Gadis berparas cantik yang hanya tinggal berdua dengan Kakaknya ini mempunyai karakter yang jutek, galak, riang, dan perhatian. Irish van Willem, seorang gadis yatim piatu yang terlihat supel dan mudah bergaul ini adalah adik dari seorang pengusaha muda bernama, Alexander van Willem.
Gadis yang selalu berpenampilan sederhana ini adalah anak kedua dari keluarga Rick van Willem. Kedua orang tuanya meninggal sewaktu Irish masih kecil. Alexander dan Irish diasuh oleh Dennisa, pengasuh setia keluarga Van Willem.
Berbeda dengan sang kakak yang sangat murah senyum dan kalem. Sang kakak adalah pewaris tunggal keluarga van Willem, kariernya naik begitu pesat karena dia tergolong orang yang pekerja keras.
Sang adik pun bekerja disebuah perusahaan besar yang ada di kota Leiden. Pemilik perusahaan tersebut mempunyai seorang anak semata wayang yang pada akhirnya dia-lah yang memegang kendali perusahaan tersebut. Seorang pemuda yang cuek, angkuh, seenaknya sendiri dan banyak wanita yang tergila-gila padanya.
Pertemuan yang benar-benar tidak terduga membuatnya sedikit demi sedikit berubah.
❣❣❣
Flashback on,
Alexander kecil terisak menangis dipelukan paman Ruth, sedang Irish kecil hanya diam dipangkuan bibi Dennisa. Terlihat kadang Marky kecil menghibur membuat gadis kecil itu tersenyum.
"Ayah—bagaimana keadaan Ayah, Paman? Hiks—" Alexander menangis. "Ibu—hiks!" Air mata terus mengalir di pipi Alexander.
Irish yang belum memahami keadaan saat itu mendongak menatap Dennisa, yang memangkunya.
"Bibi, kenapa kak Alex menangis?" tanya Irish kecil dengan polosnya.
"Memangnya Ayah dan Ibu kenapa, Bi?" imbuhnya bertanya lagi, dia masih terlihat sangat polos.
"Ayah dan Ibu akan baik-baik saja, Nona Muda." Dennisa menangkup kedua pipi Irish yang tembem. Gadis itu pun tersenyum manis. Irish kecil tidak tahu kalau Ayah dan Ibunya sedang dalam keadaan kritis.
Keadaan di dalam ruang operasi. Para Dokter ahli di rumah sakit Leiden masih terus berusaha semaksimal mungkin untuk kedua pasien yang tergeletak di ranjang dengan berbagai alat yang menempel di tubuh mereka.
Detak jantung mulai melemah, terlihat jelas di Bedside monitor. Lambat laun menjadi garis lurus dan ... Tiiiiitt!!
Itulah bunyi yang terdengar dari Bedside Monitor. Para Dokter kembali disibukkan dengan peralatan termasuk alat pacu jantung, Defibrilator.
Para Dokter berusaha keras untuk mengembalikan detak jantung mereka berdua, akan tetapi hasil nihil dan akhirnya para Dokter harus menyerah. Saat itu juga Tuan dan Nyonya Van Willem dinyatakan meninggal.
Tangis Alexander kecil kian menggelegar, setelah mendengar pernyataan dari para Dokter.
"Kenapa ... kenapa kalian tidak bisa menyelamatkan mereka!" teriak Alexander histeris. Paman Ruth berusaha menenangkan Alexander kecil yang terlihat sangat histeris.
Irish kecil yang melihat Kakaknya bicara dengan nada berteriak-teriak pada Dokter membuat gadis kecil itu menangis ketakutan dipelukan bibi Dennisa.
"Nona muda, tenanglah. Jangan menangis, ada Bibi dan juga Marky yang akan menemani Nona Muda," ucap bibi Dennis mengusap pipi Irish yang basah.
"Tuan muda ... Tuan muda harus ikhlas dan tabah. Kasihan nona Irish, dia terlihat ketakutan," ujar paman Ruth mendekap Alexander kecil dan berusaha menenangkannya.
Singkat cerita setelah dimakamkan, Alexander kecil dan Irish kecil masih terlihat menangis. Irish kecil masih terus-menerus memanggil-manggil ibunya.
_____
Genap dua tahun sudah Alexander dan Irish menjadi anak yatim piatu. Mereka berdua menjadi terbiasa menyambangi panti asuhan karena memang kedua orang tua mereka selalu membantu keperluan panti asuhan tersebut.
