[+628xxxxxxxx: Aku tahu permintaanku tadi sangat aneh, jadi tidak usah dipikirkan. Omong-omong ini Vanessa.]
“Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?” bisik Jovi dengan senyum jahil. “Ini terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja.” “Kau berbicara denganku?” Rekan kerja Jovi yang sejak tadi membaca buku, bertanya. “Ya.” Jovi dengan cepat mengangguk. “Aku ingin tahu jadwal jaga IGD hari ini. Apakah ada aku nanti sore?” “Tentu saja. Jadwalmu setelah ini sampai malam.” “Kalau begitu, bisa tolong gantikan aku? Aku punya urusan yang sangat mendesak sore nanti, mungkin sampai besok pagi.” Jovi bertanya dengan senyum lebar. *** [Dokter Mesum: Bagaimana kalau kita membicarakan ini setelah jam pulang kantor?] [Dokter Mesum: Kita bisa makan malam bersama, kemudian lanjut ke hotel mungkin?] Helaan napas disertai dengan geraman pelan terdengar dari balik salah satu kubikel. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa Wijaya yang terlihat sangat putus asa saat ini. Siapa sangka pesan yang dia kirim pagi tadi, bisa terbaca dengan cepat. Mustahil ditarik lagi. “Aku benar-benar sudah gila,” gumam Vanessa dengan sangat pelan, juga menyembunyikan wajah di antara lengannya. “Kenapa pula aku sampai memberi tahu namaku? Harusnya kan dia tidak tahu.” Embusan napas Vanessa yang cukup keras akibat penyesalan, kini terdengar lagi. Untung saja rekan kerjanya yang lain sedang sibuk dan tidak mendengar. Hanya dia yang tidak sibuk, karena sudah meminta izin untuk pulang jam lima tepat. Biar bagaimana, dia harus segera menyelesaikan masalah tidak masuk akal ini. Semua gara-gara perkataan kakak tirinya yang bejat itu. Bisa-bisa, Vanessa akan dicap sebagai wanita murahan. “Tidak apa-apa, Vanessa.” Perempuan bertubuh gempal itu mengangguk, ketika sudah tiba di tempat janjian. “Yang dikatakan kakak terkutukmu itu benar. Kau harus merasakannya minimal sekali, karena kau tidak punya niat untuk menikah.” Setelah menarik napas beberapa kali, Vanessa akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke gedung tinggi di depannya. Rupanya dokter mesum itu memilih tempat makan malam di salah satu restoran bintang lima, di hotel bintang lima pula. Untung pakaian kantornya cukup mumpuni. “Pasti mahal,” gumam Vanessa yang menatap interior ruangan restoran itu. “Semoga saja dia yang traktir.” “Hai.” Baru saja Vanessa meratapi harga makanan yang ada di restoran itu, dia sudah tiba di depan Jovi yang menyapanya dengan riang. “Kenapa kau terlihat begitu riang?” tanya Vanessa mulai terlihat panik. “Karena akan terjadi hal menyenangkan setelah ini,” jawab Jovi dengan senyum jahilnya. “Siapa pun akan senang dengan hal itu kan?” Vanessa menarik napas sangat panjang, kemudian membuangnya dengan perlahan. Dia jelas membutuhkan hal itu untuk berbicara, dan menjelaskan panjang lebar. “Aku menarik tawaranku tadi pagi.” Akhirnya Vanessa berbicara. “Oh, kenapa?” “Karena walau ingin mencoba, aku tidak akan melakukannya dengan lelaki yang baru kutemui kemarin,” jelas Vanessa secepat yang dia bisa. “Setidaknya, kita perlu berpacaran setengah tahun dulu sebelum melakukan itu.” “Aku hanya terlalu kesal dengan mantan dan kakakku yang tiba-tiba saja menawarkan taruhan,” lanjut Vanessa memberikan terlalu banyak informasi. “Tunggu dulu, kakakmu bertaruh tentang ini?