“Kau pasti bercanda, Vi.” Danapati melotot pada putranya.
“Sama sekali tidak, Pa. Aku tidak bercanda,” balas Jovi dengan tegas. “Kau meminta Papa untuk menambah kredit rumah sakit yang baru saja terbentuk itu sebanyak sepuluh miliar?” Danapati bertanya, hanya agar dia tidak salah. “Ya. Jadi nanti totalnya adalah tiga belas milyar. Bisa kan Pa?” “APA KAU GILA?” Jovi tersentak mendengar teriakan sang papa. Rasanya, sudah lama sekali dia tidak mendengar teriakan yang seperti ini. Terakhir kali, mungkin saat Jovi duduk di kelas empat sekolah dasar. “Jovi waras dan hanya ....” “Kau ingin kita membayar pakai apa?” hardik Danapati memotong kalimat sang putra semata wayang. “Uang itu mau digunakan untuk apa juga? Yang tiga milyar kemarin saja belum terpakai.” “Papa bisa memakainya untuk ... menambah armada ambulans misalnya? Atau mungkin memperluas rumah sakit?” Danapati melotot mend“Tidakkah ini benar-benar sangat menyebalkan?” gumam Aurora dengan ekspresi kesal. “Kau mengatakan sesuatu?” tanya Jovi dengan kening berkerut. “Tidak.” Aurora segera menggeleng. “Hati-hati di jalan dan maaf malah membuang waktumu untuk mengantarku pulang.” “Tidak masalah. Sampai nanti,” jawab Jovi dengan senyum tipis, sebelum masuk kembali ke dalam mobilnya. Mau tidak mau, Aurora hanya bisa melambaikan tangan saja. Dia memperhatikan mobil yang baru saja mengantarnya, sampai menghilang dari pandangan. Setelah itu, barulah dia mulai mengeluh. “Sialan! Padahal aku mengajaknya jalan, tapi malah diantar pulang. Ini benar-benar menyebalkan.” Ya. Pada akhirnya, Jovi hanya mengantar rekan kerjanya pulang. Itu pun setelah memberitahu sang istri, jika dia sedikit terlambat. “Kau memasak apa?” tanya Jovi ketika dia sudah sampai di rumah. “Aku pikir kau akan terlambat.” Vanessa mengerutkan kening, ketika melihat sang pemilik rumah sudah berdiri di sampingnya. “Aku memang terlambat. Ras
“Tunggu dulu! Kenapa bisa jadi begini sih?” Vanessa memekik di dalam hati. Perempuan tambun itu mendongak, hanya untuk menemukan wajah Jovi yang tertidur pulas. Yang makin membuat wajahnya memerah adalah posisi mereka saat ini. Sang dokter tertidur dalam posisi memeluk Vanessa layaknya memeluk bantal guling. “Kenapa di saat seperti ini dia tampan sekali sih.” Secara tidak sadar, Vanessa menggumamkan hal itu dengan sangat pelan. “Mana berotot juga,” lanjutnya di dalam hati, sembari melirik pangkal lengan yang memeluknya dengan sangat erat. “Boleh kupegang tidak ya?” Walau tadi bertanya dengan ekspresi ragu-ragu, pada akhirnya Vanessa menggerakkan tangannya. Sulit menjangkau lengan Jovi, tapi cukup sanggup untuk menyentuh bagian dada. “Ini tidak sekeras yang kubayangkan,” gumam Vanessa di dalam hati, sambil memegang otot dada lelaki yang memeluknya dengan lebih berani. “Tapi rasanya nyaman juga.” “Hei, sampai kapan kau mau melecehkanku?” Suara yang tiba-tiba terdengar itu, memb
