“Apa Mama gila?” hardik Jovi tidak peduli kalau itu kurang ajar.
Padahal Jovi dan mamanya baru saja kembali dari mengantar Vanessa, dan mereka bahkan belum masuk ke rumah. Namun, lebih penting bagi Jovi untuk mengonfrontasi ibunya itu. “Justru kau yang gila, Jov.” Mama Cindy balas menghardik. “Kalau Mama tidak sengaja melihat kalian melintas saat keluar dari ruang meeting, kalian pasti sudah melakukan hal yang macam-macam.” “Kalau pun iya, memangnya kenapa?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Zaman sudah berubah, Ma. Yang seperti itu bukan lagi sesuatu yang tabu, antar pasangan. Yang bukan pasangan saja banyak.” “Tapi Mama tidak mau kau begitu tanpa ikatan,” balas Cindy terus berjalan masuk ke dalam rumah mereka. “Lagi pula, menikah adalah hal yang paling bagus untukmu.” “Kenapa itu bisa menjadi bagus untukku?” tanya Jovi, tentu saja akan mengejar sang ibu. “Apa ini masih tentang Manda?” “Kalau kau sudah tahu, maka tidak perlu bertanya.” Cindy tiba-tiba saja berbalik dan menatap putranya. “Mama tidak akan pernah setuju kau bersama dengan dia, sekali pun itu hanya untuk main-main. Kau jadi makin tidak bisa diarahkan sejak bersama dia.” “Tidak bisa diarahkan bagaimana?” Jovi terlihat makin kesal saja. “Memangnya aku jadi dokter atas kemauan sendiri? Lagi pula ....” Jovi menghela napas pelan. Dia rasanya tidak sanggup mengatakan kenyataan ini, tapi bukankah harus? Setidaknya itu akan membuat dia terhindar dari pernikahan tidak masuk akal, dengan orang asing. “Lagi pula apa?” Cindy bertanya, karena merasa mulai tidak sabar. “Aku sudah putus dari Manda.” Akhirnya Jovi jujur juga. “Sudah dari beberapa waktu yang lalu.” “Baguslah kalau begitu. Mama bersyukur kalian berpisah, walau tidak tahu apakah kau sudah benar sadar atau tidak. Tapi yang jelas, Mama akan tetap menikahkanmu dengan Vanessa.” Kedua mulut Jovi melebar mendengar hal itu. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya itu. “Papa tidak akan setuju.” Jovi perlu berteriak untuk mengatakan itu, karena ibunya sudah jauh. Sayang sekali, Cindy tampaknya tidak begitu peduli. Perempuan paruh baya itu terlihat pura-pura tidak mendengar. *** “Siapa itu yang kemarin mengantarmu?” Vanessa melirik ibunya, ketika keesokan harinya perempuan itu bertanya. Padahal Vanessa sedang lapar dan butuh sarapan pagi, tapi dia malah diingatkan dengan kejadian memalukan kemarin. Bikin tidak nafsu makan saja. “Teman,” jawab Vanessa asal saja. “Teman tidurmu maksudnya?” Sang kakak sulung bertanya. “Hei, jaga bicaramu.” Ayah Vanessa yang ikut makan melotot marah. “Loh, siapa tahu saja kan? Lagi pula, kemarin itu aku taruhan dengan Vanessa. Kalau dia ....” “Sekali lagi kau bicara tidak senonoh di meja makan, aku akan memukulmu.” Sang ayah mengancam. “Jadi itu siapa?” Ibu Vanessa kembali bertanya. “Ibunya sampai ikut turun ngantar kamu masuk, jadi pasti bukan sembarang teman kan?” “Teman baik.” Vanessa mengangguk. “Tapi hanya teman. Kebetulan Ibu Cindy itu juga nasabah.” “Nasabah di bank tempat kau bekerja?” Sang ayah kini tampak begitu menggebu-gebu. “Orang kaya dong.” Vanessa langsung melirik ayahnya dengan tatapan sebal. Dia benar-benar lupa kalau keluarganya yang sangat besar itu, nyaris semua lebih mementingkan uang dari pada perasaan orang. Pokoknya uang adalah raja. “Orang kaya atau bukan, aku tidak akan memberitahumu Pak Bima,” jawab Vanessa terlihat begitu kesal. “Kau tahu aku tidak