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat karena terkejut. “Oh, aku terlalu banyak bicara.” Vanessa menutup mulut dengan salah satu tangannya. Jovi mendengus pelan mendengar itu. Perempuan di depannya tidak mengingkari pertanyaan yang dia tanyakan barusan, yang berarti itu adalah benar. Saudara mana yang membuat taruhan yang meminta adiknya tidur dengan lelaki? “Aku tidak tahu ada apa dengan keluargamu, tapi aku rasa itu keterlaluan. Kau tidak perlu menanggapinya.” Akhirnya Jovi bersuara juga. “Ya, tapi jujur saja aku bimbang. Tawaran yang dia berikan sangat menggiurkan, dan bisa membuatku bebas selamanya.” Jawaban Vanessa kembali membuat Jovi terkejut. Lelaki itu tidak tahu bebas apa yang dimaksud, tapi kalau melihat raut wajah perempuan itu, pastilah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. “Bagaimana kalau begini saja.” Tiba-tiba Jovi punya ide yang menarik. “Aku akan membantumu, tapi dengan cara yang lebih masuk akal.” “Cara masuk akal bagaimana yang dimaksud?” Vanessa mengernyit curiga. “Kita pura-pura saja. Pura-pura tidur bersama, tanpa benar-benar melakukan apa pun. Setelah kau mengambil foto yang cukup, kita akan langsung bubar.” Sebelah alis Vanessa terjungkit naik mendengar ide itu. Tidak buruk, tapi terlalu banyak risiko. Terutama bagi dirinya yang adalah perempuan “Aku bersumpah tidak akan melakukan apa pun. Kalau pun sampai aku tiba-tiba jadi gila, kau bebas membunuhku atau melapor di polisi, ikatan dokter atau apa pun.” Jovi kembali berbicara dan mengumbar janji, layaknya politisi. Vanessa mengerutkan kening, dia sedang mempertimbangkan tawaran itu. Sangat menggiurkan, walau tidak ada jaminan baginya. Tapi taruhan itu jelas jauh lebih menggiurkan bagi Vanessa. “Kalau begitu ayo.” ***To be continued***“Apa yang kau lakukan di kamar hotel?” Pertanyaan itu, menyambut Jovi yang baru saja membuka pintu kamarnya, sepuluh menit setelah dia masuk ke dalam kamar hotel. Itu pun dia terpaksa membuka pintu, karena suara ketukan di pintu benar-benar mengganggu. Siapa yang sangka kalau Jovi akan kedatangan tamu tidak terduga. “Mama,” panggil Jovi dengan ekspresi syok. “Kenapa bisa ada di sini?” “Harusnya Mama yang tanya sama kamu,” hardik perempuan paruh baya yang tampak terkejut itu. “Kenapa kamu ada di sini, dan tadi Mama lihat kamu sama perempuan.” Sungguh, ingin sekali Jovi mengumpat. Padahal dia dan Vanessa baru saja masuk kamar, dan sedang berdiskusi ketika pintu kamar terketuk. Padahal tadi Jovi tidak melihat sang mama ada di sekitar restoran atau lobi hotel, tapi dia malah ketahuan. “Apa kamu mau menghamili perempuan itu untuk mendapat restu Mama?” “Bukan seperti itu, Ma. Tidak ada Manda di dalam.” Tahu apa maksud sang ibu, Jovi segera membantah. “Kalau begitu biar Mama masuk
