Share

Kebetulan

“Bagaimana bisa ibumu datang ke rumahku, Brengsek?” Vanessa langsung memaki, begitu teleponnya tersambung.

“Maaf, tapi siapa ini?” Suara maskulin di seberang sambungan telepon bertanya.

“Ini aku Vanessa.” Perempuan bertubuh gempal yang masih berdiri di luar kantornya berdesis pelan, karena ada rekan kerja yang lewat. Dia tentu tidak ingin dipelototi rekan kerjanya.

“Jangan pura-pura melupakanku, Dokter Cabul, lanjutnya masih dalam suara pelan.

Vanessa sebenarnya ingin sekali mengikuti orang tuanya dan Cindy pergi sarapan, tapi itu tidak mungkin. Dia harus pergi bekerja, jika tidak ingin mendapat makian dari team leadernya. Kebetulan ada nasabah besar yang harus dikunjungi hari ini.

“Apa maksud kalimatmu itu?” Jovi tampak begitu terkejut.

“Kalimat yang mana yang kau maksud?” Vanessa balas bertanya.

“Tentu saja bagian yang cabul itu,” geram Jovi terdengar begitu kesal.

“Astaga! Apakah kau tuli atau bagaimana?” Bukannya memberikan klarifikasi, Vanessa malah makin ingin marah-marah. “Sebelum kalimat itu, aku menanyakan tentang ibumu yang tiba-tiba datang ke rumahku.”

“Itu tidak mungkin.” Jovi langsung menampik. “Untuk apa pula dia datang ke rumahmu?”

“Dia meminta bertemu dengan orang tuaku, dan coba tebak apa yang dia katakan?”

Ada jeda sesaat setelah Vanessa memberikan pertanyaan. Jovi tentu saja perlu waktu sepersekian detik, untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Hal yang membuat sang dokter merasakan horor.

“Jangan katakan, kalau dia membicarakan pernikahan dengan orang tuamu?” tanya Jovi dengan nada tidak percaya.

“Rupanya kau masih punya otak, aku pikir kau dokter gadungan.” Vanessa tidak segan untuk memaki.

“Kau masih bisa memaki di saat seperti ini?” Entah bagaimana, Vanessa yakin Jovi tengah melotot setelah mengatakan hal barusan.

“Menurutmu?” Vanessa balik bertanya. “Bagaimana mungkin aku tidak memaki, ketika kau dan orang tuamu yang memulai semua ini?”

“Kenapa malah aku?” Jovi balas bertanya dengan nada yang sedikit lebih tinggi. “Ini kan semua bermula karena permintaan bodohmu, hanya karena takut kalah taruhan.”

“Tapi kan kau yang memberi ide untuk pura-pura.” Vanessa pun tidak mau kalah. “Lagi pula, kau juga sudah memanfaatkanku untuk memutuskan pacarmu. Aku tentu saja tidak mau rugi.”

Suasana tiba-tiba saja menjadi hening, setelah Vanessa berbicara. Tidak benar-benar hening karena ada suara geraman Jovi yang terdengar. Jelas saja lelaki itu merasa kesal, karena apa yang dikatakan Vanessa sangat masuk akal.

Sebenarnya, Jovi masih bisa membatah. Tapi itu juga tidak bisa dilakukan, karena pertemuan awal mereka jelas hanya sebuah kebetulan yang tidak masuk akal.

“Hei, Vanessa.”

Baru juga yang empunya nama ingin memaki Jovi lagi, tapi seseorang memanggil dengan nada yang cukup keras. Itu membuat Vanessa makin emosi, dan ingin memaki siapa pun yang memanggilnya barusan. Sayangnya, dia tidak bisa melakukannya.

“Apa yang kau lakukan di sana?” tanya seorang perempuan dengan pakaian rapi dan mata menyipit, memandangi Vanessa.

“Bu Meghan.” Vanessa memanggil dengan sungkan. Bukan sungkan karena menghormati perempuan itu, tapi karena malu kedapatan berteriak di telepon.