akan membocorkan data nasabah.” “Oh, ayolah! Menyebut dia orang kaya atau bukan, jelas tidak termasuk membocorkan data.” Bima juga jadi kesal. “Yang dibilang bapakmu itu benar.” Sang ibu kembali berbicara. “Lagi pula, kan bagus kalau kamu bisa menikah dengan orang kaya. Bisa sekalian bantu-bantu untuk bayar uang sayur.” “Jangan cuma uang sayur saja dong, Ma.” Si kakak sulung ikut menimpali. “Minimal bantu buat usaha lah. Kan lumayan tuh kalau Mama sama Bapak di kasih ruko buat tempat jualan, terus aku dikasih modal usaha.” “In your wild dream, Dude.” Vanessa jelas saja akan segera melotot pada kakak sulungnya. “Mau kau setengah mampus juga aku tidak akan mengorbankan siapa pun untuk membiayai investasi bodongmu.” “Hei, yang aku lakukan itu bukan investasi bodong.” Vanessa tidak peduli lagi. Dia benar-benar sudah sakit kepala mendengar pembicaraan di meja makan pagi ini. Rasanya lebih baik dia kelaparan saja, dibanding harus mendengarkan omongan tidak masuk akal. Ini baru ada tiga orang lain di meja makan. Vanessa tidak bisa membayangkan, ketika semua anggota keluarganya berkumpul dan makan bersama. Untung yang lainnya lebih memilih untuk bangun siang. “Nes, buburmu belum habis loh.” Tentu saja mama Vanessa tidak akan membiarkan putrinya pergi tanpa menyelesaikan sarapan. “Gak lapar,” jawab Vanessa dengan ketus. “Jangan bilang gitu lantas kamu beli sarapan di luar. Itu gak baik untuk kesehatan, Nes. Apa kamu gak lihat badan kamu tambah melar?” Vanessa mendesis kesal mendengar itu. Dia bukannya tidak sadar dengan berat badan, tapi Vanessa adalah tipe orang yang tidak akan bisa berhenti makan kalau sedang stres. Dengan keluarga seperti keluarganya, mana mungkin dia tidak stres? “Sudahlah, Vanessa mau ke kantor saja.” Dari pada tinggal dan malah bertengkar, Vanessa memilih untuk pergi saja. Harapannya sih Vanessa bisa menemukan sedikit saja ketenangan di kantor. Tapi siapa yang sangka kalau dia malah menemukan kesialan, begitu dirinya membuka pintu pagar rumah. “Vanessa.” “Bu Cindy?” balas perempuan gempal yang dipanggil itu dengan tatapan horor. “Syukurlah tidak salah rumah.” Cindy yang tadi baru turun dari mobil, langsung mendekat. “Soalnya kemarin sudah agak gelap, dan lampu jalannya juga agak temaram. Tante takut salah lihat dan salah ingat.” “Tapi kenapa ada di sini?” tanya Vanessa benar-benar horor. “Ini masih sangat pagi.” “Oh, kamu sudah mau berangkat?” tanya Cindy dengan cukup sopan. “Apa sudah sarapan? Padahal Tante mau mengajak sarapan.” “Sudah, sih. Tapi ada apa ya?” Merasa kalau perempuan di depannya bukan sekedar datang untuk mengajak sarapan, Vanessa tentu akan bertanya. “Kalau kamu mau pergi kantor, biar sekalian Tante antar. Tapi boleh kan ketemu orang tua kamu dulu. Atau mungkin, Tante bisa ajak mereka sarapan pagi?” Kedua alis Vanessa terangkat naik mendengar hal itu. Entah bagaimana, perasaannya jadi makin tidak enak saja. Makin merasa tidak enak lagi, ketika Cindy melirik ke pintu depan rumahnya yang baru saja terbuka lagi. “Itu orang tuamu kan?” tanya Cindy dengan senyum lebar, ketika melihat ada tiga orang berdiri di depan pintu. “Tante izin bicara sebentar ya.” “Tunggu dulu.” Vanessa ingin sekali melarang, bahkan kalau bisa menarik perempuan paruh baya yang menjadi tamunya itu. Sayang sekali, Cindy cukup sehat, bugar dan lincah dalam bergerak. “Halo, Pak. Bu. Kenalkan saya Cindy, mamanya Jovi yang kemarin