“Ya, aku rasa kau terlalu beruntung.” Meghan segera mengangguk yakin, ketika tadi mendengar omongan Vanessa. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa merayu banyak lelaki.”
Vanessa melirik perempuan yang baru saja berbicara itu. Tentu saja yang barusan bicara adalah bos Meghan, yang tampak kesal karena lagi-lagi Vanessa yang berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengambil kredit pada mereka dan harus Vanessa yang mengurus. “Ucapan Bu Meghan tidak salah kok. Aku memang pandai merayu nasabah, untuk menjadi nasabah kita.” Vanessa dengan mudahnya memperbaiki kalimat atasan langsungnya itu. “Kebetulan saja, pengusaha yang butuh modal kerja itu kebanyakan lelaki. Karena itu marketing kebanyakan perempuan kan?” lanjut Vanessa dalam nada tanya dan senyum mengejek. “Bu Meghan juga perempuan kan?” Perkataan itu tentu saja membuat Meghan menjadi makin kesal saja, karena apa yang dikatakan Vanessa tidak salah. Sebagian besar yang mengambil modal kerja memang pengusaha lelaki, dan marketing di bank mereka juga sebagian besar perempuan. “Karena sudah deal, aku rasa sudah saatnya kita pulang.” Kesal karena kalah, Meghan memilih untuk kabur. “Ini juga sudah lewat jam pulang kantor kan? Aku mau pergi kencan dengan pacarku.” Salah satu rekan kerja Vanessa yang juga ikut dalam meeting tadi, melirik atasannya dengan satu alis terangkat. Semua orang di kantor, sudah tahu kalau Meghan sekarang mengencani mantan Vanessa yang baru saja diputuskan. Hal yang membuat semua orang hilang respek pada Meghan. “Karena ini sudah lewat jam pulang kantor, saya juga izin untuk tidak kembali ke kantor saja ya.” Vanessa mengatakan itu, sembari mengetik di ponselnya. “Mau pergi ke mana kau?” Meghan bertanya dengan mata menyipit kesal. “Aku ada janji dengan orang, dan aku tidak ada kewajiban untuk memberi tahu Bu Meghan. Jadi aku pergi dulu ya.” Vanessa melambai dengan senyum tipis, sebelum melangkah pergi. “Paling hanya pergi merayu lelaki lain.” Meghan kembali mencibir, saat Vanessa sudah agak jauh. “Lalu kenapa dengan matamu?” hardiknya, pada perempuan lain yang menjadi bawahannya. *** “Setelah mengundur jadwal bertemu dan memintaku menunggu di kantin rumah sakit, sekarang kau bahkan terlambat?” Vanessa disambut dengan pertanyaan bernada ketus. “Maafkan aku.” Vanessa menyapa dengan permintaan maaf. “Aku terlambat karena nasabah yang tadi punya banyak pertanyaan.” Jovi hanya bisa berdecih pelan. Memang salahnya sendiri bersedia menunggu lebih dari dua jam, hanya untuk membicarakan nasib mereka berdua. Sesuatu hal yang sebenarnya penting. “Jadi bagaimana?” Vanessa langsung bertanya. “Apa kau sudah berhasil membujuk ibumu?” “Boro-boro.” Jovi langsung menggeleng. “Teleponku saja tidak mau diangkat, bagaimana bisa bicara dengan mama.” “Memangnya kalian tidak serumah?” tanya Vanessa dengan nada gemas. “Kenapa harus menelepon?” “Tentu saja karena aku bekerja. Apa kau pikir dokter itu tidak punya jam kerja?” tanya Jovi dengan melotot. “Jadi bagaimana dong?” tanya Vanessa mulai terlihat cemas. “Aku tidak mungkin mau menikah denganmu yang baru aku kenal.” “Lucu sekali.” Jovi mendengkus pelan. “Kau tidak mau menikah denganku, tapi mau tidur denganku?” “Hei, jangan bicara keras-keras.” Vanessa harus mendesis untuk memperingatkan lawan bicaranya, sembari melihat ke kiri dan kanan. Memastikan tidak ada yang mendengar. “Lagi pula, menikah dan one night stand itu dua hal yang berbeda. Setidaknya