“Ya, aku rasa kau terlalu beruntung.” Meghan segera mengangguk yakin, ketika tadi mendengar omongan Vanessa. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa merayu banyak lelaki.”
Vanessa melirik perempuan yang baru saja berbicara itu. Tentu saja yang barusan bicara adalah bos Meghan, yang tampak kesal karena lagi-lagi Vanessa yang berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengambil kredit pada mereka dan harus Vanessa yang mengurus. “Ucapan Bu Meghan tidak salah kok. Aku memang pandai merayu nasabah, untuk menjadi nasabah kita.” Vanessa dengan mudahnya memperbaiki kalimat atasan langsungnya itu. “Kebetulan saja, pengusaha yang butuh modal kerja itu kebanyakan lelaki. Karena itu marketing kebanyakan perempuan kan?” lanjut Vanessa dalam nada tanya dan senyum mengejek. “Bu Meghan juga perempuan kan?” Perkataan itu tentu saja membuat Meghan menjadi makin kesal saja, karena apa yang dikatakan Vanessa tidak salah. Sebagian besar yang mengambil modal kerja memang pengusaha lelaki, dan marketing di bank mereka juga sebagian besar perempuan. “Karena sudah deal, aku rasa sudah saatnya kita pulang.” Kesal karena kalah, Meghan memilih untuk kabur. “Ini juga sudah lewat jam pulang kantor kan? Aku mau pergi kencan dengan pacarku.” Salah satu rekan kerja Vanessa yang juga ikut dalam meeting tadi, melirik atasannya dengan satu alis terangkat. Semua orang di kantor, sudah tahu kalau Meghan sekarang mengencani mantan Vanessa yang baru saja diputuskan. Hal yang membuat semua orang hilang respek pada Meghan. “Karena ini sudah lewat jam pulang kantor, saya juga izin untuk tidak kembali ke kantor saja ya.” Vanessa mengatakan itu, sembari mengetik di ponselnya. “Mau pergi ke mana kau?” Meghan bertanya dengan mata menyipit kesal. “Aku ada janji dengan orang, dan aku tidak ada kewajiban untuk memberi tahu Bu Meghan. Jadi aku pergi dulu ya.” Vanessa melambai dengan senyum tipis, sebelum melangkah pergi. “Paling hanya pergi merayu lelaki lain.” Meghan kembali mencibir, saat Vanessa sudah agak jauh. “Lalu kenapa dengan matamu?” hardiknya, pada perempuan lain yang menjadi bawahannya. *** “Setelah mengundur jadwal bertemu dan memintaku menunggu di kantin rumah sakit, sekarang kau bahkan terlambat?” Vanessa disambut dengan pertanyaan bernada ketus. “Maafkan aku.” Vanessa menyapa dengan permintaan maaf. “Aku terlambat karena nasabah yang tadi punya banyak pertanyaan.” Jovi hanya bisa berdecih pelan. Memang salahnya sendiri bersedia menunggu lebih dari dua jam, hanya untuk membicarakan nasib mereka berdua. Sesuatu hal yang sebenarnya penting. “Jadi bagaimana?” Vanessa langsung bertanya. “Apa kau sudah berhasil membujuk ibumu?” “Boro-boro.” Jovi langsung menggeleng. “Teleponku saja tidak mau diangkat, bagaimana bisa bicara dengan mama.” “Memangnya kalian tidak serumah?” tanya Vanessa dengan nada gemas. “Kenapa harus menelepon?” “Tentu saja karena aku