mengantar.” “Oh, iya Bu.” Bima langsung tersenyum simpul. “Ada apa ya?” “Kalau berkenan, saya ingin mengajak sarapan pagi. Sekalian juga mau membahas pernikahan antara putra dan putri kita.” ***To be continued***“Bagaimana bisa ibumu datang ke rumahku, Brengsek?” Vanessa langsung memaki, begitu teleponnya tersambung. “Maaf, tapi siapa ini?” Suara maskulin di seberang sambungan telepon bertanya. “Ini aku Vanessa.” Perempuan bertubuh gempal yang masih berdiri di luar kantornya berdesis pelan, karena ada rekan kerja yang lewat. Dia tentu tidak ingin dipelototi rekan kerjanya. “Jangan pura-pura melupakanku, Dokter Cabul, lanjutnya masih dalam suara pelan. Vanessa sebenarnya ingin sekali mengikuti orang tuanya dan Cindy pergi sarapan, tapi itu tidak mungkin. Dia harus pergi bekerja, jika tidak ingin mendapat makian dari team leadernya. Kebetulan ada nasabah besar yang harus dikunjungi hari ini. “Apa maksud kalimatmu itu?” Jovi tampak begitu terkejut. “Kalimat yang mana yang kau maksud?” Vanessa balas bertanya. “Tentu saja bagian yang cabul itu,” geram Jovi terdengar begitu kesal. “Astaga! Apakah kau tuli atau bagaimana?” Bukannya memberikan klarifikasi, Vanessa malah makin in
“Ya, aku rasa kau terlalu beruntung.” Meghan segera mengangguk yakin, ketika tadi mendengar omongan Vanessa. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa merayu banyak lelaki.” Vanessa melirik perempuan yang baru saja berbicara itu. Tentu saja yang barusan bicara adalah bos Meghan, yang tampak kesal karena lagi-lagi Vanessa yang berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengambil kredit pada mereka dan harus Vanessa yang mengurus. “Ucapan Bu Meghan tidak salah kok. Aku memang pandai merayu nasabah, untuk menjadi nasabah kita.” Vanessa dengan mudahnya memperbaiki kalimat atasan langsungnya itu. “Kebetulan saja, pengusaha yang butuh modal kerja itu kebanyakan lelaki. Karena itu marketing kebanyakan perempuan kan?” lanjut Vanessa dalam nada tanya dan senyum mengejek. “Bu Meghan juga perempuan kan?” Perkataan itu tentu saja membuat Meghan menjadi makin kesal saja, karena apa yang dikatakan Vanessa tidak salah. Sebagian besar yang mengambil modal kerja memang pengusaha lelaki, dan mark
“Apa kau janda?” tanya Jovi dengan hati-hati. “APA KAU INGIN MATI?” Suara teriakan Vanessa bukan hanya membuat Jovi terkejut, tapi juga seisi kantin. Hal yang membuat perempuan itu malu sendiri ketika tersadar, dan hanya bisa memberikan senyum canggung pada semua orang yang melihatnya. “Bisa kecilkan suaramu?” desis sang dokter yang ikut merasa malu. “Aku tidak akan berteriak, kalau mulutmu bisa dijaga,” hardik Vanessa dalam desisan pelan. “Aku kan hanya bertanya, memangnya tidak boleh?” “Bertanya boleh, tapi yang masuk akal sedikit,” balas Vanessa masih dengan suara kecil. “Aku bahkan belum pernah menikah, tapi sudah disebut janda. Apa kau mendoakan pernikahanku kelak berumur pendek?” “Sebelum aku lebih banyak bicara, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?” tanya Jovi melirik ke sekelilingnya. “Terlalu banyak orang yang melihat kita, dan sebagian besar adalah kolegaku.” Vanessa ikut melirik ke sekelilingnya, dan benar saja. Masih ada cukup banyak orang yang menatap ke ara