Alex dan Irish bersyukur masih memiliki paman Ruth dan bibi Dennisa yang menjadi orang tua kedua bagi mereka, serta Marky yang sudah seperti keluarga mereka sendiri.
Tuan Dutch van Willem meninggalkan warisan untuk kedua anaknya dan kelak jika sudah dewasa nanti, Alexander akan mengelolanya. Untuk saat ini pengacara kepercayaan keluarga Van Willem juga Pak John yang memegang semuanya hingga Alexander cukup umur untuk mengelola usaha Ayahnya.
Alexander dan Irish tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, dan sifat dermawan dari kedua orang tuanya menurun pada mereka berdua. Alexander tumbuh menjadi seorang laki-laki yang pintar, tampan, bertanggung jawab, dan pekerja keras. Sedangkan Irish tumbuh menjadi gadis yang cantik, ceria, cekatan, dan rajin. Begitu pula dengan Marky, dia tumbuh menjadi seorang laki-laki yang tampan, pekerja keras, dan rajin. Ketiganya tumbuh bersama dan mereka terlihat seperti kakak beradik, saling menolong satu dengan lainnya.
______
"Kak Alex, tidak apa-apa? Apa ada yang luka?" Irish menyodorkan sapu tangannya pada Alex yang baru saja menolong Irish dari gangguan anak-anak nakal yang menggodanya.
Alex menggeleng, "Kakak tidak apa-apa!" menerima sodoran sapu tangan dari Irish.
"Tuan muda, tidak apa-apa?" teriak Marky yang baru datang.
"Maaf nona muda, tadi ada sedikit tugas yang harus aku selesaikan di kelas," imbuhnya.
"Tidak masalah! Tidak perlu merasa bersalah seperti itu," ucap Irish tersenyum.
"Ayo pulang, mobil jemputan sudah datang!" Alexander berdiri sambil membersihkan celananya yang agak sedikit robek.
Paman Ruth yang melihatnya sempat khawatir, "Tuan muda kenapa celananya robek dan kotor?" tanyanya.
"Aah tidak apa-apa kok paman, tadi hanya menolong Irish yang diganggu anak-anak nakal." Alexander tersenyum. Ketiga bocah itu langsung masuk ke dalam mobil, melaju pulang.
"Tuan muda, apa ada yang luka?" tanya paman Ruth.
"Tidak ada, Paman. Paman tidak perlu khawatir," ujar Alex tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
"Nona muda apa ada yang terluka?" tanyanya pada Irish.
Irish menggelengkan kepala dan tersenyum, "Tidak ada Paman, untung kak Alex datang menolong. Paman jangan memarahi Marky ya, dia tadi keluar kelas paling akhir karena ada tugas," ujar Irish dengan mimik wajah sendu membuat paman Ruth tidak bisa marah pada Marky.
Senyuman Alex dan Irish membuat paman Ruth bisa bernapas lega, karena bagaimana pun juga Alex dan Irish adalah tanggung jawabnya setelah kepergian tuan dan nyonya Van Willem. Amanah yang harus paman Ruth emban sampai Alexander dewasa dan cukup umur untuk melanjutkan usaha Ayahnya. Alexander yang tumbuh menjadi kakak buat Irish sekaligus menjadi figur seorang Ayah untuk Irish. Mereka berdua sangat mandiri.
❣❣❣
Tujuh tahun kemudian,
Alexander van Willem, pemuda berparas tampan yang telah berusia 25 tahun, sekarang dia sudah mulai belajar mengelola hotel dan tentu saja masih dibantu oleh Pak Martijn dan orang kepercayaan keluarga Van Willem, Dustin. Marky pun bekerja di hotel milik keluarga Alexander.
Bagaimana dengan Irish van Willem?
Irish yang saat itu genap berusia 22 tahun dan masih duduk dibangku kuliah. Setelah selesai kuliah, Irish berencana akan bekerja. Hal itu sudah dibicarakan dengan kakaknya, Alexander. Sang Kakak tadinya tidak mengizinkan Irish bekerja. Dia ingin Irish bergabung dengannya untuk mengelola Hotel milik keluarga. Namun, Irish menolak. Gadis itu ingin lebih mandiri dengan bekerja di luar sana.
Akhirnya Irish direkrut oleh sebuah perusahaan ternama di kota Leiden, di situlah Irish bertemu dan berkenalan dengan Ayana, gadis asal Maroko yang juga direkrut oleh perusahaaan tersebut. Keduanya pun akhirnya menjalin persahabatan dan di perusahaan itulah Hyena mengenal sosok seorang laki-laki.