bekerja. Apa kau pikir dokter itu tidak punya jam kerja?” tanya Jovi dengan melotot. “Jadi bagaimana dong?” tanya Vanessa mulai terlihat cemas. “Aku tidak mungkin mau menikah denganmu yang baru aku kenal.” “Lucu sekali.” Jovi mendengkus pelan. “Kau tidak mau menikah denganku, tapi mau tidur denganku?” “Hei, jangan bicara keras-keras.” Vanessa harus mendesis untuk memperingatkan lawan bicaranya, sembari melihat ke kiri dan kanan. Memastikan tidak ada yang mendengar. “Lagi pula, menikah dan one night stand itu dua hal yang berbeda. Setidaknya bercinta hanya membutuhkan satu malam, sementara menikah itu membutuhkan seumur hidup,” lanjut Vanessa dalam bisikan pelan. “Tapi apakah kau lupa kalau tindakan semalam itu bisa menghadirkan sesuatu yang harus kau urusi seumur hidup?” tanya Jovi dengan dua alis terangkat. “Kau kan bisa memakai pengaman.” “Pengaman pun bisa bocor kalau kau sial.” Vanessa mendesis pelan. Dia tidak bisa membantah lagi, ketika mendengar hal itu. Pasalnya apa yang dikatakan Jovi sangat benar. Vanessa bahkan sudah pernah melihat orang dengan kasus seperti itu. “Jadi kita harus bagaimana?” Akhirnya Vanessa hanya bisa bertanya lagi. Kali ini dengan ekspresi lebih tenang. “Sebenarnya mudah saja. Orang tuamu cukup menolak saja dan semua akan selesai,” jawab Jovi merasa kalau itu adalah hal yang sewajarnya. “Itu tidak mungkin terjadi.” Sayang sekali, Vanessa langsung menggeleng. “Orang tuaku bukan orang tua normal pada umumnya. Mereka pasti segera menerima tawaran menikah itu.” “Kalau begitu kau saja yang menolak. Kalau kau bersikeras, semua orang pasti tidak akan membantah.” Vanessa hanya bisa menghela napas. Dia sendiri pun tidak tahu bagaimana harus menjelaskan hal ini pada Jovi. Selain keluarganya benar-benar sangat berantakan, dia pun tidak yakin bisa menolak dengan keras. “Itu sulit.” Pada akhirnya, hanya itu yang bisa Vanessa katakan. “People pleaser?” Walau ragu dengan tebakannya, tapi pada kenyataannya tebakan Jovi itu sangat benar. “Terserah kau mau menyebutku apa, tapi akan sulit bagiku jika seluru keluargaku sudah ikut campur.” Vanessa hanya bisa menjelaskan sampai di sana saja. Kening Jovi mengerut mendengar penjelasan barusan. Baginya, apa yang dikatakan Vanessa sedikit tidak masuk akal. Tapi dia juga enggan bertanya lebih banyak, karena itu bukan urusannya juga kan? “Sebenarnya, aku punya ide. Tapi aku sangat tidak yakin ini bisa berjalan dengan baik.” Setelah cukup lama terdiam, Jovi akhirnya mengatakan sesuatu. “Biar kudengar dulu apa idemu itu. Siapa tahu memang cukup berguna.” Vanessa segera memperbaiki cara duduknya. “Bagaimana kalau kau kabur saja ke luar negeri,” gumam Jovi dengan sangat tidak yakin. “Kau bisa bersembunyi untuk beberapa tahu. Untuk biaya, aku akan membantu.”Hola, ketemu lagi di buku baruku. Aku harap, semua suka bukunya. Makasih banyak juga, buat yang mau tinggalin jejak komen, review dan gem.