“Mama barusan bilang apa?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Kami sudah setuju dengan pernikahannya, dan katanya kita juga tidak perlu keluar uang untuk barang hantaran. Katanya pestanya akan sederhana saja, dan kita juga dikasih uang.” Vanessa makin melotot mendengar apa yang dikatakan mamanya itu. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak, kecuali bagian yang paling terakhir. Sungguh, Vanessa tidak pernah berpikir orang tuanya akan meminta uang. “Kalian yang minta kan?” tanya Vanessa makin melotot saja. “Mama ngaku saja, pasti Bapak yang minta uang kan? Terus Mama setuju begitu saja kan?” “Mereka kan gak mau pesta besar, jadi harus ada kompensasi buat kita dong. Lagian tidak banyak kok, hanya lima juta saja. Mereka sepertinya tidak terlalu kaya, tapi cukuplah untuk biaya listrik, air dan wifi.” Mata Vanessa melotot mendengar nominal yang disebutkan ibunya. Itu adalah jumlah yang sangat besar bagi Vanessa, apalagi bagi keluarga Jovi bukan? Memang Jovi terlihat seperti
“Aku sama sekali tidak tahu kalau seleramu sudah berubah drastis.” Seorang perempuan muda, mendekat ke meja yang ditempati Jovi dan Vanessa. “Vanessa kenalkan.” Alih-alih membalas perempuan di depannya, Jovi memilih untuk memperkenalkan istrinya. “Ini adalah sepupuku dari pihak papa. Sekedar informasi, aku punya sangat banyak sepupu.” “Aku lihat istrimu juga punya banyak saudara,” tambah sepupu Jovi dengan wajah mencibir. “Halo salam kenal.” Vanessa mengulurkan tangan dengan baik hati. “Aku Vanessa.” Bukannya mendapat balasan, tangan Vanessa malah tidak disambut sama sekali. Hal yang membuat mempelai wanita itu, memilih untuk menarik tangannya lagi. “Setelah perempuan emo, sekarang perempuan gendut yang jelek?” Jovi dan Vanessa serentak mendelik ke arah si sepupu perempuan tadi. Hal yang jelas membuat sepupu Jovi itu tertawa cukup keras, sampai beberapa orang sampai berbalik menatap mereka. “Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kenapa pilihanmu selalu jelek?” “Dengar.
“Halo, maaf kalau aku mungkin mengganggu.” Sang tamu menyapa dengan ramah. “Mungkin?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. “Kau masih mengatakan mungkin, ketika mengganggu malam pertama pengantin baru?” “Sekali lagi, maaf.” Kali ini si tamu sedikit menunduk. “Lagi pula, ini belum cukup malam untuk memulai kan?” “Jovi sudah.” Sebelum suaminya mengatakan sesuatu, Vanessa segera menghentikan. “Tidak usah semarah itu, dia ini kakakku.” “Kakak katamu?” tanya Jovi makin melotot saja. “Perkenalkan namaku Benigno, panggil saja Ben. Salah satu kakaknya Vanessa.” Yang empunya nama mengulurkan tangan dengan ekspresi ramah. “Panggil saja Jovi.” Mau tidak mau, sang dokter ikut mengulurkan tangan. Dia tidak mungkin kurang ajar pada kakak ipar kan? “Kak Ben kok baru datang sekarang?” Vanessa bertanya dengan senyum lebar yang terlihat tulus. “Padahal acara sudah selesai.” “Maaf.” Ben meringis pelan. “Pesawatnya delay, dan jalanan macet. Mungkin terdengar seperti alasan
“Ke mana saja kau tiba-tiba cuti?” Vanessa menoleh menatap atasan langsungnya dengan ekspresi lesu. Padahal dia hanya cuti sehari saja untuk menikah kilat, tapi coba lihat reaksi Meghan itu? Seolah Vanessa cuti mendadak selama sebulan saja. “Saya ada urusan keluarga, Bu.” Vanessa menjawab seadanya saja. “Kebetulan tiba-tiba juga.” “Urusan keluarga apa yang bisa tiba-tiba?” tanya Meghan dengan mata menyipit. “Kau tidak sedang mengada-ada kan?” “Ya banyaklah, Bu. Misalnya orang tua sakit, ada keluarga yang meninggal, ada nikahan tiba-tiba. Yang namanya urusan keluarga ya banyak.” Meghan melotot mendengar pernyataan blak-blakan Vanessa barusan. Bahkan bisa dibilang, perempuan gempal itu menyumpahi ada keluarganya yang meninggal. “Yang jelas, tidak mungkin kau yang menikah,” gumam Meghan, sebelum beranjak ke tempat duduknya. Vanessa hanya bisa mengedikkan bahu, kemudian dia pergi duduk di tempatnya. Inginnya sih mengatakan kalau sekarang dia sudah jadi istri orang, tap
