Share

Menikah

“Apa yang kau lakukan di kamar hotel?”

Pertanyaan itu, menyambut Jovi yang baru saja membuka pintu kamarnya, sepuluh menit setelah dia masuk ke dalam kamar hotel. Itu pun dia terpaksa membuka pintu, karena suara ketukan di pintu benar-benar mengganggu. Siapa yang sangka kalau Jovi akan kedatangan tamu tidak terduga.

“Mama,” panggil Jovi dengan ekspresi syok. “Kenapa bisa ada di sini?”

“Harusnya Mama yang tanya sama kamu,” hardik perempuan paruh baya yang tampak terkejut itu. “Kenapa kamu ada di sini, dan tadi Mama lihat kamu sama perempuan.”

Sungguh, ingin sekali Jovi mengumpat. Padahal dia dan Vanessa baru saja masuk kamar, dan sedang berdiskusi ketika pintu kamar terketuk. Padahal tadi Jovi tidak melihat sang mama ada di sekitar restoran atau lobi hotel, tapi dia malah ketahuan.

“Apa kamu mau menghamili perempuan itu untuk mendapat restu Mama?”

“Bukan seperti itu, Ma. Tidak ada Manda di dalam.” Tahu apa maksud sang ibu, Jovi segera membantah.

“Kalau begitu biar Mama masuk dan lihat sendiri.”

“What? Tunggu dulu.” Jovi ingin menghalangi ibunya, tapi perempuan itu rupanya cukup lincah, dan dengan cepat menyelinap masuk.

Langkah perempuan paruh baya itu begitu tergesa, tapi suara langkahnya tidak terlalu terdengar. Karpet yang lumayan tebal yang menjadi penyebabnya, apalagi jarak pintu dan ranjang tidak begitu jauh.

“Apa yang kau lakukan di sana?” tanya perempuan paruh baya dengan kening berkerut itu, ketika melihat Vanessa baru mau berjongkok di sebelah ranjang.

Niat Vanessa sih ingin bersembunyi, tapi lemak pada tubuhnya sedikit menghalangi. Dress selutut yang dia pakai juga sedikit mengganggu gerakannya yang memang sudah agak lambat.

“Halo ... Tante.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Vanessa, ketika dia kepergok.

Sumpah demi apa pun, Vanessa sebenarnya sangat malu. Apalagi dia duluan yang meminta tolong dari Jovi. Padahal dia berpikir tidak akan ada masalah kalau mereka di hotel saja, apalagi ini hanya sesi foto saja. Siapa sangka mereka akan kepergok.

“Bisa jelaskan apa yang terjadi di sini?” tanya Mama Jovi dengan mata melotot pada anaknya.

“Gak ada apa-apa, Ma.” Jovi dengan cepat menjawab.

“Tidak ada apa-apa kok, Tan.” Vanessa juga menjawab dengan refleks.

“Apa kalian pikir aku bodoh?” Perempuan paruh baya itu makin melotot. “Lelaki dan perempuan berduaan saja di kamar hotel, tidak melakukan apa-apa.”

“Kami memang tidak melakukan apa-apa,” sambar Jovi tidak mau kalah, karena memang itu kenyataannya.

“Mungkin lebih tepatnya belum,” desis sang mama terlihat begitu emosi.

Jovi menatap Vanessa dengan tatapan meminta tolong, tapi jelas itu agak sulit. Keadaan mereka memang sangat mudah untuk disalah pahami, apalagi Vanessa sekarang sudah menanggalkan blazer yang tadi sempat dia pakai. Memamerkan tumpukan lemak yang ada di lengannya.

“Kalian berdua, ikut Mama.”

***

Kini, Vanessa dan Jovi duduk berhadapan dengan orang yang memergoki mereka. Pemilihan tempatnya juga sengaja di tempat yang tidak mencolok, di salah satu pojok minimarket yang menyediakan kursi dan berbagai macam makanan.

“Nama kamu siapa?” Perempuan paruh baya itu bertanya pada Vanessa terlebih dulu.

“Panggil saja Vanessa, Tante.”

Jawaban itu tidak segera mendapat balasan, membuat Vanessa yang menunduk, sedikit melirik. Benar-benar hanya sebentar, karena perempuan di depannya tampak menyeramkan.

“Panggil aku Cindy.” Tidak lupa, mamanya Jovi memperkenalkan diri. “Tapi maaf, aku mungkin harus menanyakan hal ini. Berapa berat badanmu?”