bercinta hanya membutuhkan satu malam, sementara menikah itu membutuhkan seumur hidup,” lanjut Vanessa dalam bisikan pelan. “Tapi apakah kau lupa kalau tindakan semalam itu bisa menghadirkan sesuatu yang harus kau urusi seumur hidup?” tanya Jovi dengan dua alis terangkat. “Kau kan bisa memakai pengaman.” “Pengaman pun bisa bocor kalau kau sial.” Vanessa mendesis pelan. Dia tidak bisa membantah lagi, ketika mendengar hal itu. Pasalnya apa yang dikatakan Jovi sangat benar. Vanessa bahkan sudah pernah melihat orang dengan kasus seperti itu. “Jadi kita harus bagaimana?” Akhirnya Vanessa hanya bisa bertanya lagi. Kali ini dengan ekspresi lebih tenang. “Sebenarnya mudah saja. Orang tuamu cukup menolak saja dan semua akan selesai,” jawab Jovi merasa kalau itu adalah hal yang sewajarnya. “Itu tidak mungkin terjadi.” Sayang sekali, Vanessa langsung menggeleng. “Orang tuaku bukan orang tua normal pada umumnya. Mereka pasti segera menerima tawaran menikah itu.” “Kalau begitu kau saja yang menolak. Kalau kau bersikeras, semua orang pasti tidak akan membantah.” Vanessa hanya bisa menghela napas. Dia sendiri pun tidak tahu bagaimana harus menjelaskan hal ini pada Jovi. Selain keluarganya benar-benar sangat berantakan, dia pun tidak yakin bisa menolak dengan keras. “Itu sulit.” Pada akhirnya, hanya itu yang bisa Vanessa katakan. “People pleaser?” Walau ragu dengan tebakannya, tapi pada kenyataannya tebakan Jovi itu sangat benar. “Terserah kau mau menyebutku apa, tapi akan sulit bagiku jika seluru keluargaku sudah ikut campur.” Vanessa hanya bisa menjelaskan sampai di sana saja. Kening Jovi mengerut mendengar penjelasan barusan. Baginya, apa yang dikatakan Vanessa sedikit tidak masuk akal. Tapi dia juga enggan bertanya lebih banyak, karena itu bukan urusannya juga kan? “Sebenarnya, aku punya ide. Tapi aku sangat tidak yakin ini bisa berjalan dengan baik.” Setelah cukup lama terdiam, Jovi akhirnya mengatakan sesuatu. “Biar kudengar dulu apa idemu itu. Siapa tahu memang cukup berguna.” Vanessa segera memperbaiki cara duduknya. “Bagaimana kalau kau kabur saja ke luar negeri,” gumam Jovi dengan sangat tidak yakin. “Kau bisa bersembunyi untuk beberapa tahu. Untuk biaya, aku akan membantu.”Hola, ketemu lagi di buku baruku. Aku harap, semua suka bukunya. Makasih banyak juga, buat yang mau tinggalin jejak komen, review dan gem.
“Apa kau janda?” tanya Jovi dengan hati-hati. “APA KAU INGIN MATI?” Suara teriakan Vanessa bukan hanya membuat Jovi terkejut, tapi juga seisi kantin. Hal yang membuat perempuan itu malu sendiri ketika tersadar, dan hanya bisa memberikan senyum canggung pada semua orang yang melihatnya. “Bisa kecilkan suaramu?” desis sang dokter yang ikut merasa malu. “Aku tidak akan berteriak, kalau mulutmu bisa dijaga,” hardik Vanessa dalam desisan pelan. “Aku kan hanya bertanya, memangnya tidak boleh?” “Bertanya boleh, tapi yang masuk akal sedikit,” balas Vanessa masih dengan suara kecil. “Aku bahkan belum pernah menikah, tapi sudah disebut janda. Apa kau mendoakan pernikahanku kelak berumur pendek?” “Sebelum aku lebih banyak bicara, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?” tanya Jovi melirik ke sekelilingnya. “Terlalu banyak orang yang melihat kita, dan sebagian besar adalah kolegaku.” Vanessa ikut melirik ke sekelilingnya, dan benar saja. Masih ada cukup banyak orang yang menatap ke ara