“Apa kau janda?” tanya Jovi dengan hati-hati. “APA KAU INGIN MATI?” Suara teriakan Vanessa bukan hanya membuat Jovi terkejut, tapi juga seisi kantin. Hal yang membuat perempuan itu malu sendiri ketika tersadar, dan hanya bisa memberikan senyum canggung pada semua orang yang melihatnya. “Bisa kecilkan suaramu?” desis sang dokter yang ikut merasa malu. “Aku tidak akan berteriak, kalau mulutmu bisa dijaga,” hardik Vanessa dalam desisan pelan. “Aku kan hanya bertanya, memangnya tidak boleh?” “Bertanya boleh, tapi yang masuk akal sedikit,” balas Vanessa masih dengan suara kecil. “Aku bahkan belum pernah menikah, tapi sudah disebut janda. Apa kau mendoakan pernikahanku kelak berumur pendek?” “Sebelum aku lebih banyak bicara, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?” tanya Jovi melirik ke sekelilingnya. “Terlalu banyak orang yang melihat kita, dan sebagian besar adalah kolegaku.” Vanessa ikut melirik ke sekelilingnya, dan benar saja. Masih ada cukup banyak orang yang menatap ke ara
“Mama barusan bilang apa?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Kami sudah setuju dengan pernikahannya, dan katanya kita juga tidak perlu keluar uang untuk barang hantaran. Katanya pestanya akan sederhana saja, dan kita juga dikasih uang.” Vanessa makin melotot mendengar apa yang dikatakan mamanya itu. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak, kecuali bagian yang paling terakhir. Sungguh, Vanessa tidak pernah berpikir orang tuanya akan meminta uang. “Kalian yang minta kan?” tanya Vanessa makin melotot saja. “Mama ngaku saja, pasti Bapak yang minta uang kan? Terus Mama setuju begitu saja kan?” “Mereka kan gak mau pesta besar, jadi harus ada kompensasi buat kita dong. Lagian tidak banyak kok, hanya lima juta saja. Mereka sepertinya tidak terlalu kaya, tapi cukuplah untuk biaya listrik, air dan wifi.” Mata Vanessa melotot mendengar nominal yang disebutkan ibunya. Itu adalah jumlah yang sangat besar bagi Vanessa, apalagi bagi keluarga Jovi bukan? Memang Jovi terlihat seperti
“Aku sama sekali tidak tahu kalau seleramu sudah berubah drastis.” Seorang perempuan muda, mendekat ke meja yang ditempati Jovi dan Vanessa. “Vanessa kenalkan.” Alih-alih membalas perempuan di depannya, Jovi memilih untuk memperkenalkan istrinya. “Ini adalah sepupuku dari pihak papa. Sekedar informasi, aku punya sangat banyak sepupu.” “Aku lihat istrimu juga punya banyak saudara,” tambah sepupu Jovi dengan wajah mencibir. “Halo salam kenal.” Vanessa mengulurkan tangan dengan baik hati. “Aku Vanessa.” Bukannya mendapat balasan, tangan Vanessa malah tidak disambut sama sekali. Hal yang membuat mempelai wanita itu, memilih untuk menarik tangannya lagi. “Setelah perempuan emo, sekarang perempuan gendut yang jelek?” Jovi dan Vanessa serentak mendelik ke arah si sepupu perempuan tadi. Hal yang jelas membuat sepupu Jovi itu tertawa cukup keras, sampai beberapa orang sampai berbalik menatap mereka. “Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kenapa pilihanmu selalu jelek?” “Dengar.