“Aku sama sekali tidak membawa uang, kecuali apa pun yang tersisa di dompetku. Tentu saja itu jumlahnya hanya beberapa ratus ribu saja,” jawab Vanessa dengan mata melotot. “Kau kan bisa mengirimiku lewat mobile banking. Kau tahu nomor rekeningku atau nomor dompet digitalku kan?” tanya sang kakak sulung dengan santainya. “Aku belum gajian.” Vanessa berusaha menolak dengan segala cara. “Lagi pula, aku masih harus mengurus biaya rumah. Aku sudah menikah.” “Justru karena kau sudah menikah.” Kini sang kakak sulung melipat tangan di depan dada, setelah menyandarkan motornya dengan aman. “Biaya rumah harusnya ditanggung suami dan kau juga pasti dapat uang jajan.” “Kalau seperti itu, harusnya kau jadi lebih banyak uang kan? Berbagi sedikit kenapa?” Vanessa menggeram kesal. Padahal biasanya sang kakak sulung itu sedikit bodoh. Tapi jika sudah bersangkutan dengan uang, lelaki itu tiba-tiba saja jadi lebih pintar. “Asal kau tahu, aku ada perjanjian pisah harta dengan suamiku.” V
“Bagus, Vanessa. Sekarang kau tidak punya uang sepeser pun.” Perempuan bertubuh tambun itu mengeluh sambil berjalan. Uang di tabungan terkuras dan uang di dompet digital pun sudah habis. Itu membuat Vanessa dengan terpaksa harus berjalan kaki di pagi hari yang sangat cerah itu. “Padahal aku belum makan,” gumam Vanessa mengelus perutnya yang buncit dengan bibir mencebik. “Tapi sekarang beli nasi bungkus saja tidak bisa, bagaimana caranya aku harus minum obat?” Vanessa mengembuskan napas pelan, meratapi isi dompetnya yang hanya tinggal selembar uang sepuluh ribu dan tidak ada satu pun kartu kredit di sana. Kini Vanessa merutuki diri sendiri yang sangat jarang menyimpan uang tunai di dompet. “Ya, sudah. Aku coba bertanya pada Kak Benny saja. Siapa tahu dia belum jauh dan bisa mengantarku pulang.” Vanessa bergegas mengambil ponselnya. “Loh?” Vanessa yang sempat menepi ke mini market, langsung memekik ketika melihat ponselnya. “Kok gak nyala sih? Perasaan tadi sudah sempat is
“Aduh, tapi bagaimana ini?” Vanessa terlihat sangat panik. “Saya sedang tidak bawa uang dan ponsel saya mati. Bisa saya pinjam dulu kabel untuk mengisi daya ponsel?” Perawat yang duduk di depan komputer itu melirik dengan bibir mencebik. Dia jelas saja tidak mudah percaya dengan orang yang datang ke rumah sakit untuk berobat dan tidak membawa uang sepeser pun. “Saya cuma perlu mengirim pesan untuk suami saya kok, Sus.” Vanessa kembali memelas. “Setelah itu dia pasti kirim uang untuk saya pakai. Sumpah!” “Ponselnya menggunakan kabel seperti apa?” Pada akhirnya, si perawat memilih untuk sedikit membantu karena kasihan. “Type c.” Vanessa segera memekik girang mendengarnya. “Tapi maaf, tapi bisakah saya dibantu? Tangan saya diperban.” Si perawat yang makin merasa kasihan melihat Vanessa tentu saja akan membantu. Biar bagaimana, perempuan itu juga terluka. Vanessa yang tadi kurang berhati-hati saat berjalan pulang, malah berakhir ditabrak motor. Sebelah tangannya harus dib
“Jovi, tolong aku.” Tiba-tiba saja Manda memekik histeris. “Dia mendorongku, padahal dia yang bersalah di sini.” “Aku tidak melakukan apa pun.” Tentu saja Vanessa akan membela diri. “Dia jatuh dengan sendirinya.” “Kau masih mengelak, padahal kau yang membuat temanku celaka?” Manda tidak menghentikan sandiwaranya, bahkan tidak berniat untuk bangkit dari lantai yang dia duduki. “Aku hanya memintamu membayar pengobatan orang yang kau celakai, tapi kau menolak.” “Aku sama sekali tidak menolak. Aku hanya kehabisan uang dan menunggu Jovi untuk ....” “Kau bahkan tidak berniat mengeluarkan uang pribadimu atas kesalahan yang kau buat?” tanya Manda yang baru saja berdiri dibantu oleh Jovi. “Apa kau ingin memeras Jovi?” “Aku tidak ....” “Cukup Vanessa.” Setelah tadi kalimatnya dipotong Manda, kini kalimat Vanessa dipotong oleh Jovi. “Jangan membuat keributan. Ini di rumah sakit.” “Aku tidak pernah membuat keri