“Loh, tidak bisa begitu dong Bu Meghan.” Vanessa langsung protes, sampai berdiri dari kursinya. “Dari awal kan aku yang mengurusi Hospitalia, bahkan aku juga yang meyakinkan mereka untuk mengambil kredit di kita.” “Tapi kau cuti, ketika mereka sedang buru-buru. Memangnya aku bisa apa kalau begitu?” tanya Meghan dengan kedua alis yang menjungkit naik. Vanessa menggeram kesal mendengar apa yang dikatakan oleh atasan langsungnya itu. Hal yang sebenarnya cukup masuk akal, dan membuat Vanessa tidak bisa banyak membalas. Tapi tetap saja hal itu membuatnya sakit hati. “Nah, sekarang duduklah dengan tenang dan mulailah mencari nasabah baru,” ucap Meghan dengan senyum lebar. Setelah yakin Vanessa sudah duduk dengan baik, dan tidak menatapnya. Barulah Meghan mengetik cepat di ponselnya, sambil melirik Vanessa. [Marketing 1: Ambil alih berkas kredit rumah sakit itu dari Vanessa sekarang juga.] *** “Kenapa kau ada di sini?” Jovi mendongak mendengar suara yang dikenali itu, hanya untuk mem
"Perkenalkan, ini menantuku Vanessa." Danapati mengulurkan tangannya dengan senyum cerah, untuk menggandeng perempuan yang dia panggil. "Ke depannya, kalian semua akan sering bertemu dengan dia, karena Vanessa akan bergabung di rumah sakit kita," lanjut Danapati, sembari melihat semua orang yang menghadiri rapat hari ini. "Selamat siang semuanya. Saya Vanessa yang mulai minggu depan, akan ikut bergabung dengan rumah sakit ini, sebagai staff bagian keuangan." Jovi mengembuskan napas pelan ketika istrinya selesai memperkenalkan diri. Rasanya, sudah satu minggu belakangan ini dia terus dan terus dikejutkan dengan keputusan sang istri. Seperti apa yang terjadi kemarin. "Kenapa kau selalu memberikanku kejutan?" tanya Jovi yang segera menggandeng sang istri, keluar dari ruangan rapat. "Memangnya Vanessa memberi kejutan apa lagi?" Danapati yang ikut berjalan dengan kedua anaknya bertanya. "Kemarin Vanessa memutuskan pergi ke dokter kandungan untuk konsultasi dan program keh
"Hey, Vi. Sesekali nongkrong sama kita dong. Jangan pulang cepat terus." Yang empunya nama meringis pelan, ketika mendengar suara teman-temannya yang terdengar sangat keras itu. Padahal, dia sedang merekam pesan suara untuk sang istri. "Kalian ini jangan terlalu ribut dong." Jovi langsung protes. "Coba lihat ini, pesan suara yang berisi suara kalian, malah terkirim pada istriku." "Astaga, Vi!" Salah seorang teman seangkatannya hanya bisa menggeleng. "Memangnya kenapa kalau istrimu dengar? Toh, kita hanya akan pergi nongkrong. Bukan mengajakmu pergi selingkuh." "Iya tahu. Tapi kalau istriku dengar, nanti dia malah mengusirku pergi bersama kalian." "Loh? Bukannya itu bagus?" tanya teman yang lain. "Sama sekali tidak, karena aku akan lebih memilih untuk menemani istriku pergi terapi. Jadi, sekarang aku akan pulang saja." Jovi dengan cepat melangkah pergi. Dia ingin menghindari teman-temannya yang senang sekali menanyakan terlalu banyak hal. Sesuatu yang membuat Jovi nyari
