Cinta kadang membuat seseorang terluka dan juga membuat orang yang sedang jatuh cinta bahagia. Tapi penantian dan harapan terkadang menimbulkan luka yang amat mendalam, saat orang yang menanti itu tahu bahwa semua harapan akan penantiannya sia-sia.
Dan hanya yang setialah yang mampu bertahan diatas luka akan pengharapan yang sia-sia. Hanya yang setialah yang terus menerima luka dari orang yang disayanginya. Dan hanya yang setialah yang terus bahagia menyayangi seseorang walaupun tanpa balasan atau bahkan tak ada kesempatan lagi untuk memiliki orang yang diharapkannya.
Langit terlihat gelap, sambaran petir menggelegar dahsyat membelah langit yang terlihat sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Udara dingin terasa menusuk kekosongan jiwa. Matahari bersembunyi dibalik gumpalan awan gelap. Cuaca pagi ini menggambarkan hati seorang gadis bernama Ayana. Dia teringat kejadian tiga bulan yang lalu.
Musim gugur, Leiden, October, 19 2018. Burcht van Leiden Park.
Malam itu Ay berjalan menyusuri jembatan di sekitar danau dan menikmati pemandangan indah dari lampu yang berkelap-kelip. Masih teringat jelas bagaimana Hendrick menyatakan perasaannya di tempat ini, tempat di mana penuh kenangan bersama dengan Hendrick, kekasihnya. Hubungan mereka pun sudah berjalan sekitar satu tahun.
Malam yang begitu indah bertaburan bintang-bintang di langit. Autumn lebih indah, lebih dingin dan lebih romantic. Sejauh mata memandangi pepohonan yang daunnya mengguning dan memerah.
"Seharusnya malam ini, aku ke sini bersama dengan Hendrick, tapi dia bilang masih sibuk," beonya pelan duduk di bangku kosong di pinggir danau. Merapatkan sweathernya karna memang cuaca sudah mulai agak dingin. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya dan waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Ayana pun beranjak dari bangku kayu itu dan mulai melangkah meninggalkan tepian danau, matanya menyapu sekitar tepian danau ketika dia mendengarkan suara canda tawa yang tak asing di telinganya. Dia pun mencari arah datangnya suara itu dan menemukannya di balik pohon besar.
"Hendrick!" Ayana yang biasa dipanggil dengan Ay itu langsung melotot, ketika melihat Hendrick sedang berciuman dan berpelukan dengan seorang wanita.
"A-Ayana!" Hendrick kaget dan melepaskan pelukannya.
"Oh ... jadi ini alasanmu bilang sibuk!" Ay tersenyum getir meninggalkan Hendrick. Pemuda itu berusaha mengejar dan menjelaskan dengan berbagai alasan.
"Ay ... Ay, dengarkan dulu penjelasanku!" Hendrick memegang tangan Ay. Namun, langsung ditepis oleh Ay.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi dan aku pun sudah melihatnya secara langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku benar-benar kecewa! Jangan pernah temui aku lagi!" Ayana pergi berlalu meninggalkan Hendrick dengan perasaan yang bercampur aduk dan hati yang benar-benar terluka. Air mata pun tidak bisa dibendung lagi membasahi pipinya yang putih mulus itu. Hujan turun seakan langit pun tau akan hatinya yang sedang sedih. Gadis itu berjalanlah pulang di bawah rintikan hujan yang semakin lebat. Dia berjalan tanpa menghiraukan orang-orang yang melihatnya.
Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika sebuah payung melindungi dirinya dari rintikan air hujan. Ayana mendongak melihat seorang pemuda tersenyum manis padanya.
"Pakailah payung ini," pemuda itu memberikan payungnya. Kedua mata itu saling beradu pandang di bawah rintik hujan. Gadis itu terdiam sesaat seolah tersihir dengan tatapan mata sang pemuda. Pemuda berlesung pipi itu meraih tangan Ayana dan memegangkan pada gagang payung yang dia bawa, lalu berlari menuju mobilnya dengan kedua tangan melindungi kepalanya.
Itulah awal mula pertemuan pertama Ayana dengan pemuda berlesung pipi. Akankah mereka berdua bisa bertemu kembali?
