“Jovi, tolong aku.” Tiba-tiba saja Manda memekik histeris. “Dia mendorongku, padahal dia yang bersalah di sini.”
“Aku tidak melakukan apa pun.” Tentu saja Vanessa akan membela diri. “Dia jatuh dengan sendirinya.” “Kau masih mengelak, padahal kau yang membuat temanku celaka?” Manda tidak menghentikan sandiwaranya, bahkan tidak berniat untuk bangkit dari lantai yang dia duduki. “Aku hanya memintamu membayar pengobatan orang yang kau celakai, tapi kau menolak.” “Aku sama sekali tidak menolak. Aku hanya kehabisan uang dan menunggu Jovi untuk ....” “Kau bahkan tidak berniat mengeluarkan uang pribadimu atas kesalahan yang kau buat?” tanya Manda yang baru saja berdiri dibantu oleh Jovi. “Apa kau ingin memeras Jovi?” “Aku tidak ....” “Cukup Vanessa.” Setelah tadi kalimatnya dipotong Manda, kini kalimat Vanessa dipotong oleh Jovi. “Jangan membuat keributan. Ini di rumah sakit.” “Aku tidak pernah membuat keri“Tadi Mama kenapa?” Kegiatan Jovi membuka pintu rumah terhenti, ketika dia mendengar penjelasan dari ibu mertuanya. “Tadi sebenarnya Mama minta uang sama Vanessa dan beri semua uangnya. Mungkin karena itu dia jadi tidak punya uang, apalagi tadi kamu bilang salah kasih ATM ke Vanessa.” Kini Jovi memijat pangkal hidungnya dengan keras. Rasanya, sakit kepala yang sejak tadi dai rasakan, kini terasa makin sakit saja. “Nanti Jovi akan bicarakan dengan Vanessa.” Pada akhirnya, hanya itu saja yang bisa sang dokter katakan pada ibu mertuanya. Setelah mematikan telepon, Jovi melanjutkan kegiatannya yang tadi. Dia melakukan itu dengan sedikit tergesa, karena perlu melihat keadaan perempuan yang menjadi teman satu rumahnya. “Vanessa.” Jovi memanggil, ketika menemukan apartemennya dalam keadaan gelap gulita. Padahal sekarang sudah malam. Mau tidak mau, Jovi menekan sakelar lampu. Setelahnya, barulah dia melangkah ke kamar utama tanpa menengok ke arah ruangan lain lebih dulu. “Vanessa.” J
“Kenapa dengan tanganmu itu.” Meghan menatap perban di tangan Vanessa dengan tatapan tidak suka. “Saya kecelakaan, Bu. Ini yang saya urus dua hari kemarin.” Vanessa sama sekali tidak keberatan untuk menjelaskan. “Jadi apa kau akan mengajukan cuti lagi?” tanya Meghan dengan mata melotot. “Dengan alasan sakit?” “Tentu saja tidak.” Vanessa menggeleng sambil tersenyum. “Saya tidak selemah itu, sampai harus cuti karena tangan diperban. Walau mungkin akan jadi lamban, saya bisa bekerja.” Meghan menyipitkan mata dengan tidak suka. Entah bagaimana, dia merasa kata-kata yang diucapkan oleh Vanessa terdengar sedikit mengintimidasi dan mengejek. Hal yang jelas saja tidak disukai oleh Meghan karena biar bagaimana jabatannya lebih tinggi. “Baiklah.” Meghan mengangguk pelan. “Karena kau sudah sombong begitu, aku tidak mau melihat kau meminta tolong orang lain mengerjakan pekerjaanmu, sekali pun itu hanya sedikit.” “Itu tidak
“Bagaimana dengan Vanessa?” tanya Danapati, ketika sang putra mengunjunginya di kantor. “Hubungan kalian baik-baik saja kan?” “Sangat baik.” Jovi mengangguk dengan sangat canggung dan membuat lelaki paruh baya yang menggunakan sneli di depannya menaikkan sebelah alis. “Kenapa kau terlihat gugup?” Danapati tidak segan untuk bertanya. “Kau tidak menyembunyikan sesuatu kan?” “Tidak juga.” Jovi kembali menggeleng. “Yah, kecuali soal Vanessa yang terluka karena kecelakaan ringan.” “Vanessa kecelakaan dan kau masih merahasiakan itu?” Danapati sampai melotot mendengar apa yang dikatakan oleh putranya. “Bukan sesuatu yang parah, Pa. Hanya sedikit robek di tangan dan jari.” Jovi tentu saja akan menunjukkan tempat-tempat yang sama sekali tidak berbahaya itu. “Tetap saja. Seharusnya kau memberitahu kami dan orang tua Vanessa. Kau tidak lupa mengabari mertuamu kan?” Jovi langsung terdiam mendengar pertanyaan ayahnya. Tentu saja dia sama sekali lupa dengan hal itu, apalagi mereka juga masi