“Tadi Mama kenapa?” Kegiatan Jovi membuka pintu rumah terhenti, ketika dia mendengar penjelasan dari ibu mertuanya. “Tadi sebenarnya Mama minta uang sama Vanessa dan beri semua uangnya. Mungkin karena itu dia jadi tidak punya uang, apalagi tadi kamu bilang salah kasih ATM ke Vanessa.” Kini Jovi memijat pangkal hidungnya dengan keras. Rasanya, sakit kepala yang sejak tadi dai rasakan, kini terasa makin sakit saja. “Nanti Jovi akan bicarakan dengan Vanessa.” Pada akhirnya, hanya itu saja yang bisa sang dokter katakan pada ibu mertuanya. Setelah mematikan telepon, Jovi melanjutkan kegiatannya yang tadi. Dia melakukan itu dengan sedikit tergesa, karena perlu melihat keadaan perempuan yang menjadi teman satu rumahnya. “Vanessa.” Jovi memanggil, ketika menemukan apartemennya dalam keadaan gelap gulita. Padahal sekarang sudah malam. Mau tidak mau, Jovi menekan sakelar lampu. Setelahnya, barulah dia melangkah ke kamar utama tanpa menengok ke arah ruangan lain lebih dulu. “Vanessa.” J
“Kenapa dengan tanganmu itu.” Meghan menatap perban di tangan Vanessa dengan tatapan tidak suka. “Saya kecelakaan, Bu. Ini yang saya urus dua hari kemarin.” Vanessa sama sekali tidak keberatan untuk menjelaskan. “Jadi apa kau akan mengajukan cuti lagi?” tanya Meghan dengan mata melotot. “Dengan alasan sakit?” “Tentu saja tidak.” Vanessa menggeleng sambil tersenyum. “Saya tidak selemah itu, sampai harus cuti karena tangan diperban. Walau mungkin akan jadi lamban, saya bisa bekerja.” Meghan menyipitkan mata dengan tidak suka. Entah bagaimana, dia merasa kata-kata yang diucapkan oleh Vanessa terdengar sedikit mengintimidasi dan mengejek. Hal yang jelas saja tidak disukai oleh Meghan karena biar bagaimana jabatannya lebih tinggi. “Baiklah.” Meghan mengangguk pelan. “Karena kau sudah sombong begitu, aku tidak mau melihat kau meminta tolong orang lain mengerjakan pekerjaanmu, sekali pun itu hanya sedikit.” “Itu tidak
“Kau bertengkar dengan suamimu? Kalau benar begitu, jangan coba-coba pulang ke rumah.” Kening Vanessa berkerut ketika mendengar suara sang ibu dari balik sambungan telepon. Padahal dia sudah berada di depan rumah, tapi sekarang malah diusir? Yang benar saja. “Apa aku pencet bel saja ya?” gumam Vanessa, menatap bel yang ada di depannya. “Tapi kan ini sudah jam sebelas malam. Anak-anak nanti malah terbangun karena ribut.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Mending aku pergi ke rumah teman-temanku saja.” Vanessa sudah mengambil ponsel, kemudian menghela napas. Dia sempat lupa jika teman-temannya pun sudah berkeluarga dan hari sudah malam. Tentu saja Vanessa tidak mungkin mengganggu keluarga orang lain bukan? Keluarganya sendiri tidak ingin diganggu, apalagi keluarga orang lain kan? Teman-temannya tidak hidup sendirian saja. “Menghubungi Kak Ben saja?” Jemari Vanessa melayang di atas nama sang kakak, yang tertera pada ponselnya. “Tapi sepertinya dia pergi tugas luar kota. Rasanya k