❣❣❣❣
"Kakaaakk!" teriakannya menggema keseluruh ruangan.
"Ada apa Irish, pelani sedikit suaramu. Kau ini bisa membuat rumah roboh!" Alex keluar dari kamar memegang ponsel dan menempelkannya ditelinga.
"Payungku dimana kak?" Irish berteriak lagi.
"Payung? Memangnya di luar hujan?" Alex melongok dari jendela melihat ke luar. "Ah, benar juga." Masih sibuk dengan ponsel yang menempel di telinganya, berjalan ke ruang tengah.
"Kaakk ... aku bisa telat!" Irish berkali-kali melihat jam tangannya.
"Ayo kakak antar!" Alex memakai jasnya dan meraih kunci mobil.
.
Mobil berhenti di depan gedung, Irish membuka pintu mobil dan berlari masuk gedung.
"Irish, jangan berlari!" teriak Alex membuka kaca mobil dan matanya langsung terfokus pada gadis yang memanggil nama adiknya.
"Hey, Irish!" teriak gadis itu. Alex terus menatapnya tanpa berkedip sedikit pun.
Gadis itu ... apa dia rekan kerja Irish? 'batinnya pelan.
Ya, dia gadis yang waktu itu ditolong Alex dikala dia menangis dan berlari-lari di bawah guyuran hujan. Alex memperhatikan dia dari dalam mobil, hingga gadis itu masuk ke dalam gedung bersama dengan Irish, adiknya.
.
"Hi ... Irish, ini untukmu." Ryan memberikan secup kopi.
"Ini apa?" tanyanya Irish.
"Kopi ...." Ryan mengangkat cup miliknya berjalan menuju kubikelnya.
"Ah, terima kasih," ucapnya tersenyum, "tapi aku tidak suka minum kopi," beonya pelan. "Ay ...." Irish memanggil Ayana dari balik kubikelnya.
"Ada apa?" Ay melongok dari kubikelnya.
"Ini ada kopi, kau saja yang minum." Irish memberikan cup itu ke Ayana.
"Irish, dari mana kau medapatkan kopi ini?" tanya Ayana, "Ini sangat enak!" seteguk demi seteguk diminumnya.
"Ryan yang memberikannya padaku." menunjuk pemuda yang duduk di kubikel paling pojok dengan dagunya.
"Tumben sekali dia baik dan perhatian. Biasanya dia cuek dan memilih menyendiri. Ah, Jangan-jangan dia ada hati padamu." Ayana tertawa.
"Ssssttt ... apaan sih, Ay!" Irish beranjak pergi.
"Hey, kau mau ke mana?" tanya Ayana dengan mata mengekori Irish.
"Ke pantry!" Irish mengangkat cangkir pribadinya.
"Sepertinya aku masih menyimpan sebungkus coklat disini," ujar Irish clingak-clinguk mencari coklat. Tiba-tiba, dia merasakan kalau ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya dan sebuah tangan meraih sesuatu di pojokan lemari.
"Kau mencari ini?" ujarnya. Secara reflek Irish langsung membalikkan badannya dan mendapatkan Ben sudah berada tepat di belakangnya. Kedua mata mereka langsung beradu pandang. Seketika Irish langsung mendorong tubuh Ben ke belakang.
"Kau mau ke mana??" tanyanya heran ketika Irish berusaha menjauh menghindar.
"Aku mau kembali bekerja!" Irish menjawab ketus.
"Bukannya kau mau membuat coklat?" tanyanya lagi.
"Kau minum saja coklat itu!" Irish segera berlalu meninggalkan pantry.
"Kenapa dia jadi super cuek seperti itu, apa karena kejadian beberapa hari yang lalu?" Ben menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tumben sekali dia baik?" Irish bersidekap tangan menatap komputer di depannya. Walaupun pandangannya fokus menatap layar komputer, tapi pikirannya entah ke mana.
"Mana cokelat hangatmu? Bukannya tadi kau bilang mau membuat cokelat hangat di pantry?" tanya Ayana.
"Ah—itu—sudah aku habiskan di pantry," jawab Irish tegas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah layar komputer, agar dia tidak ditanya-tanya lagi oleh Ayana. Irish berpura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Namun, sebenarnya dia mulai tidak nyaman.