“Mama barusan bilang apa?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Kami sudah setuju dengan pernikahannya, dan katanya kita juga tidak perlu keluar uang untuk barang hantaran. Katanya pestanya akan sederhana saja, dan kita juga dikasih uang.” Vanessa makin melotot mendengar apa yang dikatakan mamanya itu. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak, kecuali bagian yang paling terakhir. Sungguh, Vanessa tidak pernah berpikir orang tuanya akan meminta uang. “Kalian yang minta kan?” tanya Vanessa makin melotot saja. “Mama ngaku saja, pasti Bapak yang minta uang kan? Terus Mama setuju begitu saja kan?” “Mereka kan gak mau pesta besar, jadi harus ada kompensasi buat kita dong. Lagian tidak banyak kok, hanya lima juta saja. Mereka sepertinya tidak terlalu kaya, tapi cukuplah untuk biaya listrik, air dan wifi.” Mata Vanessa melotot mendengar nominal yang disebutkan ibunya. Itu adalah jumlah yang sangat besar bagi Vanessa, apalagi bagi keluarga Jovi bukan? Memang Jovi terlihat seperti
“Aku sama sekali tidak tahu kalau seleramu sudah berubah drastis.” Seorang perempuan muda, mendekat ke meja yang ditempati Jovi dan Vanessa. “Vanessa kenalkan.” Alih-alih membalas perempuan di depannya, Jovi memilih untuk memperkenalkan istrinya. “Ini adalah sepupuku dari pihak papa. Sekedar informasi, aku punya sangat banyak sepupu.” “Aku lihat istrimu juga punya banyak saudara,” tambah sepupu Jovi dengan wajah mencibir. “Halo salam kenal.” Vanessa mengulurkan tangan dengan baik hati. “Aku Vanessa.” Bukannya mendapat balasan, tangan Vanessa malah tidak disambut sama sekali. Hal yang membuat mempelai wanita itu, memilih untuk menarik tangannya lagi. “Setelah perempuan emo, sekarang perempuan gendut yang jelek?” Jovi dan Vanessa serentak mendelik ke arah si sepupu perempuan tadi. Hal yang jelas membuat sepupu Jovi itu tertawa cukup keras, sampai beberapa orang sampai berbalik menatap mereka. “Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kenapa pilihanmu selalu jelek?” “Dengar.
“Halo, maaf kalau aku mungkin mengganggu.” Sang tamu menyapa dengan ramah. “Mungkin?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. “Kau masih mengatakan mungkin, ketika mengganggu malam pertama pengantin baru?” “Sekali lagi, maaf.” Kali ini si tamu sedikit menunduk. “Lagi pula, ini belum cukup malam untuk memulai kan?” “Jovi sudah.” Sebelum suaminya mengatakan sesuatu, Vanessa segera menghentikan. “Tidak usah semarah itu, dia ini kakakku.” “Kakak katamu?” tanya Jovi makin melotot saja. “Perkenalkan namaku Benigno, panggil saja Ben. Salah satu kakaknya Vanessa.” Yang empunya nama mengulurkan tangan dengan ekspresi ramah. “Panggil saja Jovi.” Mau tidak mau, sang dokter ikut mengulurkan tangan. Dia tidak mungkin kurang ajar pada kakak ipar kan? “Kak Ben kok baru datang sekarang?” Vanessa bertanya dengan senyum lebar yang terlihat tulus. “Padahal acara sudah selesai.” “Maaf.” Ben meringis pelan. “Pesawatnya delay, dan jalanan macet. Mungkin terdengar seperti alasan
“Ke mana saja kau tiba-tiba cuti?” Vanessa menoleh menatap atasan langsungnya dengan ekspresi lesu. Padahal dia hanya cuti sehari saja untuk menikah kilat, tapi coba lihat reaksi Meghan itu? Seolah Vanessa cuti mendadak selama sebulan saja. “Saya ada urusan keluarga, Bu.” Vanessa menjawab seadanya saja. “Kebetulan tiba-tiba juga.” “Urusan keluarga apa yang bisa tiba-tiba?” tanya Meghan dengan mata menyipit. “Kau tidak sedang mengada-ada kan?” “Ya banyaklah, Bu. Misalnya orang tua sakit, ada keluarga yang meninggal, ada nikahan tiba-tiba. Yang namanya urusan keluarga ya banyak.” Meghan melotot mendengar pernyataan blak-blakan Vanessa barusan. Bahkan bisa dibilang, perempuan gempal itu menyumpahi ada keluarganya yang meninggal. “Yang jelas, tidak mungkin kau yang menikah,” gumam Meghan, sebelum beranjak ke tempat duduknya. Vanessa hanya bisa mengedikkan bahu, kemudian dia pergi duduk di tempatnya. Inginnya sih mengatakan kalau sekarang dia sudah jadi istri orang, tap