“Halo, maaf kalau aku mungkin mengganggu.” Sang tamu menyapa dengan ramah. “Mungkin?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. “Kau masih mengatakan mungkin, ketika mengganggu malam pertama pengantin baru?” “Sekali lagi, maaf.” Kali ini si tamu sedikit menunduk. “Lagi pula, ini belum cukup malam untuk memulai kan?” “Jovi sudah.” Sebelum suaminya mengatakan sesuatu, Vanessa segera menghentikan. “Tidak usah semarah itu, dia ini kakakku.” “Kakak katamu?” tanya Jovi makin melotot saja. “Perkenalkan namaku Benigno, panggil saja Ben. Salah satu kakaknya Vanessa.” Yang empunya nama mengulurkan tangan dengan ekspresi ramah. “Panggil saja Jovi.” Mau tidak mau, sang dokter ikut mengulurkan tangan. Dia tidak mungkin kurang ajar pada kakak ipar kan? “Kak Ben kok baru datang sekarang?” Vanessa bertanya dengan senyum lebar yang terlihat tulus. “Padahal acara sudah selesai.” “Maaf.” Ben meringis pelan. “Pesawatnya delay, dan jalanan macet. Mungkin terdengar seperti alasan
“Ke mana saja kau tiba-tiba cuti?” Vanessa menoleh menatap atasan langsungnya dengan ekspresi lesu. Padahal dia hanya cuti sehari saja untuk menikah kilat, tapi coba lihat reaksi Meghan itu? Seolah Vanessa cuti mendadak selama sebulan saja. “Saya ada urusan keluarga, Bu.” Vanessa menjawab seadanya saja. “Kebetulan tiba-tiba juga.” “Urusan keluarga apa yang bisa tiba-tiba?” tanya Meghan dengan mata menyipit. “Kau tidak sedang mengada-ada kan?” “Ya banyaklah, Bu. Misalnya orang tua sakit, ada keluarga yang meninggal, ada nikahan tiba-tiba. Yang namanya urusan keluarga ya banyak.” Meghan melotot mendengar pernyataan blak-blakan Vanessa barusan. Bahkan bisa dibilang, perempuan gempal itu menyumpahi ada keluarganya yang meninggal. “Yang jelas, tidak mungkin kau yang menikah,” gumam Meghan, sebelum beranjak ke tempat duduknya. Vanessa hanya bisa mengedikkan bahu, kemudian dia pergi duduk di tempatnya. Inginnya sih mengatakan kalau sekarang dia sudah jadi istri orang, tap
“Loh, tidak bisa begitu dong Bu Meghan.” Vanessa langsung protes, sampai berdiri dari kursinya. “Dari awal kan aku yang mengurusi Hospitalia, bahkan aku juga yang meyakinkan mereka untuk mengambil kredit di kita.” “Tapi kau cuti, ketika mereka sedang buru-buru. Memangnya aku bisa apa kalau begitu?” tanya Meghan dengan kedua alis yang menjungkit naik. Vanessa menggeram kesal mendengar apa yang dikatakan oleh atasan langsungnya itu. Hal yang sebenarnya cukup masuk akal, dan membuat Vanessa tidak bisa banyak membalas. Tapi tetap saja hal itu membuatnya sakit hati. “Nah, sekarang duduklah dengan tenang dan mulailah mencari nasabah baru,” ucap Meghan dengan senyum lebar. Setelah yakin Vanessa sudah duduk dengan baik, dan tidak menatapnya. Barulah Meghan mengetik cepat di ponselnya, sambil melirik Vanessa. [Marketing 1: Ambil alih berkas kredit rumah sakit itu dari Vanessa sekarang juga.] *** “Kenapa kau ada di sini?” Jovi mendongak mendengar suara yang dikenali itu, hanya untuk mem
“Vanessa, ada yang mencarimu di bawah.” Seseorang berteriak. “Hah? Siapa?” Vanessa yang baru saja ingin duduk, mengerutkan kening. “Gak tahu, tapi orangnya bapak-bapak. Tipikal om-om ganteng yang bisa jadi sugar dady gitu.” “Hei, bisakah kau mengatakannya dengan lebih baik?” Vanessa jelas saja akan menegur, karena apa yang dikatakan temannya bisa menggiring opini negatif. “Maaf, soalnya dia tampan. Aku jadi ingin mendekatinya.” Bukannya menyesal, rekan kerjanya itu malah tertawa mesum. Vanessa hanya bisa menghela napas lelah. Padahal masalahnya tentang pekerjaan belum selesai, kini datang lagi masalah lain. Untung saja Vanessa mengingat kalau dia ada janji dengan ayah mertuanya. “Aku akan pergi makan siang di luar. Apa ada yang mau menitip?” tanya Vanessa dengan baik hati. “Titip salam saja untuk papa gulamu,” sahut Meghan dengan senyum mencemooh. “Mungkin aku bisa kecipratan dapat tas mahal.” “Bermimpilah setinggi langit,” desis Vanessa tentu hanya berani dalam suara kecil,