“Aku rasa, sebentar lagi aku akan menjadi istri Jovi.” Manda yang baru keluar dari rumah sakit, mengatakan hal itu sambil menempelkan ponsel di telinganya. "Setelah itu mungkin akan sulit untuk mencari lebih dari satu sumber pendapatan, tapi aku akan bekerja keras untuk Jovi.” “Itu sudah benar, Sayang.” Suara lelaki yang terdengar di balik sambungan telepon terdengar sangat puas. “Kita bisa memaksimalkan pendapatan dari satu orang saja dulu, setelah itu nanti baru dipikir lagi.” “Kalau begitu, mungkin aku harus menghapus beberapa tato dulu?” tanya Manda menatap tato pada pergelangan tangannya. “Calon mertuaku mungkin tidak akan terlalu menyukainya.” “Tapi aku sangat menyukainya,” keluh suara di ujung sambungan telepon. “Terutama yang ada di pangkal pahamu itu dan di bawah payudara. Itu seksi.” “Aku tidak akan menghapus bagian yang itu, jadi kau tenang saja.” Manda tertawa mendengarnya. “Aku hanya akan menghapus beberapa yang terlihat saja.” “Kalau itu demi masa depan kita, ak
“Kenalin, ini anakku satu-satunya loh.” Cindy tersenyum ceria, ketika memperkenalkan perempuan muda di sebelahnya pada sang putra. “Halo.” Perempuan tadi mengulurkan tangan dengan senyum yang sama cerahnya. “Kenalin aku ....” “Ma. Aku sedang sibuk.” Jovi memilih untuk menyela, sebelum perkenalan barusan selesai diucapkan. “Sudah ada pasien yang mengantri.” “Ah, alasan.” Cindy mengibaskan tangan dengan santainya. “Mama tahu kau selalu cari alasan jika sedang ingin dijodohkan. Padahal kalau sama dua mantanmu yang lain, kau pasti mengizinkan mereka masuk ruanganmu, walau ada pasien.” “Dua mantan?” tanya Jovi dengan sebelah alis yang terangkat. “Manda dan Vanessa.” “Ma.” Mendengar nama istrinya disebut, tentu saja Jovi akan menegur. “Vanessa bukan ....” “Akan segera menjadi mantan. Kau menjanjikan Mama seperti itu.” Giliran Cindy yang menyel
“Apa kita cerai saja ya?” “Ya?” Jovi yang baru saja pulang dan masih membuka sepatu di sebelah rak sepatu langsung membulatkan mata dan menghentikan gerakannya. “Buka saja dulu sepatumu.” Vanessa mengembuskan napas dengan berat. “Kalau sudah kita makan saja sambil bicara serius.” Jovi pun melepas sepatunya dengan cepat. Meletakkan kunci mobil secara sembarangan dan bergegas untuk bergabung dengan sang istri. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin makan sedikit dulu.” Jovi segera memberi tahu, agar nanti dia tidak sakit perut. “Makan saja.” Vanessa memberikan sepiring penuh nasi dan lauk. “Hari ini aku memasak nasi karena berpikir kita mungkin perlu tenaga ekstra.” “Oh, aku suka dengan pemikiranmu.” Jovi mengangguk, sembari menyuap dengan lahap. Dia memang lapar. “Tolong jangan menyimpulkan yang tidak-tidak, karena yang aku maksud
“Apa Mama sudah gila?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Sama sekali tidak,” jawab Cindy dari balik sambungan telepon. “Aku ini sudah punya istri loh, Ma. Masa mau dikenalkan pada perempuan lain lagi?” Apa yang dikatakan Jovi membuat mata Ezra-sang sahabat nyaris menyemburkan kopinya. Siapa pun akan terkejut mendengar hal yang baru saja dikatakan sahabatnya. Apalagi istri Jovi adalah sahabat dari istrinya. “Istrimu itu sama sekali tidak berguna,” cibir Cindy. “Lagi pula, setelah kau menemukan perempuan yang tepat, kau pasti mau punya anak yang banyak.” “Dengan siapa pun itu, aku tetap tidak mau,” balas Jovi yang kini menyugar rambutnya dengan sangat pelan, saking lelahnya dia berbicara dengan sang ibu. “Itu keputusanku juga, Ma. Bukan hanya keputusan Vanessa.” “Kau pasti dihasut oleh dia.” Suara Cindy cukup keras, sampai sang putra perlu menjauhkan ponsel. Ez
