Share

Melamar

“Apa Mama gila?” hardik Jovi tidak peduli kalau itu kurang ajar.

Padahal Jovi dan mamanya baru saja kembali dari mengantar Vanessa, dan mereka bahkan belum masuk ke rumah. Namun, lebih penting bagi Jovi untuk mengonfrontasi ibunya itu.

“Justru kau yang gila, Jov.” Mama Cindy balas menghardik. “Kalau Mama tidak sengaja melihat kalian melintas saat keluar dari ruang meeting, kalian pasti sudah melakukan hal yang macam-macam.”

“Kalau pun iya, memangnya kenapa?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Zaman sudah berubah, Ma. Yang seperti itu bukan lagi sesuatu yang tabu, antar pasangan. Yang bukan pasangan saja banyak.”

“Tapi Mama tidak mau kau begitu tanpa ikatan,” balas Cindy terus berjalan masuk ke dalam rumah mereka. “Lagi pula, menikah adalah hal yang paling bagus untukmu.”

“Kenapa itu bisa menjadi bagus untukku?” tanya Jovi, tentu saja akan mengejar sang ibu. “Apa ini masih tentang Manda?”

“Kalau kau sudah tahu, maka tidak perlu bertanya.” Cindy tiba-tiba saja berbalik dan menatap putranya. “Mama tidak akan pernah setuju kau bersama dengan dia, sekali pun itu hanya untuk main-main. Kau jadi makin tidak bisa diarahkan sejak bersama dia.”

“Tidak bisa diarahkan bagaimana?” Jovi terlihat makin kesal saja. “Memangnya aku jadi dokter atas kemauan sendiri? Lagi pula ....”

Jovi menghela napas pelan. Dia rasanya tidak sanggup mengatakan kenyataan ini, tapi bukankah harus? Setidaknya itu akan membuat dia terhindar dari pernikahan tidak masuk akal, dengan orang asing.

“Lagi pula apa?” Cindy bertanya, karena merasa mulai tidak sabar.

“Aku sudah putus dari Manda.” Akhirnya Jovi jujur juga. “Sudah dari beberapa waktu yang lalu.”

“Baguslah kalau begitu. Mama bersyukur kalian berpisah, walau tidak tahu apakah kau sudah benar sadar atau tidak. Tapi yang jelas, Mama akan tetap menikahkanmu dengan Vanessa.”

Kedua mulut Jovi melebar mendengar hal itu. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya itu.

“Papa tidak akan setuju.”

Jovi perlu berteriak untuk mengatakan itu, karena ibunya sudah jauh. Sayang sekali, Cindy tampaknya tidak begitu peduli. Perempuan paruh baya itu terlihat pura-pura tidak mendengar.

***

“Siapa itu yang kemarin mengantarmu?”

Vanessa melirik ibunya, ketika keesokan harinya perempuan itu bertanya. Padahal Vanessa sedang lapar dan butuh sarapan pagi, tapi dia malah diingatkan dengan kejadian memalukan kemarin. Bikin tidak nafsu makan saja.

“Teman,” jawab Vanessa asal saja.

“Teman tidurmu maksudnya?” Sang kakak sulung bertanya.

“Hei, jaga bicaramu.” Ayah Vanessa yang ikut makan melotot marah.

“Loh, siapa tahu saja kan? Lagi pula, kemarin itu aku taruhan dengan Vanessa. Kalau dia ....”

“Sekali lagi kau bicara tidak senonoh di meja makan, aku akan memukulmu.” Sang ayah mengancam.

“Jadi itu siapa?” Ibu Vanessa kembali bertanya. “Ibunya sampai ikut turun ngantar kamu masuk, jadi pasti bukan sembarang teman kan?”

“Teman baik.” Vanessa mengangguk. “Tapi hanya teman. Kebetulan Ibu Cindy itu juga nasabah.”

“Nasabah di bank tempat kau bekerja?” Sang ayah kini tampak begitu menggebu-gebu. “Orang kaya dong.”

Vanessa langsung melirik ayahnya dengan tatapan sebal. Dia benar-benar lupa kalau keluarganya yang sangat besar itu, nyaris semua lebih mementingkan uang dari pada perasaan orang. Pokoknya uang adalah raja.

“Orang kaya atau bukan, aku tidak akan memberitahumu Pak Bima,” jawab Vanessa terlihat begitu kesal. “Kau tahu aku tidak akan membocorkan data nasabah.”

“Oh, ayolah! Menyebut dia orang kaya atau bukan, jelas tidak termasuk membocorkan data.” Bima juga jadi kesal.

