. Padahal dia sedang duduk cantik di kursi Jovi dan sedang menikmati makan siang yang sudah terlalu terlambat itu di meja sang dokter, ketika pintu tiba-tiba terbuka begitu saja. “Oh, maaf.” Vanessa buru-buru berdiri dan sedikit merapikan barang-barangnya. “Apa Jovi sudah akan menerima pasien di sini? Atau kau akan menggunakan ruangannya.” Perempuan yang mengenakan sneli dan ada stetoskop menggantung di leher itu melipat tangan. Dia menatap Vanessa dari atas sampai bawah, tapi tidak bisa mengingatnya sama sekali. “Boleh aku tanya kau itu siapa?” tanya sang dokter perempuan dengan kening berkerut tidak suka. “Vanessa dan aku ... dokter Aurora?” Vanessa perlu sedikit menyipitkan mata, untuk membaca tanda pengenal yang tergantung. “Mau apa kau di ruangan ini?” tanya Aurora, sembari meny
“Vanessa, ke ruangan saya sekarang juga.” “Baik, Bu,” jawab yang empunya nama dengan kening berkerut. Kening Vanessa masih berkerut, ketika meletakkan gagang teleponnya. Padahal seharusnya dia tidak punya jadwal untuk rapat bersama pimpinan cabang, tapi perempuan berkedudukan tertinggi di kantornya itu menelepon dan mencarinya. “Kau mau ke mana?” Vanessa bertanya, ketika Ardy juga berdiri dari tempatnya. “Bos 01 mencariku,” jawab Ardy disertai dengan kedikan bahu. “Aku juga dicari.” Vanessa jadi makin bingung saja. “Tapi kenapa bersamaan seperti ini.” “Kalian belum dengar gosipnya?” Tiba-tiba saja, Putri muncul di tengah dua orang yang tengah berdiri itu dan berbisik dengan pelan. “Gosip apa?” Tentu saja Ardy akan bertanya. Alih-alih menjawab, Putri malah meminta dua orang itu mengikutinya. Mereka mengarah ke tempat yang lebih sepi, tapi tidak terlalu terpencil agar tidak menimbulkan gosip aneh lainnya. “Aku yakin kalian berdua belum melihat video ini.” Putri memberi
“Kau apa?” “Aku dikasih surat teguran, Kak Ben,” keluh Vanessa setelah mengembuskan napas pelan. “Padahal aku tidak terbukti bersalah, tapi aku kena tegur.” “Kenapa bisa? Apa ada yang mengerjaimu?” tanya Ben terdengar tidak senang. “Ke mana suamimu? Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?” “Jovi bahkan belum tahu hal ini, Kak. Lagi pula, ini kan urusan kantorku. Kenapa harus memberi tahu Jovi?” “Karena dia suamimu, Nes.” Ben terdengar mengembuskan napas cukup keras. “Tentu saja dia harus tahu dan membelamu sebisa mungkin.” “Tapi nanti dia justru marah. Soalnya ada yang memfitnah aku selingkuh dengan teman kantor.” Pada akhirnya Vanessa sedikit menjelaskan keadaannya. “Dia tidak akan marah, jika itu hanya sesuatu yang tidak masuk akal. Atau perlu aku saja yang mencari tahu pelaku yang menuduhmu itu?” “Kami sudah tahu, Kak. Tapi kami tidak p