“Loh, tidak bisa begitu dong Bu Meghan.” Vanessa langsung protes, sampai berdiri dari kursinya. “Dari awal kan aku yang mengurusi Hospitalia, bahkan aku juga yang meyakinkan mereka untuk mengambil kredit di kita.” “Tapi kau cuti, ketika mereka sedang buru-buru. Memangnya aku bisa apa kalau begitu?” tanya Meghan dengan kedua alis yang menjungkit naik. Vanessa menggeram kesal mendengar apa yang dikatakan oleh atasan langsungnya itu. Hal yang sebenarnya cukup masuk akal, dan membuat Vanessa tidak bisa banyak membalas. Tapi tetap saja hal itu membuatnya sakit hati. “Nah, sekarang duduklah dengan tenang dan mulailah mencari nasabah baru,” ucap Meghan dengan senyum lebar. Setelah yakin Vanessa sudah duduk dengan baik, dan tidak menatapnya. Barulah Meghan mengetik cepat di ponselnya, sambil melirik Vanessa. [Marketing 1: Ambil alih berkas kredit rumah sakit itu dari Vanessa sekarang juga.] *** “Kenapa kau ada di sini?” Jovi mendongak mendengar suara yang dikenali itu, hanya untuk mem
“Vanessa, ada yang mencarimu di bawah.” Seseorang berteriak. “Hah? Siapa?” Vanessa yang baru saja ingin duduk, mengerutkan kening. “Gak tahu, tapi orangnya bapak-bapak. Tipikal om-om ganteng yang bisa jadi sugar dady gitu.” “Hei, bisakah kau mengatakannya dengan lebih baik?” Vanessa jelas saja akan menegur, karena apa yang dikatakan temannya bisa menggiring opini negatif. “Maaf, soalnya dia tampan. Aku jadi ingin mendekatinya.” Bukannya menyesal, rekan kerjanya itu malah tertawa mesum. Vanessa hanya bisa menghela napas lelah. Padahal masalahnya tentang pekerjaan belum selesai, kini datang lagi masalah lain. Untung saja Vanessa mengingat kalau dia ada janji dengan ayah mertuanya. “Aku akan pergi makan siang di luar. Apa ada yang mau menitip?” tanya Vanessa dengan baik hati. “Titip salam saja untuk papa gulamu,” sahut Meghan dengan senyum mencemooh. “Mungkin aku bisa kecipratan dapat tas mahal.” “Bermimpilah setinggi langit,” desis Vanessa tentu hanya berani dalam suara kecil,
“Apa itu betul?” Vanessa melirik Ardy yang langsung menyapanya dengan pertanyaan, ketika sudah waktunya jam pulang kantor. Pertanyaan yang dia dengar itu terlalu ambigu. “Apa tadi kau kencan ganda dengan Bu Meghan?” ulang Ardy dengan lebih detail. “Kencan ganda dari Hong Kong?” hardik Vanessa dengan mata melotot. “Lalu? Apa yang kalian lakukan bersama?” Ardy kembali bertanya dengan raut wajah bingung. “Bu Meghan kan jalan sama mantanmu.” “Kenapa kau bertanya padaku?” Vanessa masih setia melotot. “Tanya saja pada dua orang brengsek itu. Padahal mereka tidak diundang, tapi malah memaksa bergabung di mejaku.” “Kalau begitu, tadi kau pergi dengan siapa?” Kali ini Vanessa berdecak mendengar pertanyaan sang rekan kerja. Dia tidak mungkin jujur, karena tidak akan ada yang percaya. Apalagi, Vanessa memang tidak mengundang siapa pun selain keluarganya saja. “Orang itu keluargaku.” Akhirnya hanya itu saja yang bisa dia katakan. “Dia orang yang sibuk, tapi ketika ada waktu dia akan m