“Yang dibilang bapakmu itu benar.” Sang ibu kembali berbicara. “Lagi pula, kan bagus kalau kamu bisa menikah dengan orang kaya. Bisa sekalian bantu-bantu untuk bayar uang sayur.”

“Jangan cuma uang sayur saja dong, Ma.” Si kakak sulung ikut menimpali. “Minimal bantu buat usaha lah. Kan lumayan tuh kalau Mama sama Bapak di kasih ruko buat tempat jualan, terus aku dikasih modal usaha.”

“In your wild dream, Dude.” Vanessa jelas saja akan segera melotot pada kakak sulungnya. “Mau kau setengah mampus juga aku tidak akan mengorbankan siapa pun untuk membiayai investasi bodongmu.”

“Hei, yang aku lakukan itu bukan investasi bodong.”

Vanessa tidak peduli lagi. Dia benar-benar sudah sakit kepala mendengar pembicaraan di meja makan pagi ini. Rasanya lebih baik dia kelaparan saja, dibanding harus mendengarkan omongan tidak masuk akal.

Ini baru ada tiga orang lain di meja makan. Vanessa tidak bisa membayangkan, ketika semua anggota keluarganya berkumpul dan makan bersama. Untung yang lainnya lebih memilih untuk bangun siang.

“Nes, buburmu belum habis loh.” Tentu saja mama Vanessa tidak akan membiarkan putrinya pergi tanpa menyelesaikan sarapan.

“Gak lapar,” jawab Vanessa dengan ketus.

“Jangan bilang gitu lantas kamu beli sarapan di luar. Itu gak baik untuk kesehatan, Nes. Apa kamu gak lihat badan kamu tambah melar?”

Vanessa mendesis kesal mendengar itu. Dia bukannya tidak sadar dengan berat badan, tapi Vanessa adalah tipe orang yang tidak akan bisa berhenti makan kalau sedang stres. Dengan keluarga seperti keluarganya, mana mungkin dia tidak stres?

“Sudahlah, Vanessa mau ke kantor saja.” Dari pada tinggal dan malah bertengkar, Vanessa memilih untuk pergi saja.

Harapannya sih Vanessa bisa menemukan sedikit saja ketenangan di kantor. Tapi siapa yang sangka kalau dia malah menemukan kesialan, begitu dirinya membuka pintu pagar rumah.

“Vanessa.”

“Bu Cindy?” balas perempuan gempal yang dipanggil itu dengan tatapan horor.

“Syukurlah tidak salah rumah.” Cindy yang tadi baru turun dari mobil, langsung mendekat. “Soalnya kemarin sudah agak gelap, dan lampu jalannya juga agak temaram. Tante takut salah lihat dan salah ingat.”

“Tapi kenapa ada di sini?” tanya Vanessa benar-benar horor. “Ini masih sangat pagi.”

“Oh, kamu sudah mau berangkat?” tanya Cindy dengan cukup sopan. “Apa sudah sarapan? Padahal Tante mau mengajak sarapan.”

“Sudah, sih. Tapi ada apa ya?” Merasa kalau perempuan di depannya bukan sekedar datang untuk mengajak sarapan, Vanessa tentu akan bertanya.

“Kalau kamu mau pergi kantor, biar sekalian Tante antar. Tapi boleh kan ketemu orang tua kamu dulu. Atau mungkin, Tante bisa ajak mereka sarapan pagi?”

Kedua alis Vanessa terangkat naik mendengar hal itu. Entah bagaimana, perasaannya jadi makin tidak enak saja. Makin merasa tidak enak lagi, ketika Cindy melirik ke pintu depan rumahnya yang baru saja terbuka lagi.

“Itu orang tuamu kan?” tanya Cindy dengan senyum lebar, ketika melihat ada tiga orang berdiri di depan pintu. “Tante izin bicara sebentar ya.”

“Tunggu dulu.”

Vanessa ingin sekali melarang, bahkan kalau bisa menarik perempuan paruh baya yang menjadi tamunya itu. Sayang sekali, Cindy cukup sehat, bugar dan lincah dalam bergerak.

“Halo, Pak. Bu. Kenalkan saya Cindy, mamanya Jovi yang kemarin mengantar.”

“Oh, iya Bu.” Bima langsung tersenyum simpul. “Ada apa ya?”

“Kalau berkenan, saya ingin mengajak sarapan pagi. Sekalian juga mau membahas pernikahan antara putra dan putri kita.”

***To be continued***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status