“Apa Mama gila?” hardik Jovi tidak peduli kalau itu kurang ajar. Padahal Jovi dan mamanya baru saja kembali dari mengantar Vanessa, dan mereka bahkan belum masuk ke rumah. Namun, lebih penting bagi Jovi untuk mengonfrontasi ibunya itu. “Justru kau yang gila, Jov.” Mama Cindy balas menghardik. “Kalau Mama tidak sengaja melihat kalian melintas saat keluar dari ruang meeting, kalian pasti sudah melakukan hal yang macam-macam.” “Kalau pun iya, memangnya kenapa?” tanya Jovi dengan mata melotot. “Zaman sudah berubah, Ma. Yang seperti itu bukan lagi sesuatu yang tabu, antar pasangan. Yang bukan pasangan saja banyak.” “Tapi Mama tidak mau kau begitu tanpa ikatan,” balas Cindy terus berjalan masuk ke dalam rumah mereka. “Lagi pula, menikah adalah hal yang paling bagus untukmu.” “Kenapa itu bisa menjadi bagus untukku?” tanya Jovi, tentu saja akan mengejar sang ibu. “Apa ini masih tentang Manda?” “Kalau kau sudah tahu, maka tidak perlu bertanya.” Cindy tiba-tiba saja berbalik d
“Bagaimana bisa ibumu datang ke rumahku, Brengsek?” Vanessa langsung memaki, begitu teleponnya tersambung. “Maaf, tapi siapa ini?” Suara maskulin di seberang sambungan telepon bertanya. “Ini aku Vanessa.” Perempuan bertubuh gempal yang masih berdiri di luar kantornya berdesis pelan, karena ada rekan kerja yang lewat. Dia tentu tidak ingin dipelototi rekan kerjanya. “Jangan pura-pura melupakanku, Dokter Cabul, lanjutnya masih dalam suara pelan. Vanessa sebenarnya ingin sekali mengikuti orang tuanya dan Cindy pergi sarapan, tapi itu tidak mungkin. Dia harus pergi bekerja, jika tidak ingin mendapat makian dari team leadernya. Kebetulan ada nasabah besar yang harus dikunjungi hari ini. “Apa maksud kalimatmu itu?” Jovi tampak begitu terkejut. “Kalimat yang mana yang kau maksud?” Vanessa balas bertanya. “Tentu saja bagian yang cabul itu,” geram Jovi terdengar begitu kesal. “Astaga! Apakah kau tuli atau bagaimana?” Bukannya memberikan klarifikasi, Vanessa malah makin in
“Ya, aku rasa kau terlalu beruntung.” Meghan segera mengangguk yakin, ketika tadi mendengar omongan Vanessa. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa merayu banyak lelaki.” Vanessa melirik perempuan yang baru saja berbicara itu. Tentu saja yang barusan bicara adalah bos Meghan, yang tampak kesal karena lagi-lagi Vanessa yang berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengambil kredit pada mereka dan harus Vanessa yang mengurus. “Ucapan Bu Meghan tidak salah kok. Aku memang pandai merayu nasabah, untuk menjadi nasabah kita.” Vanessa dengan mudahnya memperbaiki kalimat atasan langsungnya itu. “Kebetulan saja, pengusaha yang butuh modal kerja itu kebanyakan lelaki. Karena itu marketing kebanyakan perempuan kan?” lanjut Vanessa dalam nada tanya dan senyum mengejek. “Bu Meghan juga perempuan kan?” Perkataan itu tentu saja membuat Meghan menjadi makin kesal saja, karena apa yang dikatakan Vanessa tidak salah. Sebagian besar yang mengambil modal kerja memang pengusaha lelaki, dan mark
“Apa kau janda?” tanya Jovi dengan hati-hati. “APA KAU INGIN MATI?” Suara teriakan Vanessa bukan hanya membuat Jovi terkejut, tapi juga seisi kantin. Hal yang membuat perempuan itu malu sendiri ketika tersadar, dan hanya bisa memberikan senyum canggung pada semua orang yang melihatnya. “Bisa kecilkan suaramu?” desis sang dokter yang ikut merasa malu. “Aku tidak akan berteriak, kalau mulutmu bisa dijaga,” hardik Vanessa dalam desisan pelan. “Aku kan hanya bertanya, memangnya tidak boleh?” “Bertanya boleh, tapi yang masuk akal sedikit,” balas Vanessa masih dengan suara kecil. “Aku bahkan belum pernah menikah, tapi sudah disebut janda. Apa kau mendoakan pernikahanku kelak berumur pendek?” “Sebelum aku lebih banyak bicara, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?” tanya Jovi melirik ke sekelilingnya. “Terlalu banyak orang yang melihat kita, dan sebagian besar adalah kolegaku.” Vanessa ikut melirik ke sekelilingnya, dan benar saja. Masih ada cukup banyak orang yang menatap ke ara