“Apa itu betul?” Vanessa melirik Ardy yang langsung menyapanya dengan pertanyaan, ketika sudah waktunya jam pulang kantor. Pertanyaan yang dia dengar itu terlalu ambigu. “Apa tadi kau kencan ganda dengan Bu Meghan?” ulang Ardy dengan lebih detail. “Kencan ganda dari Hong Kong?” hardik Vanessa dengan mata melotot. “Lalu? Apa yang kalian lakukan bersama?” Ardy kembali bertanya dengan raut wajah bingung. “Bu Meghan kan jalan sama mantanmu.” “Kenapa kau bertanya padaku?” Vanessa masih setia melotot. “Tanya saja pada dua orang brengsek itu. Padahal mereka tidak diundang, tapi malah memaksa bergabung di mejaku.” “Kalau begitu, tadi kau pergi dengan siapa?” Kali ini Vanessa berdecak mendengar pertanyaan sang rekan kerja. Dia tidak mungkin jujur, karena tidak akan ada yang percaya. Apalagi, Vanessa memang tidak mengundang siapa pun selain keluarganya saja. “Orang itu keluargaku.” Akhirnya hanya itu saja yang bisa dia katakan. “Dia orang yang sibuk, tapi ketika ada waktu dia akan m
Kaki Vanessa tidak berhenti bergerak di bawah meja. Saking cepatnya gerakan kakinya yang mengetuk lantai, meja itu sampai bergetar. Tentu saja, Vanessa bahkan tidak menyadari hal itu. "Kenapa mejanya bergetar ya?" Seseorang bertanya. "Mungkin ada seseorang yang sudah tidak sabar ingin pulang." Seseorang yang lain melemparkan candaan dan membuat semua orang tertawa. Tentu saja Cindy dan Vanessa juga ikut tertawa pelan, tapi mereka berdua tahu siapa pelakunya. Hal yang membuat Cindy memegang kaki sang menantu dengan cukup keras. "Sayang, yang sabar sedikit ya." Cindy berbisik pelan. "Kita tunggu papamu mengatakan bagiannya dan kita bisa turun ke bawah." "Aku sedang mencoba, Ma." Mau tidak mau, Vanessa harus mengangguk. "Tapi ini tidak akan berlangsung lama kan?" "Kalau kau begitu merindukan Jovi, kirim saja pesan padanya. Minta dia yang datang menjemputmu." Cindy mengatakan itu, sembari mengedipkan sebelah mata untuk me
"Bukankah kita seharusnya tidak datang ke rumah sakit?" tanya Vanessa dengan kedua alis terangkat. "Kata Mama kita akan pergi ke perkumpulan?" "Benar." Cindy mengangguk dengan tenang. "Perkumpulan para istri dokter. Sejenis perkumpulan rutin yang kami lakukan, setelah rapat umum pemegang saham." "Rapat umum pemegang saham?" Vanessa masih bertanya dengan kedua alis terangkat. "Apakah maksudnya Mama juga akan ikut rapat?" "Tidak." Cindy kini menggeleng. "Yang ikut hanya papamu dan Jovi saja. Aku rasa sudah waktunya Jovi diperkenalkan dengan lebih intens pada semua orang, tentu saja bersama dengan dirimu yang mungkin akan mewarisi itu semua." Kini bukan hanya kedua alis Vanessa yang terangkat, tapi juga mulutnya terbuka. Dia tentu tidak akan menyangka kalau hari liburnya akan diisi dengan hal yang sangat bermanfaat, seperti yang dikatakan ibu mertuanya. "Tapi, Ma." Setelah cukup menenangkan diri, Vanessa langsung protes. "Aku dan J