“Ini apa?” tanya Meghan melempar setumpuk kertas pada perempuan gempal yang berdiri di depannya. “Laporan, Bu. Juga berkas nasabah,” jawab Vanessa dengan kening berkerut. Dia sudah mengerjakan benda itu sejak pagi untuk disetor, tapi kenapa malah dikembalikan dengan kasar? “Coba kau cek itu semua.” Meghan kembali membentak. “Menurutmu kenapa bagian reviewer mengembalikan semua hasil kerjamu? Pikirkan juga kenapa aku mengembalikan laporan mingguanmu.” Walau tidak mengerti apa yang terjadi, Vanessa memungut kertas-kertas yang berserakan. Tidak terlalu banyak, karena sebagian besar sudah tidak perlu dicetak dan cukup dilihat pada komputer saja. “Oh, sialan!” Vanessa berbisik sepelan mungkin, ketika dengan mudah menemukan kesalahannya. Bagian yang salah sudah dilingkari dengan spidol merah. “Maaf, Bu. Sepertinya saya salah menulis angka.” Tentu saja Vanessa harus meminta maaf. “Untu
“Kalian berdua itu sebenarnya kenapa sih?” tanya Cindy terlihat sangat kesal. “Sebenarnya ingin punya anak atau tidak?” Vanessa dan Jovi saling melirik satu sama lain, dengan kepala yang sedikit menunduk. Mereka berdua sama sekali tidak bisa melihat perempuan paruh baya di depan mereka dengan benar. “Kalau ingin menunda, seharusnya bilang dari awal.” Cindy kembali menghardik “Kami sudah sempat ....” “Berikan alasan yang jelas.” Cindy memotong kalimat putranya dengan hardikan keras dan pelototan mata. “Memangnya kalian ada menjelaskan secara detail?” “Maaf, Ma.” Vanessa melirik ke arah mertuanya dengan takut-takut, seraya mengangkat tangan. “Apa?” Vanessa tersentak mendengar suara keras sang ibu mertua. Bukannya dia bermental setipis tisu, tapi rasanya baru kali ini Vanessa melihat ibu mertuanya benar-benar marah dan itu menyeramkan. Unt
“Jadi Bu Meghan menilaiku seperti itu ya?” Vanessa mengangguk pelan. “Memang kenyataannya seperti itu, Vanessa. Itu bukan hanya sekedar penilaianku,” balas Meghan dengan sombongnya. “Tapi lebih rendah yang mana?” Tiba-tiba saja Vanessa berdiri dan tersenyum dengan lebar. “Tidur dengan pacar sendiri, atau tidur dengan pacar orang? Leher Bu Meghan punya lebih banyak bekas merah loh waktu itu. Mau saya tunjukkan fotonya?” “Apa maksudmu dengan itu?” Meghan memukul meja dengan wajah yang memerah karena marah dan bercampur sedikit malu. “Semua orang di sini juga tahu faktanya, Bu.” Vanessa menantang dengan melipat tangan di depan dada. “Rocky itu awalnya pacarku yang Bu Meghan tikung entah dengan cara apa. Mungkin dengan membuka kaki di depannya.” “Kau ....” Meghan menunjuk perempuan gempal di depannya menggunakan jari telunjuk berkuku panjang. Bahkan kuku itu n
“Sebentar malam, kalian berdua harus bicara sama Mama dan Papa.” Vanessa mengembuskan napas pelan, ketika mengingat apa yang dikatakan ibu mertuanya. Kejadian tadi pagi, tentu saja merupakan kejadian yang sangat memalukan sepanjang sejarah kehidupan Vanessa. “Bagaimana bisa Mama Cindy malah menemukan karet pengaman bekas pakai Jovi?” desis Vanessa dengan suara sekecil mungkin. “Dasar dokter mesum sialan.” “Kak Vanessa kenapa?” Putri yang baru saja berbalik, bertanya. “Sedang banyak pikiran,” jawab Vanessa tanpa ragu. “Apa yang membuatmu banyak pikiran?” Ardy ikut menimpali. “Apa karena pacarmu ....” “Jaga mulutmu, Ardy.” Vanessa tentu saja akan melotot pada rekan kerja lelaki itu. “Jangan menyumpahiku dengan hal yang tidak-tidak.” “Aku bahkan belum mengatakan apa-apa.” Ardy mengedikkan bahu, seolah tidak bersalah. “