“Ke mana saja kau tiba-tiba cuti?” Vanessa menoleh menatap atasan langsungnya dengan ekspresi lesu. Padahal dia hanya cuti sehari saja untuk menikah kilat, tapi coba lihat reaksi Meghan itu? Seolah Vanessa cuti mendadak selama sebulan saja. “Saya ada urusan keluarga, Bu.” Vanessa menjawab seadanya saja. “Kebetulan tiba-tiba juga.” “Urusan keluarga apa yang bisa tiba-tiba?” tanya Meghan dengan mata menyipit. “Kau tidak sedang mengada-ada kan?” “Ya banyaklah, Bu. Misalnya orang tua sakit, ada keluarga yang meninggal, ada nikahan tiba-tiba. Yang namanya urusan keluarga ya banyak.” Meghan melotot mendengar pernyataan blak-blakan Vanessa barusan. Bahkan bisa dibilang, perempuan gempal itu menyumpahi ada keluarganya yang meninggal. “Yang jelas, tidak mungkin kau yang menikah,” gumam Meghan, sebelum beranjak ke tempat duduknya. Vanessa hanya bisa mengedikkan bahu, kemudian dia pergi duduk di tempatnya. Inginnya sih mengatakan kalau sekarang dia sudah jadi istri orang, tap
“Loh, tidak bisa begitu dong Bu Meghan.” Vanessa langsung protes, sampai berdiri dari kursinya. “Dari awal kan aku yang mengurusi Hospitalia, bahkan aku juga yang meyakinkan mereka untuk mengambil kredit di kita.” “Tapi kau cuti, ketika mereka sedang buru-buru. Memangnya aku bisa apa kalau begitu?” tanya Meghan dengan kedua alis yang menjungkit naik. Vanessa menggeram kesal mendengar apa yang dikatakan oleh atasan langsungnya itu. Hal yang sebenarnya cukup masuk akal, dan membuat Vanessa tidak bisa banyak membalas. Tapi tetap saja hal itu membuatnya sakit hati. “Nah, sekarang duduklah dengan tenang dan mulailah mencari nasabah baru,” ucap Meghan dengan senyum lebar. Setelah yakin Vanessa sudah duduk dengan baik, dan tidak menatapnya. Barulah Meghan mengetik cepat di ponselnya, sambil melirik Vanessa. [Marketing 1: Ambil alih berkas kredit rumah sakit itu dari Vanessa sekarang juga.] *** “Kenapa kau ada di sini?” Jovi mendongak mendengar suara yang dikenali itu, hanya untuk mem
“Vanessa, ada yang mencarimu di bawah.” Seseorang berteriak. “Hah? Siapa?” Vanessa yang baru saja ingin duduk, mengerutkan kening. “Gak tahu, tapi orangnya bapak-bapak. Tipikal om-om ganteng yang bisa jadi sugar dady gitu.” “Hei, bisakah kau mengatakannya dengan lebih baik?” Vanessa jelas saja akan menegur, karena apa yang dikatakan temannya bisa menggiring opini negatif. “Maaf, soalnya dia tampan. Aku jadi ingin mendekatinya.” Bukannya menyesal, rekan kerjanya itu malah tertawa mesum. Vanessa hanya bisa menghela napas lelah. Padahal masalahnya tentang pekerjaan belum selesai, kini datang lagi masalah lain. Untung saja Vanessa mengingat kalau dia ada janji dengan ayah mertuanya. “Aku akan pergi makan siang di luar. Apa ada yang mau menitip?” tanya Vanessa dengan baik hati. “Titip salam saja untuk papa gulamu,” sahut Meghan dengan senyum mencemooh. “Mungkin aku bisa kecipratan dapat tas mahal.” “Bermimpilah setinggi langit,” desis Vanessa tentu hanya berani dalam suara kecil,