Laki-laki yang yang sangat kasar, angkuh, dan egois. Dia termasuk laki-laki yang maunya menang sendiri. Laki-laki yang tidak tahu sopan santun dan dia terlihat bangga dengan apa yang dia miliki. Bangga dengan begitu dipuja-puja oleh banyak wanita. Namun, itu tidak berlaku untuk Irish van Willem.
Kisah mereka di mulai dari sini ....
To be continue,
Pertama kali hidup hanya berdua. Mereka masih terus belajar dengan dibimbing oleh bibi Dennisa. Pengasuh setia yang memang selalu membantu anak asuhnya dengan telaten dan sabar. Keduanya tumbuh dengan didikkan yang sangat baik, walaupun tanpa sentuhan tangan dari orang tua kandungnya. Alexander van Willem tumbuh dengan baik dan dia tergolong pemuda yang sangat pintar. Alex memang sedikit kalem dan dia mempunyai paras yang sangat tampan dengan tambahan lesung pipi yang menghias pipinya. Tak hanya itu, Alex juga banyak diidolakan para wanita, hanya saja Alex memang bukan typikal pemuda yang muda jatuh cinta pada kaum hawa. Hal utama yang dia pikirkan adalah sang adik, karena dia sudah menjadi tanggung jawab Alex. Siapa lagi yang akan melindungi dia kalau bukan Alex? Berbeda sedikit dengan sang adik, Irish van Willem. Gadis ini sedikit galak, cuek dan jutek. Namun, dia mempunyai hati yang sangat lembut. Dia begitu menurut dengan kakaknya, tapi kadang dia suka keras kepa
Semilir angin berembus menusuk kulit. Daun-daun kering berguguran di buatnya. Brrr ... dingin sekali musim dingin kali ini. Seorang gadis berjalan terburu-buru sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Mengancingkan Cardigan Rajutnya karna memang cuaca pagi itu sangat dingin. "Taksi!" teriak Irish pada sebuah taksi. Ia bergegas masuk, namun ia terkejut karena pada saat bersamaan seorang pemuda masuk ke dalam taksi juga. "Eh kau siapa?" ucap Irish galak. "Kau yang siapa? Aku yang masuk duluan. Keluar sana!" pemuda itu kesal. "Enak saja. Sudah jelas aku duluan yang masuk ke dalam taksi ini. Kau yang keluar!" Irish mendorong pemuda itu. "Maaf—Tuan dan Nona, kalian ingin pergi ke mana?" ujar pak sopir menyela. "Diam!" Keduanya membentak si sopir, hingga sopir itu tersentak kaget dan terdiam. Ia tampak sangat ketakutan. "Kau keluar!" Ir
Irish duduk disofa menyilangkan kaki, matanya menatap televisi di depannya dengan tangan memegang remote dan sedikit cemilan di sampingnya. Namun pikiran gadis itu entah melayang ke mana. Menekan remote TV secara bergantian, mengganti dari channel satu ke channel lainnya. Entah apa yang dicari gadis itu, sepertinya dia tidak fokus menonton acara TV. "Arrgghh!" teriaknya mengagetkan sang kakak yang sedang fokus membaca di belakangnya. "Kau ini kenapa sih, teriak-teriak tidak jelas seperti itu!" Alex membalikkan badannya melihat sang adik mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kaak!" teriaknya sambil menutupi wajahnya dengan bantal sofa. "Iya ada apa, Irish sayang?" jawab Alex "Kakaak!" teriakannya lebih kencang lagi.