Sesaat setelah itu, Pak Ben melintas dan langsung masuk ke ruangannya. Ayana memperhatikan atasannya dan terfokus dengan benda yang dipegangnya, lalu dia mengeryit bingung dan menoleh menatap Irish yang tengah sibuk.
Apakah Ayana mulai curiga? Lalu benda apa yang dibawa Ben? See ya on next chapter.
To be continue,
Adakah yang mau tukeran gems? By the way, jangan lupa baca karyaku yang berjudul "Brittleness dan 2.59" Makacih 🥰
Tokk ...Tokk ...Tokk .... Alex mengetuk pintu kamar Irish. Namun, tidak ada respon dari gadis cantik berlesung pipi itu. Akhirnya Alex membuka pintu kamar Irish, tapi tidak mendapatkan si empunya kamar di dalam. "Kakak sedang apa di kamarku?" Irish muncul tiba-tiba di belakang Alex. "Emm ... itu—anu, kakak mau tanya sesuatu." Alex menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Irish merasa heran melihat gelagat aneh dari kakaknya. "Kakak mau tanya tentang apa? Kok tumben." Irish menyeruput susu hangatnya. "Itu—soal tadi pagi—kakak melihat seseorang memanggulmu, apakah dia teman sekantormu?" tanyanya pada Irish. Irish mengernyit bingung menatap kakaknya. Mengingat-ingat siapa yang tadi pagi memanggilnya. "Ah ... Ayana maksud kakak? Kenapa kak?" Irish bertanya balik pada Alex.
'Ting tong' "Irish!" Alex berteriak dari ruang tengah. "Iyaaa ...," sahut Irish dari kamar. "Ada apa kak?" Irish menghampiri Alex. "Ini ...." Alex menyodorkan sepaket bunga pada Irish. "Bunga lagi?" Irish menerima sodoran paket bunga dari kakaknya. -'From your Secret Admirer. Bagaimana bunganya? Cantik 'kan? Secantik orang yang menerima dan membaca surat ini'- Kira-kira begitulah isi surat yang terselip di buket bunga untuk Irish. Beberapa hari ini Irish selalu mendapat kiriman bunga mawar pink kesukaannya dengan isi surat yang sama seperti surat tadi. Irish sendiri heran, kenapa orang ini tahu bunga kesukaannya. "Dari siapa?" tanya Alex terlihat penasaran pada kejadian akhir-akhir ini.
"Kau yakin tidak apa-apa Ay?" tanya Irish mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu. "Aku tidak apa-apa kok. Kau pulanglah dulu!" Ayana tersenyum. "Tapi kau terlihat sangat pucat!" "Aku hanya kecapean saja. Kau pulang saja dulu!" "Baiklah kalau kau memaksa, tapi kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya, Ay." "Iya ... jangan khawatirkan aku, segeralah ke rumah sakit." Ayana mendorong Irish masuk ke taksi. Ayana berjalan pelan menyusuri trotoar. Keringat dingin mulai mengucur, kepalanya terasa berat, pandangannya mulai terasa kabur. BRUUKKK .... Seketika orang-orang berkerumun mendekati Ayana yang tiba-tiba pingsan. Alex keluar dari loby hotel, pandangannya tertuju pada kerumunan orang-orang. "Ada apa itu pak Bernard? Kenapa ramai sekali?" tanya Alex. "Ada seorang gadis pingsan tuan muda," jawab pak Bernard. "Gadis?" Alex mengerutkan keningnya dan berjalan mendekati kerumunan orang-ora
"Hallo ... Ayana, bagaimana kabarmu?" sapa Irish merangkul Ay yang berjalan menuju lift. "Hallo juga Irish. Aku sudah agak lebih baik kok, kau sendiri bagaimana?" Ay mengedipkan matanya. "Aku? Kau lihat sendiri," ujar Irish tertawa. Kedua gadis itu masuk ke lift bersama. Namun, sebuah tangan menahan pintu lift yang hampir tertutup. Benjamin masuk ke dalam lift. "Selamat pagi, Pak!" Keduanya membungkuk hormat. Lift naik menuju lantai tiga. _________ Jam kantor telah berakhir, Ayana langsung pulang, tapi Irish tertahan di kantor karena bos besarnya memberinya banyak tugas. "Apa-apaan ini! Kenapa hanya aku saja yang harus lembur. Balas dendamkah dia?" Gerutuk Hyena. Drrttt .... Drrttt .... Sebuah panggilan masuk dari kakakn