“Apa itu betul?” Vanessa melirik Ardy yang langsung menyapanya dengan pertanyaan, ketika sudah waktunya jam pulang kantor. Pertanyaan yang dia dengar itu terlalu ambigu. “Apa tadi kau kencan ganda dengan Bu Meghan?” ulang Ardy dengan lebih detail. “Kencan ganda dari Hong Kong?” hardik Vanessa dengan mata melotot. “Lalu? Apa yang kalian lakukan bersama?” Ardy kembali bertanya dengan raut wajah bingung. “Bu Meghan kan jalan sama mantanmu.” “Kenapa kau bertanya padaku?” Vanessa masih setia melotot. “Tanya saja pada dua orang brengsek itu. Padahal mereka tidak diundang, tapi malah memaksa bergabung di mejaku.” “Kalau begitu, tadi kau pergi dengan siapa?” Kali ini Vanessa berdecak mendengar pertanyaan sang rekan kerja. Dia tidak mungkin jujur, karena tidak akan ada yang percaya. Apalagi, Vanessa memang tidak mengundang siapa pun selain keluarganya saja. “Orang itu keluargaku.” Akhirnya hanya itu saja yang bisa dia katakan. “Dia orang yang sibuk, tapi ketika ada waktu dia akan m
“Rupanya kau membawa tamu ya, Jo,” gumam Manda dengan senyum kecut. “Siapa mereka?” “Siapa katamu?” tanya Cindy dengan mata melotot. “Harusnya itu pertanyaanku.” Alih-alih menanggapi pertanyaan perempuan paruh baya di depannya, Manda malah menatap satu-satunya lelaki yang ada di sana. Dia bahkan melipat kedua tangan di depan dada, dan memperlihatkan wajah kesal. “Kau tidak mau memberi tahuku?” tanya Manda tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk, apalagi kini dia tidak menggunakan make up seperti biasanya. Jovi tidak menjawab, dan hanya bisa berdehem pelan. Jujur saja, penampilan Manda yang polos membuatnya sedikit terkejut. Sang mantan jadi jauh lebih cantik dan terlihat lebih baik. “Jovi.” Cindy menegur putranya. “Apa kau tidak mau mengusir perempuan ini dari apartemenmu? Kau membiarkan perempuan lain masuk ke dalam rumahmu, bahkan ketika kau sudah beristri?” “Maaf istri?” tanya Manda dengan mata melotot. “Sejak kapan Jovi menikah, apalagi dengan ....” Perem
“Aku rasa kita harus bicara,” gumam Jovi setelah hanya tinggal dia dan Vanessa saja di rumah. “Kau sedang bicara,” jawab perempuan yang sedang duduk di depan meja rias itu. “Maksudku ... bicara serius, dalam durasi yang cukup lama. Apa kau ada waktu?” Jovi mengulang pertanyaannya disertai dengan desisan pelan. “Bicara saja. Aku mendengarkan kok. Kegiatanku menggunakan skincare, tidak membuatku tuli.” Mendengar tanggapan itu, Jovi yang berdiri di depan pintu kamar sang istri, segera melangkah masuk. Dia perlu duduk, untuk mengatakan apa pun itu yang ada di dalam kepalanya. Pinggiran ranjang, menjadi pilihan untuk bokongnya bersandar. “Dari pada tidur di kamar terpisah, bagaimana kalau kita tidur di kamar yang sama saja?” tanya Jovi tanpa ragu. “Tentu saja ini demi terlihat baik di mata Mama, apalagi dia sepertinya akan sering datang dengan tiba-tiba,” lanjut Jovi dengan cepat. “Dia akan curiga kalau barangmu berada di kamar tamu, dan aku tidak ingin mengambil kesempata
“Sialan,” desis Jovi cukup keras. “Dasar perempuan maniak.” Lelaki itu dengan cepat membuka pakaiannya satu per satu, kemudian melangkah mendekat ke arah tuas shower. Jovi sedang butuh untuk menenangkan diri dengan menggunakan air dingin. “Bagaimana mungkin dia meminta hal seperti itu pada seorang pria?” gumam Jovi seorang diri. “Jelas ada yang salah di otaknya.” Jovi menggeram marah, ketika mengingat apa yang terjadi barusan. Dia tentu saja menolak ajakan tidur itu mentah-mentah, tapi bukan berarti dia tidak memikirkannya. Jujur saja, itu tawaran yang patut dipikirkan. “Kenapa kau mandi lama sekali?” Vanessa menyambut, ketika yang empunya kamar keluar dari kamar mandi. “Apa yang kau lakukan di sini?” hardik Jovi berusaha menutupi dirinya dengan handuk. Dia tadi hanya menggunakan sepotong handuk, untuk menutupi area pribadi. Handuk kedua yang kebetulan saja masih ada dalam keranjang cucian, dia gunakan untuk menutup tubuh atasnya yang telanjang. “Kau memintaku untuk tidur di