"Aku tidak menyangka akan punya waktu ngobrol berdua dengan Kak Ben." Mendengar namanya dipanggil, Ben langsung mendongak. Dia bisa melihat adik iparnya baru saja duduk di kursi kosong di depannya. Mengesalkan, tapi Ben sendiri yang mengundang lelaki itu datang. "Jadi, kenapa Kak Ben mengundangku makan malam?" tanya Jovi dengan senyum lebar. "Kak Ben tidak suka padaku kan?" "Apa kau ingin mati?" Ben tidak segan untuk bertanya dengan kasar. "Tentu saja belum." Jovi menjawab dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Biar bagaimana, aku masih harus menemani Vanessa sampai tua." "Senang kau punya pemikiran yang bijaksana seperti itu." Ben mengembuskan napas pelan, sebelum menenggak segelas wine yang sudah dia pesan lebih dulu. "Pesan saja dulu, kau mungkin lapar setelah kuliah panjang. Aku dengar kau mengambil spesialis." Ben mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji restoran. "Aku senang karena kakak iparku pengertian." Jovi menggosok kedua tangan, ketika melihat menu yan
"LEPASKAN AKU." Manda berteriak, ketika ada dua orang polisi yang memeganginya. "Aku harus membunuh perempuan sialan itu." "Singkirkan dia dari sini." Si pengacara memberi perintah pada polisi, walau itu mungkin terdengar arogan. "Kalian tidak apa-apa?" tanya si pengacara, menghampiri kliennya yang terjatuh ke atas lantai. "Tidak apa-apa." Jovi menggeleng pelan. "Bagaimana denganmu, Nes?" "APA KAU GILA ATAU MATI RASA?" Baru juga menoleh, Jovi sudah menemukan ponsel berisi pesan di depan matanya. "Lenganmu tadi tertusuk." Vanessa kembali memperlihatkan pesan yang sudah dia ketik. "Benarkah?" Setelah diberitahu, barulah Jovi menatap ke benda yang masih menancap di lengannya. "Oh, Astaga!" Si pengacara jadi panik sendiri. "Kau harus segera ke rumah sakit," lanjutnya menanggalkan kesopanan. "Apa kau lupa? Aku ini dokter." Jovi tersenyum miring, sembari memegang benda yang menusuk lengannya itu. Kalau diumpamakan, Jovi rasanya seperti tertusuk oleh pulpen dengan ujung y
"Kau sungguh berkeluarga dengan menteri?" tanya Manda terus menatapi Jovi, ketika mereka, Vanessa dan seorang lagi diberikan ruangan untuk berbicara. "Ya. Apa ada masalah dengan itu?" Jovi menjawab dengan kening berkerut kesal. "Tidak ada." Manda menggeleng, sembari tersenyum lebar. Manda bahkan tiba-tiba saja memperbaiki rambut dan merapikan jaket kulitnya. Hal yang membuat Vanessa mencebik kesal. Manda terlihat jelas ingin menggoda Jovi. "Perempuan gatal," gumam Vanessa dengan mata melotot. Untungnya, Manda tidak mendengar umpatan itu karena suara Vanessa memang tidak nyaring. Tepatnya tidak bisa. Tapi, Jovi bisa mendengar umpatan itu karena duduk sangat dekat dengan sang istri. Hal yang membuatnya terbatuk cukup keras, karena tidak menyangka Vanessa akan mengumpat. "Jadi, kenapa kau datang kemari?" Manda hanya menatap Jovi yang kebetulan duduk di depannya. "Apa kau mau membantuku untuk keluar dari sini?" "Membantumu keluar dari sini?" tanya sang dokter dengan sebel