"Mbak, Vanessa ada kiriman." "Hah? Kiriman apa pak? Perasaan saya tidak beli barang." tanya Vanessa pada petugas keamanan yang menghentikan langkahnya. "Ini, Bu." Si satpam mengeluarkan sebuket kecil bunga mawar merah. "Baru saja diantarkan sebelum Bu Vanessa datang. Kedua mata Vanessa berkedip cepat, sesaat sebelum menerima buket bunga itu. Memang buketnya tidak besar, tapi tetap saja sangat mencolok. Apalagi benda itu dikirimkan ke kantornya. "Cieh, yang dapat kiriman buket dari suami tercinta." Putri yang baru datang, langsung mengganggu seniornya. "Bisa tidak usah berisik?" desis Vanessa sudah mulai merasa malu. "Kenapa harus malu, Kak?" Putri makin terkekeh. "Toh, itu dari suami sendiri kan?" "Aku juga tidak tahu." Vanessa menggeleng, sembari memeriksa apakah ada kartu ucapan di sana dan ternyata memang ada. "Aku harap, harimu penuh dengan kebahagiaan. From Jovi." Vanessa membaca pesan itu dengan kening berkerut. "Ini sungguh dari Jovi? Tapi tadi dia tidak mengata
"Mama pasti salah ngomong kan?" tanya Vanessa dengan tawa yang terdengar sedikit bergetar karena gugup. "Aku tidak mungkin bekerja di rumah sakit." "Sebenarnya Papa ingin kau saja yang menggantikan papa nantinya." Danapati malah menambahkan kalimat yang membuat Vanessa makin sakit kepala. "Tapi itu tentu saja butuh banyak waktu dan kau harus belajar lagi dari awal. Mengurus rumah sakit, tentu berbeda dengan perbankan," lanjut lelaki paruh baya itu, secara tidak langsung mengiyakan ucapan sang istri. Sungguh, Vanessa tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh mertuanya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka kalau dirinya akan diminta untuk bekerja di perusahaan keluarga, apalagi sebuah rumah sakit. "Tapi bukankah Mama tidak suka denganku?" Vanessa bertanya dengan refleks. "Lalu kenapa tiba-tiba mengusulkan pindah ke rumah sakit?" "Ah, soal itu...." Cindy jadi meringis mendengar pertanyaan sang menantu. "Mama melakukan kesalaha
"Apa yang kau lakukan di sini?" Vanessa mengerutkan kening, ketika dia ada di lantai satu gedung kantornya dan melihat Jovi duduk di salah satu kursi sembari bermain ponsel. "Menjemputmu tentu saja." Jovi dengan cepat mengantongi ponselnya. "Kita akan pulang ke rumah Mama kan?" "Kita?" Vanessa menaikkan sebelah alis, tapi langsung memperbaiki ekspresinya. Walau sudah melewati jam kerja, tapi Vanessa masih di kantor dan ada cukup banyak orang yang lembur. Dia tidak mungkin memarahi Jovi yang datang tanpa izin di depan umum kan? Alhasil, Vanessa memilih untuk menyeret suaminya itu keluar dari kantor. Akan jauh lebih aman untuk berbicara berdua di dalam mobil. "Kenapa kau bisa datang ke sini?" Vanessa mengulangi pertanyaannya, setelah berhasil duduk tenang di dalam mobil sang suami. "Aku tadi sudah menjawab, tapi aku tidak keberatan mengulang. Aku datang untuk menjemputmu, karena kita akan menginap di rumah orang tuaku,"
"Maaf, Vanessanya ada?" Cindy bertanya pada petugas keamanan yang berjaga di gedung perkantoran yang dia datangi. "Sepertinya tadi sedang keluar sih, tapi coba saya pastikan ulang ya. Ibu boleh duduk dulu." Si petugas keamanan, menuntun Cindy ke tempat yang dimaksud. Ini bukan kali pertama perempuan paruh baya itu berkunjung, tapi Cindy menatap sekitarnya seolah itu yang pertama. Pemandangan bank juga bukan sesuatu yang asing baginya, tapi kali ini Cindy ingin merekam sekitarnya dengan lebih baik. "Ternyata tempat kerja Vanessa tidak terlalu besar ya," gumam Cindy setelah cukup puas melihat. "Apa karena ini hanya kantor cabang pembantu?" "Permisi, Bu." Baru juga Cindy selesai mengoceh sendiri, satpam sudah datang menghampirinya lagi. "Bu Vanessa benar sedang keluar mengunjungi nasabah, apa perlu bantuan?" "Tidak, Pak. Saya menunggu saja di sini, mumpung jam makan siang sudah dekat. Saya cuma mau mengajak mantu saya makan siang."