Episode sebelumnya, Irish dan Benjamin terjebak di kantor karena terjadi pemadaman listrik. Tiga puluh menit kemudian. Pak Adrima langsung menuju ruang kantor di mana Ben sedang menunggunya di sana. "Kenapa tuan muda tidak bilang kalau malam ini akan lembur, jadi saya bisa meminta pemadaman listrik di undur dulu," ujar Adrima. Namun, Benjamin hanya cengar-cengir menanggapinya hal itu. "Jangan terlalu sering menjahili gadis ini, tuan muda. Kasihan dia," imbuh pak Adrima menatap Irish yang sedang tidur. "Ah tidak ... tidak ... bukan seperti itu," uhar Ben mengelak. "Lebih baik kita pulang saja. Mumpung belum terlalu malam. Bangunkah saja gadis itu," usul pak Adrima, sekretaris andalan keluarga Van Dee Han. "Biar dia kugendon
"Apa? Gregory berhenti kerja?" Irish terkejut mendengar berita itu dan tampak tak percaya. Ini pasti ulah Benjamin van Dee Han!' batin Irish. "Apa benar dia yang selalu mengirim bunga mawar merah muda itu?" Mira bertanya pada Irish dan sama sekali tidak percaya kalau Gregory yang pendiam bisa senekad itu. "Aku tadi masih melihat Gregory ada di koridor kantor," Samantha berjalan mendekati Irish. Semua pegawai kantor pagi itu membicarakan Gregory. Irish hanya terdiam menatap tempat duduk yang berada paling pojok, tempat di mana biasanya Gregory bekerja, kemudian pandangannya beralih ke arah ruangan di depannya. Bergegaslah dia menuju ruangan itu. Tanpa mengetuk pintu, Irish langsung masuk begitu saja. Sementara itu Benjamin terus menatap sebuah amplop yang tergeletak dimejanya, jari jemarinya mengetuk-ngetuk di atas meja secara bergantian. Seseorang masuk tanpa mengetuk pin
HAPPY READING Pagi itu Alex tampak sudah rapi, dia mengenakan kemeja putih dan celana jeans biru. Sangat cocok dengan wajahnya yang maskulin. "Mau pergi ke mana, kak?" Irish yang heran melihat kakaknya begitu rapi dan wangi diminggu pagi. Weekend yang biasanya dia dan Alex habiskan di rumah dengan bercanda bersama. "Oh ... Irish, kakak akan keluar sebentar." Alex mengedipkan mata kanannya. "Aih ... ganjen!" celetuk Irish. "Ternyata kakak ku ini bisa ganjen juga." "Ha ha ha ha ...." Alex hanya tertawa mendengarnya. "Kaakk!" panggil Irish manja. "Emmm ...." jawab Alex singkat. "Apakah kak Alex mau pergi berkencan?" tebak Irish, karena dia jarang sekali melihat kakaknya serapi itu dan dengan mimik muka senyam-senyum sendiri. Alex diam menoleh ke arah Irish dan berkali-kali mengedipkan k
HAPPY READING Flashback 2 minggu yang lalu.... "Ben, ada apa?" tanya Duncan memperhatikan Benjamin yang sedari tadi pandangannya menatap lurus ke depan. "Ben, kenapa kau terus menatap hotel di depan sana?" Mike ikut bertanya. "Ah, tidak ada. Hmm ... Mike, hotel apa itu?" tanya Ben. "Hotel itu adalah hotel paling bagus di Leiden. Kenapa kau tanya seperti itu, Ben?" Mike penasaran. "Hotel itu biasa digunakan untuk acara meeting, pertemuan penting para penjabat, bahkan hotel itu punya ruangan khusus untuk acara resepsi pernikahan." Duncan berjalan membawa minuman. "Apa kau mau memesan tempat di hotel itu, Ben?" Mike menoleh ke arah Ben. "Ah tidak, aku hanya bertanya saja." Ben menggaruk-
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al