“Tujuh puluh tiga, tinggi seratus enam dua. Kalau dihitung dari kalkulator BMI, saya sudah termasuk obesitas,” jawab Vanessa dengan terlalu jujur dan terlalu banyak informasi.

“Terima kasih atas informasi yang ... sangat lengkap itu,” jawab Cindy yang mendelik pada putranya.

Dilihati seperti itu, membuat Jovi segera berdehem pelan. Dia tadi memang sempat tertawa pelan, ketika Vanessa mengungkapkan terlalu banyak informasi tadi. Jovi tidak menertawakan berat badan Vanessa, tapi cara bicaranya yang kelewat jujur.

“Jadi apa kalian pacaran atau bagaimana?” Cindy kembali bertanya.

“Oh, tidak.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Pak Dokter hanya membantuku.”

“Membantu seperti apa yang membuat kalian harus check in hotel?”

“Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan,” jawab Vanessa jelas saja akan makin membuat bingung. “Saya tidak bisa jelaskan detailnya, karena menyangkut masalah keluarga.”

“Masalah keluarga?” Cindy jelas saja akan melotot mendengar itu. “Masalah keluarga yang mana?” lanjutnya masih dalam kalimat tanya, ditambah dengan mata memelototi sang putra.

“Tentu saja keluarganya Vanessa.” Kali ini, Jovi yang menjawab.

Mendengar jawaban dua anak muda di depannya, tidak membuat Cindy puas. Dia melipat tangan di depan dada, dan berusaha mencerna apa yang dikatakan dua orang itu. Sayangnya, Cindy hanya bisa mendapatkan satu jawaban saja.

Jovi sepertinya, entah sengaja atau tidak, telah tidur dengan Vanessa. Hal yang membuat keluarga perempuan itu menuntut dinikahi, sekali pun Vanessa mungkin belum hamil.

Cindy kemudian mengangguk pelan. Rasanya pemikiran dituntut menikah itu sudah paling tepat, dan jujur saja, dia sama sekali tidak keberatan. Dia malah senang.

“Apa pun yang ada di pikiran Mama, itu sama sekali tidak benar.” Jovi berbicara, ketika menyadari raut wajah ibunya terlihat tidak beres.

“Katakan saja apa yang mau katakan, tapi Mama hanya akan percaya apa yang Mama ingin percaya,” balas Cindy dengan senyum lebar.

“Nah, sekarang Vanessa. Tante boleh tahu kamu umur berapa?” Cindy dengan cepat mengalihkan pembicaraan.

“Baru saja menginjak dua puluh tujuh.” Vanessa lagi-lagi menjawab dengan sangat jujur. “Ada apa dengan umur saya ya, Tan?”

“Tidak ada apa-apa.” Cindy mengangguk saja. “Itu artinya, kau hanya berbeda sekitar dua tahun dengan Jovi.”

“Ma, tolong.” Entah mengapa, Jovi merasa apa yang dikatakan ibunya barusan adalah sebuah pertanda buruk. “Jangan punya ide aneh.”

“Lalu sekarang Vanessa kerja?” Sayangnya, Cindy tidak peduli pada permintaan sang putra.

“Di B Bank, sebagai marketing. Sebenarnya, saya pernah ketemu Tante karena yang handle Tante itu teman saya.”

Sebelah alis Cindy terangkat. Untuk fakta yang satu itu, dia cukup terkejut. Tapi keterkejutan itu dengan cepat menghilang, setelah dia mengingat tentang Vanessa.

“Kamu anak yang cerewet itu.”

Vanessa hanya bisa meringis mendengar julukan dari perempuan paruh baya di depannya. Dia memang kerap kali disebut banyak bicara, tapi tentu saja itu dibutuhkan bagi seorang marketing seperti dirinya kan?

“Kalau begitu berikan kartu namamu.” Cindy mengulurkan tangan. “Sekalian juga tulis nomor pribadimu di sana, jangan hanya nomor ponsel untuk kerja.”

“Kalau boleh tahu, untuk apa ya?” tanya Vanessa dengan ragu memberi apa yang diminta, tapi tetap mengulurkan kartu nama yang memang mudah dia jangkau dari dalam tasnya.

“Tentu saja kita harus membicarakan tentang pernikahan.”

***To be continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status