"Loh, Jovi? Tumben datang malam-malam begini?" Cindy mengerutkan kening, ketika dia melihat sang putra berjalan dengan gontai. "Malam, Ma," gumam Jovi tanpa menatap ibunya dan terus saja berjalan. Cindy yang sudah menggunakan piyama, makin mengerutkan kening. Padahal tadi dia sudah bersiap untuk tidur, tapi batal karena bisa mendengar suara mobil putranya. Tapi coba lihat sekarang, Jovi bahkan tidak peduli padanya. "Kau itu kenapa sih?" tanya Cindy setelah berhasil mengejar sang putra yang baru mau masuk ke kamar. "Kau habis minum?" "Hanya sedikit saja," jawab Jovi dengan jujur dan senyum lebar. "Aku masih belum mabuk karena tadi bisa menyetir sendiri." "Tapi jelas otakmu sudah tidak pada tempatnya." Cindy hanya bisa geleng-geleng kepala dan kini memilih untuk membantu sang putra sampai ke atas ranjang. "Apa ada masalah di rumah sakit?" "Masalah di rumah sakit?" Bukannya menjawab, Jovi malah bertanya. "Tidak terlalu b
"Aku tidak terlambat kan?" Jovi langsung bertanya, ketika dia sudah sampai di tempat janjian. Lebih tepatnya, saat sudah berada di depan sang istri. "Terlambat," balas Vanessa yang melihat jam tangannya. "Kau terlambat dua menit." "Maaf untuk itu." Jovi meringis pelan. Sesungguhnya, Jovi ingin protes. Dua menit jelas bukan waktu menunggu yang membuatnya harus sampai dicap terlambat, tapi untuk kali ini sang dokter memilih untuk meminta maaf saja. Jauh lebih aman. "Aku tadi dapat pasien di menit-menit terakhir." Sang dokter mencoba untuk menjelaskan. "Padahal aku sudah meminta untuk tidak menerima pasien tiga puluh menit terakhir, agar aku bisa menyelesaikan catatanku dan tidak terlambat datang." "Jujur saja, aku tidak terlalu percaya." Vanessa mengedikkan bahu dengan santai. "Tapi untuk mempersingkat waktu, anggap saja begitu." "Mau pesan makanan dulu?" tanya Jovi masih meringis. "Aku sedikit lapar, karena tadi tidak
"Bagaimana kau bisa gagal?" "Aku juga tidak tahu, Gery." Manda ikut terlihat kesal pada lelaki di depannya. "Semuanya sudah berjalan baik, tapi tiba-tiba saja Jovi dan temannya datang. Untung aku cepat melarikan diri, selagi mereka semua berkelahi." "Bodoh." Lelaki yang dipanggil Gery, tak segan memaki. Dia bahkan menjambak rambut Manda. "Seharusnya tidak ada kesalahan seperti ini, Manda. Kau tahu kalau aku tidak suka dengan yang namanya kegagalan, apalagi kegagalan karena kau bodoh." Gery melempar tubuh Manda ke atas sofa buntut dengan kasar. Hal yang tentu saja membuat Manda sedikit menjerit, tapi tidak dengan ekspresi takut atau sedih. Dia malah terlihat senang dengan perlakuan lelaki itu. "Apakah aku harus gagal terus agar kau memperlakukanku dengan sedikit kasar?" tanya Manda masih tersenyum. "Rasanya sudah lama juga kita tidak bermain seperti ini." "Kau memang gila." Gery tidak segan untuk mencibir. "Tapi kalau kau menging