Sementara itu di Rumah Sakit Leiden. Tampak seorang pemuda berjalan menuju kamar 24b. Setelah sebelumnya telah membayar semua administrasi Rumah Sakit. Pemuda itu tampak begitu bahagia. Di kamar 24b seorang wanita sedang membereskan baju dan memasukkannya ke dalam tas. "Bibi Dennisa, sudah siap pulang?" Alex tersenyum. "Bibi sudah siap, Tuan Muda." Wanita tua itu tersenyum. "Baiklah, ayo kita pulang, Bi." Alex memapah wanita tua itu keluar dari kamar rawat inapnya. "Terima kasih, tuan muda sudah mau menolong dan merawat Bibi," ucap bibi Dennisa. "Ah, tidak masalah, Bi. Justru aku yang harus berterima kasih pada bibi karena sudah mau merawatku dan juga Irish setelah Ayah Ibu meninggal. Bagiku bibi sudah seperti orang tua kedua bagi kami berdua." Alex tersenyum. "Tuan muda, bolehkah bibi meminta satu permintaan ...." pinta Dennisa. "Permintaan apa itu, Bi?" tanya Alex. "Tolong antar bibi ke makam tuan dan nyonya besar sek
Cinta kadang membuat seseorang terluka dan juga membuat orang yang sedang jatuh cinta bahagia. Tapi penantian dan harapan terkadang menimbulkan luka yang amat mendalam, saat orang yang menanti itu tahu bahwa semua harapan akan penantiannya sia-sia. Dan hanya yang setialah yang mampu bertahan diatas luka akan pengharapan yang sia-sia. Hanya yang setialah yang terus menerima luka dari orang yang disayanginya. Dan hanya yang setialah yang terus bahagia menyayangi seseorang walaupun tanpa balasan atau bahkan tak ada kesempatan lagi untuk memiliki orang yang diharapkannya. Langit terlihat gelap, sambaran petir menggelegar dahsyat membelah langit yang terlihat sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Udara dingin terasa menusuk kekosongan jiwa. Matahari bersembunyi dibalik gumpalan awan gelap. Cuaca pagi ini menggambarkan hati seorang gadis bernama Ayana. Dia teringat kejadian tiga bulan yang lalu. Musim gugur,
Tokk ...Tokk ...Tokk .... Alex mengetuk pintu kamar Irish. Namun, tidak ada respon dari gadis cantik berlesung pipi itu. Akhirnya Alex membuka pintu kamar Irish, tapi tidak mendapatkan si empunya kamar di dalam. "Kakak sedang apa di kamarku?" Irish muncul tiba-tiba di belakang Alex. "Emm ... itu—anu, kakak mau tanya sesuatu." Alex menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Irish merasa heran melihat gelagat aneh dari kakaknya. "Kakak mau tanya tentang apa? Kok tumben." Irish menyeruput susu hangatnya. "Itu—soal tadi pagi—kakak melihat seseorang memanggulmu, apakah dia teman sekantormu?" tanyanya pada Irish. Irish mengernyit bingung menatap kakaknya. Mengingat-ingat siapa yang tadi pagi memanggilnya. "Ah ... Ayana maksud kakak? Kenapa kak?" Irish bertanya balik pada Alex.
'Ting tong' "Irish!" Alex berteriak dari ruang tengah. "Iyaaa ...," sahut Irish dari kamar. "Ada apa kak?" Irish menghampiri Alex. "Ini ...." Alex menyodorkan sepaket bunga pada Irish. "Bunga lagi?" Irish menerima sodoran paket bunga dari kakaknya. -'From your Secret Admirer. Bagaimana bunganya? Cantik 'kan? Secantik orang yang menerima dan membaca surat ini'- Kira-kira begitulah isi surat yang terselip di buket bunga untuk Irish. Beberapa hari ini Irish selalu mendapat kiriman bunga mawar pink kesukaannya dengan isi surat yang sama seperti surat tadi. Irish sendiri heran, kenapa orang ini tahu bunga kesukaannya. "Dari siapa?" tanya Alex terlihat penasaran pada kejadian akhir-akhir ini.
"Kau yakin tidak apa-apa Ay?" tanya Irish mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu. "Aku tidak apa-apa kok. Kau pulanglah dulu!" Ayana tersenyum. "Tapi kau terlihat sangat pucat!" "Aku hanya kecapean saja. Kau pulang saja dulu!" "Baiklah kalau kau memaksa, tapi kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya, Ay." "Iya ... jangan khawatirkan aku, segeralah ke rumah sakit." Ayana mendorong Irish masuk ke taksi. Ayana berjalan pelan menyusuri trotoar. Keringat dingin mulai mengucur, kepalanya terasa berat, pandangannya mulai terasa kabur. BRUUKKK .... Seketika orang-orang berkerumun mendekati Ayana yang tiba-tiba pingsan. Alex keluar dari loby hotel, pandangannya tertuju pada kerumunan orang-orang. "Ada apa itu pak Bernard? Kenapa ramai sekali?" tanya Alex. "Ada seorang gadis pingsan tuan muda," jawab pak Bernard. "Gadis?" Alex mengerutkan keningnya dan berjalan mendekati kerumunan orang-ora
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al