“Kenapa kalian berdua bisa ada di sini?” Vanessa mengatakan itu, ketika melihat ada dua orang berdiri di depan rumah Jovi. “Vanessa, kok baru pulang kerja jam segini?” Alih-alih menjawab, Mama Cindy segera mendatangi menantunya. “Kan lagi sakit. Tidak perlu masuk kerja lah.” “Nah, kan. Mama juga bilang apa?” Kali ini, Mama Linna yang bersuara. “Harusnya kau mendengar ketika Mama bilang cuti saja.” Vanessa mengangkat sebelah alis mendengar ucapan mama kandungnya itu. Rasanya itu tidak terdengar tulus, bahkan merupakan suatu kebohongan. Linna bahkan tidak terlalu peduli dan tidak menanyakan keadaan Vanessa sama sekali. “Jam pulang Vanessa memang jam segini, Ma.” Pada akhirnya, perempuan gempal itu memilih untuk menjawab sang mama mertua. “Lagi pula, ini bukan luka serius kok.” “Astaga!” Mama Cindy langsung mengambil tangan Vanessa yang terulur dengan pelan. “Diperban sebanyak ini dan kau masih bilang tidak serius?” “Memang tidak serius.” Vanessa sampai meringis, karena tidak tahu
“Jovi.” Linna langsung gugup melihat kehadiran menantunya yang berdiri di depan pintu kamar. “Tadi aku dengar Mama mertuaku mengatakan sesuatu,” balas Jovi dengan senyuman lebar. “Apa aku salah dengar?” “Kau salah dengar.” Linna mengangguk dengan cepat. “Kami sedang membicarakan orang lain, bukan membicarakan kalian.” “Baguslah kalau begitu.” Jovi mengangguk pelan, masih mempertahankan senyum penuh artinya. “Kalau begitu mungkin Mama bisa keluar saja, biar aku yang membantu istriku.” Linna tidak langsung keluar. Dia terlebih dulu melirik ke arah putrinya dan memberi tanda agar bisa segera mengirim uang. Setelah itu, barulah Linna beranjak keluar dengan senyum lebar di wajahnya. “Walau tubuh putriku tidak terlalu bagus, tapi tolong perlakukan dia dengan baik ya.” Linna menyempatkan diri untuk mengatakan itu, sembari menepuk pelan pundak sang menantu. “Mama tidak perlu khawatir, karena sejujurnya Vanessa itu cukup indah,” jawab Jovi dengan tidak tahu malunya. Jujur saja, Vaness
“Coba jawab pertanyaan mertuamu.” Cindy ikut mencecar putranya dengan tatapan menyipit curiga. “Kan aneh kalau barang-barang Vanessa ada di kamar mandi luar, sementara dia selalu mandi di dalam.” Linna mengangguk pelan. “Apa kalian baru saja bertengkar atau apa?” “Tidak.” Jovi menggeleng dengan gugup. “Itu hanya ....” “Aku sengaja menaruhnya di luar.” Vanessa yang baru saja keluar dengan rambut yang masih basah, langsung memberi tahu. “Mandi di luar adalah solusi saat Jovi sudah lebih dulu mandi dan kami sedang buru-buru.” “Ya, seperti itu.” Jovi langsung mengangguk dengan bersemangat. “Mama kan tahu bagaimana aku jika mendapat tugas jaga pagi.” Cindy hanya bisa memutar bola mata dengan gemas. Tentu saja dia tahu kelakuan putranya jika sedang berada di dalam kamar mandi merangkap toilet saat pagi hari. “Memangnya kenapa?” Linna yang tidak mengerti, tentu akan bertanya. “Jovi itu kalau buang air sang
“Bagaimana kalau aku pura-pura hamil, kemudian pura-pura keguguran?” tanya Vanessa dengan kelopak mata yang membulat sempurna. “Lantas bagaimana kalau mamaku membawamu ke dokter kandungan?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat. “Apa kau pikir tidak akan ketahuan? Lagi pula, keguguran itu butuh dirawat di rumah sakit.” “Kau kan dokter.” Vanessa menunjuki suaminya. “Kau bisa bekerja sama dengan dokter kandungan untuk itu bukan?” “Apa kau pikir keguguran hanya berhubungan dengan dokter kandungan?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Ada dokter anestesi juga perawat, bahkan bagian administrasi. Terlalu banyak orang.” “Tidak perlu sampai seperti itu. Memangnya orang tuamu akan memeriksa semuanya.” “Mamaku mungkin tidak, tapi papaku ya. Dia dokter juga dan kalau mau, Papa bisa meminta datamu, sekali pun kau dirawat di rumah sakit lain. Dia punya banyak teman, Nes.” Vanessa mendengus keras. Dia benar-benar merasa kesal karena semua ide yang sejak tadi dia ajukan, tidak diloloskan Jovi.