“Aku tidak sengaja,” pekik Jovi dengan wajah sembap dan rambut berantakan. “Tidak sengaja bagaimana?” hardik Vanessa dengan mata melotot, juga dengan penampilan berantakan. “Bagaimana mungkin kau yang tadinya tidur di atas lantai, bisa tidur di atasku.” “Aku juga tidak tahu,” pekik Jovi sangat frustrasi. “Aku hanya tertidur dan bangun ketika kau memukuliku tadi.” “Dasar sampah. Mengaku tidak mau, tapi malah menyerangku saat tidur.” Vanessa jelas saja akan mencibir, sembari menarik selimut menutupi tubuhnya. “Hei, aku tidak menyerangmu.” Karena kesal, Jovi pada akhirnya menunjuki perempuan yang membuatnya kesal itu. “Aku hanya tidak sengaja naik ke atas ranjang, dan menindihmu ketika tidur.” “Catat baik-baik! Hanya menindihmu ketika tidur. Aku dan kau tertidur dengan posisi kau yang menjadi ranjang, itu saja tidak lebih! Lagi pula, bukankah kemarin kau yang menawari? Kenapa sekarang seolah aku yang dituduh?” Suara Jovi sedikit memelan, ketika menyadari kesalahan yang t
"Aurora dan Ardy?" tanya Jovi dengan sebelah alis terangkat. "Apa aku tidak salah dengar?" "Sama sekali tidak." Vanessa menggeleng pelan. "Soalnya, aku kemarin melihat interaksi lucu mereka dan itu menggemaskan. Sepertinya mereka akan cocok." Kening Jovi berkerut menatap istri yang dia peluk. Mereka sedang bersantai di atas ranjang, setelah menghabiskan malam panas bersama. Jovi sih masih ingin sekali lagi, tapi memilih menahan diri karena istrinya lelah. Alhasil mereka hanya berpelukan saja. "Tapi bagiku itu tetap aneh." Sayangnya, pikiran Jovi berbeda dengan sang istri. "Aku rasa sifat mereka bertolak belakang dan bisa memicu konflik." "Memangnya sifat kita tidak bertolak belakang?" Vanessa malah memukul dada bidang sang suami. "Sama sekali tidak." Jovi menyangkal dengan entengnya. "Kita sama-sama orang yang senang cari ribut." "Heh, aku tidak seperti itu ya." Kali ini Vanessa bukan memukul lagi, tapi mencubit. Tentu saja rasanya sakit, tapi Jovi hanya bisa meringis
"Jovi sedang tidak praktik hari ini. Dia ada kuliah." Ardy langsung menoleh, ketika dia mendengar suara yang dikenalnya. Senyum lebar mengembang, ketika dia sudah melihat perempuan yang empunya suara. Suara yang sebenarnya masih dia rindukan. "Hai." Ardy hanya bisa mengangkat tangan sebagai sapaan. "Sudah lama tidak bertemu." "Beberapa bulan memang cukup lama." Vanessa mengangguk tegas. "Tapi kenapa kau datang ke sini?" "Aku berobat pada suamimu," jawab Ardy tanpa ragu. "Tapi aku dengar, dia sedang tidak praktik ya?" "Sekarang Jovi sedang berkuliah untuk mengambil spesialis. Akan sulit baginya untuk sering praktik. Kalau mau, aku bisa merekomendasikan dokter yang lain." "Tentu saja." Ardy dengan cepat mengangguk. "Lagi pula, aku memang butuh dokter." "Kalau begitu, tolong daftarkan untuk dokter Aurora." Vanessa memberitahu perawat yang sedang berjaga di konter registrasi. Setelah mengatakan it