“Mama barusan bilang apa?” tanya Vanessa dengan mata melotot. “Kami sudah setuju dengan pernikahannya, dan katanya kita juga tidak perlu keluar uang untuk barang hantaran. Katanya pestanya akan sederhana saja, dan kita juga dikasih uang.” Vanessa makin melotot mendengar apa yang dikatakan mamanya itu. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak, kecuali bagian yang paling terakhir. Sungguh, Vanessa tidak pernah berpikir orang tuanya akan meminta uang. “Kalian yang minta kan?” tanya Vanessa makin melotot saja. “Mama ngaku saja, pasti Bapak yang minta uang kan? Terus Mama setuju begitu saja kan?” “Mereka kan gak mau pesta besar, jadi harus ada kompensasi buat kita dong. Lagian tidak banyak kok, hanya lima juta saja. Mereka sepertinya tidak terlalu kaya, tapi cukuplah untuk biaya listrik, air dan wifi.” Mata Vanessa melotot mendengar nominal yang disebutkan ibunya. Itu adalah jumlah yang sangat besar bagi Vanessa, apalagi bagi keluarga Jovi bukan? Memang Jovi terlihat seperti
“Aku sama sekali tidak tahu kalau seleramu sudah berubah drastis.” Seorang perempuan muda, mendekat ke meja yang ditempati Jovi dan Vanessa. “Vanessa kenalkan.” Alih-alih membalas perempuan di depannya, Jovi memilih untuk memperkenalkan istrinya. “Ini adalah sepupuku dari pihak papa. Sekedar informasi, aku punya sangat banyak sepupu.” “Aku lihat istrimu juga punya banyak saudara,” tambah sepupu Jovi dengan wajah mencibir. “Halo salam kenal.” Vanessa mengulurkan tangan dengan baik hati. “Aku Vanessa.” Bukannya mendapat balasan, tangan Vanessa malah tidak disambut sama sekali. Hal yang membuat mempelai wanita itu, memilih untuk menarik tangannya lagi. “Setelah perempuan emo, sekarang perempuan gendut yang jelek?” Jovi dan Vanessa serentak mendelik ke arah si sepupu perempuan tadi. Hal yang jelas membuat sepupu Jovi itu tertawa cukup keras, sampai beberapa orang sampai berbalik menatap mereka. “Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kenapa pilihanmu selalu jelek?” “Dengar.
“Halo, maaf kalau aku mungkin mengganggu.” Sang tamu menyapa dengan ramah. “Mungkin?” tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. “Kau masih mengatakan mungkin, ketika mengganggu malam pertama pengantin baru?” “Sekali lagi, maaf.” Kali ini si tamu sedikit menunduk. “Lagi pula, ini belum cukup malam untuk memulai kan?” “Jovi sudah.” Sebelum suaminya mengatakan sesuatu, Vanessa segera menghentikan. “Tidak usah semarah itu, dia ini kakakku.” “Kakak katamu?” tanya Jovi makin melotot saja. “Perkenalkan namaku Benigno, panggil saja Ben. Salah satu kakaknya Vanessa.” Yang empunya nama mengulurkan tangan dengan ekspresi ramah. “Panggil saja Jovi.” Mau tidak mau, sang dokter ikut mengulurkan tangan. Dia tidak mungkin kurang ajar pada kakak ipar kan? “Kak Ben kok baru datang sekarang?” Vanessa bertanya dengan senyum lebar yang terlihat tulus. “Padahal acara sudah selesai.” “Maaf.” Ben meringis pelan. “Pesawatnya delay, dan jalanan macet. Mungkin terdengar seperti alasan