"Manda." Seorang perempuan paruh baya berteriak, ketika melihat yang empunya nama turun dari mobil. "Eh, Ibu Kos. Ada apa ya Bu? Bukannya aku sudah bayar untuk bulan ini dan bulan depan?" tanya Manda dengan senyum lebar. "Ini jauh lebih penting dan mendesak dari pada uang kosmu yang sering menunggak itu." Si ibu kos terlihat begitu panik. "Ada dua orang polisi yang mencarimu." "Polisi?" tanya Manda dengan sebelah alis yang terjungkit naik. "Untuk apa mereka mencariku?" "Mana aku tahu." Si ibu kos memukul lengan Manda. "Mereka tidak mau memberitahu dan terus menunggumu. Memangnya kau melakukan apa sih?" "Aku tidak melakukan apa-apa." Manda mengedikkan bahu dengan santainya. "Biar aku bertemu mereka saja dan bertanya apa yang terjadi." "Awas saja ya kalau kau bikin masalah lagi." Si ibu kos menunjuki wajah Manda. "Kejadian kau dilabrak tempo hari, sudah membuat reputasi kosku menjadi jelek. Jangan makin memperburuk keadaan." Manda memutar bola matanya karena gemas. Memang
Vanessa memukul dada Jovi berulang kali. Dia perlu melakukan itu, agar sang suami berhenti dan dia bisa bernapas. Apalagi, sepertinya sejak sampai ke rumah, Jovi sama sekali tidak menahan diri. "Kenapa?" tanya Jovi melepas pagutan pada bibir sang istri. "Katakan sesuatu kalau kau menginginkan lebih." Refleks, Vanessa menggeleng. Biar bagaimana, dia tidak cukup gila untuk bercinta saat kepalanya masih diperban. Apalagi Jovi itu adalah tipe lelaki yang senang mencoba berbagai macam gaya. Siapa yang tahu dia akan melakukan gaya yang tidak masuk akal. "Bicaralah, Vanessa," bisik Jovi tepat di telinga sang istri. "Tadi kau bisa berbicara setelah kucium, jadi sekarang bicaralah lagi." Mata Vanessa melotot mendengar hal itu. Dia dengan cepat merogoh ponsel yang disimpan di saku celana untuk mengetik. "Apa kau gila? Mana ada orang langsung bisa bicara hanya karena dicium?" "Siapa yang tahu." Jovi mengedikkan bahu, sembari men
Vanessa tersentak ketika mendengar suara bantingan pintu mobil di bagian tempatnya duduk. Dia pun hanya bisa melirik, ketika Jovi memutari mobil untuk duduk di kursi pengemudi dan kembali membanting pintu. Kali kedua, Vanessa tidak lagi terlalu kaget. Tapi itu membuatnya kesal dan melipat kedua tangan di depan dada. "Ada apa dengan wajahmu itu?" Jovi bertanya dengan cukup lembut, ketika memasangkan sabuk pengaman pada sang istri. "Kau ngambek?" "Menurutmu?" Vanessa memperlihatkan ketikannya di ponsel. Saking kesalnya, ponsel itu nyaris saja menempel dengan hidung Jovi. "Kau tidak berhak kesal," jawab Jovi yang kin mengurusi diri sendiri. "Aku yang seharusnya kesal di sini." "Apa tidak salah?" Vanessa kembali nyaris menempelkan ponsel di wajah sang suami. "Kau seenaknya datang menjemput dengan kasar, tapi kenapa aku tidak boleh marah." "Karena kau pergi tanpa izin," jawab Jovi mulai menyalakan mesin mobil. "Apa kau pikir aku tidak panik ketika menemukan tidak ada orang di
"Yakin mau membuat kontrak seperti ini?" tanya seorang lelaki pada Jovi. "Ini pastinya bukan jumlah yang sedikit, apalagi untuk dijalani selama bertahun-tahun." "Itu hanya biaya listrik dan air saja." Jovi memilih menggeleng. "Sekali pun aku menanggung biaya itu sampai mertuaku meninggal, tidak akan seberapa. Memangnya berapa sih per bulan. Paling juga cuma satu atau dua juta per bulan. Paling mahal juga tiga juta." "Jika dibandingkan biaya listrik dan air di rumah orang tuamu juga apartemen kalian, tentu itu tidak ada apa-apanya." Lelaki yang menemani Jovi bicara mengangguk. "Aku akan mengurusi ini. Kau tidak perlu ikut." "Kalau begitu kuserahkan padamu." Jovi bangkit berdiri dan menjabat tangan rekannya itu. "Kau pengacara handal kan?" "Kau tidak mau minum kopi dulu mungkin?" tanya lelaki tadi, sebelum Jovi pergi. "Tidak, terima kasih. Aku harus pulang untuk menemani istriku di rumah. Mungkin dia juga sudah memasak," jawab Jovi dengan senyum lebar. "Sejak kapan kau jadi