"Aku bingung." Vanessa mengerutkan keningnya. "Mana yang harus aku ambil untuk kuliah S2? Administrasi rumah sakit, atau manajemen rumah sakit? Bedanya apa?" "Untuk apa kau mengambil S2?" Jovi membalas pertanyaan sang istri, dengan pertanyaan lainnya. "Tentu saja aku harus belajar lebih banyak tentang itu kan?" Vanessa segera meminta suaminya duduk di atas ranjang, kemudian mengambil alih handuk yang lelaki itu pegang. "Walau mungkin tidak bisa menjadi direktur, tapi aku tetap ingin mempelajari banyak hal. Biar bagaimana, kau butuh istri yang mengerti seluk beluk rumah sakit dengan baik dan benar bukan?" Vanessa mengatakan itu, sembari mengeringkan rambut basah suaminya. Jovi hari ini memang pulang sedikit terlambat dan berakhir harus mandi malam. Dia yang tidak suka menggunakan hair dryer, kini membiarkan sang istri yang mengeringkan rambutnya dengan handuk saja. "Tapi nanti kau bisa lelah." Sang dokter berusaha untuk menasihati istrinya. "Sekarang ini kau juga bekerja di b
"Perkenalkan, ini menantuku Vanessa." Danapati mengulurkan tangannya dengan senyum cerah, untuk menggandeng perempuan yang dia panggil. "Ke depannya, kalian semua akan sering bertemu dengan dia, karena Vanessa akan bergabung di rumah sakit kita," lanjut Danapati, sembari melihat semua orang yang menghadiri rapat hari ini. "Selamat siang semuanya. Saya Vanessa yang mulai minggu depan, akan ikut bergabung dengan rumah sakit ini, sebagai staff bagian keuangan." Jovi mengembuskan napas pelan ketika istrinya selesai memperkenalkan diri. Rasanya, sudah satu minggu belakangan ini dia terus dan terus dikejutkan dengan keputusan sang istri. Seperti apa yang terjadi kemarin. "Kenapa kau selalu memberikanku kejutan?" tanya Jovi yang segera menggandeng sang istri, keluar dari ruangan rapat. "Memangnya Vanessa memberi kejutan apa lagi?" Danapati yang ikut berjalan dengan kedua anaknya bertanya. "Kemarin Vanessa memutuskan pergi ke dokter kandungan untuk konsultasi dan program keha
"Hey, Vi. Sesekali nongkrong sama kita dong. Jangan pulang cepat terus." Yang empunya nama meringis pelan, ketika mendengar suara teman-temannya yang terdengar sangat keras itu. Padahal, dia sedang merekam pesan suara untuk sang istri. "Kalian ini jangan terlalu ribut dong." Jovi langsung protes. "Coba lihat ini, pesan suara yang berisi suara kalian, malah terkirim pada istriku." "Astaga, Vi!" Salah seorang teman seangkatannya hanya bisa menggeleng. "Memangnya kenapa kalau istrimu dengar? Toh, kita hanya akan pergi nongkrong. Bukan mengajakmu pergi selingkuh." "Iya tahu. Tapi kalau istriku dengar, nanti dia malah mengusirku pergi bersama kalian." "Loh? Bukannya itu bagus?" tanya teman yang lain. "Sama sekali tidak, karena aku akan lebih memilih untuk menemani istriku pergi terapi. Jadi, sekarang aku akan pulang saja." Jovi dengan cepat melangkah pergi. Dia ingin menghindari teman-temannya yang senang sekali menanyakan terlalu banyak hal. Sesuatu yang membuat Jovi nyari
"Aku tidak menyangka akan punya waktu ngobrol berdua dengan Kak Ben." Mendengar namanya dipanggil, Ben langsung mendongak. Dia bisa melihat adik iparnya baru saja duduk di kursi kosong di depannya. Mengesalkan, tapi Ben sendiri yang mengundang lelaki itu datang. "Jadi, kenapa Kak Ben mengundangku makan malam?" tanya Jovi dengan senyum lebar. "Kak Ben tidak suka padaku kan?" "Apa kau ingin mati?" Ben tidak segan untuk bertanya dengan kasar. "Tentu saja belum." Jovi menjawab dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Biar bagaimana, aku masih harus menemani Vanessa sampai tua." "Senang kau punya pemikiran yang bijaksana seperti itu." Ben mengembuskan napas pelan, sebelum menenggak segelas wine yang sudah dia pesan lebih dulu. "Pesan saja dulu, kau mungkin lapar setelah kuliah panjang. Aku dengar kau mengambil spesialis." Ben mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji restoran. "Aku senang karena kakak iparku pengertian." Jovi menggosok kedua tangan, ketika melihat menu yan