[+62xxxxxxxxx: Ini peringatan terakhir untukmu. Jauhi Jovi, atau kau akan menyesal seumur hidup.] Kening Vanessa berkerut membaca pesan bernada ancaman itu. Dia bisa menebak siapa yang mengirim, tapi jelas tidak mengerti kenapa harus sampai seperti ini. “Bukannya dia yang berselingkuh duluan ya?” gumam Vanessa dengan pelan, di balik kubikel kerjanya. “Perasaan Cinta bilangnya begitu deh. Atau aku yang salah ingat?” Vanessa kembali menjelajahi ruang obrolan pribadi dengan sahabatnya itu dan menemukan kalimat yang sesuai. Dia sama sekali tidak salah ingat, jadi untuk apa Manda sampai mengancam seperti itu? “Apa dia sama sekali tidak merasa bersalah dan ingin minta balikan?” Vanessa masih berbisik. “Siapa yang tidak merasa bersalah?” Ardy tiba-tiba saja muncul dari balik kubikelnya. “Bukan siapa-siapa.” Vanessa yang sudah terbiasa dengan kemunculan lelaki rekan kerjanya itu, mampu menjawab dengan senyum tipis “Apa mantan pacarmu berulah? Atau mantannya pacarmu yang be
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt
“Jadi Bu Meghan menilaiku seperti itu ya?” Vanessa mengangguk pelan. “Memang kenyataannya seperti itu, Vanessa. Itu bukan hanya sekedar penilaianku,” balas Meghan dengan sombongnya. “Tapi lebih rendah yang mana?” Tiba-tiba saja Vanessa berdiri dan tersenyum dengan lebar. “Tidur dengan pacar sendiri, atau tidur dengan pacar orang? Leher Bu Meghan punya lebih banyak bekas merah loh waktu itu. Mau saya tunjukkan fotonya?” “Apa maksudmu dengan itu?” Meghan memukul meja dengan wajah yang memerah karena marah dan bercampur sedikit malu. “Semua orang di sini juga tahu faktanya, Bu.” Vanessa menantang dengan melipat tangan di depan dada. “Rocky itu awalnya pacarku yang Bu Meghan tikung entah dengan cara apa. Mungkin dengan membuka kaki di depannya.” “Kau ....” Meghan menunjuk perempuan gempal di depannya menggunakan jari telunjuk berkuku panjang. Bahkan kuku itu n
“Sebentar malam, kalian berdua harus bicara sama Mama dan Papa.” Vanessa mengembuskan napas pelan, ketika mengingat apa yang dikatakan ibu mertuanya. Kejadian tadi pagi, tentu saja merupakan kejadian yang sangat memalukan sepanjang sejarah kehidupan Vanessa. “Bagaimana bisa Mama Cindy malah menemukan karet pengaman bekas pakai Jovi?” desis Vanessa dengan suara sekecil mungkin. “Dasar dokter mesum sialan.” “Kak Vanessa kenapa?” Putri yang baru saja berbalik, bertanya. “Sedang banyak pikiran,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Apa yang membuatmu banyak pikiran?” Ardy ikut menimpali. “Apa karena pacarmu ....” “Jaga mulutmu, Ardy.” Vanessa tentu saja akan melotot pada rekan kerja lelaki itu. “Jangan menyumpahiku dengan hal yang tidak-tidak.” “Aku bahkan belum mengatakan apa-apa.” Ardy mengedikkan bahu, seolah tidak bersalah. “