“Ngapain coba kamu seperti orang gila di depan kantor kita?” Meghan bertanya dengan nada dan ekspresi tidak suka.

“Saya sedang menelepon, Bu,” jawab Vanessa jujur, sambil memperlihatkan ponselnya. Kebetulan sambungan telepon itu masih tersambung.

Tentu saja Vanessa hanya memperlihatkan ponselnya sekejap saja. Biar bagaimana, nama yang tertulis di sana cukup memalukan.

“Semua orang juga tahu kalau kau menelepon.” Suara lain tiba-tiba saja terdengar. “Masalahnya, kau tampak seperti orang gila. Paling parah, kau melakukannya di depan kantormu.”

“Itu bukan urusanmu.” Vanessa langsung menghardik lelaki yang baru saja datang dan merangkul atasan langsungnya itu.

“Itu menjadi urusan Rocky, karena dia sekarang pacarku dan aku bekerja di tempat ini.” Meghan menunjuk gedung kantor mereka. “Lagi pula, aku ini bosmu.”

Vanessa mendengus pelan mendengar nada suara sombong itu. Padahal dua orang di depannya ini hanya tukang selingkuh saja, tapi sombongnya bukan main. Sayangnya, Vanessa tidak bisa memukul mereka karena masih butuh pekerjaan.

“Saya hanya bertengkar dengan pacar saya.” Pada akhirnya, Vanessa mengalah dengan membuat kebohongan. “Maaf kalau itu mengganggu.”

“Kau bilang apa?” tanya Rocky tampak begitu terkejut. “Kau sudah punya pacar baru?”

Sayang sekali, Vanessa enggan sekali menjawab mantan brengseknya itu. Dia lebih memilih untuk pamit masuk ke dalam kantor, karena sebentar lagi jam kantor akan dimulai dan Vanessa belum absen.

“Bagaimana bisa dia sudah punya pacar baru dengan tubuh dan sifat seperti itu.” Rocky masih mengeluh. “Dia sama sekali tidak sebanding dengan pacarku yang sekarang.”

“Kalau tidak sebanding, maka berhentilah memperhatikan dia.” Meghan menyikut perut kekasihnya dengan keras, sebelum mengikuti Vanessa masuk ke kantor.

Vanessa yang sudah duluan masuk, kini membanting tasnya ke atas meja yang dia tempati bekerja. Hal yang tentu saja membuat semua rekan kerjanya yang lain terlonjak, tapi enggan juga bertanya kenapa. Vanessa yang marah adalah berbahaya.

"Siapa lagi sih ini?" geram Vanessa ketika melihat ponselnya berkedip, lupa dengan panggilan telepon tadi.

Dengan gerakan malas, Vanessa mengambil ponselnya dan menatap pesan yang masuk. Dia bahkan sama sekali tidak peduli, ketika Meghan memelototinya dari meja kerjanya yang tepat berada di bagian ujung.

“Bu Meghan melotot padamu tuh.” Rekan kerja lelaki yang duduk di belakang Vanessa berbisik. “Dia kayaknya dendam banget deh, emang ada apa?

“Hari ini, bukankah kita akan mengunjungi rumah sakit?” Alih-alih menjawab, Vanessa malah balas bertanya.

“Ya.” Rekan kerja yang tadi mengangguk dengan sangat yakin, walau anggukan itu tidak bisa dilihat Vanessa “Katanya ada rumah sakit yang tertarik dengan program pendanaan dari bank kita. Hal yang sangat langka.”

“Rumah sakit yang mana?” tanya Vanessa lagi.

“Hospitalia. Rumah sakit umum, yang lebih terkenal dengan program kehamilannya itu.” Masih lelaki yang tadi yang berbicara.

Vanessa hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Dia masih saja membaca ulang pesan yang dikirim Jovi.

[Dokter Mesum: Kita perlu bicara. Kunjungi aku di Hospitalia antara jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Aku akan ada di IGD]

“Kenapa bisa kebetulan seperti ini?” gumam Vanessa dengan kening berkerut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status