"LEPASKAN AKU." Manda berteriak, ketika ada dua orang polisi yang memeganginya. "Aku harus membunuh perempuan sialan itu." "Singkirkan dia dari sini." Si pengacara memberi perintah pada polisi, walau itu mungkin terdengar arogan. "Kalian tidak apa-apa?" tanya si pengacara, menghampiri kliennya yang terjatuh ke atas lantai. "Tidak apa-apa." Jovi menggeleng pelan. "Bagaimana denganmu, Nes?" "APA KAU GILA ATAU MATI RASA?" Baru juga menoleh, Jovi sudah menemukan ponsel berisi pesan di depan matanya. "Lenganmu tadi tertusuk." Vanessa kembali memperlihatkan pesan yang sudah dia ketik. "Benarkah?" Setelah diberitahu, barulah Jovi menatap ke benda yang masih menancap di lengannya. "Oh, Astaga!" Si pengacara jadi panik sendiri. "Kau harus segera ke rumah sakit," lanjutnya menanggalkan kesopanan. "Apa kau lupa? Aku ini dokter." Jovi tersenyum miring, sembari memegang benda yang menusuk lengannya itu. Kalau diumpamakan, Jovi rasanya seperti tertusuk oleh pulpen dengan ujung y
"Kau sungguh berkeluarga dengan menteri?" tanya Manda terus menatapi Jovi, ketika mereka, Vanessa dan seorang lagi diberikan ruangan untuk berbicara. "Ya. Apa ada masalah dengan itu?" Jovi menjawab dengan kening berkerut kesal. "Tidak ada." Manda menggeleng, sembari tersenyum lebar. Manda bahkan tiba-tiba saja memperbaiki rambut dan merapikan jaket kulitnya. Hal yang membuat Vanessa mencebik kesal. Manda terlihat jelas ingin menggoda Jovi. "Perempuan gatal," gumam Vanessa dengan mata melotot. Untungnya, Manda tidak mendengar umpatan itu karena suara Vanessa memang tidak nyaring. Tepatnya tidak bisa. Tapi, Jovi bisa mendengar umpatan itu karena duduk sangat dekat dengan sang istri. Hal yang membuatnya terbatuk cukup keras, karena tidak menyangka Vanessa akan mengumpat. "Jadi, kenapa kau datang kemari?" Manda hanya menatap Jovi yang kebetulan duduk di depannya. "Apa kau mau membantuku untuk keluar dari sini?" "Membantumu keluar dari sini?" tanya sang dokter dengan sebel
"Manda." Seorang perempuan paruh baya berteriak, ketika melihat yang empunya nama turun dari mobil. "Eh, Ibu Kos. Ada apa ya Bu? Bukannya aku sudah bayar untuk bulan ini dan bulan depan?" tanya Manda dengan senyum lebar. "Ini jauh lebih penting dan mendesak dari pada uang kosmu yang sering menunggak itu." Si ibu kos terlihat begitu panik. "Ada dua orang polisi yang mencarimu." "Polisi?" tanya Manda dengan sebelah alis yang terjungkit naik. "Untuk apa mereka mencariku?" "Mana aku tahu." Si ibu kos memukul lengan Manda. "Mereka tidak mau memberitahu dan terus menunggumu. Memangnya kau melakukan apa sih?" "Aku tidak melakukan apa-apa." Manda mengedikkan bahu dengan santainya. "Biar aku bertemu mereka saja dan bertanya apa yang terjadi." "Awas saja ya kalau kau bikin masalah lagi." Si ibu kos menunjuki wajah Manda. "Kejadian kau dilabrak tempo hari, sudah membuat reputasi kosku menjadi jelek. Jangan makin memperburuk keadaan." Manda memutar bola matanya karena gemas. Memang